Startup securities crowdfunding (SCF) Bizhare mengungkapkan rencana untuk membentuk fund (dana kelolaan) sebagai inovasi instrumen investasi baru, selain layanan urun dana SCF berbentuk obligasi/sukuk dan saham. Rencananya fund ini akan diumumkan pada kuartal I 2024 mendatang.
Kepada DailySocial.id, CEO Bizhare Heinrich Vincent menyampaikan bentuk fund ini nantinya akan terpisah dari Bizhare, alias membentuk badan hukum baru sendiri. Ia masih belum bersedia mengungkap lebih banyak terkait ini.
“Kita tertarik karena selama ini banyak institusi mau kerja sama tapi maunya ada instrumen sendiri yang terpisah [dari SCF]. Selama ini [lewat Bizhare Institusi] semua prosesnya mereka lakukan sendiri, baik dari pendaftaran dan memilih UKM yang mau di-invest,” ujarnya, saat media gathering Bizhare di Jakarta, kemarin (13/12).
Rencana tersebut sebenarnya sejalan dengan inisiatif perusahaan setelah memperkenalkan Bizhare Institusi pada tahun ini. Bizhare Institusi merupakan solusi investasi yang memungkinkan kalangan institusi untuk berinvestasi langsung ke bisnis melalui Bizhare melalui skema saham dan obligasi/sukuk.
Institusi yang ditargetkan jadi pengguna adalah perusahaan swasta, family office, koperasi, modal ventura, yayasan, dan entitas lainnya. Melalui akun Bizhare Institusi, mereka dapat memantau kinerja portofolio setiap bulannya tiap tanggal 25 dan menarik langsung keuntungan ke rekening bank yang ditunjuk, serta benefit-benefit lebih lainnya.
Langkah tersebut merupakan alternatif untuk diversifikasi portofolio ke berbagai jenis industri riil dan penerbit efek dengan imbal hasil yang cukup menarik di luar instrumen keuangan yang ada saat ini. Dalam risetnya, imbal hasil untuk jangka waktu dan tingkat risiko yang ditawarkan SCF lebih menarik dibandingkan deposito dan reksa dana.
“Bizhare Institusi menawarkan alternatif baru untuk perusahaan memiliki alternatif investasi baru yang lebih clear bila ingin masuk dengan jangka panjang. Tadinya kalau lewat jalur tradisional, return-nya general.”
Heinrich melanjutkan, strategi perusahaan untuk mendorong pemodal dari kalangan institusi ini secara naluriah mirip dengan apa yang terjadi di industri p2p lending. Pada awal kehadiran, strategi banyak perusahaan adalah mengajak sebanyak-banyaknya investor ritel untuk bergabung dan memperkuat jaringannya.
“Kita justru kuatnya juga di ritel [saat awal berdiri]. Institusi biasanya baru explore kalau ritelnya sudah banyak. Jadi mereka memang selalu masuk belakangan, sama seperti saat p2p [lending] dulu.”
Ia tidak merinci lebih jauh klien Bizhare Institusi yang sudah bergabung hingga saat ini, di antaranya ada family office dan perusahaan modal ventura (PMV). PMV ini bergabung karena mereka juga didorong oleh aturan OJK yang mewajibkan mereka untuk meningkatkan porsi penyertaan investasi saham dalam portofolio mereka.
Dalam beleid, PMV wajib memiliki portofolio kegiatan penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi paling rendah sebesar 15% dari total kegiatan usaha PMV. Belakangan, OJK melihat fenomena beberapa PMV yang lebih fokus pada usaha pembiayaan saja.
“Sementara kebanyakan family offices lebih tertarik dengan obligasi/sukuk karena ditaruh untuk sementara saja. Tapi kalau PMV ada mandat dari OJK untuk penuhi porsi saham, mereka harus comply itu.”
Pencapaian Bizhare
Sejak beroperasi di 2018, diklaim total investasi yang disalurkan melalui mencapai Bizhare mencapai Rp200 miliar untuk 120 penerbit UMKM hingga Oktober 2023. Sekitar 60%-70% dari total investasi ini merupakan penyertaan saham dan sisanya berupa obligasi/sukuk. Lalu, terdapat lebih dari 200 ribu investor ritel terdaftar di Bizhare.
Perusahaan menyediakan beragam investasi, mulai dari bisnis franchise, UMKM, hingga startup melalui penawaran efek saham, obligasi dan sukuk, dengan modal yang terjangkau. Beberapa proyeknya seperti Holycow, Bam Cargo, Sour Sally, Ubeatz, Pempek Farina, Shuka Grill, pendanaan film hingga proyek sukuk dari vendor korporasi swasta, pemda, BUMN/BUMD dan tender kementerian.
Dalam rangka memperluas jangkauan bisnis, perusahaan saat ini sedang mengajukan izin unit layanan pendanaan syariah di OJK. Bila izin tersebut diraih, maka segmentasi bisnis UMKM yang dapat didanai dapat lebih luas, mencakup ekosistem ekonomi syariah itu sendiri.
“Di pasar saham, ketika pasar bergejolak, investor asing banyak yang balik ke negara asalnya. Tapi di Bizhare fondasi dasarnya UMKM, jadi perputaran konsumsinya di lokal juga. Bila konsumsi lokal tinggi, maka makin maju UMKM kita. Untuk itu, Bizhare berupaya jaga inflasi, makanya buat Bizhare Institusi agar harapannya tidak usah takut ekonomi global,” pungkasnya.
Pada 21 November kemarin, perusahaan mengumumkan pendanaan lanjutan dengan nominal dirahasiakan. Putaran ini dipimpin oleh Kejora Capital dan SBI Holdings melalui SBI-Kejora Orbit Fund. Diikuti pula beberapa investor sebelumnya, seperti Telkomsel Mitra Inovasi, AngelCentral, dan beberapa investor strategis lainnya.
Startup fintech SCF Bizhare mengumumkan telah mengantongi pendanaan lanjutan yang dipimpin oleh Kejora Capital dan SBI Holdings melalui SBI-Kejora Orbit Fund. Putaran ini juga diikuti beberapa investor sebelumnya, seperti Telkomsel Mitra Inovasi, AngelCentral, dan beberapa investor strategis lainnya.
Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas layanan, mengembangkan teknologi, dan menghadirkan lebih banyak peluang investasi bisnis yang menarik untuk para pengguna.
