Tag Archives: Blizzard Entertainment

Pokimane Sempat Ingin Pensiun, PUBG Mobile Jadi Sponsor Tim Cricket di Pakistan

Ada beberapa berita menarik di dunia esports pada minggu lalu. Salah satunya, Pokimane mengaku, dia sempat mempertimbangkan untuk pensiun sebagai streamer pada 2022. Selain itu, PUBG Mobile memutuskan untuk menjadi sponsor dari tim cricket di Pakistan. Sementara itu, Liga League of Legends di Eropa memperpanjang kontrak kerja sama dengan Secretlab, Red Bull, dan Warner Music. Dan tim League of Legends FlyQuest baru saja menandatangani kontrak dengan Mastercard.

Pokimane Sempat Pertimbangkan untuk Pensiun di 2022

Streamer perempuan terpopuler di Twitch, Imane “Pokimane” Anys mengungkap bahwa dia sempat berencana untuk pensiun di tahun ini. Dia menceritakan hal itu tak lama setelah dia diblokir oleh Twitch karena menampilkan Avatar: The Last Airbender saat dia sedang siaran. Dalam sebuah video, Pokimane mengatakan, satu-satunya alasan dia tetap melanjutkan karirnya sebagai streamer adalah karena perubahan yang terjadi di Twitch.

“Saya sempat mempertimbangkan untuk berhenti menjadi streamer pada tahun ini. Saya mengurungkan niat saya karena jumlah penonton dan streamer perempuan di Twitch terus bertambah, dan komunitas Twitch menjadi semakin beragam, dengan semakin banyak munculnya streamer dari ras kulit warna maupun grup minoritas lainnya,” kata Pokimane, seperti dikutip dari USA Today. Dia mengaku, dia mempertimbangkan untuk mundur karena dia lelah dianggap sebagai “gangguan” di industri.

Mastercard Jadi Rekan Finansial dari FlyQuest

Organisasi esports asal Amerika Utara, FlyQuest, mengumumkan kerja sama mereka dengan Mastercard. Dengan begitu, Mastercard resmi menjadi rekan finansial dari tim League of Legends FlyQuest. Bersamaan dengan pengumuman tersebut, FlyQuest memamerkan seragam baru mereka, yang kini dilengkapi dengan logo Mastercard. Seragam itu akan digunakan oleh tim FlyQuest sepanjang musim League of Legends Championship Series (LCS) 2022.

Seragam baru dari FlyQuest. | Sumber: Esports Insider

“Kami selalu berkomitmen untuk memastikan bahwa semua entitas yang menjadi rekan kami memiliki nilai yang sama dengan kami. Karena itu, kami sangat senang dengan keputusan Mastercard untuk menjadi rekan dari FlyQuest,” kata CEO FlyQuest, Tricia Sugita, seperti dikutip dari Esports Insider. “Bersama, FlyQuest dan Mastercard akan membuat kolaborasi yang fokus untuk menunjukkan prinsip dari kami berdua.”

LEC Perbarui Kerja Sama dengan Secretlab, Red Bull, dan Warner Music

League of Legends European Championship (LEC) baru saja memperbarui kerja sama dengan tiga brands penting, yaitu manufaktur gaming chair, Secretlab, label rekaman, Warner Music, dan perusahaan energy drink, Red Bull. Dengan ini, Secretlab resmi menjadi rekan gaming chair dari LEC dan EU Masters. Jadi, kursi TITAN Evo 2022 buatan Secretlab akan digunakan dalam kedua kompetisi itu, menurut laporan dari Esports Insider.

Sementara itu, Warner Music terus menjadi rekan musik dari LEC. Riot Games mengungkap, label rekaman itu punya peran penting dalam pembuatan video promosi dari 2022 LEC, yang menampilkan penyanyi Chrissy Constanza. Ke depan, Warner Music akan terus membantu LEC dalam segala sesuatu terkait musik. Terakhir, Red Bull akan membuat program content activations yang akan ditampilkan di LEC. Selain itu, mereka juga akan mempromosikan skena esports League of Legends di level grassroots selama 12 bulan.

PUBG Mobile Sponsori Tim Cricket di Pakistan

PUBG Mobile menjadi sponsor dari Lahore Qalandars, tim cricket yang berlaga di Pakistan Super League (PSL). Hal ini diungkap melalui akun Twitter resmi dari Lahore Qalandars. Sebagai bagian dari kontrak sponsorship ini, fans dari Lahore Qalandars akan bisa mendapatkan kesempatan untuk menerima item “eksklusif” di PUBG Mobile. Sayangnya, belum diketahui apa item tersebut.

