Tag Archives: Benedikta Atika

Generasi baru angle investor Indonesia siap dengan risiko berinvestasi di startup / Depositphotos

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.

–
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perlahan tapi pasti, investasi berdampak ("impact investment") kian tumbuh di Indonesia

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.