Sebelumnya perusahaan mengumumkan pendanaan pra-seri A senilai $520 ribu pada Mei 2021. AngelCentral menjadi investor lead dalam putaran tersebut.
Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menyampaikan kerja sama strategis antara perusahaan dengan Kejora Capital dan SBI Holdings akan memperkokoh posisi Bizhare sebagai platform investasi bisnis terdepan yang memberikan akses investasi bagi masyarakat secara transparan dan aman.
“Sehingga membantu lebih banyak orang untuk bebas secara finansial,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (21/11).
Regional Partner/Advisor of Kejora Capital dan Direktur SBI-Kejora Orbit Fund Shunichi Keida menambahkan, UMKM merupakan bagian besar dari ekonomi Indonesia, berkontribusi lebih dari 61% terhadap PDB.
“Bizhare berada di garis terdepan untuk menghubungkan sekitar $80 miliar modal likuid dari investor ritel dan high-net-worth-individuals di Indonesia untuk mendukung UMKM dan membawa mereka ke tingkat berikutnya,” imbuhnya.
Bizhare diprakarsai oleh Heinrich Vincent, Giovanni Umboh, dan Gatot Adhi Wibowo pada 2018. Startup tersebut menyediakan akses investasi dan pendanaan yang inklusif bagi masyarakat dari berbagai kalangan melalui layanan urun dana secara gotong royong.
Pilihan investasi yang tersedia, mulai dari bisnis franchise, UMKM, hingga startup melalui penawaran efek saham, obligasi dan sukuk, dengan modal yang terjangkau. Beberapa proyeknya seperti Holycow, Bam Cargo, Sour Sally, Ubeatz, Pempek Farina, Shuka Grill, pendanaan film hingga proyek sukuk dari vendor korporasi swasta, pemda, BUMN/BUMD dan tender kementerian.
Diklaim, perusahaan telah menyalurkan pendanaan sebesar lebih dari Rp200 miliar kepada 130 UMKM, bersama dengan 200 ribu investor yang tergabung di platformnya.
Saat ini, Bizhare telah memperluas segmen pemodal ke kalangan investor institusional dengan meluncurkan fitur Bizhare Institusi. Langkah ini memungkinkan perusahaan swasta, family office, koperasi, modal ventura, yayasan dan entitas keuangan lainnya, untuk dapat berkolaborasi dan berinvestasi ke berbagai bisnis terbaik melalui Bizhare, serta melakukan diversifikasi portofolio investasi ke berbagai jenis industri dan efek penerbit dengan return yang cukup menarik.
Melalui ekspansi ini, Heinrich berharap pihaknya dapat membantu perusahaan/institusi untuk mengembangkan keuangan perusahaan/institusinya secara transparan dan aman, sesuai profil risiko mereka.
Platform securities crowdfunding Bizhare mengungkap tengah menggalang pendanaan baru dengan target dana segar sebesar $3-5 juta. Bizhare membidik dapat menutup aksi penggalangan dana akhir tahun ini.
“Kami sedang menjajaki dengan beberapa investor yang tertarik, tetapi belum dapat kami disclose. Model bisnis kami sebetulnya sudah menuju path to profitability, dan pertumbuhan [bisnis] kami tidak terlalu harus cash burning,” ungkap Co-Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent kepada DailySocial.id.
Lanjut Vincent, pendanaan tersebut akan digunakan untuk mempercepat pertumbuhan model bisnis Bizhare, memperbesar skala operasi, dan mengembangkan teknologi produknya.
Bizhare telah beroperasi sejak 2018 secara bootstrap. Platformnya menawarkan alternatif pendanaan bagi pemilik usaha dengan pilihan instrumen investasi mulai dari saham, obligasi, hingga sukuk.
Perusahaan tercatat telah mengumpulkan total pendanaan sebesar Rp179 miliar ke 127 pemilik bisnis (penerbit), memiliki 209 ribu investor retail, serta membagikan Rp13 miliar dividen per Mei 2023. Klaimnya, Bizhare mengalami peningkatan pendapatan tahunan sebesar 4 kali lipat pada 2022.
Kolaborasi
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total penghimpunan dana melalui platform securities crowdfunding (SCF) telah mencapai Rp721,84 miliar di sepanjang 2022. Angka tersebut naik 75% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp412 miliar.
Dengan penetrasi SCF yang masih rendah di Indonesia, lanjut Vincent, pihaknya berinisiatif untuk mendorong kolaborasi dengan berbagai lembaga keuangan di pasar modal dan investor institusional. Dengan begitu, tak hanya investor retail saja yang terlibat di platform Bizhare.
Selama ini, P2P lending cenderung lebih banyak digunakan oleh pelaku usaha dalam mencari alternatif permodalan. Data OJK mencatat penyaluran pinjaman P2P lending di sepanjang 2022 mencapai Rp51,12 triliun.
“Belum terjadi kolaborasi antara institusi dan lembaga keuangan di pasar modal dengan SCF. Masih ada blocker di regulasi untuk menjembatani hal tersebut. Ini sedang kami dorong ke OJK bagaiman lembaga keuangan di pasar modal bisa saling berkolaborasi,” tambahnya.
Ia juga mengungkap saat ini tengah menjajaki kerja sama dengan perusahaan sekuritas di mana mereka bisa ikut memasarkan efek, bukan hanya ke perusahaan terbuka saja, tetapi juga ke perusahaan privat. Dengan demikian, modal dapat disalurkan ke para pelaku UMKM yang mana saat ini berkontribusi besar terhadap PDB nasional.
“Dampaknya akan lebih besar karena dapat dirasakan oleh masyarakat. Ini seharusnya menjadi gebrakan kita dalam mendorong regulator untuk menjembatani kolaborasi ini,” tutupnya.
Platform securities crowdfunding Bizhare resmi meluncurkan aplikasi mobile miliknya. Dengan kehadiran aplikasi ini, mereka membidik pertumbuhan investornya sebesar 5-10 kali lipat.
Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent mengatakan, Bizhare telah mengantongi traksi dan tingkat investasi berulang yang baik sejak pertama kali berdiri. Aplikasi ini diharapkan dapat terus menjaga tren investasi berulang tersebut. Mereka juga mengatakan ada kebutuhan pendanaan pada 1.200 calon penerbit bisnis UKM sebesar Rp100 triliun dan Rp2,4 triliun kebutuhan pendanaan calon penerbit khusus bisnis berbasis syariah.
