Tag Archives: bank perkreditan rakyat

Melihat bagaimana selama ini BPR melakukan digitalisasi, termasuk solusi yang dibawa platform digital untuk membantu proses ini / Pexels

Membaca Arah Startup Akuisisi BPR (Bagian II)

Ini merupakan tulisan lanjutan dari bagian pertama

Bala Bantuan untuk Industri BPR

Meningkatkan daya saing di industri BPR jadi barang wajib agar mereka dapat bertahan. Co-Founder dan CEO Komunal Hendry Lieviant menuturkan, sebelum pandemi banyak BPR yang terlena dan tidak merasa perlu untuk melakukan digitalisasi. Dalam menyalurkan kredit, mereka memang bisa memanfaatkan sumber dana dari berbagai pihak. Namun, mengumpulkan dana pihak ketiga (tabungan dan deposito) ternyata susah bukan main.

“BPR ini perlu lebih kompetitif tapi karena dorongan untuk digitalisasinya tidak terasa urgent, jadinya kesannya nanti-nanti saja. Tapi begitu pandemi, mereka jadi terjepit. Pandemi ini katalis untuk berubah. Jadi dipaksa harus berubah, kalau tidak ya tidak akan survive,” kata dia.

Kondisi tersebut benar adanya. Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menyampaikan, ada empat poin utama yang menjadi tantangan bagi industri BPR dalam mewujudkan digitalisasi. Pertama, biaya investasi (capex dan opex) yang sangat tinggi. Kedua, adanya pembatasan dalam regulasi. Ketiga, kondisi BPR/BPRS yang beragam. Terakhir, kualitas SDM IT terbatas termasuk dalam kepemimpinannya.

Dalam mengatasi isu tersebut, biasanya para petinggi BPR melakukan dua cara umum untuk masuk ke dunia digital. Bagi BPR dengan BPRKU 3 (modal inti lebih dari Rp50 miliar) program digitalisasi dilakukan secara mandiri atau kerja sama dengan pihak ketiga. Akan tetapi, BPRKU 1 (modal inti kurang dari Rp15 miliar) dan BPRKU 2 (modal inti Rp15 miliar – Rp50 miliar) melakukannya dengan sistem sewa atau kerja sama dengan pihak ketiga.

“Untuk mewujudkan transformasi digital bagi industri BPR dan BPRS membutuhkan perjuangan terus menerus dan mendapat dukungan seluruh pemangku kepentingan yang ada,” tutur Joko.

Joko melanjutkan, “Perbarindo telah menggandeng berbagai pihak strategis, baik dari perbankan, pelaku industri fintech, maupun vendor penyedia jasa IT. Program tersebut telah dijabarkan dalam arsitektur pengembangan BPR-BPRS Now. Harapannya dengan adanya arsitektur ini, bisa menjadi acuan dalam mewujudkan transformasi digital di BPR-BPRS seluruh Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan daya saing.”

Pernyataan Joko sekaligus mengonfirmasi bahwa banyak perusahaan pengembang aplikasi diajak bekerja sama dengan BPR untuk merilis aplikasi digital di Google Play Store (lihat infografis).

Menggandeng pihak ketiga memang lebih murah dari segi biaya, namun jadi bumerang ketika perusahaan ingin mengembangkan ke fitur yang lebih kompleks, karena menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Bila diperhatikan secara seksama, aplikasi BPR yang ditujukan untuk nasabah ritel misalnya, tidak memiliki diferensiasi yang mencolok dan UI/UX sangat template. Jadi hanya sekadar “yang penting punya”.

Agar tidak layu di tengah jalan, OJK sejauh ini telah menerbitkan tiga stimulus. Pertama, petunjuk teknis terkait pelaksanaan kerja sama antara BPR dengan fintech lending yang tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending. Berikutnya, ada Kebijakan Akselerasi Transformasi Digital yang tertuang dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2021-2025, POJK Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Produk BPR dan BPRS, dan percepatan digitalisasi sektor jasa keuangan berskala kecil melalui aplikasi.

Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menjelaskan penerbitan Panduan Kerja Sama antara BPR dengan fintech lending ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih cepat dan akses keuangan yang lebih luas bagi masyarakat.

Bagi BPR manfaat yang mereka dapatkan adalah memperluas target pasar, meningkatkan kualitas pelayanan, memperkuat analisis calon debitur, serta meningkatkan adaptasi teknologi informasi dan digitalisasi industri BPR. “Sementara bagi fintech lending, dapat menjadi alternatif penambahan sumber pendanaan, serta memperkuat monitoring penyaluran pinjaman hingga ke daerah,” kata Anung.

Ia melanjutkan, berdasarkan survei yang dilakukan OJK pasca penerbitan panduan tersebut, hingga Januari 2022 tercatat ada 60 BPR yang telah memulai proses penjajakan maupun melaksanakan kerja sama penyaluran pinjaman dengan 23 fintech lending berizin.

“Jumlah tersebut diharapkan akan mengalami peningkatan, seiring dengan semakin baiknya implementasi model bisnis yang ada sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi BPR-BPR yang berminat dan memenuhi persyaratan prudensial dari OJK.”

Berikutnya, dalam dua POJK yang diterbitkan khusus untuk BPR ini pada intinya adalah membuka akses selebar-lebarnya bagi BPR agar dapat bermitra dengan berbagai perusahaan teknologi dan perbankan untuk memperluas solusinya.

