Tak cuma industri teknologi, pasar kripto global ikutan ambruk tahun lalu—dan trennya masih berlanjut sampai sekarang. Tekanan makroekonomi global disebut sebagai salah satu faktor di balik merosotnya pasar kripto global, termasuk di Indonesia.
Kolapsnya kripto di Indonesia terlihat dari penurunan nilai transaksi di 2022 yang jeblok ke angka Rp306,4 triliun dari Rp859,4 triliun—pertumbuhan tertingginya sejak 2020 hingga saat ini. Data Bappebti mencatat nilai transaksi kripto pada Januari-Agustus 2023 turun 65% (YoY) menjadi Rp86,45 triliun.
Bagaimana platform pertukaran aset kripto Upbit Indonesia merefleksi situasi tersebut?
Kelola risiko, fokus di satu produk
Upbit adalah platform pertukaran aset kripto milik Dunamu, startup teknologi keuangan asal Korea Selatan yang berdiri pada 2012. Selain Korea Selatan dan Indonesia, Upbit beroperasi di Thailand dan Singapura. Dunamu juga mengoperasikan platform investasi Stockplus dan U-Stockplus.
Upbit masuk ke Indonesia pada 2018 dan telah terdaftar di Bappebti. Pihaknya masih menanti lisensi perdagangan aset kripto. Sama seperti negara operasi lainnya di Asia, Upbit baru menyediakan layanan spot market untuk aset kripto di Indonesia. Ada 177 aset yang diperdagangkan.
DailySocial.id berbincang dengan VP of Operations Upbit Indonesia Resna Raniadi terkait krisis kripto yang masih berlanjut terlepas adanya tren kenaikan jumlah investor. Ia menyebut situasi ini justru menjadi momentum ‘seleksi alam’ untuk mengeliminasi pengguna-pengguna yang berkualitas.
Alih-alih fokus pada jumlah, menurutnya Upbit kini mengutamakan kualitas pengguna yang akan tercermin dari peningkatan volume transaksi. “Pengguna lama kami sudah lebih aware dan paham mengenai cara kerja kripto, bagaimana fluktuasi pasar. Industri [kripto] memang turun, tetapi akan meningkat kembali dalam jangka panjang,” tutur Resna.
Upbit mengoreksi target bisnis mengingat situasi pasar sudah jauh berbeda dengan lima tahun lalu. Resna membandingkan, jika target 100 ribu pengguna bisa diperoleh di 2018, angka ini tidak mungkin tercapai sekarang. Menurutnya, mengejar target pengguna di kisaran 20.000-50.000 lebih masuk akal.
Resna mengungkap, sejak beroperasi hingga sekarang, layanan Upbit disambut cukup baik oleh pasar Indonesia. Pihaknya mengaku mengantongi pertumbuhan signifikan pada saat pandemi di 2020. Kendati begitu, belum ada rencana untuk menambah layanan/produk baru untuk memperluas skala bisnisnya.
“Platform lain memang punya ragam fitur, seperti staking atau NFT. Namun, kami memilih untuk fokus di spot market. Bagi kami, bermain di produk baru akan menambah risiko—meski itu terukur. Jadi, kalau ada sesuatu terjadi, kami tidak ikut terseret dari risiko itu,” ungkap Resna.
“Di Upbit, kami memiliki proses KYC yang ketat dari pusat. Ini yang menjadi salah satu diferensiasi kami di pasar. Sejauh ini, belum ada rencana untuk menambah produk baru. Namun, kami menawarkan beberapa fitur, misalnya trading fee 0%, program referral code, dan trading competition untuk pengguna.”
Di Indonesia, sejumlah platform sejenis mulai menambahkan fitur staking alias fitur yang memungkinkan investor untuk menyimpan asetnya, layaknya deposito, dan mengucinya pada periode waktu tertentu. Fitur ini sudah ada di platform, seperti Pintu dan Reku.
Kepercayaan publik masih sulit
Terlepas dengan penurunan pasar kripto di Tanah Air, Resna meyakini appetite masyarakat untuk berinvestasi masih besar. Apalagi generasi muda kini semakin melek berinvestasi dan punya keinginan untuk mencoba.
“Justru public trust menjadi tantangan yang sulit bagi kami selama lima tahun terakhir. Apalagi, beberapa tahun belakangan banyak kasus di industri kripto, seperti robo trading. Ini menjatuhkan kepercayaan yang telah kami bangun dalam tiga tahun ini,” ujarnya.
Secara umum ia mengaku optimistis masih ada peluang pertumbuhan bagi proyek blockchain lain di masa depan, misalnya DeFi atau NFT. Produk non-fungible token (NFT) memang dilaporkan kini tidak ada lagi harganya. Namun, ia menilai NFT dan proyek berbasis blockchain lainnya dapat bertahan selama dapat diolah sesuai kebutuhan yang relevan dengan pengguna.
Saat ini, pihaknya tengah aktif berkomunikasi dengan regulator untuk mendorong agar ekosistem dan legalitas industri kripto dapat tetap terjaga. Apalagi, pengawasan perdagangan kripto kini sedang dalam proses transisi dari Bappebti ke OJK. Targetnya dapat rampung pada 2025.