“Pertumbuhan penerbit dan calon penerbit Bizhare mendorong kami mengembangkan sistem lebih baik lagi lewat aplikasi. Kami harap inovasi ini dapat memudahkan proses pendanaan bisnis, terlebih minat investasi di usia produktif sedang meningkat di mana 80% di antaranya mengakses mobile,” ungkapnya saat konferensi pers virtual pekan lalu.
Berdiri sejak 2017, Bizhare menawarkan instrumen investasi lengkap mulai dari saham, obligasi, hingga sukuk. Profil pengguna Bizhare juga berasal dari beragam sektor bisnis, yaitu F&B (41,8%), ritel (29,1%), agrikultur (18,2%), dan jasa (9,1%).
Berdasarkan data perusahaan, Bizhare mencatat pertumbuhan investor aktif sebesar 346% dan 166% untuk investor terdaftar. Total omzet yang dihasilkan penerbit UMKM di Bizhare mencapai Rp82 miliar, dengan total dividen sebesar Rp5,4 miliar dividen. Adapun, total investasi di Bizhare mencapai Rp50,6 miliar dari 73.400 investor kepada 57 penerbit.
Dari survei internal yang dilakukannya, CTO Bizhare Giovanni Umboh mengatakan, investor Bizhare lebih banyak mengakses mobile web (79,5%), sedangkan sisanya memakai perangkat dekstop (20,5%). “Sebelum memutuskan upgrade menjadi aplikasi, pertumbuhan investor kami di 2018 sangat signifikan. Maka itu, kami coba mengembangkan aplikasi demi meningkatkan kualitas layanan, fitur, dan keamanan pengguna Bizhare,” tambahnya.
Potensi securities crowdfunding
Hadir dalam kesempatan sama, Managing Director Plug & Play Indonesia Wesley Harjono mengatakan pasar securities crowdfunding di Indonesia dapat dikembangkan lebih besar agar industri fintech tak hanya terpusat pada layanan peer-to-peer (P2P) lending saja.
“Saya melihat banyak potensi dari para founder di Indonesia dalam merealisasikan mindset dan komitmen mereka. Saya pikir securities crowdfunding punya potensi besar, apalagi industri dan inovasinya masih terbilang baru. Regulator pun sangat memberikan dukungan,” ujarnya
Secara umum, pasar SCF di Indonesia masih terlampau jauh dengan P2P lending. Total penyaluran P2P per 31 Juli 2021 mencapai Rp236,47 triliun dengan jumlah lender 709.000 dan jumlah borrower sebanyak 66,7 juta. Adapun, total P2P legal yang terdaftar maupun berizin di OJK sebanyak 124 perusahaan.
Sementara, OJK mencatat total dana yang dihimpun dari securities crowdfunding per 23 Juli 2021 baru sebesar Rp313,56 miliar. Jumlah penyelenggara yang sudah terdaftar maupun mengantongi izin usaha dari OJK masih terhitung jari, antara lain PT Dana Saham Bersama (Dana Saham), PT Santara Daya Inspiratama (Santara), PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare), PT Numec Teknologi Indonesia (LandX), PT Crowddana Teknologi Indonusa (Crowddana).
Platform
Penerbit
Investor
Dana Dihimpun
Santara
89
23.445
Rp149,7 miliar
Dana Saham
37
N/A
N/A
LandX
15
5.200
Rp84 miliar
Crowddana
9
3.249
Rp35,7 miliar
Mengutip Bisnis.com, Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK Ona Retnesti Swaminingrum sebelumnya mengungkap bahwa pasar semakin antusias terhadap skema penawaran efek lewat layanan urun dana berbasis teknologi atau securities crowdfunding (SCF). Menurutnya, respon positif pasar sejalan dengan diri
Antusiasme ini sejalan dengan dirilisnya peraturan baru terkait SCF karena kini bisa memperluas akses permodalan ke sektor UKM. Peraturan ini juga memperluas jenis efek yang ditawarkan lewat crowdfunding, tak cuma efek saham, ada efek bersifat surat utang dan sukuk (EBUS).
Platform securities crowdfunding (SCF) Bizhare merilis layanan syariah “Bizhare Syariah” untuk menggarap potensi bisnis halal yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Mereka mengklaim jadi perusahaan pertama di industri SCF yang memiliki unit bisnis syariah.
Dalam keterangan resmi, Co-CEO Bizhare Syariah Gatot Adhi Wibowo menjelaskan saat ini pangsa pasar syariah masih di angka 9,03%. Kesempatan tersebut mendorong perusahaan untuk menghadirkan ekosistem investasi syariah yang lebih terintegrasi bagi masyarakat luas.
Tak hanya menjadi platform pembiayaan, Bizhare telah memiliki jaringan edukasi, pelatihan, ekosistem UMKM industri halal, supplier management system, dan pustaka aplikasi digital halal.
“Bizhare Syariah bersama berbagai macam UKM, lembaga pendidikan, dan komunitas muslim di Indonesia akan membangun ekosistem bisnis syariah yang menguntungkan dan bermanfaat bagi para investor,” terangnya.
Bizhare menjalankan bisnis syariahnya dengan membentuk unit bisnis khusus yang dipimpin langsung oleh Gatot. Serta, memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri yang dikepalai oleh Awang Muda Satria. Di ALUDI, Gatot juga menjabat sebagai Ketua Eksekutif Bidang Syariah.
Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menjelaskan perbedaan konsep equity crowdfunding (ECF) syariah dengan konvensional terletak di sisi bisnis penerbit yang harus menerapkan syariat Islam dalam menjalankan bisnisnya. Penerbit tersebut sebelumnya sudah melakukan penelaahan kesyariahan oleh DPS yang sudah direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Kemudian memakai empat jenis akad untuk pembagian hasilnya. Akad yang dimaksud ialah Akad Ijarah (sewa menyewa barang/jasa), Akad Mudhorobah (pengelola tidak setor modal uang), Akad Musyarakah (pengelola juga setor modal), dan Akad Murabahah (jual beli barang).
Lalu dari sisi due dilligence juga lebih mendalam karena tidak hanya dari sisi legal, finansial, dan proyeksi bisnis saja, tapi juga menambah unsur syariah di dalamnya. “Proses pengajuan bisnis syariahnya sendiri, prosedurnya kurang lebih sama, tetap akan dilakukan due dilligence mendalam dari sisi legal dan finansial. Namun akan ditambah dengan penelaahan kesyariahannya oleh DPS,” kata Heinrich.