Misalnya, dari POJK Nomor 25 tahun 2021 ini fokus pada dukungan buat BPR dengan memanfaatkan teknologi, baik melalui pengembangan in-house/mandiri (a.l layanan perbankan elektronik), maupun kerja sama dengan bank umum (a.l untuk layanan virtual account, e-KYC, QRIS, transfer antar bank, dan ATM cardless), dan perusahaan fintech (a.l lending, payment, funding agent/deposit channeling, agregator, dan IKD lainnya).

Salah satu contoh kerja sama yang sudah terjalin antara bank umum dengan BPR sudah diterapkan oleh Bank Danamon dan Bank Permata yang sama-sama memanfaatkan kehadiran Open API.

Bank Danamon bekerja sama dengan BPR Jatim untuk API Transfer dan Virtual Account Danamon untuk seluruh nasabah BPR Jatim dan BPR Lestari. Hal ini memungkinkan nasabah BPR dapat melakukan transfer antar bank melalui ATM atau aplikasi secara online dan real time, serta penerimaan dana secara online melalui virtual account. Inisiatif yang sama juga diterapkan oleh Bank Permata bersama Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya.

Sumber: OJK
Sumber: OJK

Kinerja keuangan BPR

Menurut OJK, per September 2021, jumlah BPR dan BPRS mencapai 1.646 unit, terdiri dari 1.481 BPR dan 165 BPRS. Angka ini mengalami tren penyusutan. Tercatat pada 2016 terdapat 1.799 BPR dan BPRS, kemudian pada 2017 terdapat 1.786 unit, tahun 2018 terdapat 1.764 unit, tahun 2019 1.709 unit, dan pada 2020 sebanyak 1.669 unit.

Seiring dengan aksi konsolidasi yang dilakukan, jumlah BPR dan BPRS yang tergolong dalam BPRKU 1 juga mengalami penyusutan. Tercatat dalam periode yang sama, jumlah BPR dan BPRS untuk BPRKU 1 sebanyak 1.138 unit, atau telah berkurang 306 unit dari 2015. Pada saat bersamaan, jumlah unit BPR dan BPRS tergolong BPRKU 2 mengalami pertumbuhan, dari posisi 2015 sebanyak 158 unit, menjadi 272 unit sampai dengan akhir kuartal III-2021. Sementara, BPR dan BPRS tergolong BPRKU 3 mengalami kenaikan, yakni dari 35 unit pada 2016, menjadi 71 unit pada akhir September 2021.

Aset BPR (tidak termasuk BPRS) pada Desember 2021 tumbuh 8,62% (yoy) dari sebelumnya 3,64%. Aset BPR tersentralisasi di Pulau Jawa (58,64%) dengan porsi terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki porsi 24,34% dan 12,94%.

Untuk DPK tumbuh 10,23% (yoy) menjadi Rp117,01 triliun. Peningkatan terjadi pada kedua komponen, baik deposito (porsi 69,35%) dan tabungan yang masing-masing tumbuh 10,56% dan 9,47%. Sebagaimana sebaran aset, DPK BPR masih terkonsentrasi di Jawa (60,91%), diikuti Sumatera (17,18%), Bali-Nusa Tenggara (13,09%) dan lainnya.

Adapun untuk kredit tumbuh 5,24%. Penyaluran didominasi ke sektor bukan lapangan usaha (porsi 33,28%), perdagangan besar dan eceran (21,23%), dan rumah tangga (12,91%). Secara spasial, mayoritas kredit BPR berada di Pulau Jawa (59,06%), sementara kredit terendah di Pulau Kalimantan (2,27%) dari total kredit. Hal tersebut sejalan dengan jumlah BPR yang mayoritas berada di Pulau Jawa (875 BPR) sedangkan di Kalimantan hanya 55 BPR.

Pada periode ini, risiko kredit BPR sedikit menurun dengan rasio NPL gross dan NPL net yang sedikit membaik, masing-masing sebesar 6,72% dan 4,37% dari tahun sebelumnya sebesar 7,22% dan 5,33%.

Jatuh hati menabung di BPR

Satu hal yang menarik soal DPK, DailySocial.id berkesempatan mewawancarai seorang nasabah setia BPR yang menjadikan deposito sebagai sarana tabungannya di masa depan.

Pagi itu, Zelita kembali berseluncur di dunia maya sebelum memulai aktivitas, sekadar untuk melihat kabar teman-temannya lewat unggahan yang dibagikan. Ketergantungannya terhadap media sosial sudah begitu tinggi, di sanalah ia mendapat berbagai informasi terbaru, entah itu promo, diskon, berita yang sedang viral, dan lain-lainnya.

Pun informasi tentang ramainya investasi di kripto, saham, ia pun ikut terpapar dan larut mengikuti perkembangannya. Lebih banyak cerita orang pamer untung banyak lewat investasi dengan cara instan, atau istilah zaman sekarang, flexing, berkat investasi di kedua kelas aset tersebut. Jarang ada orang-orang yang mau berbagi cerita berapa banyak uang yang hilangnya. Mungkin sudah jadi barang umum, lebih seru pamer kekayaan dengan cara instan daripada kisah sedihnya.

