Tag Archives: Biznet Gio

bare metal biznet gio

Riset Cisometric tetapkan Biznet Gio Penyedia Bare Metal Teraman 2023

Riset yang dilakukan perusahaan keamanan siber, Cisometric yang menganalisis praktik keamanan dari penyedia layanan bare metal di Indonesia menunjukan bahwa layanan bare metal dari Biznet Gio, NEO Metal sebagai bare metal paling aman dibandingkan dengan layanan sejenis lainnya.

Biznet Gio diklaim unggul dalam segala aspek keamanan sebagai pemasok bare metal lokal dan bersaing dengan pemasok bare metal global di sebagian besar kategori aspek keamanan. Hal ini menunjukkan kemampuan Biznet Gio dalam menghadirkan layanan bare metal yang kuat dan aman dengan penerapan penuh standar keamanan internasional.

Berbeda dengan layanan cloud computing konvensional yang menyediakan layanan server virtual, layanan bare metal merupakan layanan server fisik siap pakai dimana pelanggan memiliki kendali penuh atas sumber daya komputasi, misalnya seperti CPU, RAM dan penyimpanan khusus seluruh server fisik.

Selain memberikan kebebasan kepada pelanggan untuk menentukan atau mengonfigurasi lapisan keamanan di server, penyedia layanan bare metal harus memastikan bahwa server yang disediakan aman secara default. Keandalan keamanan yang tinggi di sisi infrastruktur tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem bisnis pelanggan yang ditempatkan pada mesin bare metal.

Berikut aspek keamanan yang menjadikan NEO Metal Biznet Gio terpilih sebagai layanan bare metal paling aman di antara penyedia layanan serupa lainnya, yaitu:

Segregasi Jaringan Antar Pelanggan

Biznet Gio memiliki subnet IP public dan IP private. Demikian pula, subnet IP private dipisahkan dan diisolasi antar klien sehingga mereka dapat mengakses jaringan internal dengan aman. Pemisahan dan isolasi jaringan menjadi lapisan perlindungan yang penting karena jaringan internal tidak bersifat publik.

Keamanan Platform Manajemen dengan Isolasi jaringan

Biznet Gio telah menerapkan isolasi jaringan pada Intelligent Platform Management Interface (IPMI) pada jaringan host (server). Metode ini akan melindungi dari serangan brute force, akses tidak sah, serta kemungkinan eksploitasi jika jaringan dan server IPMI tidak diisolasi satu sama lain. Temuan Cisometric menunjukkan bahwa beberapa penyedia layanan memiliki kerentanan dalam akses jaringan IPMI di tingkat server.

Standar dan sertifikasi keselamatan

Biznet Gio telah mendapatkan sertifikasi PCI DSS Level 1, yaitu level PCI DSS tertinggi yang mencakup operasional cloud lebih dari sekadar pengaturan pusat data. Sementara itu, beberapa penyedia layanan bare metal bersertifikasi PCI DSS masih terbatas pada instalasi pusat data.

Potensi kerentanan pada sistem operasi default

Hasil identifikasi cisometric menunjukkan terdapat kerentanan pada beberapa penyedia layanan bare metal, yang mana sistem operasi bawaannya mempunyai kerentanan keamanan yang cukup tinggi pada sisi kernel sistem operasi. Sedangkan Biznet Gio dinyatakan tidak memiliki kerentanan keamanan berkat hasil pemindaian otentikasi sistem operasi default (Base Image Scanning).

Metode Akse ke Mesin Bare Metal

Dari segi aksesibilitas, Biznet Gio dinilai telah menerapkan metode akses yang sangat aman pada mesin bare metal dibandingkan vendor lain yang hanya menyediakan akses dashboard standar melalui SSH. Selain metode SSH, Biznet Gio juga menawarkan akses dashboard melalui VPN menggunakan OpenVPN dengan satu konfigurasi.

Kebijakan Keamanan Portal Layanan Pelanggan yang Ketat

Dalam hal akses portal, Biznet Gio juga memiliki batas waktu akses portal selama 15 menit yang tidak berlaku pada penyedia layanan bare metal lainnya. Ketika sesi berakhir, portal Biznet Gio akan secara otomatis minta login ulang dalam jangka waktu tertentu.

Informasi transparan tentang status, pemeliharaan, dan insiden

Komunikasi yang kuat antara Biznet Gio dan pelanggan melalui berbagai saluran, termasuk halaman status, pemberitahuan pemeliharaan, laporan masalah terperinci, dan dukungan pelanggan yang cepat.

Dondy Bappedyanto, CEO Biznet Gio menegaskan: “Kami bangga Biznet Gio dapat menjadi pelopor dalam menghadirkan layanan bare metal dengan teknologi komputasi terdepan serta fokus pada aspek keamanan yang juga diterapkan pada setiap layanan infrastruktur yang kami tawarkan,.” “Komitmen kami adalah untuk mendukung penyediaan infrastruktur yang terspesialisasi, aman, dan berskala tinggi di Indonesia, yang mampu melayani berbagai sektor penting seperti keuangan, layanan kesehatan, dan pemerintahan tanpa harus menunggu lama.”

Untuk menunjang aspek keamanan, Biznet Gio memiliki landasan yang cukup kuat untuk mendukung aspek keamanan yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya saja dalam hal pusat data, Biznet Gio memiliki dan mengoperasikan pusat datanya sendiri di bawah payung Biznet Data Centers. Hal ini tentunya akan membuat mitigasi menjadi lebih mudah dan cepat jika terjadi gangguan. Selain itu, skalabilitas dan waktu penyediaan server bare metal di Biznet Gio sangat cepat, hanya 5 menit.

Riset cisometrik dapat menjadi tolok ukur bagi industri Indonesia yang seringkali membutuhkan infrastruktur TI cepat yang tidak hanya memberikan kualitas, kinerja, dan harga terbaik tetapi juga menjamin keamanan. Layanan NEO Metal Biznet Gio memberikan kombinasi terbaik antara layanan dedicated server dengan prosesor generasi terbaru, kecepatan pengiriman, performa komputasi yang andal, harga terjangkau dan standar, serta standar keamanan yang tinggi.