Gatot turut menambahkan, saat ini cakupan layanan syariah mereka baru di ranah ECF, ke depannya Bizhare Syariah akan diperluas hingga ke SCF, mengingat Bizhare sendiri saat ini sudah meng-upgrade lisensinya di OJK. Perusahaan menargetkan pada 2025 mendatang dapat membuka lebih dari 2 ribu bisnis syariah.
Saat ini, Bizhare Syariah membuka dua penawaran saham bisnis syariah, yakni Tihama Klinik Hemodialisa untuk kategori bisnis di bidang kesehatan yang berlokasi di Cirebon dan SALSA untuk kategori bisnis grosir dan ritel di Banyumas.
Selain Bizhare Syariah, sebelumnya perusahaan juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin. Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor.
Pada Mei kemarin, Bizhare baru mengumumkan pendanaan pra-Seri A senilai $520 ribu yang dipimpin oleh AngelCentral. Diikuti oleh investor sebelumnya, seperti GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen. Dana segar ini salah satunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi mobile.
Startup equity crowdfunding (ECF) Bizhare mendapatkan pendanaan pra-seri A senilai $520 ribu (sekitar 7,3 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh AngelCentral. Investor sebelumnya turut berpartisipasi dalam putaran kali ini, mereka adalah GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen.
Kepada DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, ada satu investor dari korporasi Indonesia juga turut menanamkan modalnya di Bizhare, namun belum bisa diungkap identitasnnya lantaran masih dalam tahap finalisasi. Menurutnya, dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas pangsa pasar perusahaan di seluruh Indonesia, mengembangkan teknologi securities crowdfunding (SCF).
“Kami juga sedang mempersiapkan aplikasi mobile yang rencananya akan dirilis pada tahun ini,” ujarnya, Selasa (11/5).
Dalam wawancara sebelumnya, ia mengungkapkan perusahaan tertarik untuk upgrade lisensi ke SCF karena ada lebih banyak potensi alternatif pendanaan yang dapat dimanfaatkan UKM. Selain bermain di ECF, Bizhare juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin.
Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Heinrich menjelaskan, manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.
Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.
“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.
Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.
“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”
Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menggaet lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai, salah satunya melalui mengincar UKM dari berbagai bisnis, tidak hanya franchise saja.
“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini,” pungkasnya.
Secara akumulasi sejak berdiri pada tiga tahun lalu, Bizhare telah memiliki lebih dari 60,800 investor dari seluruh Indonesia, dengan total nilai investasi sebesar Rp34,3 miliar kepada 46 bisnis UKM.
OJK’s act to expand alternative capitals for SMEs from equity crowdfunding (ECF) to securities crowdfunding (SCF) should be appreciated as the previous regulation had many cracks that did not accommodate SMEs, which were most are yet to be a form of limited liability companies.
The detailed regulations are contained in POJK 57/2020 concerning Securities Offerings through Information Technology-Based Crowdfunding Services, replacing POJK 37/2018 which has a limited concern to stock-based crowdfunding services and Islamic stocks.
The regulation, which contains 13 chapters and 92 articles, contains the detail of licensing, business activities, obligations and prohibitions, reporting, practice of securities offering and trading, also sanctions.
The extension does not necessarily eliminate the presence of the ECF. Chairman of the Indonesian Association of Crowdfunding Services (ALUDI) Reza Avesena, who is also the Co-Founder and CEO of Santara, emphasized that the ECF function still exists and remains an alternative that can be of interest to publishers and investors.
“With SCF, organizers can issue securities not only based on equity but also based on debt or sharia-compliant stocks (will be referred to as sukuk). It is spelled on Article 91,” he explained to DailySocial.
Avesena explained that the issuance of sukuk has now adopted what is applied by the capital market regulator. The requirements used by the IDX for issuing sukuk, such as the role of DPS (Sharia Supervisory Board) or ASPM (Capital Market Sharia Expert) recommended by DSN MUI, the role of sharia custodian banks, and the role of KSEI as custodian.
Furthermore in this SCF service contains several important points:
A. Bidding duration: 12 months (one time or more)
B. Securities offered: Equity securities, debt securities, and sukuk
C. Bidding value: Up to IDR10 billion
D. Offer period (each offer): 45 days
E. Offer is null and void: If the minimum fund is yet to fulfill, the offer is null and void.
F. Equity Securities: It is prohibited to use more than 1 provider
G. EBUS (Debt Securities and/or Sukuk): It is prohibited to raise new funds through the LUD before the Issuer fulfills its obligations to investors (except for EBUS progressive offers)
H. Cancellation offer: Issuers can cancel offers of securities before the end of the offering period by paying a penalty to the operator
CORE Indonesia’s economist, Yusuf Rendy Manilet said that the presence of SCF is a positive step for the domestic capital market because it can increase the amount of raising funds from the capital market. In addition, SCF has deepened the variety of instruments in the capital market as there are many financing instruments that have not been fully explored.
“This is a good thing, especially for the small and medium enterprise sector which is often hampered by capital issues. The impact will certainly be in line with the government’s efforts to deepen ownership of domestic investors,” he explained as quoted from Bisnis.com.
Bank Permata’s VP Economist, Josua Pardede agreed on this. He said the emerging SCF will have a positive impact on the capital market in line with the increasing demand for shares from domestic investors. This is clearly visible as the increasingly limited impact of foreign investors’ entry and exit on stock movements.
“SCF will deepen the stock market and encourage the empowerment and corporatization of SMEs,” he said.
The story behind ECF to SCF
Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani said that OJK’s reason for issuing POJK 37/2018 was due to the regulator’s decision to issue an ECF that is yet to fully understand the coverage. After issuing the POJK, the association provides insights from venture capital, for example, mandatory convertibles (mandatory convertible bonds) count as equity. Meanwhile, in the capital market, it is still considered a loan as long as it’s not the due date.
The concept differences occur as the regulations in the capital market are stiffer in regards to the regulations at the Ministry of Law and Human Rights. Also, after the issuance of POJK 37, there’s still a crack which finally completed by OJK through POJK 57. He saw OJK’s concern to the insights from Amvesindo that securities such as bonds or KIK participation units could be secured.
“Instead of making a circular, OJK finally made POJK 57, which is embedded with POJK 37. Therefore, securities instruments with a more open characteristic can be crowdfunded, not just equity,” he said as contacted by DailySocial.
He continued, the thing about SCF is it can be a new breakthrough for the startup ecosystem because it can be an attractive medium for angel investors, VCs, or accelerators expecting to collaborate with SCF organizers and fund SMEs.