Meski demikian, ia bukan jadi kelompok yang mau ikut-ikutan coba dengan tren seperti itu. Zelita sedari kecil melihat langsung bagaimana perjuangan orang tuanya untuk menyisihkan gaji buat ditabung di deposito di BPR di lingkungan rumahnya di Tasikmalaya. Seperti buah tidak jauh dari pohonnya, ia pun melanjutkan kebiasaan tersebut untuk keluarga mininya.

“Kebetulan ayah sudah menyarankan untuk nabung di BPR, dari gue kuliah dia udah rajin nabung di sana. Sebenarnya dia punya rekening bank umum di BJB tapi cuma numpang lewat. Soalnya semua tabungannya di taruh di BPR, bahkan sampai sekarang.”

Kebetulan juga, suami Zelita juga bekerja di BPR Artha Galunggung, tempat yang biasa dipakai ayahnya dulu menabung deposito. Alhasil, dia jadi selalu minta tolong suaminya hanya sekadar untuk tarik tunai atau sekadar cek saldo. Maklum, BPR ini tidak menyediakan ATM. Jadi kalau mau setor dana atau tarik tunai ya harus datang ke kantor cabang. Aplikasi sebenarnya ada, tapi fungsinya hanya sekadar cek saldo tabungan, mutasi, dan cek saldo deposito saja.

Sudah hampir setahun ia mulai mencoba menabung deposito di BPR. Alasannya simpel, karena bunga yang ditawarkan 6% alias lebih tinggi dari bank umum. Simpan dana di tabungan pun bunga yang ditawarkan juga menjanjikan. Oia, biaya admin yang terpenting murah hanya Rp3 ribu per bulan. Setoran awalnya saja cukup Rp10 ribu.

“Jadi setiap gajian, langsung kosongin rekening di bank umum, pindahin saldo ke BPR. Karena suami kerja di sana, jadi sekalian minta tolong. Kalau tidak sempat pun, bisa telepon orang bank buat samperin kita.” Zelita melanjutkan, “Kalau depositonya sudah jatuh tempo, nanti petugas bank akan telepon kita mau diperpanjang, stop, mau ambil bunganya saja, semuanya bisa.”

Sistem kerja di BPR ini terkenal dengan jemput bolanya. Tak pandang bulu, bahkan nasabah kredit yang juga ikut menabung di BPR, sambil berjualan tutug oncom, pasti akan dikunjungi tiap hari. Sebab, rata-rata pemilik bisnis harian ini rutin menyisihkan uangnya, entah Rp100 ribu atau di atasnya buat ditabung. “Pas petugasnya datang, langsung cetak buku tabungannya di warungnya. Mereka bawa printer mobile gitu.”

Saking dekatnya dengan nasabah, banyak yang menyebut BPR sebagai bank pasar karena kelokalannya dan keeratan hubungan emosionalnya.

Bila menengok bunga deposito di Bank Mandiri pada April ini stabil di kisaran 2,25% hingga 2,5%. Di sana, nasabah bisa menyimpan mulai dari di bawah Rp100 juta hingga di atas Rp5 miliar. Sedangkan di BRI, bunganya mulai dari 2% untuk tenor jangka pendek, dan bunga 2,85% untuk tenor jangka panjang hingga 36 bulan.

Untuk menjaga loyalitas nasabah, BPR Artha Galunggung ini, menurut Zelita, rutin mengadakan program undian berhadiah. Dengan sistem poin, apabila nasabah berhasil mengumpulkan poin dengan jumlah tertentu maka berhak ikut undian. Hadiahnya mulai dari emas batangan, motor, hingga mobil.

“Padahal di Tasikmalaya ini banyak bank umum, kayak Bank Nobu, Bank Neo Commerce sudah buka cabang di sini. Tapi tetep setia sama BPR soalnya bunganya lebih gede, enggak berani ambil investasi yang macem-macem lah,” ucap Zelita.

Kelahiran DepositoBPR

Sama seperti alasan Zelita, Hendry Lieviant memilih BPR karena bunga depositonya yang tinggi dan dijamin LPS. Saat itu sekitar tahun 2019, startup p2p lending yang ia rintis, Komunal, kebetulan ada kelebihan idle money yang ingin disimpan di bank. Pertimbangannya ia ingin bunga yang lebih tinggi sekaligus aman. Setelah cari tahu lebih dalam, ternyata BPR adalah jawaban yang ia cari.

“Tapi inget sekali waktu itu prosesnya ribet, banyak paperwork. Ya sudah, kami jalani saja. Waktu itu belum terbersit sama sekali buat dijadikan produk. Justru idenya mulai muncul tepat saat pandemi,” kata Hendry.

Ia melanjutkan, ide untuk menyeriusi segmen BPR ini juga didukung dengan kondisi sejumlah BPR sudah menjadi lender institusi di Komunal. Mereka cukup terbantu dengan sistem channeling ini.  Meskipun demikian, begitu terjadi pandemi muncul masalah. Mereka kesulitan mengumpulkan deposan. “Itu yang belum ada solusinya dan butuh bantuan dari [platform] fintech untuk collecting deposito [dari mana saja] karena di regulasi kan itu diperbolehkan.”

