2023 seolah menjadi tahun terjal yang dihadapi industri e-commerce Indonesia. Berbeda dengan sebelumnya, saat pelaku e-commerce masih mengeksplorasi layanan, fitur, dan model bisnis — kini mereka fokus untuk mencapai keuntungan.
Pada tahun ini, sektor e-commerce diestimasi menyumbang Gross Merchandise Value (GMV) sebesar $62 miliar berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2023. Secara total, GMV ekonomi digital Indonesia diproyeksikan tembus $110 miliar pada 2025 dengan porsi 75% masih disetor oleh e-commerce. Jelas menandakan sektor ini masih menjadi motor penggerak ekonomi digital di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menilai pelaku industri kini memantapkan fokus layanan/produk dan model bisnis yang tepat. Dalam skala makro, ruang pertumbuhannya juga masih sangat besar mengingat penetrasi e-commerce diperkirakan baru sekitar 20%.
Peningkatan penetrasi e-commerce sejalan dengan kenaikan penetrasi internet di Indonesia yang diproyeksi mencapai 70%-80%. Bima menyebut masih banyak wilayah di luar tier 1 yang belum terjangkau atau belum pernah berbelanja online. Laporan e-Conomy SEA 2021 sempat mencatat ada sekitar 21 juga pengguna internet baru saat pandemi, sebanyak 72% berasal dari luar kota besar.
Dinamika di 2023
Dalam perkembangannya selama lebih dari 10 tahun, industri e-commerce telah mengeksplorasi berbagai pendekatan, mulai dari B2C, B2B, atau C2C. Selama periode itu, ada hampir 10 platform e-commerce gulung tikar karena tak mampu bersaing dalam jangka panjang, sebut saja Blanja.com, Elevenia, dan JD.id.
Kini industri e-commerce menyisakan lima pemain teratas antara lain Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, dan Bukalapak dengan fokus utama memperkuat bisnis inti dan mencapai keuntungan tahun ini. Berbagai upaya telah diambil untuk mendorong efisiensi lewat restrukturisasi karyawan dan pengurangan bakar uang pada promo belanja dan subsidi ongkos kirim.
Sorotan kami di sepanjang 2023:
Grup GoTo memangkas hampir 2.000 karyawan selama dua tahun terakhir, dilanjutkan dengan spinoff aplikasi GoPay (unit keuangan) dan divestasi GoPlay dan GoTix (unit bisnis hiburan).
Sejak tahun lalu, Shopee pivot strateginya untuk fokus mengejar profitabilitas dibandingkan pertumbuhan bisnis; juga telah merumahkan lebih dari 500 karyawan pada awal tahun ini.
Bukalapak melakukan PHK gelombang kedua pada akhir Juli 2023; lini bisnis Mitra masih jadi fokus utama, sedangkan di lini Marketplace, fokus pada produk yang punya take rate dan margin tinggi, yakni produk digital (pulsa dan game).
Blibli masih menggenjot ekspansi gerai omnichannel untuk mengakomodasi pesanan di berbagai kanal penjualan, termasuk penambahan 14 gerai consumer electronic dan gudang baru dengan dukungan AI untuk menghemat pengemasan barang.
Dalam pernyataan resminya, manajamen GoTo sempat mengungkap perubahan strateginya dengan fokus pada segmen budget consumer dan menekan insentif biaya pengiriman dengan memanfaatkan kapabilitas logistik sendiri. Strategi ini ditempuh untuk menjaga pangsa pasarnya, tetapi berdampak terhadap penurunan GTV e-commerce sekitar 9% (YoY) di Q3 2023.
Strategi efisiensi ini dirasa belum dapat merealisasikan keuntungan mengingat Blibli, Bukalapak, dan GoTo masih mencatatkan kerugian bersih dan EBITDA disesuaikan negatif, setidaknya hingga Q3 2023.
Platform
EBITDA yang disesuaikan
Blibli
-Rp817 miliar
Bukalapak
-Rp95 miliar
Tokopedia
-Rp974 miliar
Shopee (Asia)
-$306,2 juta
Sumber: Laporan keuangan Q3 2023
“Dulu industri masih mengeksplorasi model bisnis dan fitur, sekarang lebih mengarah ke marketplace. Pemain e-commerce terus fokus mengembangkan revenue channel yang pas untuk meningkatkan profitabilitasnya, harus fokus di channel apa. Saya melihat offline dan online akan berjalan beriringan, mereka harus memanfaatkan semua channel,” tutur Bima saat dihubungi DailySocial.id.
Lanskap e-commerce di 2024
Resminya kemitraan GoTo dan TikTok untuk menggabungkan bisnis e-commerce menjadi salah satu aksi korporasi yang tak terduga jelang penutupan tahun ini. Kemitraan strategis ini adalah buntut pelarangan TikTok untuk memfasilitasi transaksi jual-beli di platform media sosialnya.
Bagaimana kongsi Tokopedia-TikTok dapat mengubah lanskap dan persaingan industri e-commerce di tahun 2024?
Sejak beberapa tahun terakhir, Shopee terus memimpin transaksi yang ikut terdongkrak berkat fitur live shopping. Berdasarkan laporan Momentum Works di 2022, Shopee mendominasi perolehan GMV sebesar $47,9 miliar di Asia Tenggara, diikuti Lazada ($20,1 miliar), Tokopedia ($18,4 miliar), Bukalapak ($5,3 miliar), TikTok Shop ($4,4 miliar), dan Blibli ($2,2 miliar).
TikTok diketahui berupaya menguasai dominasinya di Asia Tenggara melalui layanan e-commerce, Indonesia menjadi pasar utamanya. Compas Market Insight mencatat TikTok Shop membukukan penjualan produk FMCG hingga Rp1,33 triliun pada periode 1 September 2023-1 Oktober 2023 (sebelum ditutup). TikTok juga punya basis pengguna besar di Indonesia, yakni sekitar 125 juta pengguna.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti dua poin besar dari kemitraan strategis GoTo dan TikTok. Pertama, langkah strategis ini untuk mengalahkan Shopee yang saat ini menduduki pangsa teratas e-commerce di Indonesia. Kedua, upaya untuk mengembalikan pengalaman bermedia sosial sekaligus berbelanja online.
“[Namun], dampaknya bagi industri, [kemitraan] ini akan menciptakan [gap] yang jauh dengan kompetitor lainnya, seperti Lazada, Blibli, apalagi Bukalapak. Persaingan akan mengerucut antara Shopee dan Tokopedia dengan ekosistem milik masing-masing. Siapa yang punya ekosistem paling komplit dan disukai pengguna, mereka akan memenangkan persaingan,” jelasnya dihubungi DailySocial.id.
Masuknya TikTok ke e-commerce lokal secara langsung mengindikasikan rivalitas kuat dari grup raksasa internet global, yakni ByteDance (Tiongkok) dan Sea Group (Singapura). Sementara, dari kacamata GoTo, kolaborasinya dengan TikTok dapat mendorong bisnis Tokopedia untuk menyeimbangkan segmen traditional e-commerce dan transaksi yang bersifat impulsif.
Dari sudut pandang konsumen, pengalaman tersebut dapat meningkatkan jumlah dan loyalitas pengguna bagi platform masing-masing. Tinggal bagaimana Tokopedia dan TikTok saling mensinergikan fitur dan layanannya dalam satu aplikasi. “Selama ini, Tokopedia punya ekosistem yang cukup lengkap dan besar, dari pembayaran hingga logistik. Namun, salah satu kelemahan di Tokopedia adalah fitur live shopping-nya masih kalah dari Shopee,” tambah Huda.
Fenomena live shopping marak diminati di Indonesia karena didorong faktor viralitas dan harga yang murah. Tren ini pertama kali dipopulerkan oleh Alibaba pada 2016 yang berhasil menarik lebih dari 500 juta penonton. McKinsey, dalam laporannya, mencatat GMV dari live shopping oleh brand dan influencer pada periode 2017-2020 tumbuh hingga 280% p.a.
Terlepas itu semua, Huda menilai bahwa pemerintah perlu melakukan penyesuaian aturan yang sudah ada, merujuk pada Permendag No. 31 Tahun 2023 yang baru diterbitkan beberapa bulan lalu. Ia mengkhawatirkan kesepakatan dua pemain dominan ini bisa memicu gap yang tebal antar platform Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) lainnya.
Ia berujar, penyesuaian ini diperlukan untuk menekan potensi predatory pricing sehingga dapat melindungi UMKM atau pedagang offline. Aturan terkait kategori produk impor dan minimum harga telah dimuat dalam Permendag yang baru, tetapi perlu penyesuaian pada pengetatan impor. Misalnya, penambahan tagging produk di seluruh platform PMSE, tidak hanya Tokopedia, TikTok, atau Shopee.
“Inovasi yang semakin cepat akan menciptakan model bisnis yang selalu diperbarui dan menyentuh langsung ke masyarakat. Regulasi yang terlalu tebal akan membuat regulator kebingungan menempatkan posisi platform. Jangan sampai posisi Tiktok dan Tokopedia bermasalah ke depannya. Perlu ada penyesuaian regulasi, terutama terkait jenis perizinan.”
The Indonesian E-commerce Association (idEA) appointed Bima Laga as the new Chairman for the 2020-2022 management period, replacing the last one, Ignatius Untung. Bima currently serves as AVP of Public Policy and Government Relations at Bukalapak.
While at the association, he has joined the two previous management. First, as the Head of Tax, Cybersecurity, Infrastructure. Second, as Chair of Indonesia’s Digital Economy. Armed with his previous experiences, he wants to strengthen the digital economy and keep it as the focus of idEA’s work during his realm.
In a virtual interview with a limited number of media last week (4/9), Bima said that he wanted to achieve the mission to maintain the existence of idEA as an association in the digital economy, as a partner of the government and regions in the planning of regulations in the creation of Indonesian business climate.
Next, expand the opportunities for micro, small, and medium businesses to take advantage of the digital platform by facilitating onboarding activities and digital sales training. Another mission is to make idEA an independent and open association as a space for all lines of digital economy business.