There are many possibilities, for example, creating a joint venture company that functions as a pool of funds with a more open characteristic to invest in companies that are included in the SCF platform. Next, to be empowered by the accelerator players for a class upgrade and enter the accelerator board on the IDX. It could also be an angel investor or VC who directly injects funds for these SMEs.
Venture capital that does not adhere to a growth mindset can also invest. The SME businesses that enter the SCF platform are curated, not haphazard, and have stronger business fundamentals than most technology startups oriented towards “burn money” strategies.
Growth mindset-oriented venture capital companies also present. The misconception that VC is only interested in entering technology startups can also be suppressed as they start to look into many sectors. These possibilities can occur because there is a wider range of investors involved.
In terms of regulations, OJK is being more strict for SCF players than p2p lending, which still finds fraudulent investment because some players are foreign and have no representative offices in Indonesia. In fact, OJK does not enforce any provisions for registered status, the operator must have a new license to operate.
The requirements to obtain a license are very serious, not limited to understanding the business model, but must be ISO 27001 and audited by a committee that is a member of the IDX. “Because this is a mini stock exchange for private investors, we have to be strict from the start.”
Upgrade to SCF
OJK recorded issuing four operating licenses to four companies until the end of last year. They are Santara, Bizhare, Crowddana, and LandX. In total, these four companies have raised IDR185 billion in funds.
Meanwhile, OJK has noted that there are 16 prospective operators still in the ECF licensing process and three prospective organizers in the SCF licensing process. Two of the three referred to are Santara and Bizhare. “It’s in the final stage, hopefully, it can be issued [permit] this February,” Avesena said.
Santara has prepared a number of plans, for instance, for the issuance of sukuk, it has obtained a recommendation regarding the TAS (Sharia Expert Team) from the MUI DSN. However, even if the permit has been issued, the company will not immediately focus on SCF this year as it has first chosen to focus on issuing ECF.
“Because the ECF business model is very mature in our internal. However, that does not mean we will not issue sukuk, it is more necessary to educate the market and the audience first.”
Bizhare’s Founder and CEO, Heinrich Vincent said to DailySocial that the company chose to transform into SCF, not a pivot, in order to develop a pre-existing business model.
“Indeed, it is intended to make it easier for the community, especially SME businesses, to obtain capital with a more diverse choice of schemes. To be able to support Indonesia’s economic development and open up wider employment opportunities.”
He continued, Bizhare’s SME business that received funding through the ECF scheme will continue to run and the company alone delivers innovations for the category in this service product by releasing Secondary Market services which will be released in early February 2021.
This service is a strategy to increase the liquidity of the issuer’s shares, as well as an exit strategy for investors. In an official statement today (3/2), Heinrich explained the benefits of the Secondary Market for SME publishers, to buy back their shares in the Secondary Market, if there are investors who want to sell their shares.
This way, a mature financial service system will be democratized, such as the capital market, which was initially only accessible to the upper-middle class, now accessible to SMEs throughout Indonesia. Investors can conduct transactions (bidding) and offer (shares) safely and conveniently.
“Bizhare Secondary Market is available for publishers operating at least a year, have been registered with KSEI, and/or are in accordance with the resolution of the GMS of Issuers. The Secondary Market will be opened every 6 months with the Secondary Market opening for 10 working days,” Vincent said.
Vincent is optimistic that SCF will make it easier for SMEs to choose the type of funding that suits their preferences, whether it’s in stocks, bonds or sukuk. In terms of requirements, the issuers are not only for limited liability companies, but also for cooperatives, CVs, and so on.
“We’ll continue to provide stock offerings for an increasingly attractive and diverse array of SME businesses. Currently, Bizhare is opening funding for various businesses that can be invested starting from IDR 50,000 per share. We are optimistic that there will be many businesses of Indonesian youth to grow rapidly thanks to our services as SCF, therefore, the development of Indonesian economy will be even more extraordinary.”
Bizhare is targeting more than 200-300 UKM to open funding through Bizhare this year. In terms of investor, the total investment value is expected to grow between 5-10 times. This target is to achieve with company innovation not only through expanding services to SCF but also additional types of businesses besides SMEs and franchisees, including technology startups.
“In terms of product, we will soon launch a new feature, it’s the business profile for prospective publishers can easily apply for funding and list their profile on Bizhare. In addition, the application for Android and iOS are targeted to launch this year.”
Vincent continued, “There are various strategic partnerships with various parties to be announced in the near future. In terms of funding, we’re to start discussing with various investors and VCs to join Series A funding by the end of 2021. ”
Massive education is necessary
The SCF market potential can be measured from the 60 million estimated number of MSMEs. In order to pursue this, ALUDI has a lot of homework to do. Industry optimism needs to be followed by massive education from all stakeholders in order to create a healthy ecosystem as the opportunities will get wider.
Avesena said financial literacy, integrity, legality, and understanding of the capital market have to be improved from an SME business perspective. Meanwhile, as the investors, literacy in understanding investment risk should be enhanced. It is considering each investment instrument has a different level of risk and level of understanding.
Another thing that needs to be upgraded is a public trust and lack of talent in the financial industry. Chamdani emphasized that in terms of educating investors, they should not be mistaken because this is a new investment instrument, such as stocks but not as liquid as stocks and the issuing company is relatively new.
“However, this is attractive because it contributes to SMEs, they have a fundraising route where banks or other financial institutions cannot be involved. That is an opportunity.”
He expects that if this instrument becomes more attractive to SMEs, the costs for listing securities in KSEI will be cheaper. Moreover, KSEI is currently promoting scriptless securities registration with ongoing system updates.
“KSEI’s potential could be a scriptless pattern for private companies to become a breakthrough, but the cost issue could be a burden on the platform, this becomes a concern.”
In terms of the perpetrators, Vincent said that the company prepares various programs every week to provide information about SCF online for investors. “We are actively working with the seller community, starting from the SME business community, seller marketplaces, and many others to educate business people in terms of strategies to develop their business through Bizhare funding,” he concluded.
Langkah OJK memperluas alternatif pencarian dana buat UKM dari equity crowdfunding (ECF) menjadi securities crowdfunding (SCF) patut diapresiasi karena aturan sebelumnya punya banyak lubang yang belum mengakomodasi UKM yang mayoritas belum berbentuk Perseroan Terbatas.