Mengenal Lebih Dalam Seputar Teknologi Elastic Cloud Server (ECS) dan Virtual Private Server (VPS)

Mengenal Lebih Dalam Seputar Teknologi Elastic Cloud Server (ECS) dan Virtual Private Server (VPS)

Semakin meningkatnya popularitas penggunaan cloud memunculkan beragam juga kebutuhan, dari penggunaan ringan seperti hosting, Cloud Server, hingga Baremetal ServerNamun biasanya ada dua jenis cloud server yangsering terjadi mispersepsi yaitu antara Virtual Private Server (VPS) dan Elastic Cloud Server (ECS). Padahal dua jenis cloud server tersebut sangat berbeda walaupun sama-sama memiliki resources komputasi virtual yang terdedikasi.

Perbedaanya lebih terasa pada saat tujuan penggunaannya, di mana ECS dengan fleksibilitas konfigurasi pada jaringan dan server sehingga bisa lebih mudah untuk menerapkan teknologi lanjutan seperti microservices. Berbeda dengan VPS Klasik yang biasa digunakan untuk menjalankan aplikasi dan website cepat guna atau untuk mengetes “environment” server sebelum men-deploy keseluruhannya. Sayangnya di Indonesia mispersepsi ini kurang banyak disadari oleh pelanggan sehingga tidak jarang banyak pelanggan membeli layanan VPS dengan harga yang mahal setara ECS.

Secara garis besar, dengan ECS pelanggan bisa menerapkan keamanan yang kompleks dengan lapisan keamanan yang diklaim sulit dibobol dari risiko kriminal siber dengan mengatur keamanan pada security group yang juga bisa dapat digunakan juga oleh VM (Virtual Machine) lainnya. Sementara itu, dari segi skalabilitas storage ECS bisa diekspansi secara horizontal dan vertikal. ECS umumnya memiliki teknologi VPC (Virtual Private Cloud ) network di mana antara satu server virtual dengan server virtual lainnya bisa saling dihubungkan melalui IP Private, dan memiliki Public IP yang elastis sehingga bisa dipindahkan dari satu server virtual ke server virtual lainnya. Untuk layanan canggih ini bisa didapatkan pada NVC mulai dari  Rp 170.000 per bulan dengan keunggulan tersedia di banyak zona (multizone) dan fasilitas gratis Inter-DC Link hingga 10 Gbps. Layanan yang dimaksud bisa ditemui melalui produk NEO Virtual Compute yang merupakan infrastruktur cloud dengan basis OpenStack. Produk ini menjanjikan “wadah” mesin virtual yang optimal, cepat, mudah dikelola dan terjangkau.

Lalu bagaimana dengan VPS? Layanan ini bisa dikatakan lebih cocok untuk penggunaan aplikasi dan website yang sedang berkembang karena dibangun dengan arsitektur flat network dimana jaringan sudah otomatis terkonfigurasi sehingga user hanya perlu mengatur keamanan pada firewall dan tergantung pada tipe distro OS yang digunakan. Bila dirasa butuh menambah storage dan resource komputasi lainnya pelanggan bisa menambahkannya secara vertikal. Setiap server virtual dilengkapi satu IP Publik dan menempel pada server virtual tersebut. Layanan ini biasa bisa didapat dengan harga yg lebih terjangkau dibanding ECS.

Perihal layanan tersebut, Biznet Gio juga telah meluncurkan produk NEO Lite, VPS Klasik dengan biaya yang sangat terjangkau – tentunya sudah disesuaikan pula dengan teknologi yang ditawarkan. Dengan infrastruktur yang sudah dirancang sedemikian rupa, NEO Lite menawarkan layanan unggulan dengan jaringan backup yang saling redundan untuk mendukung high availability . Bisa dikatakan, produk VPS NEO Lite Biznet Gio mengungguli produk sejenisnya.  VPS Klasik NEO Lite  bisa dijajal dengan biaya layanan paket mulai dari Rp50.000 per bulan dengan resource komputasi  terdedikasi dan terkonfigurasi serta memiliki dukungan penyimpanan SSD berkecepatan tinggi dan gratis bandwidth hingga 10 Gbps.

Pemanfaatan teknologi ini tentu sangat menarik untuk dipertimbangkan bagi pengembang. Terlebih jika layanan dan produk teknologi yang ditawarkan mampu memberikan efisiensi yang optimal, kami rasa layanan semacam ini sangat layak diaplikasikan oleh startup-startup teknologi tanah air yang membutuhkan layanan teknologi cloud yang prima dengan biaya yang ramah di kantong.

Untuk mengenali lebih lanjut soal NEO Virtual Compute dan NEO Lite VPS Klasik serta solusi cloud lainnya, silakan kunjungi laman Biznet Gio di sini.

Biznet Gio rilis layanan NEO WEB, sebuah platform infrastruktur situs web untuk menjangkau pelaku usaha UMKM dan individu yang ingin bertransformasi digital

Biznet Gio Perkenalkan NEO WEB, Layanan Komputasi Awan untuk UMKM

Biznet Gio, anak usaha dari Biznet yang bergerak di bidang penyediaan layanan komputasi awan merilis NEO WEB, sebuah platform infrastruktur situs web untuk menjangkau pelaku usaha UMKM dan individu yang ingin bertransformasi digital. Potensi yang masih luas, terlebih momentum yang pas di tengah pandemi, memutuskan Biznet Gio untuk terjun ke segmen ini.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (31/3), CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menerangkan, NEO WEB adalah infrastruktur terintegrasi bagi UMKM dengan berbagai layanan yang lengkap dalam sebuah ekosistem. Selain performa dan kecepatan, diperlukan rasa aman pada diri pelanggan saat meletakkan datanya pada Biznet Gio.

“Kita lihat jumlah UMKM di Indonesia ada banyak sekali, kalau ingin melakukan transformasi digital sendiri biayanya akan besar sekali. Maka dari itu kami ingin bantu mereka percepat transformasi digital, apalagi sekarang masih pandemi jadi sudah seharusnya go digital,” kata Dondy.

NEO WEB sudah diluncurkan sejak Februari 2021, memiliki ragam fitur seperti NEO Web Hosting, NEO Dedicated Hosting, NEO Domain, NEO DNS, hingga NEO Web Space yang merupakan layanan pembuatan situs secara mandiri dengan model Graphical User Interface dan Drag & Drop. Harga yang dibanderol mulai dari Rp10 ribu per tahun untuk layanan NEO Domain dan Rp20 ribu per bulan untuk NEO Web Hosting.