Juru bicara Lahore Qalandars mengatakan, kerja sama mereka dengan PUBG Mobile merupakan kolaborasi jangka panjang. Dia menambahkan, mereka akan mempromosikan PUBG Mobile di Pakistan. Harapannya, jumlah pemain PUBG Mobile di negara itu — yang kini mencapai 15 juta orang — akan bertambah. Selain itu, tim cricket tersebut juga akan fokus untuk mempromosikan kompetisi yang sehat di skena esports, lapor Dot Esports.

Blizzard Ungkap Rencana Esports untuk World of Warcraft di 2022

Blizzard Entertainment baru saja mengumumkan rencana mereka untuk merayakan ulang tahun ke-15 dari World of Warcraft Esports. Untuk itu, pada 2022, mereka akan menggelar tiga kompetisi. Secara total, hadiah yang ditawarkan dalam tiga events tersebut mencapai US$1,8 juta. Acara pertama akan dimulai pada Februari 2022. Salah satu acara yang akan diadakan oleh Blizzard adalah Arena World Championship. Turnamen yang telah berlangsung selama 15 tahun itu akan dimulai pada 18 Maret 2022.

Selain itu, Blizzard juga berencana untuk mengadakan Mythic Dungeon International. Sama seperti musim sebelumnya, MDI Season 3 ini juga akan menggunakan format grup. Pendaftaran untuk Time Trials, yang akan dimulai pada 30 Maret 2022, telah dibuka saat ini. Dari sana, 24 tim terbaik akan maju ke season groups. Di sini, mereka akan bertanding dengan satu sama lain untuk mendapatkan tiket ke Global Finals dan hadiah uang sebesar US$30 ribu setiap minggu. Kompetisi terakhir yang diadakan untuk World of Warcraft adalah Classic Arena Tournament. Di kompetisi itu, para pemain dari Eropa dan Amerika Utara bisa membentuk tim beranggotakan tiga orang untuk bertarung dengan satu sama lain.

Sumber header: Talk Esport

Pros and Cons of the Absolute Power of Game Publishers in the World of Esports

In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth. 

Advantage #1: No Power Scramble

In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).

In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.

We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and @KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible! pic.twitter.com/OZ3apKDZgV

— Indonesia Esports Association (@iespaorg) September 2, 2019

Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.

Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.

Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms). 

Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.

PBESI Inauguration. | Source: Hybrid.co.id

Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem

On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.

Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem

Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?

Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).

PBE previews, @DWGKIA for the win!

🏆DWG Nidalee
🏆DWG Kennen
🏆DWG Twisted Fate
🏆DWG Jhin
🏆DWG Leona pic.twitter.com/lk2YxQrWYI

— League of Legends (@LeagueOfLegends) April 13, 2021

Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.

As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.

ClutchGuild that qualified for AOV World Cup 2018. | Source: Mineski

Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.

Advantage #3: Fixed Set of Rules

In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament. 

We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference. 

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Source:  IFeL Official Documentation

Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances. 

Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem

Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.

In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.

Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.

Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.

“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.

Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports

Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.

Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.

Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.

“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.

Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments

Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money. 

For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.

Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.

Astralis and Team Liquid, winners of Intel Grand Slam Season 1 and 2. | Source: Dexerto

Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.

The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.

Conclusion

There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers –  who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.

Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene. 

Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Pro dan Kontra Kekuasaan Absolut Publisher Game di Dunia Esports

Jika esports adalah sebuah kerajaan, maka publisher adalah rajanya, pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan hidup-mati dari ekosistem esports sebuah game. Di satu sisi, kekuasaan publisher memungkinkan mereka untuk mengembangkan ekosistem esports. Di sisi lain, publisher juga punya kuasa untuk mematikan skena esports jika mereka menganggap bisnis esports tidak menguntungkan. Berikut argumen pro dan kontra akan kekuasaan penuh yang dipegang oleh para publisher di skena esports.