Bagi BPR dengan modal pas-pasan, untuk investasi membangun solusi seperti demikian tentu bukan barang mudah karena perlu investasi yang cukup besar. Dus, bila masing-masing BPR buat solusi serupa tentunya jadi tidak efisien. Alhasil, Komunal bergerak untuk membuat DepositoBPR. Jadi seperti marketplace yang berisi BPR-BPR untuk para calon deposan.

Total BPR yang telah bergabung di DepositoBPR sudah mencapai 110 BPR. Sekitar 90% berada di Pulau Jawa dan Bali. Perusahaan akan lebih gencar menggaet BPR di luar dua pulau utama tersebut agar semakin banyak BPR yang terbantu. Diklaim Komunal telah berhasil menyalurkan dana nasabah senilai Rp500 miliar kepada mitra-mitra BPR yang sudah bekerja sama.

“Lagi pula BPR itu perlu lebih kompetitif. Sebelum pandemi mereka sadar bahwa digitalisasi itu penting, tapi ya entar entar saja. Sampai akhirnya terjepit di pandemi, mereka harus berubah kalau tidak ya enggak bisa survive.”

Peluncuran aplikasi DepositoBPR / Komunal

Saat pertama kali pilot project, OJK meminta Komunal untuk masuk ke Jawa Timur selama empat bulan. Alasannya, karena di sana faktanya adalah daerah dengan jumlah BPR terbanyak di Indonesia. Hasilnya pun sesuai ekspektasi. Hingga delapan bulan sejak diluncurkan, jumlah nasabah DepositoBPR dari Jawa Timur tembus hingga 35% dari total keseluruhan. Sisanya, di Jakarta (10%), Bali (10%), dan tersebar di seluruh Indonesia.

Sekitar 70% nasabah ini berusia 35 tahun ke atas. Ini fakta yang menarik. Menurut analisa Hendry, hal ini lantaran nasabah di usia tersebut sudah lebih paham bagaimana mengatur risiko keuangan tidak bisa sepenuhnya di taruh di high risk. Tapi target pengguna DepositoBPR ini tidak hanya untuk ritel, tapi juga korporat yang ingin simpan idle money-nya.

“Beda dengan kalangan muda, yang cenderung lebih berani dalam berinvestasi. Padahal melakukan due diligence yang tepat itu adalah langkah awal dalam mengatur risiko. Kami akan sering mengadakan edukasi finansial terkait ini,” pungkas Hendry.

Meski memiliki ruang bisnis terbatas, digitalisasi Bank Perkreditan Rakyat berpotensi menjanjikan bagi startup / Pexels

Membaca Arah Startup Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat (Bagian I)

Rasanya cukup meragukan jika anak-anak muda zaman sekarang mengenal BPR alias Bank Perkreditan Rakyat. Mereka kini lebih mengenal istilah bank digital karena berseliweran di berbagai platform digital yang mereka gunakan sehari-hari. Rata-rata bank digital ini menawarkan kemudahan proses yang sepenuhnya ada di genggaman nasabah sebagai nilai jual.

Meskipun demikian, anggapan tersebut dibantah survei mini yang digelar DailySocial melalui platform media sosial. Sebanyak 90% responden menjawab dengan benar kepanjangan BPR. Sebagian besar juga mampu membedakan bank umum dengan BPR, baik dari cakupan operasi maupun kegiatan usaha. Sebanyak 61% responden tahu bahwa BPR hanya boleh beroperasi di satu provinsi.

Berikutnya sebanyak 66% responden mampu menjawab dengan benar kegiatan usaha BPR itu adalah menyalurkan kredit usaha dan menghimpun dana dalam bentuk simpanan. Terakhir, sebanyak 68% responden mampu menjawab perbedaan bank umum dan BPR, yakni tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing atau melayani jasa cek/giro dan asuransi.

Survei ini tentu saja tidak mewakili pendapat mayoritas generasi muda di Indonesia, hany sebuah perspektif yang diikuti 39 responden, sebagian besar berusia 25-35 tahun (66%) dan sisanya berusia di bawah 25 tahun (31%).

Eksistensi BPR diatur dalam Undang-Undang (UU) Perbankan yakni UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. UU tersebut menyebutkan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan tidak jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Hanya saja, hiruk pikuk digitalisasi yang terjadi belakangan, justru tidak bisa dirasakan oleh industri BPR. Hanya segelintir BPR, yang memiliki aset di atas rata-rata, yang mampu memanfaatkan teknologi digital dalam proses bisnisnya. Dalam pantauan DailySocial, setidaknya hanya 64 BPR se-Indonesia (lihat infografis) yang merilis aplikasi. Fiturnya baru sekadar untuk permudah pekerjaan account officer di lapangan atau nasabah untuk melakukan pembayaran tagihan PPOB (Payment Point Online Banking).

Meski demikian, kemampuan tersebut nyatanya belum mampu menarik nasabah generasi muda untuk bergabung. Agar dapat bertahan di era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit  membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing. Perlawanan terjadi, mulai dari bank umum yang punya kekuatan lebih besar ketimbang BPR, LKM (Lembaga Keuangan Mikro), koperasi, agen laku pandai, hingga pesaing baru namanya fintech lending. Belum lagi, penurunan suku bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) menjadi 6% tentu bertabrakan dengan bisnis BPR.

Kendati persaingan bisnis sangat ketat, bank-bank pedesaan ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda. Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Mengatasi kelemahannya, sekaligus mengandalkan kelebihannya, akan membuat daya tarik BPR makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat makin besar.