Walau harga terjangkau, pada layanan NEO Web Hosting, pelanggan sudah mendapatkan nama domain, kapasitas yang besar untuk meletakkan situs web, hingga sertifikat Secure Socket Layer (SSL). Untuk kebutuhan yang lebih besar, pelanggan dapat upgrade ke layanan NEO Dedicated Hosting atau Cloud Server yang dimiliki Biznet Gio dengan merek NEO.

“Target kita ingin menjangkau UMKM yang butuh infrastruktur digital yang berkualitas dengan harga terjangkau karena banyak dari mereka yang ingin transformasi digital tapi bingung caranya bagaimana dan pakai layanan apa,” tambah VP Sales and Marketing Biznet Gio Cornelius Hertadi.

Diharapkan NEO WEB pada tahun ini dapat menjangkau pelanggan baru antara 80 ribu sampai 100 ribu pelaku UMKM, dari posisi saat ini 20 ribu UMKM.

Resmikan pusat data ketiga

Dalam waktu bersamaan, perusahaan juga mengumumkan kehadiran pusat data ketiga yang berlokasi di Banten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang memerlukan fitur ketersediaan (availability) yang tinggi serta penyimpanan data pada lebih dari satu pusat data. Pusat data pertama dan kedua berada di Jakarta (MidPlaza) dan Jawa Barat (Technovillage, Cimanggis).

“Pengembangan pada pusat data ketiga yang terletak di Banten merupakan bentuk komitmen untuk menjadi pemain komputasi awan lokal yang dapat bersaing dengan pemain-pemain luar yang mulai berdatangan di Indonesia, dengan terus menghadirkan layanan dan fitur yang sesuai dengan standar industri,” tutur Dondy.

Keunggulan lain yang diusung Biznet Gio adalah konektivitas antar pusat data melalui jaringan tertutup (private network) sebesar 10 Gbps tanpa melewati jaringan internet, yang diberikan tanpa biaya tambahan ataupun instalasi tambahan kepada pelanggan.

Dari sisi lokasi, karena terletak di provinsi yang berbeda, pelanggan dapat membuat lingkungan produksi (production environment) pada satu pusat data dan lingkungan cadangan (backup environment) atau Disaster Recovery Site pada pusat data lain dari layanan Biznet Gio.

Sementara dari sisi keamanan, perusahaan baru mengantongi sertifikasi SOC Type II pada awal bulan ini yang menyatakan bahwa Biznet Gio telah menerapkan aspek trust service service categories untuk privasi dan keamanan pelanggan pada layanan komputasi yang ditawarkan. Sertifikasi ini melengkapi yang sebelumnya yakni ISO 27001 dan PCI-DSS.

Dondy menuturkan akan ada pusat data berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. “Kami juga sedang mempersiapkan sertifikasi keamanan data tambahan lainnya.”

Saat ini perusahaan dan Biznet Group yang lain, tengah mempersiapkan Edge Computing untuk pemerataan akses konten digital di beberapa kota di Indonesia, yang diharapkan rampung pada akhir 2021.

“Dengan meningkatnya kebutuhan akses konten digital yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, kami ingin mendekatkan konten-konten tersebut kepada para pengguna dengan layanan Edge Computing yang sedang kami kembangkan saat ini. Harapannya pengguna internet di daerah akan merasakan pengalaman akses yang sama dengan pengguna yang ada di Jakarta,” tutup Dondy.

Aturan turunan belum mengakomodasi perihal pembayaran pajak dan pelaporan pendapatan untuk Penyelenggara Sistem Elektronik privat asing

Bisnis Pusat Data: Karena Semua Bisa Buat Awan

Pusat data punya peran esensial buat perusahaan, khususnya yang bergerak di teknologi. Karena Indonesia digadang-gadang sebagai negara ekonomi digital terpesat di Asia Tenggara, hal ini membuat perusahaan teknologi global ramai-ramai mengucurkan investasi untuk mendirikan bisnis pusat data.

Nominal dana yang mereka keluarkan tak tanggung-tanggung besarnya. Kabar teranyar datang dari Microsoft kabarnya siap menggelontorkan dana hingga $1 miliar untuk membangun data center. Kompetitornya, Amazon menyiapkan $2,5 miliar (membangun tiga pusat data akan beroperasi awal 2022) dan Google dalam waktu dekat akan merilis pusat di Indonesia, setelah diumumkan pada 2018.

Alibaba Cloud sudah lebih dahulu mendirikan pusat data pada 2018, delapan bulan kemudian merilis lokasi keduanya.

Kenapa mereka semua gencar bangun pusat data di Indonesia? Jawabannya secara praktis untuk memenuhi kebutuhan bisnis. Dari sisi regulasi, Indonesia dianggap lebih longgar dan terbuka untuk inovasi yang datang dari luar.

Dari sisi teknologi pun, pengalaman pengguna akan jauh lebih baik karena latensi rendah, biaya jauh lebih rumah, ada jaminan compliance dan keamanan, compute dan fitur prosesor, dan sebagai alternatif pemulihan bencana (disaster recovery). Semakin dekat mereka dengan pelanggan, maka akan semakin baik pelayanannya untuk kebutuhan aftersales.

Perusahaan pun dapat membawa variasi produk lainnya ke negara tersebut untuk menyesuaikan dengan permintaan di pasar. Sebab bila ditelaah lebih jauh, bisnis pusat data semakin beragam. Dalam komputasi awan, ada beberapa jenis penyimpanan data dari publik, privat dan hybrid. Masing-masing punya membutuhkan karakter dan risiko yang berbeda.

Kemudian, ada yang memfokuskan untuk cloud business process services (BPaaS), cloud application infrastructure services (PaaS), cloud application services (SaaS), cloud management and security services, dan cloud system infrastructure services (Iaas).

Tak hanya itu, layanan tersebut kini dibekali teknologi tertentu sebagai fitur untuk menyesuaikan kebutuhan perusahaan. Misalnya AI, analitik, IoT, dan edge computing. Seluruh inovasi ini, rata-rata sudah dikembangkan oleh pemain global agar dapat melayani seluruh segmen.

Secara strategis, ketiga perusahaan asal Amerika Serikat ini saling berkompetisi satu sama lain. Menurut laporan Catalys, seluruh perusahaan di seluruh dunia mengelontorkan dana $107 miliar untuk membangun infrastruktur komputasi awan pada 2019, naik 37% dari tahun lalu.