Pro #1: Tidak Ada Perebutan Kekuasaan

Di Indonesia, ada empat asosiasi yang menaungi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Masing-masing asosiasi punya afiliasi sendiri-sendiri. Misalnya, IESPA telah menjadi anggota dari International Esports Federation sejak 2013 dan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sejak 2018. Selain itu, mereka juga terafiliasi dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Sementara PBESI punya hubungan erat dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Pada Agustus 2020, KONI mengakui esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Dengan begitu, esports tak lagi masuk dalam kategori cabang olahraga rekreasi. Artinya, kuasa IESPA di kancah esports menjadi tidak seluas sebelumnya. Sebaliknya, posisi PBESI justru menjadi setara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dengan begitu, di mata hukum dan undang-undang, PBESI menjadi asosiasi dengan kewenangan tertinggi untuk memajukan esports, menurut One Esports. Padahal, sebelum itu, IESPA punya peran yang cukup besar dalam mendorong atlet esports berkompetisi di kompetisi global. Mereka bahkan bertanggung jawab atas pemilihat atlet esports di SEA Games 2019.

Idealnya, asosiasi-asosiasi esports di Indonesia bisa saling bahu membahu untuk mengembangkan ekosistem esports di Tanah Air. Dari tinju — yang punya empat organsiasi di dunia– kita bisa tahu asosiasi-asosiasi dari cabang olahraga yang sama bisa hidup berdampingan. Namun, keberadaan lebih dari satu asosiasi tidak hanya memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar asosiasi, tapi juga tumpang tindih tanggung jawab.

Nah, jika publisher memegang kuasa penuh akan skena esports, maka konflik perebutan kekuasaan bisa dicegah. Publisher bisa memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem esports — mulai dari pemain, tim, sampai penyelenggara turnamen — mematuhi peraturan yang mereka buat. Dengan begitu, proses pengembangan ekosistem esports bisa menjadi lebih kohesif. Tak hanya itu, ketika publisher memegang kuasa penuh, mereka juga bisa membuat skena esports menjadi lebih stabil.

Mari kita bandingkan kuasa absolut publisher di skena esports dengan sistem pemerintahan kediktatoran. Sistem pemerintahan demokrasi selalu disebut lebih baik dari kediktatoran. Namun, dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan akan selalu berganti setiap beberapa tahun. Di Indonesia, paling maksimal, seseorang bisa menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (alias 2 periode). Jadi, maksimal setiap 10 tahun, presiden Indonesia akan berganti.

Masalahnya, ketika ada pergantian pemimpin, biasanya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang baru berasal dari kelompok oposisi dari presiden yang lama. Hal ini pernah terjadi di DKI Jakarta. Ketika pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, mereka langsung mengubah beberapa kebijakan yang dibuat oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Pelantikan PBESI. | Sumber: Hybrid.co.id

Dalam kehidupan bernegara, perubahan kepemimpinan mungkin bisa berdampak baik. Namun, dalam skena esports, kontinyuitas adalah komoditas yang sangat penting. Bayangkan jika tahun ini, kuasa akan skena esports ada di tangan asosiasi A. Mereka memutuskan untuk membuat kompetisi esports tingkat SMA dan kuliah karena mereka merasa, regenerasi pemain esports sangat penting. Namun, pada tahun depan, kuasa akan esports beralih ke asosiasi B, yang merasa, membuat kompetisi tingkat amatir tidak ada gunanya. Mereka lalu membubarkan semua kompetisi untuk pelajar dan mahasiswa yang telah diadakan oleh asosiasi A sebelumnya. Hal ini justru akan membuat skena esports menjadi tidak stabil.

Bagi negara yang ada di bawah kepemimpinan seorang diktator, hidup atau matinya negara tersebut memang sepenuhnya tergantung pada karakter dan moral sang diktator. Begitu juga dengan esports. Ketika publisher memegang kuasa penuh, maka sukses atau gagalnya skena esports akan bergantung sepenuhnya pada publisher. Kabar baiknya, hampir semua publisher ingin ekosistem esports dari game mereka sukses. Alasannya sederhana: karena ekosistem esports akan memberikan dampak langsung pada keuangan publisher.

Pro #2: Pubisher akan Perjuangkan Skena Esports Mati-Matian

Valve mendapatkan US$130,8 juta dari penjualan Battle Pass The International 9. 25% dari total penjualan Battle Pass — sekitar US$32,7 juta — disalurkan langsung ke total hadiah TI9. Hal inilah yang membuat TI9 bisa menawarkan total hadiah sebesar US$34,3 juta. Padahal, Valve sendiri hanya menyiapkan US$1,6 juta. Hal itu berarti, Valve bisa mengantongi US$98,1 juta dari penjualan Battle Pass TI9. Padahal, Dota 2 adalah game gratis yang diluncurkan pada Juli 2013. Namun, berkat kesuksesan skena esports dari Dota 2, game itu tetap bisa menjadi tambang emas bagi Valve. Pertanyaannya, jika skena esports yang sukses bisa menghasilkan puluhan juta dollar, publisher mana yang tidak akan berjuang mati-matian untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka?