“In the short term, we want to help make it easier for MSMEs onboarding to digital platforms, that’s one of them. For the long term, we want the marketplace to compete at the international level, therefore, exports will be much easier,” he explained.
In order to harmonize these missions, Bima arranged the management of idEA under 10 working groups (pokja). Each will represent issues and solutions to problems in the digital economy. The 10 working groups are a.l. trade and export sector, data and cybersecurity sector, consumer protection sector, MSME empowerment sector and creative economy, research, and development sector.
Next, the field of taxation and financial technology, the field of logistics and transportation, the field of manpower and human resources, the field of local government relations, and the field of public communication.
Basically the working group was much more detailed and specific than the previous management under Untung. At that time, Untung divided it into four, government relations, external relations, internal relations, and business development & supporting services.
Moreover, the preparation of this work program on these two management offices is a form of the widening focus of idEA’s work which is no longer just an association for e-commerce players, but for the digital economy. The membership contains not only by e-commerce players but also by verticals in other technology industries.
Bima will continue several programs that have been implemented during his previous management to support the plans he has made. One of them is the idEA Works job fair program to attract more digital talents in vocational schools who are ready to work and in accordance with industry needs.
In this regard, he continued, the association is in discussion with the edtech players to collaborate in order to support the mission of preparing new talents. Especially during this pandemic, the entire process of absorbing new workers has shifted to a digital platform. Therefore, talents must be prepared from the start.
“During the pandemic, according to BPS, the still-growing industries are pharmaceuticals and technology. The rest is minus, it means that the technology industry is promising and there is momentum for a rebound. ”
In terms of strengthening regulations such as PP Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems (PP PMSE), Bima said that his team would continue to oversee its implementation and participate in delivering more effective input. Cyber issues and consumer data protection have recently become sensitive issues and need to be addressed immediately.
During this pandemic, associations played a role in encouraging MSMEs to go digital. You do this by actively holding online workshops that provide beneficial education and mobilizing the National Proud Movement of Indonesia (Gernas BBI). On this occasion, during the May-August 2020 period, it was said that there were 1.6 million new entrepreneurs who joined.
“This is a program of economic recovery by shopping. If people buy local products, then we can move the economy, regardless of what products they buy. The hope is that this will become a sustainable activity and become a roadmap for the country’s economic recovery in the future,” Bima concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menunjuk Bima Laga sebagai Ketua Umum baru untuk kepengurusan periode 2020-2022, menggantikan Ignatius Untung yang telah berakhir. Bima saat ini menjabat sebagai AVP of Public Policy and Government Relation di Bukalapak.
Sementara di asosiasi, dia sudah bergabung dalam dua kepengurusan sebelumnya. Pertama, sebagai Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur. Kedua, sebagai Ketua Bidang Ekonomi Digital Indonesia. Berbekal dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ia ingin menuangkan penguatan ekonomi digital sebagai fokus kerja idEA selama masa kepemimpinannya.
Dalam wawancara terbatas secara virtual bersama sejumlah media pada pekan lalu (4/9), Bima mengatakan misi yang ingin dicapai adalah mempertahankan eksistensi idEA sebagai asosiasi di bidang ekonomi digital sebagai mitra pemerintah dan daerah dalam perumusan regulasi dan pembentukan iklim usaha di Indonesia.
Lalu, memperluas peluang usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memanfaatkan platform digital dengan memfasilitasi kegiatan onboarding dan pelatihan penjualan secara digital. Misi lainnya adalah menjadikan idEA sebagai asosiasi yang independen dan terbuka sebagai bernaungnya semua lini bisnis ekonomi digital.
“Untuk jangka pendeknya, kami ingin bantu permudah UMKM onboarding ke platform digital, itu salah satunya. Kalau untuk jangka panjang, kami ingin marketplace bisa bersaing di tingkat internasional, sehingga ekspor jauh lebih mudah,” terangnya.
Untuk menyelaraskan misi-misinya tersebut, Bima menyusun kepengurusan idEA di bawah 10 kelompok kerja (pokja). Masing-masingnya akan mewakili isu-isu dan pemecahan masalahnya di dalam ekonomi digital. 10 pokja tersebut a.l. bidang perdagangan dan ekspor, bidang data dan keamanan siber, bidang perlindungan konsumen, bidang pemberdayaan UMKM dan ekonomi kreatif, bidang riset dan pengembangan.
Berikutnya, bidang perpajakan dan teknologi finansial, bidang logistik dan perhubungan, bidang ketenagakerjaan dan SDM, bidang hubungan pemerintah daerah, dan bidang komunikasi publik.
Pada dasarnya pokja tersebut jauh lebih rinci dan spesifik dari kepengurusan sebelumnya di bawah Untung. Pada waktu itu, Untung membaginya jadi empat, yakni government relation, external relation, internal relation, dan business development & supporting service.
Terlebih itu, penyusunan program kerja ini pada dua kepengurusan ini adalah bentuk dari meluasnya fokus kerja idEA yang tak lagi sekadar asosiasi untuk pemain e-commerce saja, melainkan untuk ekonomi digital. Pasalnya dalam keanggotaannya juga tidak hanya diisi oleh pemain e-commerce tapi juga vertikal di industri teknologi lainnya.
Bima akan melanjutkan beberapa program yang sudah dijalankan semasa kepengurusan sebelumnya untuk mendukung rencana-rencana yang sudah ia buat. Salah satunya adalah program job fair idEA Works untuk menjaring lebih banyak talenta digital di SMK yang siap kerja dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Berkaitan dengan itu, sambungnya, asosiasi sedang berdiskusi dengan pemain edtech untuk berkolaborasi dalam rangka mendukung misi persiapan talenta baru. Terlebih dalam masa pandemi ini, seluruh proses penyerapan tenaga kerja baru mengalami pergeseran ke platform digital. Oleh karenanya, talenta harus dipersiapkan sedari awal.
“Selama masa pandemi, menurut BPS, industri yang masih tumbuh adalah farmasi dan teknologi. Selebihnya minus, artinya industri teknologi ini menjanjikan dan ada momentum untuk rebound.”
Dari segi penguatan regulasi seperti PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), Bima menyebutkan pihaknya akan terus mengawal implementasinya dan turut berpartisipasi dalam menyampaikan masukan yang lebih efektif. Isu siber dan perlindungan data konsumen belakangan ini menjadi isu yang sensitif dan perlu penanganan segera.
Selama pandemi ini, asosiasi turut berperan dalam mendorong UMKM untuk go digital. Caranya dengan aktif menggelar workshop online yang memberi edukasi manfaat dan menggerakkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Dalam kesempatan tersebut, selama periode Mei-Agustus 2020 dikatakan ada 1,6 juta pengusaha baru yang bergabung.
“Ini adalah program pemulihan ekonomi dengan berbelanja. Bila masyarakat beli produk lokal, maka kita bisa menggerakkan ekonomi, terlepas dari apapun produk yang dibeli. Harapannya ini akan jadi kegiatan berkelanjutan dan jadi roadmap untuk pemulihan ekonomi negara ke depannya,” tutup Bima.
Ibu saya makin mahir mengutak-atik media sosial dari smartphone-nya. Suatu saat ia iseng berkonsultasi tentang produk taplak meja yang tak sengaja ia temukan di Instagram.
“Motif taplak mana yang bagus?”. Saya yang lebih terbiasa belanja lewat platform e-commerce membalasnya dengan nada sangsi, “Yakin Bu mau beli lewat sini? Aku cariin di tempat biasa aku beli deh.”
Selang beberapa waktu, tiba-tiba ibu memanggilku ke kamarnya. Dia bilang, “Tolong kamu transfer uang ke rekening ini ya, nanti ibu kasih uangnya tunai.” Sontak aku bertanya lagi, “Ibu yakin? Tokonya benergak?” sambil saya cek isi chat ibu dengan penjualnya di WhatsApp.
Isinya tidak ada yang mencurigakan. Berhubung nilai barang yang ibu beli tidak terlalu mahal, akhirnya permintaan ku turuti. Paket pun datang beberapa hari kemudian, barang yang dipesan sesuai deskripsi.
Contoh keseharian di atas bisa menjadi contoh bagaimana kebiasaan orang belanja online saat ini. Ada yang cenderung tanya detail karena khawatir takut salah beli. Ada juga yang lebih suka cari di satu aplikasi, lalu dibanding-bandingkan dari segala sisi.
Disamping kekurangan dan kelebihan, belanja lewat media sosial punya banyak penggemarnya sendiri. Kebiasaan tersebut akhirnya membentuk dua kubu, belanja lewat media sosial atau platform e-commerce. Makin ke sini, sekat antara keduanya semakin jadi abu-abu, sehingga melahirkan konsep social commerce.
Laporan “Asia Social Commerce Report 2018” yang dirilis PayPal bersama Blackbox Research menunjukkan Instagram dan Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan penjual di Indonesia untuk mempromosikan bisnisnya.
Platform ini berkembang pesat karena mampu memberikan pengalaman yang berbeda dengan belanja offline. Sebab memungkinkan ada rekomendasi dari teman atau ulasan dari konsumen lainnya yang akhirnya memengaruhi keputusan calon konsumen untuk membelinya.
Studi ini melibatkan 4 ribu konsumen dari Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia, serta 1.400 merchant UKM. Sebanyak 94% pedagang di Filipina memanfaatkan Facebook, begitu pula di Indonesia (92%), dan India (89%). Instagram paling banyak dipakai oleh merchant dari Indonesia (72%), Filipina (56%), dan Hong Kong (50%).
Dijelaskan juga tiga alasan utama berdagang di media sosial semakin diandalkan. Sebanyak 63% responden menilai platform ini lebih mudah meraih pasar potensial yang lebih luas; 57% responden menilai lebih gampang buka bisnis lewat media sosial; 48% responden mengatakan platform ini dapat meningkatkan jaringan teman dan kenalan yang bisa mendorong pertumbuhan bisnis.
Mendukung laporan di atas, dalam survei terbarunya, APJII menyebut Facebook (50,7%) sebagai media sosial yang paling banyak dikunjungi responden. Diikuti Instagram (17,8%), YouTube (15,1%), Twitter (1,7%), dan LinkedIn (0,4%).