Menariknya, hampir sepertiga dari porsi ini dikuasai AWS sebagai pemimpin pasar komputasi awan dengan pangsa pasar 32,3% dari seluruh total belanja yang telah mereka keluarkan. Posisi kedua ditempati Microsoft Azure dengan pangsa pasar 16,8%, disusul Google Cloud 5,8%, Alibaba Cloud 4,9%, dan lainnya 40%.

Lainnya ini terdiri atas IBM, VMware, Hewlett Packard Enterprise, Cisco, Salesforce, Oracle, SAP, dan pemain lokal dari seluruh negara.

Sumber : Catalys
Sumber : Catalys

Karpet merah untuk pemain asing

Saat memimpin rapat terbatas tentang pusat data di Kantor Presiden pada Jumat (28/2), Presiden menyebut pusat data yang fokus dikembangkan di Indonesia akan mendatangkan banyak manfaat bagi perusahaan startup lokal yang saat ini masih banyak menggunakan pusat data di luar negeri.

Presiden tidak ingin Indonesia hanya menjadi pasar dan penonton bagi industri tersebut. Investasi pembangunan pusat data, menurutnya, harus memberikan nilai tambah dan transfer pengetahuan bagi Indonesia.

“Siapkan regulasinya termasuk yang mengatur soal investasi data center yang ingin masuk ke Indonesia. Kita juga harus memastikan investasi data center di Indonesia memberikan nilai tambah baik dalam pelatihan digital talent, pengembangan pusat riset, kerja sama dengan pemain nasional maupun sharing pengetahuan dan teknologi,” ucapnya.

Tim Microsoft bersama Bank Mandiri sebagai mitra perusahaan / Microsoft
Tim Microsoft bersama Bank Mandiri sebagai mitra perusahaan / Microsoft

Pernyataan Presiden keluar setelah pertemuannya dengan CEO Microsoft Satya Nadella yang datang ke Indonesia saat pagelaran Indonesia Digital Summit 2020. Presiden berjanji dalam waktu seminggu untuk merumuskan regulasi sederhana yang mendukung investasi berkaitan dengan data center.

Dalam seminggu lebih, meski di luar target, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo (RPM) tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat telah selesai dan siap diserahkan ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk proses penyusunan perundangan selanjutnya.

Aturan ini akan menjadi acuan bagi investor di bidang data dan komputasi awan. Seluruh isinya mengatur lebih teknis dari PP 71/2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Dalam RPM, mengatur teknis hak dan kewajiban, mekanisme dan tata cara perizinaan, tugas, kewajiban, hak, termasuk sanksi.

Sebagai catatan, PP tersebut merupakan hasil revisi dari PP 82/2012. Salah satu pasal yang disebutkan adalah PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri. Pasal kontroversial ini dianggap mencoreng semangat kedaulatan data.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” terang Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto.

Penolakan keras pemain lokal

Alex juga mempertanyakan kemudahan yang diberikan pemerintah untuk Microsoft dan kawan-kawan perusahaan asing, apakah karena Indonesia telah menjadi negara kapitalis.

“Kami cukup terkejut begitu mudahnya Presiden RI mengakomodasi permintaan dari Microsoft bahkan menjanjikan kurang dari seminggu regulasi yang diminta akan selesai. Kami belum pernah melihat dukungan yang sama diberikan kepada pemain lokal,” ujarnya dikutip dari CNNIndonesia.

Alex berharap seharusnya Jokowi bisa terlebih dahulu memikirkan nasib pemain di bisnis pusat data dan komputasi awan Indonesia. Seharusnya, Presiden membuat sebuah regulasi yang membuat kondisi lapangan usaha yang adil (a level playing field).

“Jangan sampai dengan hadirnya global player di Indonesia justru membuat ‘anak sendiri’ mati.”

Dalam draf RPM PSE Lingkup Privat, mendefinisikan Penyelenggara Sistem Elektronnik Lingkup Privat adalah penyelenggara Sistem Elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat.

Pendaftarannya harus memenuhi kriteria tertentu, salah satunya diatur/diawasi oleh Kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; punya portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk menyediakan, mengelola, mengoperasikan perdagangan barang dan/atau jasa, dan fungsi lainnya.

alibaba cloud
Alibaba Cloud lancarkan kegiatan khusus untuk startup Indonesia / Alibaba Cloud

Pengajuan pendaftaran PSE Lingkup Privat dilakukan melalui Online Single Submission (OSS). Ketentuan ini juga berlaku buat PSE asing yang melakukan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia.

Menurut draf, mereka hanya perlu menyampaikan informasi soal identitas PSE Lingkup Privat Asing, identitas pimpinan perusahaan dan/atau identitas penanggung jawab, dan surat keterangan domisili dan/atau akta pendirian perusahaan. Syarat legalnya cukup diterjemahkan dari penerjemah bersertifikat.

Draf juga tidak menyinggung pasal soal kewajiban membayar pajak untuk PSE asing sesuai dengan aturan berbisnis di Indonesia, ataupun kewajiban mencatatkan dan melaporkan pendapatan yang mereka peroleh dari Indonesia.

Dengan kata lain, isi draf ini sangat sederhana seperti yang disampaikan oleh Menteri Kominfo Johnny G Plate. Pada saat itu ia menyampaikan, Permen akan dibuat sesederhana mungkin untuk muluskan investasi perusahaan teknologi global yang ingin membangun pusat data di Indonesia.

Kendati demikian, pihak Kemenkominfo membuka konsultasi publik untuk meminta tanggapan dan masukan untuk penyempurnaan naskah hingga 26 Maret 2020.

Pada akhirnya berkolaborasi

DailySocial meminta tanggapan dari pemain sejenis dalam negeri untuk meminta tanggapannya terkait beleid ini. CEO Biznet Gio Cloud Dondy Bappedyanto enggan secara gamblang memberikan pandangannya.

Ia justru menilai dari kacamata bisnis, kehadiran pemain regional seperti Amazon, Google, dan Microsoft adalah peluang buat kolaborasi karena pasar pusat data dan komputasi awan ini punya model bisnis hyperscale.

Hyperscale mengacu pada sistem atau bisnis yang jauh melebih pesaing. Bisnis ini dikenal sebagai mekanisme pengiriman di balik sebagian besar web yang didukung cloud, yang merupakan 68% dari pasar layanan infrastruktur.

Layanan ini mencakup banyak layanan cloud yang hosted dan privat, ada IaaS dan PaaS. Mereka mengoperasikan pusat data besar, dengan masing-masing menjalankan ratusan ribu server hyperscale.