Tren startup akuisisi BPR

Belakangan ini ada fenomena menarik, yakni ketertarikan startup fintech untuk mengakuisisi BPR. Dari pantauan DailySocial, setelah ALAMI Group dengan BPRS Cempaka Al Amin yang rebranding jadi Hijra Bank, berikutnya Xendit  mengambil saham di BPR Arthakelola Cahayatama dan kini dikenal sebagai BPR Xen. Diikuti petinggi Fazz Financial Group yang mengambil kepemilikan saham di BPR Sentral Mandiri dan akuisisi penuh BPR Prima Dadi Arta oleh Komunal, sebuah startup peer to peer lending. Seluruh aksi korporasi ini tidak disebutkan nominal transaksinya kepada publik.

Memang jumlahnya ini baru sedikit, namun tren ini selaras ketika para pemain teknologi mulai mencari peluang bisnis baru di bidang pembiayaan, yang memiliki margin terempuk di dunia perbankan. Bila dijabarkan, hampir semua bank umum beraset mini telah bersiap diakuisisi para perusahaan teknologi. Bank umum dan BPR saat ini sama-sama dikejar waktu oleh OJK untuk memenuhi modal minimum.

Aturan permodalan untuk BPR tertuang di POJK No. 5 tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum. Menurut aturan ini, BPR wajib memenuhi modal inti minimum yang ditetapkan sebesar Rp3 miliar pada 2020 dan Rp6 miliar paling lambat 2024 mendatang. Di tengah kehimpitan tersebut, muncul perusahan teknologi dengan kapital besar untuk menggarap BPR.

Menurut data Biro Riset Infobank (birl), pada 2020 masih ada sekitar 700 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal Rp6 miliar. Nah, dengan asumsi yang sama, dalam hal ini ROE per tahun 20%, berarti pada akhir 2024 masih ada sekitar 50% BPR yang tak sanggup tumbuh secara organik. Jika pemilik tidak menambah modal, pilihannya adalah merger, dijual, atau turun takhta menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). Diperkirakan akan ada 300 sampai 400 BPR yang bakal turun kelas menjadi LKM.

“Melihat kebutuhan akan adaptasi teknologi dan keterbatasan modal dan layanan, BPR menjadi menarik bagi startup fintech. Mereka bisa mengembangkan layanan ke perbankan dengan layanan digital, namun modalnya relatif kecil dibandingkan akuisisi perbankan umum atau membuat bank digital. Jadi bagi startup fintech diuntungkan dengan modal pengembangan yang relatif kecil,” ujar Ekonom Indef Nailul Huda.

Bagi startup, memiliki bisnis perbankan artinya pangsa pasar mereka akan lebih luas, karena ada layanan di BPR yang tidak mereka miliki. Startup bisa lebih inovatif mengembangkan produk, tak hanya sekadar simpanan dan penyaluran kredit, tapi juga mengintegrasikan layanan startup ke BPR.

“Misalnya untuk Xendit, bisa memperluas layanan payment gateway-nya melalui BPR. Atau masuk ke lending dengan skema p2p lending juga bisa dengan berbagai persyaratan, seperti radius layanan BPR. Masih sangat dinamis kerja sama antara BPR dengan fintech ini.”

Pernyataan Nailul ada benarnya. Pasalnya, setelah dikabarkan mengakuisisi BPR, kini Xendit melanjutkan langkahnya dengan mengakuisisi saham Bank Sahabat Sampoerna, untuk memuluskan langkahnya di bank digital. Aplikasi ini sendiri masih diuji coba secara internal dan sudah membuka daftar tunggu. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan kirim dan menerima dana. Penawaran yang rata-rata ditawarkan oleh bank digital kekinian.

Belum banyak informasi yang bisa digali dari Xendit terkait aksinya tersebut. Namun, menurut pandangan Huda, langkah ini dilihat sebagai cara Xendit membagi segmentasi pasarnya. Kekurangan di BPR bisa dikembangkan atau diimplementasikan di Bank Sahabat Sampoerna. Secara geografis ruang lingkup BPR ini terbatas, jadi Xendit pasti perlu sesuatu yang lebih besar mengingat mereka juga sudah memiliki valuasi unicorn.

“Ya bisa dikatakan juga sebagai lab atau batu loncatan juga. Soalnya layanan perbankan di BPR dan bank umum kan beda ya, jadi saya rasa lebih kepada pengembangan layanan dengan jangkauan yang lebih luas secara demografis dan layanan.”

Mengacu ke data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat. Co-Founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan berkaitan dengan Xendit karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

Mereka mengaku masih dalam tahap eksplorasi bagaimana kemitraan tersebut dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Sumber: Pixabay

Secara terpisah, hasil wawancara yang dimuat Convectus Law pada November 2021 bersama Mikiko Steven, Head of Consumer Solutions Xendit, mungkin bisa memberikan gambaran arah Xendit ke depannya dalam memperluas solusinya di gerbang pembayaran di kancah perbankan dengan meningkatkan kapabilitasnya di Open API (Application Programming Interface).