APJII juga menyoroti layanan yang paling sering dipakai untuk belanja online. Posisi teratas ditempati oleh Shopee (11,2%), Bukalapak (8,4%), Lazada (6,7%), Tokopedia (4,3%), dan Traveloka (2,3%). Barang yang dibeli menurut responden adalah sandang (14,6%), buku (4%), aksesoris (3%), tas (2,9%), dan barang elektronik (3%).
Adapun prediksi nilai transaksi GMV dari online commerce mencapai $8 miliar di periode yang sama. Angka berasal dari kontribusi platform e-commerce resmi sebesar $5 miliar, dan informal commerce lebih dari $3 miliar (ada yang menyebut sampai $5 miliar).
McKinsey memproyeksikan angka GMV bakal menggelembung hingga $55 miliar-$65 miliar di 2022 mendatang. Informal commerce disebutkan berkontribusi sekitar $15 miliar-$25 miliar, sisanya dikuasai oleh e-commerce resmi.
Penetrasi online commerce bakal naik jadi 83% dari 74% di tahun yang sama. Secara paralel, rata-rata pengeluaran individu juga tumbuh dari $260 per tahun menjadi $620 di 2022.
Kenaikan platform e-commerce lantaran meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap ekosistem dan makin banyak UMKM yang “go online,” variasi produk yang dijual semakin banyak, dan opsi pengiriman yang dapat diandalkan.
McKinsey mendefinisikan e-commerce resmi sebagai jual beli barang fisik melalui platform online yang memfasilitasi transaksi dengan menampilkan produk dan memungkinkan pembayaran dan pengiriman. Pemain yang masuk dalam kategori ini seperti Tokopedia, Blibli, Bukalapak, Lazada, Shopee, dan niche juga masuk Zalora, Hijup, Zilingo.
Sementara, informal commerce sebutan lain dari social commerce, memfasilitasi jual beli barang fisik melalui platform media sosial dan kirim pesan instan, seperti Facebook, Instagram, Line, dan WhatsApp, namun pembayaran dan pengiriman ditangani di tempat lain.
McKinsey menjelaskan social commerce memegang peranan penting dalam perkembangan transaksi digital di Indonesia. Lantaran, platform ini dipakai untuk jembatan menuju “go digital,” juga cara untuk menghindari biaya yang sangat tinggi dari iklan media tradisional, sebelum bermigrasi ke platform e-commerce resmi.
Revolusi fitur commerce di Facebook dan Instagram
Berdasarkan laporan di atas, bisa dikatakan Facebook dan Instagram bisa dikatakan sebagai media sosial paling dicintai semua orang. Indonesia menjadi salah satu negara utama buat platform besutan Mark Zuckerberg ini dalam menggenjot pendapatan iklannya.
Menengok laporan keuangan Facebook, total pengguna secara global tumbuh 8% yoy selama semester I 2019. Pengguna aktif harian (DAU) mencapai 1,59 miliar dengan pertumbuhan hampir 1,9% per kuartalnya. Kontributornya dari India, Indonesia, dan Filipina. Sementara, pengguna aktif bulanannya (MAU) mencapai 2,41 juta dengan pertumbuhan 1,3%.
Pendapatan Facebook mayoritas berasal dari bisnis iklan. Di periode yang sama, pertumbuhan bisnis iklan mencapai 28% menjadi $16,6 miliar (lebih dari 236 triliun Rupiah) dengan kontribusi 98,4% untuk keseluruhan pendapatan.
Di Indonesia sendiri, menurut We Are Social, pengguna Facebook ada lebih dari 130 juta akun dan 62 juta akun Instagram pada tahun lalu. Sementara, Twitter dan Snapchat tidak ada separuhnya, secara berturut-turut sebesar 6,43 juta dan 3,8 juta. Angka ini dilihat berdasarkan pengguna aktif bulanan (MAU).
Kue bisnis iklan digital yang begitu lezat ini, jadi manuver Facebook dalam memperkuat fitur commerce di dalam platform-nya sendiri, maupun di anak-anak usahanya. Namun, bila dibandingkan antara keduanya, Instagram dipercaya banyak ahli sebagai kandidat terkuat untuk mendalami social commerce.
Facebook punya fitur Marketplace resmi hadir di 2016, pengguna bisa melihat produk yang dijual pedagang dan menghubunginya lewat Messenger. Yang dijual bermacam-macam, tidak hanya fesyen saja tapi juga produk kecantikan, elektronik hingga properti.
Selain itu, ada fitur Buy and Sell Groups. Konsepnya seperti OLX, namun ada sedikit rasa Kaskus karena harus tergabung dalam grup komunitas untuk bisa bertransaksi. Disediakan pula Messenger untuk menghubungi penjual.
Dari segi penawaran memang menggiurkan, dengan pendekatan lokal, penjual ditawarkan kemudahan untuk menjajakan dagangannya selayaknya sedang berselancar di Facebook. Mereka bisa dilacak berdasarkan lokasi, harga, dan ketertarikan calon pembeli. Bahkan dapat pasang iklan agar terpampang di laman teratas.
Dibandingkan dengan Instagram, sejak awal fitur commerce diperkenalkan, Instagram terlihat lebih serius. Didukung dari basis awal sebagai aplikasi berbagi foto, visual jadi unsur yang paling ditonjolkan. Pun, konten visual jadi tren generasi muda dalam mengonsumsi konten di internet.
Setelah menyediakan profil bisnis dan layanan iklan, Instagram berhasil mengalahkan dominasi Snapchat sebagai video durasi singkat lewat Stories-nya. Kemudian, makin “gahar” setelah menambahkan IG Shop sebagai cikal bakal social commerce, memungkinkan pengguna untuk langsung belanja di akun bisnis dalam in-app browser.
Cukup tap foto yang diunggah profil bisnis, nanti akan terlihat tag harga barang dan tombol View on Website untuk diarahkan ke situs brand menyelesaikan pembayaran. Atau memasukkan produk ke dalam kolom wishlist. Fitur ini punya kelemahan karena pengguna harus keluar dari aplikasi untuk langsung membeli barang yang diincar.
Akhirnya muncul pembaruan teranyar, hadirnya fitur in-app checkout. Pengguna dapat menyimpan informasi pembayaran di Instagram untuk melakukan pembelian yang lebih cepat. Opsi pembayaran yang ada baru berbasis kartu, seperti Visa, Mastercard, Amex, Discover, dan PayPal.
Meski baru disediakan secara terbatas untuk 20 brand global, tapi kemungkinan besar keputusan ini bisa membawa Instagram jadi kandidat terkuat untuk social commerce ke depannya.
Di Indonesia, IG Shop baru sampai ke tahap cek harga lewat foto yang diunggah dan diarahkan ke situs brand. Itupun masih dalam tahap uji coba, baru sebagian profil bisnis yang bisa merasakannya.
“IG Shop masih percobaan di Indonesia, sehingga belum semua akun bisa dapat itu. Fitur ini punya tombol Shop Now untuk dorong konsumen lakukan pembelian atau reservasi di Instagram,” terang Head of Emerging Business & SMBs Facebook & Instagram South-East Asia Ferdy Nandes saat membuka Akademi Instagram di Jakarta.
Posisi Instagram sebagai platform social commerce terkuat
Kepada DailySocial, juru bicara Instagram menegaskan pihaknya bukan platform e-commerce, sehingga tidak ada transaksi yang terjadi. Yang dilakukan justru membantu semua pelaku dagang online, salah satunya platform e-commerce, untuk menemukan, terhubung, dan berinteraksi dengan calon pembeli lewat foto, video, dan fitur-fitur bisnis yang tersedia di Instagram.
“Ketika pembeli menemukan produk yang mereka sukai di akun bisnis Instagram, mereka akan mengklik produk tersebut dan kemudian dibawa ke situs toko tersebut atau platform e-commerce di mana transaksi terjadi,” ujarnya.
Mereka menambahkan, “Peran kami di sini adalah membantu e-commerce atau online shop menemukan pelanggan. Jika diibaratkan dengan sebuah mobil, kami adalah mobil yang membawa calon pembeli ke toko mereka. Kami bukan tokonya.”
Klaim Instagram ini cukup dimaklumi karena fitur commerce yang ada saat ini memang benar demikian, transaksi memang terjadi di luar platform. Kondisinya akan berbeda ketika fitur in-app checkout di bawa ke Indonesia. Setiap profil bisnis dari manapun bisa menerima transaksi dari pelanggan di manapun karena borderless.
Ini akan jadi topik tersendiri yang sangat menarik, dipastikan semua pemain e-commerce ketar ketir karena selama ini Instagram baru dimanfaatkan buat channel pemasaran saja.
Besarnya potensi usaha mikro lahir lewat platform media sosial, semakin meyakinkan Facebook maupun Instagram lebih serius menggarap pengusaha mikro untuk menggunakan platform-nya untuk beriklan. Inovasi untuk profil bisnis pun terus dilakukan, menariknya tersedia secara gratis.
Pengusaha mikro dapat mengakses secara gratis profil bisnis untuk mendapatkan data insights mengenai unggahan mana saja yang memiliki performa terbaik, demografi audiens mereka, waktu posting terbaik, dan lainnya.
“Mereka dapat mempelajari hasil data insights untuk memahami karakteristik audiens mereka, sehingga dapat membuat strategi yang tepat untuk menjangkau para audiens tersebut.”
Keseriusan perusahaan, sambung juru bicara Instagram, dilatarbelakangi oleh studi IPSOS di Indonesia bertajuk “Dampak Instagram pada Usaha di Indonesia (2018)”. Ditemukan bahwa 90% responden pernah menggunakan Instagram untuk berkomunikasi dengan bisnis; 76% responden pernah membeli produk dari sebuah bisnis setelah menemukan bisnis tersebut di Instagram.
Terakhir, 66% responden mempertimbangkan untuk membeli sebuah produk maupun jasa yang mereka lihat di Instagram. Berikutnya, 81% responden menggunakan Instagram untuk mencari informasi lebih lanjut ketika mereka tertarik pada sebuah produk; Lebih dari 80% wirausahawan muda berusia di bawah 35 tahun menyatakan Instagram bantu mereka capai target bisnis.