“Karena market hyperscaler dan kita itu sebenarnya beririsan. Ada yang punya irisan sendiri ada yang sharing irisan,” ujar Dondy.

Sejak tahun ini, Biznet Gio menggaet kemitraan dengan AWS dan Google Cloud. Ia mengaku hasil yang bisa diperoleh sejauh ini terbilang lumayan untuk layanan baru. “Sebenarnya lebih ke arah ekspansi market daripada survive. [Kalau] dapat market baru kenapa enggak kita berpartner saja.”

Ia melanjutkan, dengan mengambil posisi ini, Biznet Gio adalah sebagai komplementer. Bukan sebagai penantang langsung karena ia sadar ada perbedaan skala bisnis yang jauh. Sehingga dengan kemitraan, perusahaan bisa menggali lebih dalam solusi yang dibutuhkan pengguna cloud sehingga bisa memberikan solusi tepat guna.

Strategi lainnya adalah meningkatkan pelayanan agar pengguna tetap nyaman untuk memakai layanan Biznet Gio. “Penggunaan cloud pada awalnya ditujukan untuk efisiensi, bisa menjadi pemborosan bila cara menggunakannya tidak tepat. Jebakan ‘bayar jam-jam-an’ kadang menimbulkan nafsu untuk memakai teknologi atau konfigurasi yang sebenarnya tidak amat dibutuhkan.”

“Di sini, kami akan bertidak sebagai konsultan penggunaan cloud yang tepat guna untuk pelanggan, dari pengalaman yang sehari-hari kami hadapi,” pungkasnya.

Neo Cloud saat ini didukung fitur multi-region, memungkinkan layanan ditempatkan di dua atau lebih data center

Neo Cloud dari Biznet Gio Kini Dukung Fitur Multi-Region (UPDATED)

PT Biznet Gio Nusantara (Biznet Gio) meluncurkan fitur multi-region untuk layanan mereka Neo Cloud. Fitur baru ini memungkinkan layanan Neo Cloud beroperasi di atas dua atau lebih pusat data yang dimiliki Biznet Data Center yang saat ini berlokasi di Biznet Technovillage, Cimanggis, Jawa Barat dan Midplaza, Sudirman, Jakarta.

“Hari ini menjadi momentum bagi kami untuk kembali menegaskan komitmen Biznet dalam berinovasi, khususnya pada produk komputasi awan. Fitur terbaru ini hadir untuk memberikan keleluasaan serta membangun kepercayaan pelanggan dan kalangan industri dalam menggunakan layanan Biznet sebagai penyedia infrastruktur dan layanan teknologi terdepan di Indonesia,” terang Presiden Direktur Biznet Adi Kusuma.

Fitur multi-region yang ada di Neo Cloud adalah skema penanggulangan bencana (Disaster Recovery) yang bisa menjadi pilihan penting bagi pelaku industri yang membutuhkan tingkat ketersediaan layanan yang tinggi.  Fitur baru ini akan bekerja dengan mereplikaasi layanan atau aplikasi dalam dua mesin terpisah untuk meminimalkan dampak kerugian yang mungkin terjadi karena adanya kegagalan di salah satu region.

CEO Biznet Gio Cloud Dondy Bappedyanto menyebutkan bahwa hadirnya fitur multi-region pada Neo Cloud bisa menjadi langkah untuk meningkatkan standar penyedia layanan komputasi awan lokal untuk dapat meningkatkan daya saing dan tetap relevan dengan persaingan kelas dunia.

“Multi-region pada Neo Cloud merupakan fitur penting, terutama sebagai penyedia layanan komputasi awan untuk memberikan keamanan dan keandalan kepada pengguna di Indonesia. Saat ini pelanggan kami dapat secara komprehensif merancang kebutuhan infrastruktur di dua region yang berbeda, dan layanan tersebut dipastikan akan selalu tersedia. Hadirnya multi-region pada Neo Cloud turut meningkatkan standar penyedia layanan komputasi awan lokal untuk dapat meningkatkan daya saing, dan tetap relevan dengan persaingan kelas dunia, terlebih lagi karena data center-nya berada di Indonesia,” terang Dondy.

Pihak Biznet lebih jauh menjelaskan bahwa dengan arsitektur komputasi awan yang memiliki fitur multi-region pihaknya akan mampu memberikan dampak signifikan yang mendukung percepatan bisnis perusahaan. Fitur multi-region ini juga memungkinkan layanan yang didukung  Neo Cloud dapat tersedia secara konsisten (read and write access) dengan latensi yang sangat kecil, sesuatu yang membedakan dengan layanan yang tidak memiliki data center di Indonesia.

Sementara itu untuk rencana ke depan Dondy menyebutkan bahwa Biznet Gio Cloud akan terus berusaha memberikan value yang tidak kalah kompetitif dengan pemain luar. Mulai dari rencana instalasi data center ketiga di kuartal pertama 2019, peluncuran layanan Security Managed Service dan platform yang bisa mengakomodasi UKM seperti digital shop dan website-builder.

 

“Ketika sebuah perusahaan menargetkan ceruk pasar nasional, mempertimbangkan untuk memiliki layanan komputasi awan dengan arsitektur multi-region adalah keputusan positif. Demi keberlangsungan bisnis jangka panjang. Neo Cloud pun selalu hadir untuk terus mengiringi dan memberikan pengalaman terbaik menggunakan teknologi komputasi awan terkini. Layanan ini juga didukung oleh fasilitas jaringan broadband Biznet yang besar memberikan kenyamanan masalah latensi dan pelanggan tidak perlu memikirkan biaya soal interkoneksi,” tutup Dondy.

Update : Tambahan informasi mengenai rencana Biznet Gio Cloud ke depan.

Revisi aturan pusat data di PP 82/2012 menjadi hal yang diberdebatkan banyak pihak, baik pihak regulator maupun pemain industri

Menelaah Revisi Aturan Pusat Data di Indonesia

“Kita kan lagi gencar untuk mendorong ekonomi digital melalui startup. Banyak startup juga sedang jalan, sedangkan ada kebijakan yang ada di PP Nomor 82 Tahun 2012 (PP 82/2012) bahwa data center harus di Indonesia. Kalau data center untuk startup semuanya ada di Indonesia juga tidak bisa optimal prosesnya nanti,” ujar Rudiantara usai Rapat Koordinasi Revisi PP Nomor 82 Tahun 2018 di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Kamis (27/9) sore.