Dia menjelaskan bahwa bank sentral sejauh ini telah berjuang menuju ruang perbankan digital yang lebih ramping, sembari memperkuat peran fintech dalam mendukung transaksi digital. Menurutnya, saat ini Bank Indonesia telah mengelompokkan semua penyedia layanan pembayaran ke dalam tiga kategori, mengurangi jumlah lisensi yang sebelumnya harus dimiliki oleh operator. Ketiga kategori tersebut adalah kategori izin satu, kategori izin dua, dan kategori izin tiga.

Aturan lebih detail ini tertuang dalam PBI Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Inti dari regulasi termutakhir ini adalah membuat PJP tidak lagi perlu ribet-ribet urus banyak perizinan. Dalam pengurusan izinnya dibagi menjadi tiga kategori izin, yang setiap izinnya memiliki perbedaan ketentuan modal disetor.

“Misalnya, Xendit berada dalam kategori kedua, yang memungkinkan kami menyediakan produk yang diklasifikasikan sebagai layanan informasi akun (account information services/AInS) dan layanan perolehan dan inisiasi pembayaran (payments acquiring and initiation services/PIAS). Sebelumnya, masing-masing produk ini membutuhkan aplikasi yang berhasil sebelum penyedia layanan pembayaran dapat mulai menyediakannya,” terang Mikiko.

Selain itu, BI juga mengumumkan semua bank harus mengadopsi API universal untuk pembayaran pada 2025 yang ia nilai akan menjadi game changer. “Ketika Xendit pertama kali ingin menawarkan layanan keuangan dasar pada tahun 2017, yaitu membantu pedagang menerima pembayaran digital. Kami harus mendekati banyak bank yang berbeda. Ini berarti kami harus menyatukan semua API perbankan mereka yang berbeda, yang memakan waktu dan mahal.”

Mendorong adopsi Open API perbankan harus memastikan bahwa produk perbankan digital dapat diluncurkan ke pasar lebih cepat dan ke khalayak yang lebih luas. Menurutnya, perbankan digital menghilangkan hambatan logistik bagi mereka yang berada di luar daerah perkotaan dan mendemokratisasikan proses perbankan.

Sementara itu, saham BPR Sentral Mandiri kini dikuasai dua bersaudara Hendra Kwik (CEO Fazz Financial Group) dan Hendoko Kwik (Co-founder dan CEO Modal Rakyat). Keduanya tercatat membeli saham dari pemilik sebelumnya dan menguasai saham dengan komposisi: Hendra (79%), Hendoko (3,5%), dan Ong Tek Tjan (17,5%). Ong adalah eks direksi Bank Sahabat Sampoerna yang kini menjadi Founder startup e-grocery Titipku.

Belum terlihat ke mana arah BPR Sentral Mandiri di bawah pemegang saham barunya. Kabar terakhir UpBanx, platform fintech untuk kreator, bakal menggunakan lisensi perbankan untuk kegiatan operasionalnya. Belum ada pembaruan informasi lebih lanjut terkait ini. Manajemen UpBanx menolak untuk menjawab pertanyaan DailySocial. UpBanx sendiri terafiliasi dengan Fazz pasca memperoleh pendanaan pra-awal senilai $5,2 juta yang turut diikuti  Hendra dan Hendoko.

Cerita digitalisasi Hijra Bank

Bukti konkret sejauh ini yang bisa kita kulik adalah Hijra Bank yang berhasil bertransformasi digital. Co-founder dan CEO ALAMI Group Dima Djani bersedia menceritakan pengalamannya tersebut dalam wawancara bersama DailySocial. Satu poin utama yang ia tekankan adalah bagaimana implementasi teknologi dapat menjadi DNA utama di Hijra Bank. Proses transisi tersebut dilakukan dengan menempatkan talenta ALAMI di dalam tubuh bank.

“Banyak bank yang menggunakan teknologi tapi enggak paham. Maka dari itu, kita perbarui SDM-nya dengan menempatkan orang-orang ALAMI untuk transfer ilmu. Saat kami akuisisi, BPRS Cempaka Al Amin ini sudah ada situs dan teknologi sederhana, lalu kami perbarui dari sisi tech stack, tampilan mobile banking-nya,” papar Dima.

Jajaran direksi ALAMI / ALAMI

Perekrutan talenta teknologi menjadi langkah berikutnya untuk mendukung Hijra Bank. Menariknya, perusahaan melakukan standarisasi proses onboarding dan pelatihan juga sudah disamakan dengan apa yang selama ini sudah dilakukan oleh tim teknologi ALAMI. “Kita investasi talenta terbaik. Tidak hanya untuk teknologinya saja, tapi juga staf lain agar bisa mumpuni. Fokus ke fondasi ini akan permudah langkah kami untuk pengembangan berikutnya.”

Penyegaran identitas dan memindahkan kantor ke lokasi yang lebih strategis dari Ulujami ke Pondok Indah turut mendukung upaya perusahaan dalam membentuk DNA baru. Ia menyadari mengubah mindset digitalisasi itu bukan barang mudah. Dengan pemilik sebelumnya, fondasi ini belum terbentuk sama sekali karena mereka belum memiliki arah ke sana. Hanya seperti BPR pada umumnya yang melayani kebutuhan lokal.

“Apalagi ada peraturan kenaikan modal, ditambah pandemi, pemiliknya kesulitan mencari pendanaan, juga tidak melakukan investasi digital dan SDM yang ada tidak mumpuni. Cara kerja dan kultur bank yang kita akuisisi tersebut lumayan lama di-run secara tradisional. Ini menjadi catatan kami bagaimana menyatukan kultur dan mindset digital agar bisa lari kencang.”