Aturan sudah detil tertuang di POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi, menggantikan POJK 37/2018 yang semula hanya mengatur layanan crowdfunding berbasis saham dan saham syariah.
Beleid yang memuat 13 bab dan 92 pasal ini tersebut secara rinci bagaimana perizinan, kegiatan usaha, kewajiban dan larangan, pelaporan, praktek pelaksanaan penawaran dan perdagangan efek, hingga sanksi.
Perluasan ini tak lantas menghapuskan kehadiran ECF. Ketua Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Reza Avesena, yang juga merupakan Co-Founder dan CEO Santara, menegaskan bahwa fungsi ECF masih tetap ada dan tetap menjadi alternatif yang bisa diminati oleh penerbit maupun pemodal.
“Dengan SCF, penyelenggara bisa menerbitkan efek tidak hanya berbasis equity, namun juga berbasis utang atau sukuk. Bisa dilihat dari Pasal 91,” terangnya kepada DailySocial.
Reza juga menerangkan penerbitan sukuk kini mengadopsi apa yang diterapkan oleh regulator pasar modal. Instrumen persyaratan yang digunakan BEI untuk penerbitan sukuk, seperti peranan DPS (Dewan Pengawas Syariah) atau ASPM (Ahli Syariah Pasar Modal) yang direkomendasikan oleh DSN MUI, peran bank kustodian syariah, dan peran KSEI sebagai kustodian.
Lebih jauh dalam layanan SCF ini memuat beberapa poin penting:
A. Jangka waktu penawaran : 12 bulan (1 kali atau beberapa kali penawaran)
B. Efek yang ditawarkan : Efek bersifat ekuitas, efek bersifat utang, dan sukuk
C. Nilai penawaran : Maks Rp10 miliar
D. Masa penawaran (tiap penawaran ) : 45 hari
E. Penawaran batal demi hukum : Jika minimum dana tidak terpenuhi, penawaran batal demi hukum.
F. Efek bersifat ekuitas : Dilarang menggunakan lebih dari 1 penyelenggara
G. EBUS (Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk) : Dilarang melakukan penghimpunan dana baru melalui LUD sebelum Penerbit memenuhi kewajibannya kepada pemodal (kecuali untuk penawaran EBUS secara bertahap)
H. Pembatalan penawaran : Penerbit dapat membatalkan penawaran efek sebelum berakhirnya masa penawaran dengan membayar denda kepada penyelenggara
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kehadiran SCF merupakah langkah positif untuk pasar modal domestik karena dapat memperbesar jumlah penghimpunan dana dari pasar modal. Selain itu, SCF semakin memperdalam variasi instrumen yang ada di pasar modal sebab dinilai masih banyak instrumen pembiayaan yang belum tergali secara maksimal.
“Ini merupakan hal yang bagus, terutama untuk sektor usaha kecil menengah yang kerap terganjal masalah permodalan. Dampaknya juga tentu akan sejalan dengan upaya pemerintah memperdalam kepemilikan investor domestik,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.
VP Economist Bank Permata Josua Pardede berpendapat sama. Menurutnya kemunculan SCF akan berimbas positif bagi pasar modal seiring meningkatnya permintaan saham dari investor domestik. Hal tersebut terlihat dari semakin terbatasnya dampak keluar masuk investor asing dalam pergerakan saham.
“SCF akan meningkatkan pendalaman pasar saham serta mendorong pemberdayaan dan korporatisasi UKM,” ujarnya.
Cerita awal ECF menjadi SCF
Ketua Amvesindo Edward Chamdani menceritakan asal mula OJK menerbitkan POJK 37/2018 karena adanya keinginan regulator untuk menerbitkan ECF tapi belum mengerti untuk area apa saja. Setelah menerbitkan POJK, asosiasi memberikan masukan dari sisi modal ventura, misalnya mandatory convertible (obligasi wajib konversi) terhitung sebagai ekuitas. Sementara, di pasar modal masih dianggap pinjaman selama belum jatuh tempo.
Perbedaan konsep ini terjadi karena peraturan di pasar modal yang lebih kaku karena berkaitan dengan peraturan di Kemenkumham. Pun, setelah POJK 37 diterbitkan masih ada lubang yang akhirnya dilengkapi OJK melalui POJK 57. Dia melihat OJK memperhatikan masukan dari Amvesindo bahwa efek seperti obligasi atau unit penyertaan KIK dapat disekuritaskan.
“Daripada buat surat edaran, akhirnya OJK membuat POJK 57 yang isinya sudah embedded dengan POJK 37. Jadi instrumen-instrumen efek yang sifanya lebih open bisa di-crowdfunding-kan, enggak sebatas ekuitas saja,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.
Dia melanjutkan, menariknya SCF dapat menjadi suatu gebrakan baru buat ekosistem startup karena bisa menjadi medium menarik buat angel investor, VC, atau accelerator yang ingin bekerja sama dengan penyelenggara SCF dan mendanai UKM.
Banyak kemungkinan yang kemungkinan bisa terjadi, misalnya membuat perusahaan patungan sendiri yang berfungsi untuk pool of fund dengan sifat lebih open untuk berinvestasi ke perusahaan yang masuk ke dalam platform SCF. Lalu dibina para pemain akselerator untuk naik kelas hingga bisa masuk ke papan akselerasi di BEI. Bisa juga angel investor atau VC yang langsung menyuntikkan dananya untuk para UKM tersebut.
Modal ventura yang tidak menganut growth mindset juga dapat ikut mendanai. Bisnis UKM yang masuk ke dalam platform SCF sudah dikurasi, tidak sembarangan, dan punya fundamental bisnis yang lebih kuat daripada kebanyakan startup teknologi yang berorientasi pada strategi “bakar duit”.
Perusahaan modal ventura yang berorientasi growth mindset juga ikut masuk. Miskonsepsi mengenai VC hanya tertarik masuk ke startup teknologi juga dapat diredam karena mereka mulai melirik ke banyak sektor. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat terjadi karena ranah investor yang dijangkau jauh lebih luas.
Dari sisi regulasi, OJK jauh lebih ketat untuk pemain SCF ketimbang di p2p lending yang masih ditemukan investasi bodong karena kebanyakan pemain datang dari luar negeri dan tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Di sini, OJK tidak memberlakukan ketentuan status terdaftar, penyelenggara harus berstatus berizin baru boleh beroperasi.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat izin juga tidak main-main, tidak sebatas paham dengan model bisnis saja, tapi harus ISO 27001 dan diaudit oleh komite yang menjadi salah satu member di BEI. “Karena ini jadi mini bursa untuk private investor jadi mau enggak mau harus strict dari awal.”