Menkominfo menganggap ada kebutuhan menggunakan platform cloud asing yang tidak memiliki pusat data di Indonesia. Belum lagi rencana para pemain besar untuk menancapkan kukunya di Indonesia.

Setelah Alibaba Cloud menyasar pasar Indonesia, Google memastikan akan berinvestasi dalam bentuk cloud region. Sementara Amazon Web Services, yang menjanjikan dana masuk sebesar $1 miliar dalam 10 tahun ke depan, tetapi tidak ada rencana membangun pusat data di Indonesia.

Penggunaan pusat data oleh beberapa layanan digital di Indonesia
Penggunaan pusat data oleh beberapa layanan digital di Indonesia

Menggunakan tools yang disediakan Bulitwith.com, terlihat ada kecenderungan sejumlah layanan digital di Indonesia lebih memilih layanan pusat data yang disediakan layanan asing.

Keterangan dedicated server biasanya merujuk kepada pusat data yang dibangun perusahaan secara mandiri atau dari penyedia layanan lokal. Dari gambar di atas, IDN Times dan Traveloka memanfaatkan Cloudflare Hosting, ini merupakan mekanisme proxy untuk menyembunyikan peletakan cloud server mereka dan umumnya digunakan karena perusahaan menggunakan lebih dari satu cloud server. Namun semua mitra integrasi Cloudflare yang ada saat ini rata-rata layanan asing seperti IBM Cloud, AWS, Azure dll.

Kondisi “ideal” berdasarkan PP 82/2012

Beleid yang terdiri dari 90 pasal tersebut secara umum mengatur tentang banyak hal, mengatur ketentuan penyelenggara transaksi elektronik, mekanisme perangkat lunak, perangkat keras, hingga sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Dari poin-poin yang ada, pasal 17 ayat 2 memuat hal-hal yang menjadi acuan saat ini. Bunyinya adalah sebagai berikut:

“Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.”

Di bagian penjelasannya disebutkan penyelenggara wajib memperoleh Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik dari Menteri dan wajib terdaftar di Kemenkominfo. Pusat data (data center) didefinisikan sebagai suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan sistem elektronik dan komponen terkait untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.

Sementara pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) didefinisikan sebagai fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting sistem elektronik yang terganggu atau rusak akibat bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.

Poin rancangan revisi

Dalam melakukan revisi, Kemenkominfo bersinergi dengan beberapa kementerian lain untuk harmonisasi regulasi. Harapannya aturan baru yang lahir nantinya dapat mengakomodasi dan merangkul kebutuhan sesuai dengan perkembangan yang ada. Dari draf yang pernah disampaikan, ada beberapa hal menarik, salah satunya dipaparkan dalam pasal 1 ayat 27. Pokok pembahasannya tentang klasifikasi data elektronik menjadi 3 bagian, yakni strategis, berisiko tinggi, dan berisiko rendah.

Menurut pemaparan Dirjen Ditjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, penyimpanan data akan diatur berdasarkan klasifikasi tersebut. Masing-masing memiliki sub bagian dan penjelasan. Sebagai contoh data strategis, dibagi menjadi tingkat tinggi, menengah, dan rendah. Hanya data strategis tingkat tinggi yang pusat datanya wajib berada di Indonesia.

Di kesempatan yang sama, Samuel memberikan penjelasan tentang klasifikasi data. Data strategis adalah data sensitif yang disimpan dan dikelola pemerintah, contohnya data intelijen, data ketahanan pangan, dan lain-lain. Data strategis tingkat tinggi bahkan aksesnya tidak melalui internet, namun jalur intranet yang terbatas. Sementara data strategis tingkat menengah boleh tersambung internet dengan dalih perlu diketahui publik. Sementara yang rendah boleh diletakkan di mana saja demi keterbukaan informasi.

Data risiko tinggi didefinisikan sebagai data sensitif berkaitan dengan pengguna. Untuk peletakan pusat data tidak wajib di Indonesia, namun pemerintah harus mendapatkan jalur akses untuk keperluan tertentu. Kewajiban bagi penyedia hanya menambahkan poin akses (misalnya berbentuk Cloud Delivery Network) di Indonesia, sehingga tidak perlu meminta otorisasi pemerintahan negara lain untuk akses data.

Data berisiko rendah cenderung berisi data dengan tingkat sensitivitas rendah, sehingga dapat dikelola di mana saja secara lebih bebas.

Kualifikasi Data PP 82/2012
Klasifikasi data sesuai revisi PP 82/2012

Selain berkaitan dengan data, revisi juga mengatur beberapa hal lain. Dalam pasal 5 tentang penyelenggara sistem elektronik, revisi menegaskan bahwa setiap penyelenggara wajib melakukan pendaftaran. Ini dapat diinterpretasikan penyedia layanan pusat data wajib terdaftar atau memiliki badan usaha legal.

Tanggapan industri

Chairman Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) Rendy Maulana berpendapat, “Awalnya kami sempat nyaris sepakat dengan usulan tersebut dengan catatan pemerintah bisa mengklasifikasikan data. Namun setelah kami berdiskusi ulang dengan anggota asosiasi dan beberapa rekan penegak hukum, hal ini tidak baik jika kami setujui.”

Menurutnya, data adalah “tambang emas” di era digital seperti sekarang. Berbekal data, berbagai tindakan bisa dilakukan, bahkan di ranah penegakan hukum. Pengelolaan data yang kurang terkontrol dapat memberikan ancaman untuk kedaulatan, terutama ancaman dari luar.

“Misalnya data pembelanjaan, itu bisa dimanfaatkan orang lain. Sebagai contoh data yang diambil dari marketplace, berbekal data tersebut pemain asing bisa meniru produk UKM kita dan membuat produk mirip dan whitelabel, lalu menjual harga yang lebih murah. Bisa menghancurkan perkembangan UKM.”

“Data browsing kita (log/timestamp) pun juga bisa berpengaruh banyak jika polisi ingin menemukan siapa pelaku kejahatan cyber, atau terjadi kasus bunuh diri, atau pembunuhan atau pencurian. Di tingkat lanjut, log pengguna layanan seperti Google bisa merekam aktivitas sehari-hari.” terang Rendy.

Menurut pemaparan ACHI, pada intinya data adalah sesuatu yang sangat sensitif. Perlu ada pengelolaan yang sangat ketat. Kelonggaran regulasi berkaitan dengan data bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk sesuatu yang akan merugikan kita sendiri.