Tidak disebutkan seberapa banyak angka penjual UMKM yang telah memanfaatkan profil bisnis ini.
Tahun ini, Instagram mulai inisiasi program Akademi Instagram yang diluncurkan pertama kali di Indonesia. Ini adalah program pelatihan global bagi wirausahawan yang ingin meningkatkan keterampilan digital dalam meningkatkan bisnis mereka dengan tools dari Instagram. Dalam debutnya, program ini menyasar lebih dari 1.000 wirausahawan berusia di bawah 35 tahun berlokasi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Di luar itu, Instagram membantu Tokopedia untuk kolaborasi pemasaran digital untuk kampanye Kejutan Belanja Untung (KEBUT) pada tahun lalu. Diklaim pertama kalinya di dunia, Instagram melakukan inovasi IG Live untuk Tokopedia agar mereka bisa membuat semacam infomercial untuk mengundang konsumen beli produk merchant.
“Tahun lalu kami juga mengadakan program bersama GoFood bernama InstaMarket untuk memberikan pelatihan bagi para merchant GoFood untuk bisa mengasah keterampilan mereka dalam digital marketing.”
Bagaimana dengan Facebook Indonesia? Sayangnya mereka menolak memberikan tanggapan seluruh pertanyaan yang diajukan DailySocial.
Sebetulnya, fitur commerce ini tidak hanya dimiliki Instagram dan Facebook saja. Ada juga Snapchat dan Pinterest. Akan tetapi, keduanya belum memiliki gaung yang cukup untuk dimanfaatkan pelaku UKM untuk berjualan.
Tapi ini semua tinggal tunggu waktu saja. Pinterest baru mengumumkan dibuka kantor regional di Singapura untuk melayani konsumen di Asia Tenggara dan India. Secara global, pengguna aktif bulanan Pinterest mencapai 300 juta orang. Lebih dari 200 miliar Pin tersimpan, melayani miliar rekomendasi pribadi tiap harinya.
APAC adalah salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat, dengan jutaan pengguna Pinterest setiap bulannya. Jumlahnya ini meningkat lebih dari 50% selama setahun terakhir. Di Indonesia saja, hampir dua juta ide tersimpan tiap hari.
Apakah social commerce jadi ancaman buat pemain e-commerce?
Pergerakan IG Shop dan Facebook Marketplace, tentunya perlu diwaspadai. Tapi jangan sampai antipati atau malah antisipatif dengan platform media sosial terbesar itu. Karena di sanalah prospek konsumen yang belum tersentuh oleh para pemain e-commerce.
Kunci terpenting adalah terus berinovasi dan mau beradaptasi. Setidaknya inilah kesimpulan jawaban yang DailySocial terima dari pemain e-commerce.
SVP Merchant Sales, Operation & Development Blibli Geoffrey L Dermawan menjelaskan, persaingan e-commerce dan social commerce tentu tidak bisa terelakkan lagi. Pilihan belanja tentunya kembali jatuh ke tangan konsumen saat mereka melihat barang yang diinginkan.
Kendati demikian, perusahaan tidak antipati itu. Justru memanfaatkan mereka untuk memasarkan barang-barang, seiring dengan tren positif dari strategi seperti ini. “Namun sebuah bisnis tidak bisa sepenuhnya bergantung pada media sosial saja. Proses penjualan harus dilakukan secara menyeluruh atau dikenal dengan omni-channel,” tutur Geoffrey.
Sependapat dengan Geoffrey, Shopee juga memanfaatkan media sosial dan tools-nya untuk kebutuhan pemasaran bertujuan memberikan pengalaman belanja yang berbeda kepada konsumen Shopee.
“Kami melihat bahwa social commerce sebagai bagian dari e-commerce, itu terbukti dengan fitur social commerce yang kami gunakan di akun Instagram Shopee,” ujar Country Brand Manager Shopee Rezky Yanuar.
Karena ada ketergantungan tinggi, makanya pemain e-commerce perlu mengakali. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Tokopedia. Dari pengamatannya, dalam era social commerce, terjadi perubahan perilaku konsumen yang mana mereka mencari inspirasi sekaligus belanja dalam waktu yang sama.
Influencer dianggap punya peranan penting dalam sebuah proses kampanye. Strategi tersebut akhirnya diambil oleh Tokopedia di berbagai tipe kampanye, seperti brand dan sales di berbagai channel media sosial.
“Ini upaya kami agar tetap relevan dengan target audiens kami, salah satunya generasi milenial, di mana mereka mengonsumsi media sosial setiap hari dengan influencer sebagai inspirasi mereka,” tambah VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak.
Strategi tersebut kemudian diterjemahkan lebih dalam menjadi sebuah fitur baru “Tokopedia by Me,” membuka ruang interaksi baru antara pembeli dengan role model atau orang kepercayaan yang merekomendasikan produk favorit.
Memanfaatkan influncer di media sosial juga dimanfaatkan oleh Zalora. Pasalnya, bagi Zalora sebagai situs e-commerce yang fokus ke produk fesyen, kental dengan unsur visual yang harus selalu ditekankan.
“Kami hadir di platform-platform di mana target audience kami berada, contohnya di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan YouTube. Ketiganya adalah medium yang tidak hanya kami gunakan untuk memberi update, tapi juga buat engage dengan pelanggan kami,” ucap Head of Marketing Zalora Indonesia Dwi Ajeng.
Hijup juga tergolong aktif dalam memanfaatkan platform media sosial untuk meningkatkan bisnis. Head of Creative Content Hijup Anastasia Gretti mengatakan perusahaan memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk memberikan konten inspirasi, tapi juga permudah konsumen dalam berinteraksi dengan tim customer service.
Seperti contohnya, memanfaatkan fitur Facebook Live, memberikan sarana komunikasi dua arah, dan pembelian dipermudah lewat WhatsApp. Kendati, inti dari proses transaksi di Hijup adalah melalui situs dan aplikasi
“Dalam bisnis, Hijup yakin bahwa kami harus terus dapat beradaptasi dengan lahirnya berbagai inovasi maupun perkembangan teknologi dan media sosial,” terang Anastasia.
Jual praktis, keamanan, dan layanan menyeluruh
Seperti laporan McKinsey sebut, belanja online di informal commerce tidak terintegrasi untuk pembayaran dan pengirimannya. Seluruh prosesnya harus manual dilakukan oleh penjual yang akhirnya jadi makan waktu. Pengalaman ini tidak harus dirasakan ketika konsumen belanja lewat platform e-commerce.
Geoffrey L Dermawan menerangkan keunggulan yang ditawarkan platform e-commerce adalah sistem yang lebih komprehensif. Mulai dari kemudahan mencari produk di satu platform, pilihan pembayaran yang aman dan variatif, ketersediaan dan penyortiran produk, serta pelayanan purna jual yang lebih terstruktur.
Keseluruhan ini adalah bentuk pertanggungjawaban transaksi yang lebih jelas guna mendapatkan kepercayaan dari konsumen. Kepercayaan dalam bertransaksi inilah yang harus selalu dipertahankan dengan layanan-layanan demi memastikan kepuasan pelanggan terpenuhi.
Pun demikian Shopee. Rezky Yanuar menjelaskan, pihaknya menekankan pada pentingnya keamanan yang didapat konsumen ketika bertransaksi lewat platform-nya. Untuk menjangkau seluruh aspek masyarakat, makanya tersedia berbagai opsi pembayaran. Bisa melalui m-banking, ATM, minimarket terdekat, bahkan di platform lain bisa dengan cicilan tanpa kartu kredit.
“Karena kami ada di tengah, antara penjual dan pembeli, makanya konsumen bisa tenang melakukan transaksi.”
Tidak hanya sistem yang lebih terintegrasi, Dwi Ajeng menambahkan, kelebihan platform e-commerce juga ada di kredibilitas produk yang 100% original. Setiap barang diterima dari distributor, tim Zalora melakukan quality control demi memastikan barang aman sebelum dikirim ke konsumen. Bila ada keluhan, ada tim customer service yang siap dihubungi dari berbagai lini.
“Kami juga punya kebijakan, konsumen dapat mengembalikan produk apabila tidak sesuai dalam 30 hari.”
Kelebihan lainnya adalah terekamnya seluruh data transaksi konsumen. Data adalah aset yang paling utama di industri e-commerce, pengelolaan data yang baik dan strategis dapat mendukung bisnis suatu e-commerce tersebut.
“Hijup fokus pada potensi digital dalam mempromosikan produk dan brand yang bergabung. Kami membaca perubahan tren, kebiasaan konsumen, dan lain-lain melalui social commerce. Namun sebagai validasinya, kami selalu mengacu pada data yang kami miliki di situs Hijup,” ujar Anastasia.
Berlomba-lomba lebih dari sekadar tempat jual beli barang
Agar tetap terdepan, tentu inovasi harus terus dilakukan. Setidaknya fokus para pemain e-commerce, untuk bersaing dengan kompetitor baik yang satu ranah maupun dengan social commerce, saat ini mengarah pada bagaimana konsumen betah berlama-lama di dalam aplikasi mereka untuk melakukan berbagai aktivitas.
Makanya pengembangan fitur kini sudah bermacam-macam, tidak hanya jual produk fisik kini juga jual produk jasa dan virtual. Shopee, Bukalapak dan Tokopedia bisa jadi contohnya, yang berkiprah sebagai super-marketplace.
Rezky Yanuar menjelaskan Shopee merilis berbagai in-app games, diantaranya Goyang Shopee dan Kuis Shopee, agar konsumen betah berlama-lama di aplikasi. Sejak diperkenalkan, in app games terus berinovasi dan menerima tanggapan positif dari para konsumen.
Berkaitan dengan e-commerce, Shopee menghadirkan fitur Shopee24, platform yang membantu pengiriman barang di platform-nya dapat diterima konsumen dalam waktu 24 jam saja. Di luar itu, perusahaan mendukung sepakbola nasional agar semakin baik dengan menempatkan diri sebagai sponsor Shopee Liga 1.
Perusahaan juga mengadopsi konsep media sosial dengan merilis fitur rekomendasi produk dan Shopee Live. Keduanya seperti membuka Instagram dengan sentuhan commerce di dalamnya.