Upgrade ke SCF
OJK mencatat hingga akhir tahun kemarin, telah mengeluarkan empat izin penyelenggara kepada empat perusahaan. Mereka adalah Santara, Bizhare, Crowddana, dan LandX. Secara kumulatif, keempat perusahaan ini telah menghimpun dana sebesar Rp185 miliar.
Sementara itu, OJK mendata ada 16 calon penyelenggara yang masih dalam proses perizinan ECF dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan SCF. Dua dari tiga penyelenggara yang dimaksud adalah Santara dan Bizhare. “Sudah tahap final, harapannya bisa release [izinnya] pada Februari ini,” sebut Reza.
Santara telah menyiapkan sejumlah rencana, misalnya untuk penerbitan sukuk sudah mengantongi rekomendasi terkait TAS (Tim Ahli Syariah) dari DSN MUI. Akan tetapi, jika izin sudah terbit pun perusahaan belum langsung menyeriusi SCF pada tahun ini karena memilih untuk fokus pada penerbitan ECF.
“Karena di ECF bisnis model tersebut sudah sangat matang di internal kami. Tapi bukan berarti kami tidak akan menerbitkan sukuk, namun lebih perlu untuk edukasi market, audience terlebih dahulu.”
Kepada DailySocial, Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, perusahaan memilih bertransformasi menjadi SCF, bukan pivot, dalam rangka pengembangan model bisnis yang sudah ada sebelumnya.
“Tentunya ditujukan untuk lebih mempermudah bagi masyarakat, khususnya pelaku bisnis UKM, untuk memperoleh permodalan dengan pilihan skema yang lebih beragam. Untuk dapat mendukung perkembangan ekonomi Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi.”
Ia melanjutkan, bisnis UKM di Bizhare yang sudah mendapatkan pendanaan melalui skema ECF akan terus berjalan dan perusahaan sendiri melahirkan inovasi untuk kategori di produk layanan ini dengan merilis layanan Pasar Sekunder yang dirilis pada awal Februari 2021.
Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Dalam keterangan resmi pada hari ini (3/2), Heinrich menjelaskan manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.
Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.
“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.
Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.
“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”
Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menargetkan lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai dengan inovasi perusahaan tidak hanya melalui perluasan layanan ke SCF, juga rencana penambahan jenis bisnis lainnya selain UKM dan franchise, seperti pendanaan untuk startup teknologi.
“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini.”
Vincent melanjutkan, “Ada berbagai kerja sama strategis dengan berbagai pihak yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Dalam hal pendanaan, kami rencananya akan membuka diskusi dengan berbagai investor dan VC untuk bergabung pada pendanaan Seri A di akhir 2021 ini.”
Butuh edukasi masif
Potensi pasar SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah. Optimisme industri perlu dibarengi dengan edukasi masif dari seluruh stakeholder agar ekosistem jauh lebih sehat karena peluang ke depannya akan jauh lebih luas.
Reza menuturkan dari sisi pebisnis UKM perlu ditingkatkan tentang literasi keuangan, integritas, legalitas, serta pemahaman tentang pasar modal. Sementara dari sisi pemodal, literasi tentang pemahaman risiko investasi juga perlu ditingkatkan. Mengingat, tiap instrumen investasi punya tingkat risiko dan tingkat pemahaman yang berbeda.
Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah menjaga kepercayaan publik dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan. Edward turut menekankan dalam hal edukasi kepada investor agar tidak salah kaprah karena instrumen investasi ini masih baru, seperti saham tapi tidak selikuid saham dan perusahaan penerbitnya tergolong muda.
“Tapi ini menarik karena memberikan kontribusi kepada UKM, mereka punya jalur penggalangan dana yang di mana perbankan atau institusi keuangan lainnya yang tidak bisa dimasuki. Celah tersebut yang bisa dimanfaatkan.”
Dia berharap bila instrumen ini semakin diminati UKM, maka ongkos untuk pencatatan efek di KSEI dapat lebih murah. Terlebih, KSEI saat ini sedang menggalakkan pencatatan efek tanpa skrip (scriptless) dengan pembaruan sistem yang masih dilakukan.
“Potensi KSEI bisa dengan pola scriptless untuk private company menjadi breakthrough, tapi isu cost ini bisa membebani platform, ini yang perlu diperhatikan.”
Dari sisi pelaku sendiri, Vincent menuturkan perusahaan setiap minggunya meracik berbagai program untuk memberikan informasi mengenai SCF secara daring untuk investor. “Kami juga aktif bekerja sama dengan komunitas penjual, mulai dari komunitas pelaku bisnis UMKM, seller marketplace, dan banyak lainnya untuk mengedukasi pelaku bisnis dalam hal strategi mengembangkan bisnis mereka melalui pendanaan Bizhare,” tutupnya.
Bicara tentang equity crowdfunding (ECF) –formalnya dikenal urun dana melalui penawaran saham– adalah bicara tentang kepatuhan yang tinggi terhadap regulasi. Sebagai salah satu model bisnis dengan inovasi anyar, regulator di Indonesia cukup ketat mengawasi bisnis urun dana ini. Ini juga yang jadi salah satu alasan berdirinya Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).
ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang terdaftar meliputi Santara, Bizhare, dan CrowdDana; tercatat sebagai pendiri asosiasi ini, sementara posisi ketua diduduki oleh CEO Santara Reza Avesena. Ketiga startup tadi merupakan penyelenggara bisnis urun dana melalui penawaran saham berizin pertama di Indonesia.
Reza bercerita, ALUDI berdiri untuk membesarkan potensi pasar urun dana di tanah air. Sebagai bisnis yang tergolong baru, Reza menilai kehadiran pemain baru yang kuat dibutuhkan untuk membesarkan pasar sekaligus memperkenalkan produk urun dana ke publik lebih luas.
“Dalam hal platform kita kompetisi, dalam hal komunitas kita kolaborasi dalam bentuk membesarkan market, saling beri benefit, dan dengan asosiasi ini ketika penyelenggara-penyelenggara lain masuk bisa kita jagain,” ucap Reza.