ACHI merupakan organisasi nirlaba yang memiliki visi mengembangkan industri cloud dan hosting di Indonesia. Anggota dari ACHI merupakan perusahaan pelaku industri cloud dan hosting di Indonesia, serta organisasi terkait partisipan industri. Beberapa anggotanya termasuk Qwords, Rumahweb, BiznetGio, CBNCloud, Jogjacamp, Infinys dan Masterweb.

Negara lain makin ketat meregulasi data

Pernyataan tidak setuju juga dilayangkan Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO). Dalam rilis resminya, IDPRO mewanti-wanti pemerintah agar kedaulatan data nasional dipegang penuh oleh otoritas setempat. Organisasi juga memberikan contoh studi kasus, bagaimana negara lain memberikan aturan ketat berkaitan dengan data.

“Di bulan September 2017, Facebook dikenakan Denda oleh Pemerintah Spanyol melalui AEPD (Agencia Espanola de Proteccion de Datos/Spanish Data Protection Agency) sebesar USD$1.44 juta atas pelanggaran memanfaatkan data informasi personal dari pengguna Facebook di Spanyol untuk keperluan advertising. AEPD mendapati Facebook mengumpulkan data detail tentang gender, agama, kegemaran individu, hingga data situs halaman yang di-browsing oleh jutaan pengguna Spanyol tanpa seizin pemilik data-data tersebut. Selain Spanyol, Hongkong pun menerapkan kebijakan yang ketat dalam hal data warganya melalui aturan Personal Data Privacy Ordinance.”

Untuk kebijakan penempatan pusat data di dalam negeri bagi layanan publik atau layanan yang menyimpan data strategis, Indonesia tidak sendirian. Berdasarkan laporan Oxford University, Rusia dan Tiongkok telah menerapkan kebijakan serupa. Brazil berencana menerapkan kebijakan yang mirip. Jerman juga memiliki Privacy Laws yang sangat ketat dan rigid, menyebabkan Microsoft pada bulan November 2105 memutuskan menempatkan pusat data layanan cloud mereka di Jerman.

CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto berpendapat, sebelum laporan ini disahkan ada beberapa pertanyaan mendasar yang masih belum terjawab. Pertama, apakah PP 82/2012 yang sebelumnya ada sudah pernah dijalankan 100%? Sejauh ini ia melihat belum ada enforcement untuk penegakan regulasi tersebut. Kini revisi akan menjadi lebih kompleks, mekanisme pelaksanaannya belum dipaparkan oleh pihak regulator.

Kemudian pertanyaan kedua Dondy berkaitan dengan klasifikasi data. Bagaimana kita menilai data tersebut menjadi data personal, mekanismenya seperti apa, yang melakukan audit siapa? Tanpa prosedur teknis yang jelas dan terukur, dinilai akan banyak melahirkan celah yang dapat dimanfaatkan pihak berkepentingan. Memang, untuk menilai klasifikasi data harus ada standardisasi ketat, mengingat jenis data berevolusi cepat.

Dondy menekankan, efektivitas juga harus diukur dari beberapa aspek, misalnya kecepatan internet dan bandwidth.

“Semua yang ada di internet itu kan data. Video misalnya, kalau dinilai itu data yang strategis atau enggak, menurut saya pasti enggak ya karena hiburan. Video adalah kontan yang memakan bandwidth paling banyak, kalau video yang diproduksi dari sini ditaruh di luar, ya jangan harap internet bisa murah dan cepat. Kalau semua konten ada di luar, belum pasti penyedia layanan mau exchange bandwidth ke sini,” terang Dondy.

Revisi untuk mendukung industri

Ditemui di sela-sela IMF-WB Annual Meeting di Bali, Menkominfo memberikan penjelasan lain tentang rencana revisi PP 82/2012. Salah satunya untuk memberikan fleksibilitas startup digital lokal untuk berkembang. Menurutnya jika semua data diwajibkan diletakkan di dalam negeri, akan sulit jika nantinya ada kebutuhan untuk ekspansi atau sejenisnya.

Di kesempatan yang sama Rudiantara juga menegaskan, revisi aturan ini tidak ada hubungannya dengan dinamika industri komputasi awan, misalnya terkait rencana kehadiran pemain asing di Indonesia. Murni sebagai perbaikan berlandaskan kondisi dan kebutuhan yang ada.

Be realistic saja, sekarang berapa banyak startup lokal yang sudah melayani pasar regional. Coba sebutkan, baru GO-JEK dan Traveloka saja kan yang masif,” ujar Dondy menanggapi pernyataan Menkominfo tersebut.

Rendy menambahkan, saat ini sudah ada banyak sekali pusat data lokal. Untuk yang kelas publik dan carrier neutral, sudah ada di lebih dari 50 lokasi. Sedangkan untuk yang kelas privat, jumlahnya sudah ratusan dan lokasinya tersebar di banyak tempat.

“Publik ini maksudnya lokasi peletakan data center, semisal di Cyber, Duren Tiga, Cibitung, Bogor, dll. Sementara yang private lebih banyak lagi. Misalnya Qwords memiliki private data center di Gedung Cyber, begitu pula dengan Telkom memiliki di gedungnya sendiri. Tersebar mulai dari yang Tier 1 sampai Tier 4. Tidak hanya di Jabodetabek, bahkan ada di Papua dan Ternate. Lembaga pemerintah sendiri juga banyak bangun data center,” jelas Rendy.

Rendy dan Dondy secara percaya diri mengisyaratkan bahwa pemain lokal dengan pusat datanya di sini sudah sangat siap memfasilitasi kebutuhan startup digital lokal.

Biznet Gio Hadirkan Platform Cloud untuk Pengembang Aplikasi “NEO Cloud”

Biznet Gio Nusantara meresmikan peluncuran NEO Cloud, platform komputasi awan berbasis open source di Indonesia. Platform ini menyasar pengembang aplikasi yang bekerja di segmen UKM, startup, hingga korporasi sebagai pengguna.

Sasaran pengguna ini cukup berbeda dengan pengguna Biznet Cloud selama ini yang berasal dari kalangan enterprise.

CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menuturkan perusahaan meluncurkan platform komputasi awan baru karena banyak persepsi di pasar yang menganggap pemain cloud lokal masih tradisional dan layanannya hanya sekadar server saja. Lalu mereka dianggap tidak fleksibel dan hanya menyediakan metode penagihan per bulan.