Bukalapak aktif dalam mengembangkan layanan di luar marketplace, seperti produk finansial untuk emas (BukaEmas), reksadana digital (BukaReksa), dan asuransi (BukaAsuransi), pembayaran pajak, kendaraan dan PBB (BukaJabar, e-Samsat). Serta, menjangkau segmen online to offline (O2O) dengan mengajak warung sebagai partner (Mitra Bukalapak).
Berkaitan dengan e-commerce, beberapa fitur yang dikembangkan adalah layanan same day delivery bersama Paxel, BukaMart untuk menawarkan produk kebutuhan sehari-hari, juga uji coba pengiriman barang melalui drone agar barang lebih cepat sampai ke rumah konsumen.
“Dari sisi engineering, sebenarnya Bukalapak telah merilis sebanyak 31 produk baru dan melakukan lebih dari 4.500 pengembangan fitur sepanjang paruh pertama 2019,” terang Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono.
Tokopedia tidak jauh berbeda, super-marketplace di dalamnya tidak hanya diisi produk virtual saja, tapi juga sudah sampai ke tahap logistik (TokoCabang), produk fintech untuk memudahkan merchant mendapatkan modal usaha dan konsumen melakukan pembayaran kredit (Ovo PayLater). Yang teranyar, Tokopedia mengakuisisi Bridestory untuk menyajikan produk berkaitan pernikahan di dalam platform-nya.
Di satu sisi, pemain e-commerce niche juga tidak mau kalah, mereka terus berupaya jadi pemain terdepan dengan perkuat layanan-layanan yang berkaitan. Blibli, memosisikan sebagai mall online dengan strategi omni channel, ada tiga fitur yang diharapkan bisa menjawab kebutuhan konsumen.
Mereka ialah Click & Collect, Tukar Tambah, dan Blibli InStore. Keseluruhan fitur ini serba online, sehingga lebih fleksibel. Semuanya sudah dirilis di aplikasi. Untuk Tukar Tambah, sementara ini baru tersedia untuk produk smartphone. Caranya cukup memilih smartphone yang mereka cari dan melakukan sejumlah pengecekan diagnostik lewat aplikasi. Setelah itu, akan tertera harga yang diberikan dari diagnostik tersebut.
Ketika pembayaran sudah dilakukan, kurir Blibli Express Service (BES) akan datang untuk mengambil dan mengecek ulang produk yang akan ditukar, sembari mengantar produk baru ke alamat konsumen. Ke depannya fitur ini akan di terapkan di kategori lain, seperti otomotif untuk tukar tambah mobil dan motor.
Berikutnya adalah Zalora merilis fitur Zalora Now, program berlangganan untuk konsumen dengan berbagai penawaran. Berisi layanan gratis express shipping selama setahun, dan deals lainnya yang ditawarkan mitra Zalora, seperti Traveloka, Zomato, Sayurbox, dan lain-lain.
“Kunci untuk tetap bertahap di dunia e-commerce adalah Zalora terus melakukan review terhadap demand ataupun perilaku konsumen. Kita akan selalu mengikuti dinamika tren belanja, lalu kita turunkan dalam beberapa strategi untuk menciptakan relevansi terhadap pelanggan,” kata Dwi Ajeng.
Hijup sedikit berbeda, perusahaan menerapkan bisnis model O2O dengan membuka gerai offline di beberapa kota. Harapannya, strategi ini bisa meningkatkan awareness dan trust terhadap “customer offline” yang akan menjadikan mereka sebagai “future online customer.”
Zilingo tidak mau kalah. VP and Head of B2C Marketing Zilingo Sarah Humaira turut menambahkan, Zilingo telah bertransformasi dari platform B2C di 2015, menjadi layanan terpusat di B2B untuk menghubungkan setiap lanskap rantai pasokan fesyen yang sangat terfragmentasi.
Saat sebagian besar perusahaan e-commerce fokus pada perdagangan B2C dan C2C, perusahaan mengadopsi pendekatan yang berbeda untuk memberikan nilai tambah bagi pedagang fesyen. Menempatkan mereka dan pabrik yang beroperasi di industri fesyen sebagai pusat dari segala hal yang Zilingo lakukan, semuanya lewat teknologi.
Inisiasi ini lahir karena pengalaman yang dialami langsung oleh para pengusaha. Mereka kesulitan untuk meningkatkan keuntungan atau untuk berkembang karena kurangnya akses ke teknologi dan modal kerja. Sementara itu, brand internasional terus tumbuh secara agresif.
Zilingo menghubungkan produsen/manufaktur di seluruh Asia, mulai dari desain, pengembangan produk, pengadaan kain, manufaktur, pembuatan katalog, pemasaran, manajemen inventaris, distribusi, penagihan, layanan pelanggan, modal kerja, hingga perkiraan tren.
“Visi kami adalah menyamaratakan kesempatan yang ada agar setiap bisnis, mau besar atau kecil ukurannya, dapat menggunakan teknologi kami untuk mengembangkan bisnis mereka dan menjadi sukses,” terang Sarah.
Dia melanjutkan, “Layanan ini tidak selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi bagi kami, namun platform serba ada (full-stack) ini dibangun di atas premis, bahwa bisnis B2B dan B2C kami memiliki sinergi yang kuat dan membantu kami buka potensi luar biasa di seluruh rantai pasokan fesyen untuk para pedagang dan pelanggan.”
Mengapa social commerce banyak peminatnya?
Mengutip dari laporan McKinsey, kontribusi e-commerce terhadap transaksi ritel di Indonesia baru 3% dari total penjualan di 2017. Dibandingkan Singapura, di sana sudah mencapai 10% di tahun yang sama. Artinya, ruang untuk bertumbuh masih sangat luas.
Terlebih, mengutip dari survei idEA mengenai penggunaan platform belanja online di media sosial (2017), transaksi melalui Facebook dan Instagram mencapai 66%. Posisi teratas diambil Facebook 43%. Hanya 16% penjual dan pembeli yang pakai platform marketplace dan 7% buat situs sendiri. Survei ini dilakukan terhadap sekitar 2 ribu UMKM di 10 kota di 2017.
Perlu menjadi perhatian bahwa bahwa pembeli dan penjual yang notabene sebagian besar pengusaha mikro, lebih banyak menggunakan media sosial sebagai tempat untuk transaksi e-commerce dibandingkan marketplace yang tersedia atau melalui situs sendiri.
Artinya, platform media sosial bisa jadi gerbang awal buat pedagang “go online.” Untuk mendalami ini, DailySocial menghubungi beberapa pemain pendukung platform social commerce.
Salah satunya adalah TokoTalk. Direktur Operasional TokoTalk Nesya Vanessa menjelaskan tingginya minat belanja di media sosial tak lain dikarenakan ada potensi pengguna yang sangat berlimpah. Para penjual ingin menjadikan orang-orang ini sebagai calon konsumen mereka.
Terlebih itu, sifat media sosial yang serba instan dan real time, dapat jadi senjata bagi para penjual untuk bisa lebih dekat dengan konsumen dan menjadikannya sebagai pelanggan loyal.
“Alasan lainnya, para penjual tersebut ingin punya toko online milik sendiri agar tidak usah bersaing dengan sesama penjual. Di marketplace, mereka bersaing ketat dengan penjual lain yang punya produk serupa, dan satu-satunya cara untuk unggul adalah saling banting harga,” tutur Nesya.
Dia melanjutkan, jika ingin bisa tereskpos dan muncul di urutan teratas, mereka harus beriklan di marketplace. Terakhir, punya akun di marketplace tidak mendukung untuk branding merek mereka sendiri karena tidak bisa dikustomisasi dan dipersonalisasi sesuai tone dan manner brand.
Ini bisa merugikan penjual yang ingin memiliki bisnis yang berkesinambungan, pasti peduli dengan branding. Makanya mereka tetap menggunakan media sosial atau buat situs sendiri.
“Dengan begitu, mereka dapat membangun brand mereka sendiri dan menampilkan konten-konten terkait produk yang mereka buat sendiri.”
CEO dan Co-Founder Qiscus Delta Purna Widyangga turut menambahkan, berjualan di media sosial juga tidak memerlukan upaya untuk migrasi pengguna. Beda halnya, misalnya ketika buat situs sendiri, mereka harus mengakuisisi user dari awal. Kemudian, mengenalkan brand, memperkenalkan teknologi/produk yang digunakan, sampai ke jual beli itu sendiri.
Memanfaatkan platform yang sudah ada, seperti media sosial, penjual dapat menumpang arus. Memanfaatkan basis user yang sudah besar untuk kemudian dipilih dan disesuaikan berdasarkan segmennya.
“Mereka juga tidak perlu mengajarkan teknologi sejak awal karena basis user di media sosial itu sendiri sudah familiar dengan platform yang biasa mereka gunakan. Untuk bisnis skala kecil dan menengah, cara ini lebih efektif ya, daripada harus bangun toko online dari awal,” terang Delta.
Menambahi tanggapan Delta, Co-Founder dan CEO Halosis Andrew Darmadi menjelaskan berjualan di media sosial kemungkinan lebih mudah mendapat rekomendasi dari orang terdekat dari konsumen yang pernah belanja di tempatnya. Bagi penjual tentunya ini cost marketing termurah untuk akuisisi konsumen baru.
Hal ini didukung oleh basis media sosial itu sendiri, yang mana lebih personal dan orang bisa berbagi informasi apa yang mereka suka. Melihat dari tipe konsumennya, orang yang yang belanja di media sosial dengan platform e-commerce pun berbeda.
Andrew berpendapat konsumen di media sosial itu biasanya manja karena ingin lebih personal menghubungi langsung penjualnya. Banyak pertanyaan yang diajukan itu belum bisa diakomodasi oleh chatbot karena mereka juga minta rekomendasi, produk mana yang bagus sesuai postur tubuh atau wajahnya.
“Mereka itu enggak langsung yakin mau beli produk karena takut salah beli. Makanya konsumen di sini sangat chatty, ingin fleksibel untuk pembayaran dan metode pengirimannya. Beda dengan di marketplace, konsumennya sudah tahu apa yang mau dibeli dan mandiri,” ujarnya.