Menjaga kepatuhan
Yang dimaksud “menjaga” oleh Reza adalah memastikan kepatuhan pemain baru ECF terhadap regulasi yang berlaku. Reza bersama Santara merasakan betul pentingnya kepatuhan akan regulasi itu. Pada masa awal beroperasi, Santara kena semprit OJK karena regulasi yang mengatur ECF belum ada. Imbasnya Santara harus berhenti beroperasi sementara.
Reza tidak ingin pengalaman pahit dialami oleh para koleganya. Selain bisa berimbas buruk terhadap kelangsungan bisnis, melanggar regulasi juga dapat menodai kepercayaan publik yang tengah dipupuk industri ini.
Asosiasi juga direncanakan mengambil peran dalam menyaring pemain-pemain baru. Reza menilai kemungkinan suatu penyelenggara mengalami default tetap ada. Jika skenario terburuk itu terjadi tak hanya akan mencoreng reputasi industri saja, tapi juga mengganggu kelancaran UKM yang melantai di bursa.
“Dengan adanya ALUDI, semua penyelenggara yang dapat izin kita jaga banget jangan sampai ada penyelenggara-penyelenggara bodong yang justru bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat.”
Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. LandX jadi nama paling akhir mengantongi izin OJK.
Perluasan izin
Belum lama asosiasi juga mendapat kabar baik menyusul terbitnya POJK Nomor 57 Tahun 2020 yang mengatur securities crowdfunding (SCF) — secara formal disebut penawaran efek melalui urun dana. SCF merupakan perluasan bisnis dari ECF. Bedanya dengan ECF, badan usaha yang bisa melakukan urun dana tidak hanya perseroan terbatas atau koperasi. Itu artinya badan usaha seperti CV, NV, firma, dan lainnya boleh ikut melakukan urun dana di pasar modal.
Pemerintah resmi meluncurkan SCF pada pembukaan perdagangan bursa pekan lalu. Hadirnya SCF menambah alternatif pembiayaan untuk UKM dan startup. Menyambut hal itu, penyelenggara ECF tengah berlomba memperluas izin mereka untuk bisa menawarkan produk SCF ke publik.
“Saat ini penyelenggara ECF yang sudah memiliki izin sedang melakukan perluasan izin untuk bisa comply dengan POJK 57/2020,” tutur Reza.
Potensi pasar ECF dan SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan UKM, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menjaga kepercayaan publik, dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan.
Istilah equity crowdfunding atau urun dana mulai ramai dibicarakan sejak terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.4/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi lnformasi. Pada bulan November 2019, OJK pun telah mengeluarkan izin untuk tiga startup yang menjalankan bisnis menggunakan konsep ini. Salah satunya adalah Bizhare, sebuah platform investasi bisnis yang fokus membantu usaha kecil menengah untuk mendapat pendanaan melalui pembagian kepemilikan saham.
Sudah berjalan sejah tahun 2017, platform jebolan program inkubasi 1000 Startup Digital ini telah menjaring 36 ribu investor, serta mendistribusikan total 30 miliar untuk sekitar 27 bisnis.
Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menyampaikan bahwa target pasar utama mereka adalah karyawan usia produktif, pekerja usia lanjut juga mahasiswa yang sedang belajar bisnis.
“Kita bikin platform ini dengan tujuan untuk menyederhanakan konsep berinvestasi dalam masyarakat. Di sini kita mencoba menjadi bursa efek untuk franchise dan ukm di Indonesia,” tambahnya.
Mekanisme investasi dan skema pasar sekunder
Mekanisme pembagian dividen dalam platform ini cukup transparan mengacu pada data historis penerbit/outlet lain sebagai gambaran untuk investor mulai menanamkan uangnya, namun performa masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa depan.
Nilai pembagian keuntungan bisa bervariasi bergantung pada realisasi keuntungan per bulan dari bisnis tersebut dan jangka waktu menyesuaikan kesepakatan awal dengan penerbit dan franchisor saat pertama kali penawaran saham.
Bizhare juga menerapkan beberapa tahapan dalam memverifikasi bisnis yang masuk. Salah satunya adalah analisis mendalam dan credit scoring sebelum sebuah bisnis bisa melakukan penawaran. Semua informasi yang didapat akan tertera pada proposal untuk dipelajari investor. Setelah investasi terjadi, timnya pun tidak lepas tangan sembari terus mengawasi performa bisnis dan ikut berkontribusi untuk perkembangan bisnis yang ada.
Saat ini, Bizhare juga telah bekerja sama dengan KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) sebagai bentuk keseriusan untuk terus melayani masyarakat dan mencapai misi utama Bizhare, yakni membantu lebih banyak orang bebas secara finansial.
Sebagai investor di platform Bizhare, kepemilikan saham akan tercatat dan tersimpan secara kolektif di KSEI, selayaknya perusahaan publik, dalam rangka mempermudah penjualan saham di pasar sekunder ke investor lain. Saat ini Bizhare juga sedang mengembangkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya. Bentuknya semacam bursa dengan konsep bid offer.
“Kita targetkan untuk launch tahun ini. Soalnya kita termasuk yang pertama yang mengusung konsep ini. Sudah ada beberapa penerbit yang kita siapkan untuk masuk ke secondary market juga,” lanjut Heinrich.
Monetisasi dan rencana pra seri A
Dari segi monetisasi, Bizhare mematok biaya layanan sebesar 5% dari total nominal yang diinvestasikan pada sebuah bisnis. Selain itu, ada management fee sebesar 5% dari setiap keuntungan bisnis yang menggunakan layanan lengkap distribusi laporan keuangan dan pembagian keuntungan bisnis secara otomatis di platform Bizhare.
Sebelumnya, Bizhare telah didukung dengan seed funding dari Plug and Play, GDILab, dan Digitaraya. Saat ini timnya sedang dalam masa penjajakan dengan beberapa VC juga korporasi untuk penggalangan dana pra seri A. Rencananya, dana yang didapat akan digunakan untuk expansi, pengembangan teknologi dan operasional, serta digitalisasi UKM.
“Kita punya rencana untuk mempersiapkan UKM untuk pendanaan melalui teknologi. Sekarang sedang dalam tahap diskusi juga dengan beberapa partner untuk bekerja sama dalam usaha digitalisasi bisnis UKM,” ujar Heinrich.
Saat ini kebanyakan bisnis yang ada di Bizhare adalah franchise dan UKM, namun timnya menyampaikan bahwa mereka tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke ranah startup ke depannya.
“Kita lihat market Indonesia belum siap untuk ritel investor yang mau invest di startup. Jadi kita sedang menunggu momentum,” tutup Heinrich.