Masyarakat juga menganggap pemain cloud lokal tidak bisa diandalkan, terlihat dari pemrosesannya yang lama dan rentan terkena gangguan. Isu terakhir adalah tidak terbuka karena hanya bisa diakses dan diatur dalam satu portal.

“Kita mau buat era baru, NEO Cloud itu kita buat secure by default. Kita tidak berikan akses password untuk masuk ke mesin, melainkan username dan sertifikat kunci. Jadi mesin tidak bisa diakses oleh siapapun yang tidak punya kunci,” terangnya, Rabu (1/11).

NEO Cloud dibangun dengan mengadopsi teknologi open source dari OpenStack dan diklaim sebagai layanan pertama yang menawarkan Multiple Availability Zone dan Multiple Region.

Multiple Regions NEO Cloud dibangun di dua pusat data yang dimiliki Biznet Data Center yang berlokasi di Technovillage (Cimanggis) dan Midplaza (Jakarta). Masing-masing region terdapat tiga Availabilty Zone. Jika terjadi kerusakan dalam salah satu Availability Zone, maka file akan langsung dialihkan ke Availability Zone lainnya.

Fitur dan layanan yang dihadirkan NEO Cloud di antaranya Virtual Compute, Flex Storage, Networks, dan Domain. Virtual Compute adalah layanan utama NEO Cloud, yang merupakan Infrastructure-as-a-Service (IaaS) memberikan kemudahan untuk mengatur kebutuhan skala komputasinya, mulai dari 1-32 core vCPU dengan RAM hingga 64 GB.

Sementara, Flex Storage diperuntukkan untuk penyimpanan dana, mencakup layanan Block Storage dan Object Storage. Block Storage terdiri dari Standard Performance yang memberikan performa kecepatan hingga 10 ribu IOPS dan High Performance dengan kecepatan dari 30 ribu IOPS sampai 10 ribu IOPS.

Untuk Object Storage, NEO Cloud menjamin kompatibilitas dengan standar industri S3 dari Amazon Web Service.

Adapun desain UI/UX dari layanan dibuat ringkas dan nyaman, memudahkan pengguna merancang, menjelajah, dan membangun berbagai topologi infrastruktur dalam waktu singkat.

“Kami ingin membawa nuansa baru bagi industri komputasi awan di Indonesia. Selama ini penyedia layanan komputasi awan lokal kerap dipandang sebelah mata karena fitur yang ditawarkan dianggap masih kalah dengan pemain dari luar negeri.”

Selain diklaim sebagai layanan yang ramah untuk para pengembang aplikasi, NEO Cloud juga dianggap ramah untuk industri fintech. Pasalnya, data center Biznet telah mengantongi sertifikasi standar keamanan informasi Payment Card Industry Data Security Standard (PCI DSS).

Industri keuangan di Indonesia cukup ketat. Untuk data center-nya tidak boleh sembarangan, karena harus berlokasi di dalam negeri dan mengantongi sertifikat tersebut.

“Dia [NEO Cloud] itu developer friendly dan fintech friendly. Sebagian besar pemain data center di Indonesia itu tidak developer friendly karena banyak aspek yang kosong. PCI DSS itu agak sulit untuk diperoleh pemain startup fintech, lantaran perlu waktu satu tahun untuk mengurus. Kalau sudah ada yang pegang PCI DSS akan sangat membantu developer fintech,” terang CEO JAS Kapital Indonesia Izak Jenie.

NEO Cloud telah meluncur dalam bentuk beta sejak 1 Oktober 2017 dan telah diuji coba ke lebih dari 1000 pengembang aplikasi. Rencananya, layanan ini akan resmi meluncur secara komersil pada 10 November 2017 mendatang.

Peran Teknologi Cloud dalam Pengelolaan Infrastruktur Startup

Dalam sesi #SelasaStartup minggu keempat bulan Agustus, DailySocial menghadirkan CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto. Sesuai dengan keahlian narasumber, pada sesi kali ini dibahas tentang bagaimana startup mempersiapkan infrastruktur teknologinya. Salah satu bahasan dalam diskusi ini adalah pemanfaatan teknologi komputasi awan (cloud computing) sebagai fondasi produk digital startup.

Layanan komputasi awan banyak dipilih karena cenderung lebih mudah dikonfigurasi dan fleksibel. Bagi perusahaan atau startup bisa jadi sangat membutuhkan server berukuran besar untuk menyimpan data, namun bisa jadi sebaliknya, sehingga fleksibilitas akan sangat membantu. Dengan adanya komputasi awan, startup tidak perlu menyediakan teknologi yang langsung besar, namun dapat diangsur sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan bisnis.

Layanan komputasi awan ini sejatinya merupakan kombinasi antara teknologi komputasi dengan pengembangan internet. Pengguna hanya menyediakan sebuah komputer dan perangkat jaringan internet untuk terhubung ke server.

“Saat ini banyak sekali startup mengadopsi layanan teknologi cloud untuk menjalankan berbagai kegiatan, baik itu hybrid cloud, private cloud dan public cloud. Karena sistem ini menawarkan peningkatan dalam beberapa hal dari pengelolaan infrastruktur,” tutur Dondy kepada DailySocial.

Melihat dari efektivitas dari sisi biaya

Perbedaan pada situasi biaya memang harus kritis, terlepas dari pengguna memilih tingkat layanan yang dipilih. Namun, di lingkungan startup dengan mobilisasi tinggi sangat cocok menggunakan layanan cloud ini. Karena bukan hanya fleksibel dalam menampung data berskala besar, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan cloud juga lebih singkat dibanding menyiapkan server sendiri.

Apalagi urusan biaya menjadi model bisnis bagi startup yang ingin berlangganan dengan pay as you go, metode ini sangat mirip dengan pembayaran tagihan listrik, hanya dengan membayar resource yang dibutuhkan perusahaan.

Sebaga CEO Biznet Gio, Dondy Bappedyanto menilai, “Masalah kompleksitas saat ini di cloud itu sudah tidak ada lagi, karena kompleksitas adalah ketika kita harus membeli server sendiri itu dimulai dari proses cari spesifikasi yang tepat, cari vendor yang tepat, tawar menawar, lokasi server, pembayaran listrik, internet, instalasi operation sistem, instalasi aplikasi. Masalah biaya itu adalah model bisnis.”