Baik TokoTalk, Qiscus, dan Halosis adalah pemain yang fokus permudah pengelolaan toko online, baik dari pelayanan konsumen, metode pembayaran, dan pengiriman dalam satu link. Konsumen mereka adalah penjual online yang sebenarnya tidak berjualan di platform media sosial saja tapi juga di marketplace.
“TokoTalk tidak bersaing dengan marketplace, justru menciptakan platform e-commerce untuk para penjual memudahkan aktivitas penjualan mereka, misalnya mengelola order dan inventaris,” sebut Nesya.
Bicara pencapaian, TokoTalk telah digunakan oleh 155 ribu penjual untuk mengelola toko online mereka di berbagai platform online. Mencetak total transaksi $2 juta tiap bulannya (per Juli 2019), berdasarkan nilai naik 30% secara MoM.
Qiscus, sebagai platform penyedia in-app chat, merilis fitur Multichannel Chat untuk pengusaha kelola konsumen yang menghubungi lewat platform chat mainstream seperti WhatsApp, Telegram, Line, dan Messsenger ditangani dalam satu dashboard. Serta mengelola tools lain, seperti CRM, payment gateway dan chatbot. Tanpa dirinci, fitur ini telah dirilis sejak awal 2019 dan tumbuh 50%-100% untuk keseluruhan bisnisnya.
Adapun Halosis telah menggaet 10 ribu penjual mikro yang berjualan di platform media sosial dan e-commerce. Data terakhir menyebut, Halosis sudah menangani 199.200 ribu chat pada tahun lalu yang di dalamnya memuat 40.235 transaksi senilai $1 juta.
DailySocial menemui salah satu penjual online yang sepenuhnya memanfaatkan platform media sosial untuk berjualan. Ialah Jessica Yamada, pemilik katering menu makan sehat DapurFit yang dirintis sejak 2012. Sebagai bentuk keseriusannya di segmen ini, instalasi peralatan di dapurnya bahkan sudah hospital grade.
Menurut pengakuannya, Instagram menjadi saluran pemasaran utama dari bisnis online-nya tersebut. Branding DapurFit tergolong cukup kuat sebagai pionir katering menu sehat, dengan lebih dari 80 ribu follower di Instagram. Seperti bisnis online lainnya, Jessica juga memanfaatkan peranan influencer untuk branding-nya.
Konsumen harus menghubungi via WhatsApp untuk berlangganan menu dengan pilihan paket yang tersedia. Pengantaran akan dilakukan melalui kurir sendiri dan kurir on demand GrabExpress apabila di luar jangkauan layanan DapurFit. Dalam seharinya, DapurFit mengirim 600 boks.
“Hampir 90% pesanan datang dari Instagram yang diteruskan melalui WhatsApp. Situs sendiri sebenarnya ada tapi masih beta banget, belum bisa terima order,” kata Jessica.
Grab menyadari potensi bisnis kurir dari para penjual online dengan merilis GrabExpress. Makanya untuk menyeriusi bisnis ini, secara rutin ada pembaruan fitur untuk memudahkan mereka mengantarkan paket sampai ke konsumen.
Hingga kini, area layanan GrabExpress tersedia di 150 kota. Tanpa data spesifik, selama setahun terakhir, jumlah pengiriman harian di GrabExpress naik lebih dari 20 kali, akurasi pesanan tiba sesuai estimasi juga naik lebih 90%.
Dari segi pengguna, lebih dari 50% pengguna GrabExpress adalah wirausahawan mikro dengan definisi mereka yang berjualan secara online dengan platform manapun, dari media sosial ataupun platform e-commerce.
“Kami melayani semua wirausaha mikro yang berjualan lewat online, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Juga mereka yang berjualan di platform e-commerce, kami sudah bekerja sama dengan Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee,” terang Head of Logistics Grab Indonesia Tyas Widyastuti.
Ada sejumlah fitur yang didesain Grab untuk melayani penjual online, di antaranya pengiriman antar kota di Pulau Jawa dengan Ninja Xpress, baru diperkenalkan awal Juli 2019; langganan paket hemat GrabExpress; pengiriman instan dan same day; bukti pengiriman & pelacakan langsung; kirim ke banyak tujuan dan pesan banyak sekaligus.
Bermuara di pemberdayaan pedagang online agar punya daya saing
Keseluruhan pemain di atas saling memiliki kesinambungan satu sama lain demi menangkap besarnya peluang di transaksi platform digital, sebab semuanya bermuara di pedagang lokal itu sendiri, bagaimana mereka bisa diberdayakan dan mau berkembang dengan memanfaatkan platform online.
Dari data yang dikutip Grab, ada 62 juta pelaku UMKM yang mencakup 99,92% dari total unit usaha dalam negeri. Namun, hanya sekitar 23 juta UMKM saja yang memiliki pengetahuan tentang berjualan online, itu pun masih sangat dasar.
Padahal, agar bisa berkompetisi, Grab melihat pelaku UMKM perlu memiliki produk yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat, punya pengelolaan yang baik dan berkesinambungan, pengetahuan pemasaran secara digital, bisa menciptakan brand image yang baik, dan punya proses logistik yang mudah digunakan.
Dari keseluruhan tantangan ini, makanya wajar sekali banyak pihak yang menggelar program pelatihan wirausahawan muda, dari perusahaan skala global seperti Facebook dan Instagram, sampai perusahaan lokal dari berbagai lini yang berkaitan langsung.
Ambisi mulia yang ingin dicapai adalah mendorong para penjual tidak hanya tenar di dalam negeri tapi juga di luar negeri.
Masih banyak pedagang yang belum online, namun ada juga mereka yang sudah mencoba untuk perbesar pasar hingga ke luar Indonesia. Berbagai platform e-commerce sudah menyajikan layanannya. Demikian pula dengan Instagram.
Ketika buka tab IG Shop, katalog yang disajikan bercampur dari penjual lokal juga luar negeri. Kamu bisa langsung pilih produk dan menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit atau PayPal.
Kesiapan pemain e-commerce
Bukalapak misalnya, sudah merilis BukaGlobal untuk menjawab tantangan keterbatasan logistik, akses, dan infrastruktur yang selama ini menghambat langkah para pelaku UKM ke panggung global. BukaGlobal hadir di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Brunei Darussalam yang memiliki ketertarikan terhadap produk Indonesia.
“Kami masih terus memantau perkembangannya agar dapat memperluas jangkauan fitur BukaGlobal ke negara lain,” ujar Intan Wibisono.
Shopee merilis program ekspor Kreasi Nusantara dari Lokal untuk Global, berbentuk laman khusus yang didedikasikan untuk memberikan sorotan bagi produk lokal. Program ini telah mengkurasi sekitar 25 ribu produk lokal setiap minggunya, terjadi peningkatan transaksi hingga 8 kali lipat sejak pertama kali meluncur.
“Dari program ini, UMKM dapat memaksimalkan potensi penjualan produk lokal via luar negeri via Shopee. Selain itu, mereka juga bisa belajar cara mengembangkan strategi ekspor melalui kelas Kampus Shopee,” kata Rezky Yanuar.
Tantangan ketika ekspor bagi UKM itu cukup besar. Mereka harus menguasai regulasi, logistik, dan metode pembayaran. Ketiganya cukup krusial jika terlewat, makanya perlu dipastikan mereka paham betul dengan detil melalui sesi pelatihan.
Blibli punya cara sendiri untuk dorong ekspor. Geoffrey menjelaskan perusahaan menyiapkan UKM lokal lewat kompetisi The Big Start, mencari talenta berbakat untuk mengembangkan bisnisnya. Mulai tahun ini, The Big Start bekerja sama dengan beberapa kementerian akan debut mengirimkan creativepreneur lokal terbaik untuk hadir di festival internasional.
Selama program berlangsung, talenta akan dipersiapkan dan diedukasi bagaimana membuat produk yang sesuai dengan permintaan di pasar global. Serta, bagaimana persyaratannya agar bisa dipasarkan di luar negeri.
“Sehingga ada kata kunci untuk melakukan ekspor adalah pendampingan dan edukasi yang intensif. Peran dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk bantu UKM lokal tidak hanya fokus ke ketahanan ekonomi dalam negeri, tapi juga kemudahan dan kebijakan yang jelas untuk ekspor.”
Tidak hanya buka etalase di festival internasional, platform Blibli juga akan dipersiapkan untuk terima pesanan dari luar negeri buat para merchant UKM di Blibli.
“Secara platform sebenarnya sudah bisa [terima pesanan dari luar negeri], tapi belum jadi prioritas. Contohnya pas kita jual tiket Asian Games kan itu yang beli ada dari luar negeri. Sekarang masih kita persiapkan mulai dari awal tahun ini. Nanti saya share kalau sudah siap,” tambah CEO Blibli Kusumo Martanto.
Tokopedia belum menyediakan fasilitas ekspor. Nuraini Razak menegaskan Tokopedia adalah marketplace domestik yang tidak memfasilitasi transaksi antar negara. Perusahaan hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia.
Pasalnya, mendorong produk lokal jadi tuan rumah di negeri sendiri adalah pekerjaan rumah bersama yang sangat kompleks. Lewat online, produk lokal bisa punya ruang dan panggung untuk mengembangkan ide kreatif, memasarkan produk ke pasar yang lebih luas, hingga suatu hari nanti bisa menjadi brand nasional mendunia.
“Kami punya banyak program yang mencakup hulu ke hilir, contohnya Markerfest, mendorong para kreator lokal untuk meningkatkan kualitas produksi, packaging, dan branding sehingga bisa bersaing dengan produk impor, MEA terbuka, dan dapat akses permodalan dari bank.”
Bantuan pemerintah dan stakeholder sangat dibutuhkan untuk dukung UKM go global. Anastasia Gretti menerangkan produk fesyen Indonesia, dalam hal ini busana muslim, punya kreatifitas lebih unggul dan inovatif bila dibandingkan negara lain.
Namun itu saja tidak cukup, perlu banyak perbaikan dari hulu ke hilir, seperti pengadaan bahan baku, peningkatan skala produksi, bantuan modal, dan lainnya yang di mana ini menjadi tanggung jawab bersama.
