Beberapa minggu sebelum Overwatch dirilis, perpaduan gameplay MOBA dan shooter sebenarnya sudah lebih dulu diterapkan oleh game berjudul Battleborn. Kedua game itu memang menawarkan premis yang mirip – first-person shooter dengan karakter yang dibekali beragam skill unik ala game MOBA – akan tetapi yang terbukti sukses rupanya cuma Overwatch.
Sungguh malang nasib Battleborn. Hanya berselang setahun setelah diluncurkan di bulan Mei 2016, game bikinan Gearbox Software tersebut harus ‘turun kasta’ menjadi game free-to-play demi menarik minat lebih banyak pemain. Kini Battleborn malah hanya tinggal menunggu waktu; 2K Games selaku publisher-nya baru saja mengumumkan rencana untuk menutup server Battleborn pada Januari 2021.
Dampak langsung dari pengumuman tersebut adalah hilangnya Battleborn dari berbagai platform distribusi online. Selanjutnya, mulai 24 Februari 2020, para pemain Battleborn tak lagi bisa membeli mata uang virtual yang digunakan di dalam game. Lalu saat masa pensiunnya tiba di tahun 2021, Battleborn benar-benar tidak akan bisa dimainkan lagi oleh siapapun.
Saya pribadi merupakan pemain Battleborn sekaligus Overwatch. Sebagai penggemar berat seri Borderlands, yang notabene merupakan franchise shooter terlaris Gearbox, saya dengan mudahnya terpikat oleh Battleborn, apalagi saya juga sudah menghabiskan ribuan jam bermain DotA dan Dota 2.
Namun yang membuat Battleborn gagal menurut saya justru adalah elemen MOBA-nya yang terlalu kental. Di Battleborn, hero yang Anda mainkan akan bertempur bersama pasukan-pasukan kroco yang kerap disebut dengan istilah minion atau creep di kalangan pemain MOBA. Overwatch tidak demikian, yang saling membunuh hanyalah para hero-nya saja.
Kehadiran minion menjadikan Battleborn lebih menyerupai MOBA dibanding Overwatch. Namun di sisi lain hal itu juga berpengaruh langsung terhadap tempo dan durasi permainannya; satu match di Battleborn berlangsung jauh lebih lama daripada di Overwatch, dan ini menurut saya kurang cocok untuk mayoritas konsumen, terutama mereka yang mengekspektasikan tempo permainan cepat ala game shooter pada umumnya.
Lebih lanjut, elemen MOBA yang kental pada Battleborn juga menjadikan learning curve-nya cukup tinggi. Para pemain baru pasti akan merasa lebih kesulitan menguasai mekanik-mekanik di Battleborn ketimbang Overwatch. Sekali lagi, gameplay yang ditawarkan Battleborn sebenarnya sangat menarik, tapi menarik hanya untuk sebagian kecil konsumen saja.
Sangat disayangkan memang melihat game potensial seperti ini harus dilupakan begitu saja. Sejauh ingatan saya, durasi total saya memainkan Battleborn hanya berkisar puluhan jam, sedangkan di Overwatch saya sudah online selama ratusan jam. Durasi tiap match di Overwatch yang tergolong singkat membuat saya masih bisa sesekali memainkannya meski saya harus menjaga dua orang anak sekaligus.
Seandainya Overwatch tidak eksis, nasib Battleborn mungkin akan lebih beruntung daripada sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian. Kedua game ini dirilis hampir bersamaan, dan yang bisa bertahan rupanya adalah yang lebih ramah terhadap pemain baru, bukan yang kelewat kompleks yang hanya memikat kalangan kecil saja.
Via: Gamasutra.