Poin penting lainnya yang turut menjadi perhatian adalah memperkenalkan Hijra Bank ke publik. Pihaknya pun terbantu dengan branding ALAMI sebagai platform p2p lending syariah yang mampu meningkatkan antusiasme publik terhadap kehadiran BPRS digital. Persona BPR sendiri sejauh ini sudah dikenal sebagai bank pasar yang sangat lokal.

Apabila persona tersebut ditambahkan dengan unsur digital, banyak pihak yang menerka-nerka apakah bentuknya bakal mirip dengan bank umum atau tidak. Berkat arahan regulator, Dima mengaku cukup terbantu dalam eksekusinya karena arahannya sudah tepat dan mampu mendongkrak BPR jadi institusi yang bisa naik kelas dan bisa bersaing. Ditambah lagi pengawasannya yang kini principal-based supervision, jadinya tidak kaku lagi.

“Dari sisi regulasi sudah cukup terbantu. Tapi memang kendalanya lebih ke SDM. Manpower untuk tech developer itu susah mencarinya, belum lagi persaingannya yang cukup ketat.”

Mengikuti regulasi yang ada, bisnis utama Hijra Bank akan menerima simpanan dana dan menyalurkan pembiayaan ke UMKM, termasuk terhubung dengan ekosistem ALAMI Group. Agar punya daya saing lebih baik, Hijra Bank terbuka dengan kemitraan dengan perusahaan teknologi lainnya agar bisa memberikan produk keuangan tambahan, seperti top up saldo e-wallet, PPOB, penerbitan kartu, termasuk fitur seputar pengelolaan keuangan.

Pain point masyarakat terkait keuangan syariah itu sendiri masih banyak yang belum di-solve. Kami terus menerus melakukan evaluasi seperti apa customer demand, apa dan bagaimana impact-nya.”

Konsumer masih perlu menunggu sampai Hijra Bank ini resmi dirilis. Kata Dima, pihaknya masih melakukan product-market fit dan terus melakukan kajian sampai akhirnya yakin untuk dirilis. “Harapannya bisa di second half this year.”

Cerita Komunal

Hendry Lieviant, Co-Founder dan CEO Komunal, mengaku langkah akuisisi BPR Prima Dadi Arta adalah bagian dari keinginan besar perusahaan untuk membuat operasional sehari-hari industri BPR dapat lebih efisien. Komunal, dengan posisinya sebagai platform p2p lending, seringkali kesulitan mendapat umpan balik dari OJK dan industri BPR tiap kali ingin menjelaskan suatu inovasi baru.

“Sebelum kita punya BPR, ketika mau memperkenalkan inovasi ke OJK itu [membutuhkan waktu lama]. Posisi kita bukan sebagai BPR, melainkan sebagai [platform] fintech. Banyak pihak yang harus kita yakinkan dan tidak bisa dipaksa. Namun ketika posisinya sudah menjadi BPR, kita bisa lebih mudah presentasi di depan OJK dan bisa sharing ke BPR lain juga,” katanya saat dihubungi DailySocial.

Menurut Bisnis.com, Komunal mengakuisisi 100% saham BPR Prima Dadi Arta atas nama direktur dan pendirinya, yakni Hendry Lieviant (34%), Rico Tedyono (33%), dan Kendrick Winoto (33%). Ketiganya mengambil alih kepemilikan saham BPR yang sebelumnya digenggam Peter Lumanpauw, Arthur Lumanpau, Elsye Susana, dan Fendy dengan total nominal saham Rp2,7 miliar.

Komunal bakal menjadikan BPR Prima Dadi Arta ini sebagai BPR percontohan sekaligus lab inovasi. Nantinya, apabila perusahaan merilis suatu inovasi, BPR inilah yang menjadi kendaraannya. Jika sukses, akan digulirkan ke industri BPR melalui ekosistemnya.

Co-Founder Komunal: Rico Tedyono, Hendry Lieviant, Kendrick Winoto / Komunal

Area inovasi digital yang dilakukan Komunal untuk BPR ini tidak ingin jauh-jauh dari DNA BPR sebagai spesialis di bisnis simpan pinjam dan kredit. Penambahan solusi digital diharapkan membuat BPR jadi tumbuh secara efisien, aman, dan mendorong masyarakat untuk menaruh dananya di bank jenis ini.

“Ini jadi cycle. Masyarakat mau simpan dana di BPR, BPR-nya jadi tumbuh lebih besar, ekonomi lokal pun akan semakin terbantu. Kami percaya di daerah itu semua harus jalan bareng-bareng. Fintech lending jalan, bank digital jalan. Dengan demikian inklusi keuangan akan berjalan jauh lebih cepat.”

Salah satu implementasi yang akan dilakukan lewat BPR Prima Dadi Arta adalah e-bilyet. Hendry menuturkan, penerbitan bilyet kini sudah tidak relevan dengan perkembangan di era digital. Bilyet itu merupakan dokumen fisik untuk membuktikan keabsahan deposito yang dimiliki seseorang itu adalah asli.