“Jadi menurut Hijup tantangan ekspor itu tidak hanya sebatas regulasi dan biaya kirim, tapi kesiapan daya saing produk lokal dalam hal kualitas dan kuantitas juga perlu diperhatikan,” tandasnya.
Masih polemik di perpajakan
Tanpa mengesampingkan potensi dari masing-masing platform belanja online, perlu diingat bahwa sampai saat ini Pemerintah masih dilema cara memajaki e-commerce. Pemberlakuan pajak lewat PMK No 210 Tahun 2018 akhirnya resmi ditunda.
Pemain e-commerce tetap ingin kesetaraan dalam penetapan pajak dengan platform social commerce. Pasalnya, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai aturan ini belum adil karena masih ditujukan buat ke satu pihak saja. Padahal menurutnya, porsinya justru ada di media sosial.
“Kalau mau buat aturan pajak idealnya jangan ada diskriminasi. Semua penjual online wajib bayar PPn 10% dan PPh. Kalau aturan makin ketat di platform e-commerce, akan ada pergeseran konsumsi ke media sosial,” kata Bhima.
Perwakilan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sependapat. Pihaknya tetap teguh pada prinsip kesetaraan dalam aturan dan regulasi (equal playing field). “Berbagai aturan yang diberlakukan e-commerce, kami harapkan juga diberlakukan secara setara di transaksi media sosial,” tutur Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga.
Dia pun meyakini bahwa ke depannya konsumen akan mengedepankan rasa aman dan nyaman dalam berbelanja online. Platform e-commerce memiliki keamanan yang terjamin, baik dalam transaksi maupun pengiriman.
“Pemerintah pun pada akhirnya akan lebih mudah melakukan pengawasan pada platform e-commerce dibandingkan perdagangan di media sosial,” tutup Bima.
Ibarat kalimat, pajak e-commerce menjadi isu yang sepertinya akan selalu ada koma di dalamnya. Antara pemerintah dengan pelaku marketplace saling mengemukakan pendapatnya masing-masing, membuat isu ini jadi semakin sengkarut karena dorongan pelaku, yang ingin pemerintah lebih transparan dan terbuka dalam membuat aturan, belum memperoleh respon sejauh ini.
Secara makro, riset yang dilakukan Google dan Temasek memperkirakan nilai pasar e-commerce Asia Tenggara tahun 2017 ini mencapai sekitar $11 miliar dan bakal menjadi $88 miliar di tahun 2025. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pangsa pasar tersebut.
Namun potensi tersebut menjadi pisau bermata dua, lantaran perkembangan teknologi yang pesat belum dibarengi regulasi yang memadai. Ada peluang sekaligus tantangan. Tak heran terjadi gonjang ganjing ketika membicarakan soal perpajakan di sektor e-commerce.
Gegar budaya
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut kejadian ini sebagai gegar budaya. Pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan yang terjadi. Aturan lama yang dulu dianggap sudah pas, ternyata kini jadi usang.
Menurutnya, masih banyak pihak yang keliru soal pemahaman soal cara berdagang online itu belum dipajaki. Kesalahpahaman ini sebenarnya masih di permukaan, belum menyentuh masalah mendasar. Yustinus berpendapat, sejatinya yang menjadi masalah dalam pajak e-commerce adalah bukan aktivitas mereka, melainkan cara memajaki dengan opsi yang paling efektif.
Dalam prakteknya, dunia e-commerce tidak sesimpel yang dipikirkan, tak sekadar berdagang secara fisik dan non fisik. Bisnis e-commerce itu sendiri ada berbagai jenis, ada yang berbentuk ritel online, marketplace, B2B, B2C, C2C, hingga kombinasinya. Ada juga yang berjualan di platform media sosial dan layanan OTT (over the top).
Kemudian soal cakupan layanannya, ada yang domestik dan lintas batas (cross border). Untuk domestik, aspek perpajakannya sama persis dengan berdagang konvensional: terutang PPN dan PPh sepanjang memenuhi syarat, tidak ada pengecualian. Ini yang kerap disalahpahami. Belum lagi wacana pemerintah yang ingin menjadikan pemain marketplace sebagai agen penyetor pajak.
Ketika pedagang menjual barang, jika omzetnya belum melebihi Rp4,8 miliar setahun (dianggap UKM), hanya bayar PPh Final 1%, di atas itu berlaku tarif umum (PPh 10%) yang dikenakan atas laba kena pajak. Pemerintah sendiri berencana menurunkan tarif PPh Final UKM tersebut menjadi 0,5%. Pihak pemain e-commerce, yang diwakili idEA, mendukung wacana ini.
Marketplace sebagai agen setor pajak
Agen penyetor pajak adalah perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak kepada pemerintah. Pemain marketplace sejauh ini masih menolak mentah-mentah bila amanat itu diberlakukan.
Isu tersebut dikhawatirkan membuat kenaikan biaya kepatuhan sebab marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan yang relatif besar. Beban tersebut, menurut pihak idEA, tidak sebanding dengan platform media sosial yang tidak dibebani apapun.
“Makanya menurut saya masalahnya bukan dari siapa [obyek wajib pajak], melainkan bagaimana [memungut pajaknya]. Kan sekarang ributnya di siapa-nya. Si pemilik platform disuruh mungut [pajak], itu yang menurut saya wajar terjadi penolakan,” terang Yustinus kepada DailySocial.
Asosiasi melihat perlakuan yang berbeda mengenai kewajiban memiliki NPWP Virtual berpotensi membuat pelaku usaha meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial sebagai lapak jualannya.
“Kita apresiasi untuk rencana menurunkan besaran persetase tarif PPh Final jadi 0,5% dari 1%. Namun untuk isu jadi agen penyetor pajak katanya mau ditugaskan ke perusahaan marketplace, jujur kita agak keberatan di situ karena semua beban jadi ada di kita padahal itu tugas DJP,” kata Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA Bima Laga kepada DailySocial.
Belum semua taat pajak
DailySocial mencoba untuk mewawancarai dua pedagang UKM yang mengembangkan bisnis berbeda dan keduanya memanfaatkan platform marketplace untuk usahanya.
Febby selama kurang lebih tiga tahun mulai usaha berdagang hijab. Awalnya dia iseng-iseng memasarkan produknya tersebut lewat Instagram. Kemudian mulai mencoba memanfaatkan marketplace Shopee sejak setahun belakangan.
Secara skala bisnis, usaha kecil-kecilannya tersebut belum bisa dikatakan besar, kadang naik dan turun. Dia pun masih mengerjakannya sendirian, kadang minta bantuan temannya untuk jadi model peraga. Dari penjelasannya, meski tidak disebutkan secara rinci, usaha Febby tergolong UKM beromzet setahun di bawah Rp4,8 miliar.
Febby mengaku belum pernah membayarkan pajak dari penghasilan yang ia dapat selama ini. Dia merasa usaha yang ia jalankan tersebut adalah sampingan, sekadar mengisi kegiatan di rumah. Lagipula, menurut dia pendapatannya tersebut tidak seberapa.
Kedua, Aziz (nama disamarkan), adalah karyawan perusahaan skala awal yang bergerak sebagai distributor barang elektronik. Perusahaan yang menaunginya tersebut memanfaatkan berbagai platform marketplace untuk menjual barang-barang, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Blanja, Shopee, dan Elevenia.
Aziz membuka akun di seluruh platform tersebut atas nama perusahaannya. Ia sengaja membuka akun resmi agar mendapat kelebihan yang ditawarkan masing-masing platform dibanding akun non resmi.
Dia ambil contoh, waktu itu saat mendaftar akun resmi di Tokopedia ada sejumlah dokumen yang wajib disertakan. Mulai dari NPWP perusahaan, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), harus berbadan hukum, akte perusahaan, domisili, KTP pemilik usaha, dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).
“Karena perusahaan kami adalah distributor, Tokopedia juga minta dokumen resmi dari prinsipal yang menunjukkan bahwa kami itu hanya menyediakan barang resmi,” terang Aziz.
Karena akun perusahaan Aziz adalah toko resmi, maka perusahaan memberikan komisi dari setiap transaksi yang berhasil terjadi di dalam Tokopedia. Adapun soal perpajakan, dia mengaku setiap barang yang dijual sudah mengandung unsur pajak lantaran harga yang didapat dari prinsipal merupakan Suggested Retail Price (SRP). Setiap tahunnya pun, perusahaan rutin melaporkan hasil pendapatannya ke kantor pajak.
Edukasi itu penting
Dari kedua contoh kontras di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah masih memiliki jalan panjang untuk mengedukasi masyarakat sadar pajak. Di luar sana, ada banyak Febby-Febby lainnya yang berpikiran sama dan belum tentu semua perusahaan mengambil langkah serupa seperti yang dipilih perusahaan Aziz.
Oleh karenanya, pemerintah butuh solusi alternatif dengan mengubah fokus. Bukan pada apakah UKM yang memanfaatkan platform e-commerce adalah terutang pajak, melainkan cara paling efektif memajakinya.
“Cuma ada dua kemungkinan, enggak tahu dan enggak mau. Ini sama masalahnya dengan yang offline, belum tentu di situ rutin bayar pajaknya. Bisa jadi kemungkinannya mereka enggak tahu [kalau harus bayar pajak], ada juga yang tahu tapi enggak mau [bayar pajak]. Artinya behavior-nya sama saja, lalu apa yang membedakan [antara pedagang offline dengan online],” tutur Yustinus.
Lalu bagaimana cara untuk menjamin semua pedagang bayar pajak? Menurutnya, masalahnya terletak di proses registrasi NPWP. Solusi ini bisa pemerintah manfaatkan marketplace untuk mensyaratkan pendaftaran akun pedagang harus mencantumkan NPWP.
Cara tersebut sebenarnya sama saja ketika pemerintah pada saat mulai edukasi tahap awal untuk mendorong warga memiliki NPWP dan tercatat sebagai wajib pajak. Saat itu, pemerintah harus satu per satu datang ke rumah warga untuk mendaftarkan diri.