Dicontohkan, BPR di Bali harus mengirimkan bilyet fisik ke deposan yang berlokasi di Jakarta. Begitu pun sebaliknya saat deposan ingin menarik dananya. Akibatnya biaya logistik harus ditanggung konsumen. Pihaknya sedang mengajukan proses perizinan untuk e-bilyet di OJK.

“Banyak cara lain untuk memecahkan masalah itu. Tapi kan kegiatan tersebut sudah dijalankan oleh BPR yang sudah puluhan tahun beroperasi. Kita mau dobrak inovasi e-bilyet. Begitu sukses di BPR Prima Arta Dadi kita mau ajak yang lain.”

Langkah awal Komunal untuk masuk ke industri BPR ini adalah melalui produk DepositoBPR. Semangatnya adalah menghubungkan berbagai BPR dan nasabah di seluruh Indonesia yang ingin melakukan pembukaan DepositoBPR secara online. Produk ini dirintis melalui anak usaha Komunal (PT Komunal Finansial Indonesia), yakni PT. Komunal Sejahtera Indonesia, yang telah tercatat di OJK sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD).

BPR yang dapat meraup dana pihak ketiga lewat produk ini akan disortir terlebih dahulu oleh Komunal. Satu hal yang pasti, mereka harus terdaftar di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena setiap deposito yang ada di platform harus dijamin LPS hingga Rp2 miliar.

Berbagai akuisisi dan kolaborasi di atas membawa perubahan lanskap bisnis BPR di berbagai daerah sejalan dengan masuknya berbagai perusahaan teknologi. BPR akan semakin terpapar dengan teknologi dan inovasi dalam proses bisnisnya sehingga semakin dekat dengan nasabah dan dapat bersaing dengan bank umum.

Startup “Lending Aggregator” PinjemDoku Rilis Platform E-Loan Application

Startup fintech lending aggregator PinjemDoku merilis platform B2B e-loan aplication untuk mempermudah layanan kepada calon debitur. Untuk langkah awal, Bank Perkreditan Rakyat BPR Dana Berkah Lestari (BPR DBL) menjadi perusahaan pertama yang menggunakan platform tersebut.

Pemanfaatan aplikasi, diharapkan akan membantu BPR DPL memberikan pelayanan yang lebih kepada calon debitur, terutama dalam hal kecepatan proses persetujuan kredit. Juga, menekan ongkos pemasaran BPR jadi ebih efisien.

Jenis kredit yang disasar dalam PinjemDoku adalah kredit konsumer, misalnya KPR, KTA, dan KKB yang membutuhkan jaminan BPKB, sertifikat, surat tagihan, atau polis asuransi/anuitas.

BPR DBL saat ini beroperasi di wilayah Depok, Tangerang, Bogor, Bekasi dan Jakarta Selatan.

Adapun model bisnisnya, pemasar BPR DBL menggunakan aplikasi PinjemDoku untuk melakukan pengajuan pinjaman. Pengajuan secara real time akan diterima tim kredit support yang akan segera melakukan proses BI checking.

Calon debitur yang tidak masuk ke dalam daftar hitam perbankan dapat langsung dikunjungi oleh tim survey, menggunakan aplikasi untuk merekam data survei. Hasil survei akan segera terkirim ke kantor pusat untuk dilakukan analisa oleh analis kredit.

Dengan bantuan sistem scoring yang ada, maka analis kredit dapat segera memberikan rekomendasi kepada komite kredit terkait kelayakan calon debitur memperoleh kredit.

“BPR itu umumnya memiliki keterbatasan modal makanya kurang memiliki kapabilitas ketika ingin menggunakan teknologi digital. Dengan PinjemDoku, meski proses pengajuannya sudah digital, namun verifikasinya masih manual karena membutuhkan tanda tangan basah,” kata Chief Marketing Officer PinjemDoku Gembong Prakoso kepada DailySocial.

Platform e-loan application ini juga telah terintegrasi dengan sistem di asuransi jiwa dan umum untuk memulai proses persetujuan aplikasi. Dalam hal ini, perusahaan yang ditunjuk adalah Asuransi Reliance Life dan Asuransi Bintang.

Sistem akan secara otomatis melakukan kategori risiko kesehatan calon debitur. Apabila memiliki risiko kesehatan yang rendah, mereka akan disetujui oleh pihak asuransi. Jika komite kredit di BPR menyetujui pengajuan, maka sertifikat asuransi akan terbit.

Di sisi lain, jika sistem PinjemDoku mengategorikan calon debitur memiliki risiko kesehatan yang tinggi, maka sistem akan menerbitkan surat pengantar medis. Surat tersebut harus dibawa ke provider rumah sakit yang telah bekerja sama dengan asuransi.

“Dengan adanya sistem terintegrasi ini, BPR dapat menekan ongkos pemasaran hingga 30%. Mereka pun bisa bersaing secara sehat dengan perbankan lainnya.”

Gembong menerangkan pihaknya berkomitmen akan menambah BPR lainnya untuk bergabung sebagai mitra. Hal ini seiring visi perusahaan yang ingin mendigitalkan perekonomian rakyat.

“BPR DBL merupakan piloting untuk rencana PinjemDoku melakukan kerja sama strategis dengan seluruh BPR di seluruh Indonesia, sebagai langkah nyata misi kami yang ini mendigitalkan perekonomian rakyat,” pungkas Gembong.