Bahkan proses edukasi masih terus dilakukan hingga kini. Bedanya, sekarang proses pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online, tidak perlu dengan kertas manual lagi.
“Sebenarnya enggak rumit. Pemerintah saja yang buat rumit. Sebaiknya pelaporan pajak dilakukan secara self assessment dulu mengingat proses administrasi dan infrastruktur kalau dilakukan online belum memadai. Terpenting adalah mulai dari kesadaran untuk registrasi NPWP, baru setelahnya mulai pikirkan cara memungutnya.”
Solusi berikutnya
Pemerintah selanjutnya perlu memikirkan pemecahan masalah tentang bagaimana cara memajaki yang paling efektif. Ada berbagai kasus studi yang ditempuh Korea Selatan dan Tiongkok dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.
Korea Selatan misalnya, memungut pajak e-commerce lewat PPN dengan memanfaatkan gerbang pembayaran terintegrasi (payment gateway). Dari sana, setiap transaksi akan terekam dan pemerintah dapat lebih mudah memantaunya karena sumber pemasukan negara berasal dari sana.
Beda halnya pendekatan yang dilakukan Tiongkok. Negara tersebut memiliki rentang waktu untuk pengenaan PPN buat beberapa jenis barang yang dijual di e-commerce. Ambil contoh, barang X dikenakan pajak 2 persen selama sekian tahun, sedangkan barang XYZ dibebankan pajak sedikit lebih besar. Secara perlahan, barang-barang tersebut nilai PPN-nya jadi rata 10 persen.
“Yang terpenting adalah otomatisasi sistem adalah hal yang mutlak, sebab berhubungan dengan infrastruktur. Ketika orang belum teredukasi [soal pajak], tapi sudah disuruh bayar pajak, ya terang saja pada nolak semua.”
Yustinus berpendapat, kedua negara di atas memanfaatkan PPN untuk memungut pajak e-commerce karena mekanisme ini adalah solusi termudah. Memungkinkan dapat dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan dibandingkan PPh. Maka dari itu, menurutnya pemerintah perlu pikirkan pengenaan PPN yang efektif dan bisa menarik wajib pajak baru.
Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari normal. Misalnya, India sebesar 1% (tarif normal 12,5%-15%), Thailand 4% (tarif normal 7%).
Kemudian, Vietnam tarif khusus 1% untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (di luar itu dikenakan tarif normal 10%), Filipina memungut 3% apabila omzet masih di bawah US$37.647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omzet melebihi threshold).
Untuk pedagang di platform media sosial, menurut Yustinus, juga sebaiknya diperlakukan sama seperti marketplace. Menjadikan mereka sebagai gerbang untuk mendisiplinkan pedagang agar registrasi NPWP. Tidak bisa menjadikan platform media sosial sebagai agen penyetor pajak pula.
“Masalahnya adalah edukasi dan awareness. Kita ini mau instan, ada peluang mau diambil dan dipajaki. Ini bisa jadi kontraproduktif. Kalau sosmed sudah dipajaki, lari lagi pasti [pedagang] ke e-commerce luar negeri. Itu bisa lebih repot lagi,” tutupnya.
Indonesia’s E-Commerce Association (idEA) demands Ministry of Finance act fairly regarding e-commerce tax regulation. It is expected to be applied in social media and other technology platforms of foreign companies.
Aulia E Marinto as idEA’s Chairman said on this matter, the government needs a clear vision of the fair treatment, including social media and other foreign platforms which presence is not even real in Indonesia.
Both platforms are making money out of Indonesia without having to pay any taxes. The distinct treatment is feared to make SME’s players left the marketplace and switch to social media.
“The regulation must be applied equally to create a balance,” said Marinto on Tuesday (1/30).
She admitted that the discussion on E-commerce tax regulation (RPMK) has been held several times by Directorate General of Taxation (DJP) and Fiscal Policy Agency (BKF) since last November.
However, the discussion is just a socialization of the taxation concept on e-commerce engaged in marketplace model, not the PMK Draft. Until recently, the association has not received any information regarding RPMK draft.
“We heard that the RMPK [Ministry of Finance Regulation (PMK) on the Tax Procedure for Electronic-based or e-commerce players] is getting released, but we have not received any draft. When it’s [draft] arrived, we can give further feedback.”
As idEA’s Head of Tax, Cybersecurity and Infrastructure, Bima Laga added that his team has heard the e-commerce regulation (PMK) will be issued at the end of this month or the beginning of February 2018.
“It [PMK] is said to be issued on January 31st or February 1st this year. Therefore, we demand public evaluation by holding this [press conference],” he explained.
He continued, demanding government’s guarantee to maintain level playing of field (same treatment), not only between online and offline SMEs but also among informal (social media) and formal (corporate) marketplace.
The marketplace is said to play a role in facilitating and assisting DJP to increase the number of new taxpayers, including tax deposits and online data transactions to the Central Bureau of Statistics (BPS).
“They are still looking for a way [citing tax from social media]. If there is no way, we’re ready to give inputs. Instead of issuing imbalance regulation, the price is not paid off,” he stated.
Selected as the taxpayer agent
In addition, the new regulation will require marketplace model as the taxpayer agent because it considered having implications for increasing compliance cost. As for Bima Laga, this regulation will take the marketplace at the burdened position to cut, deposit and report the final PPh.
The rise of compliance cost needs to get government’s attention because it can make a significant increase in taxpayer’s compliance. To fulfill the duty, the marketplace must prepare a number of infrastructures and additional cost.
To be illustrated, an SME’s seller from X marketplace is making a transaction worth Rp10 thousand. Whether he is not a Taxpayer Entrepreneur (PKP), there will be 0,5% tax cut. It will be reported and counted by the marketplace. What if there are issues with returns and others?
In this case, SME’s player of the marketplace will bear all risks. Whether the marketplace as a corporate, there will be no issue. It will be diverted to the seller.
“Marketplace initially used as wapu (compulsory collection) until finally become the tax agent. We are now collecting data and DJP function is our burden. There are lots of technical rules in being taxpayer agent, we do pity the sellers,” he said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta Kementerian Keuangan untuk berlaku adil terhadap pelaku e-commerce terkait mengutip pajak yang akan segera diterapkan. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk platform media sosial dan platform teknologi lain yang berasal dari perusahaan asing.
Ketua Umum idEA Aulia E Marinto menuturkan perlakuan adil ini perlu didetilkan oleh pemerintah, termasuk untuk platform media sosial dan platform asal luar negeri lainnya yang bahkan kehadirannya tidak nyata ada di Indonesia.
Kedua platform tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dan sampai saat ini tidak dibebani kewajiban pajak apapun. Dikhawatirkan perlakukan yang berbeda ini membuat pelaku UKM meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial.
“Peraturan yang sama itu mutlak dijalankan supaya terjadi keseimbangan,” ujar Aulia, Selasa (30/1).
Aulia mengaku, diskusi mengenai RPMK Pajak E-commerce sudah beberapa kali diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak November tahun lalu.
Namun diskusi tersebut baru berupa sosialisasi konsep pengenaan pajak pada layanan e-commerce yang berbisnis di model marketplace, bukan berupa draft PMK yang dimaksud. Hingga kini, asosiasi mengaku belum menerima draft soal isi RPMK tersebut.
“Yang kita dengar RPMK [Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik] ini mau keluar, tapi sampai sekarang kita belum terima draftnya. Kalau kami sudah terima [draft], kami bisa beri masukan lebih lanjut.”
Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, dan Infrastruktur idEA Bima Laga menambahkan pihaknya mendengar isu PMK pajak e-commerce akan diterbitkan pada akhir bulan ini atau awal Februari 2018.
“Katanya [PMK] akan terbit 31 Januari atau 1 Februari 2018. Makanya kami minta diuji publik, dengan mengadakan ini [konferensi pers],” terang Bima.
Bima melanjutkan, pihaknya juga meminta jaminan pemerintah untuk menjaga level playing of field (perlakuan sama), tak hanya antar pelaku UKM online dan offline, tapi juga antar marketplace informal (media sosial) dan marketplace formal (sudah berbadan hukum).
Disebutkan marketplace mendapat tugas agar turut berperan dalam memfasilitasi dan membantu DJP dalam meningkatkan jumlah wajib pajak baru, termasuk di dalamnya menyetorkan pajak dan memberikan data transaksi secara online ke Badan Pusat Statistik (BPS).
“Mereka sendiri mengaku masih mencari cara [mengutip pajak dari media sosial]. Kalau memang belum menemukan cara, kami siap beri masukan. Daripada aturan diterbitkan jadi memberatkan sepihak, harga yang harus dibayar terlalu mahal dikorbankan,” pungkas Bima.
Ditunjuk jadi agen penyetor pajak
Selain itu, dalam aturan terbaru ini nantinya pemerintah akan mewajibkan model marketplace sebagai agen penyetor pajak karena dinilai memiliki implikasi meningkatkan compliance cost atau biaya kepatuhan. Menurut Bima, kebijakan ini akan menempatkan marketplace pada posisi dibebani kewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh final.
Peningkatan biaya kepatuhan perlu mendapat perhatian pemerintah karena dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak jadi naik relatif signifikan. Lantaran untuk melaksanakan kewajiban tersebut marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan.
Bila diilustrasikan, ada transaksi dari penjual UKM dari marketplace X senilai Rp10 ribu. Jika dia bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), artinya dipotong dulu PPh 0,5%. Kemudian dilaporkan dan dihitung oleh perusahaan marketplace. Sementara ada isu kalau terjadi retur dan lain sebagainya?.
Dalam hal ini yang menanggung semuanya adalah pelaku UKM dari marketplace itu sendiri. Kalau marketplace sebagai korporasinya, tidak ada isu pajak. Justru akan kasihan ke penjual UKM.
“Wacana awalnya marketplace dijadikan sebagai wapu (wajib pungut) kemudian akhirnya jadi agen penyetor pajak. Jadi kita yang sekarang collect data, fungsi DJP dibebankan ke kita. Ada banyak sekali aturan teknis yang terjadi saat kami menjadi agen penyetor pajak, yang kasihan adalah penjual UKM,” pungkas Bima.