Oke, The International mungkin merupakan kasus ekstrim yang tidak bisa ditiru oleh semua publisher. Namun, publisher punya beberapa opsi untuk memonetisasi skena esports dari game mereka. Misalnya, Riot Games membuat dan menjual skin dari tim yang menjadi juara League of Legends World Championship. Model monetisasi lain yang mereka gunakan adalah membuat liga League of Legends dengan model liga franchise. Artinya, jika sebuah tim ingin ikut serta dalam liga, mereka harus membayar sejumlah uang terlebih dulu. Saat ini, Riot telah menerapkan model franchise di tiga liga League of Legends, yaitu Liga Amerika Utara (LEC), Liga Eropa (LEC), dan Liga Korea Selatan (LCK). Di Indonesia, salah satu publisher yang mengadopsi model monetisasi liga franchise adalah Moonton dengan Mobile Legends Professional League (MPL).

Selain itu, esports juga bisa digunakan sebagai alat marketing, yang dapat memperpanjang lifecycle sebuah game. Ubisoft adalah contoh publisher yang sukses menjadikan esports sebagai alat marketing. Mereka meluncurkan Rainbow Six: Siege pada 2015. Satu tahun kemudian, pada 2016, jumlah pemain dari game FPS itu hanya mencapai 10 juta orang. Namun, pada 2020, angka itu meroket menjadi 55 juta pemain. Padahal, biasanya, semakin tua umur sebuah game, semakin sedikit jumlah pemainnya. Dalam kasus Ubisoft, skena esports R6 membuat game itu tetap relevan sehingga para pemain tetap setia dan tidak beralih ke game lain.

Karena sukses atau tidaknya sebuah skena esports punya dampak besar pada publisher, tentunya, mereka juga akan berjuang ekstra keras untuk memastikan skena esports dari game mereka tetap bertahan. Di Indonesia, skena esports Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar. Namun, sekarang, turnamen esports dari kedua game itu sudah jarang ditemui. Alasannya, karena gamers Indonesia lebih suka untuk memainkan mobile game dan juga tak ada publisher yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports dua game tersebut di sini.

Karena skena esports yang sehat bisa menguntungkan publisher — baik secara langsung maupun tidak langsung — maka mereka pun akan berjuang ekstra keras untuk menumbuhkan dan mempertahankan ekosistem esports dari game mereka. Contohnya, ekosistem esports dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar di Tanah Air. Sayangnya, sekarang, tidak banyak pihak yang mengadakan kompetisi esports dari kedua game itu.

ClutchGuild yang lolos ke AOV World Cup 2018. | Sumber: Mineski

Sekarang, mari bandingkan dengan Arena of Valor. Mobile game MOBA itu juga kalah pamor jika dibandingkan dengan game-game mobile lain. Meskipun begitu, skena esports-nya masih hidup. Buktinya, Arena of Valor Premier League masih digelar. Dan total hadiah dari turnamen tersebut tidak kecil, mencapai US$350 ribu. Coba tebak siapa yang menyelenggarakan Arena of Valor Premier League? Tencent dan Garena. Hal ini menunjukkan, walau ekosistem esports tetap bisa bertahan tanpa dukungan publisher, sokongan publisher tetap akan memengaruhi sukses atau tidaknya skena esports.

Pro #3: Peraturan yang Pasti

Soal regulasi, baik penyelenggara turnamen (TO) maupun publisher sebenarnya sama-sama bisa membuat peraturan dalam sebuah skena esports. Hanya saja, publisher punya power yang lebih kuat untuk menegakkan peraturan yang mereka buat karena mereka memang memiliki akses langsung ke game yang diadu. Misalnya, jika ada pemain esports yang berbuat curang dalam kompetisi resmi PUBG Mobile, Tencent punya akses untuk melakukan ban pada ID pemain dari game. Sementara itu, jika hal yang sama terjadi di turnamen dari pihak ketiga, pihak TO hanya akan bisa melarang pemain mengikuti turnamen-turnamen yang mereka buat di masa depan.

Contoh lainnya, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang besar tanpa dukungan publisher adalah Pro Evolution Soccer. Skena esports PES bisa tumbuh berkat Liga1PES dan juga Indonesia Football e-League (IFeL). Masing-masing kompetisi punya peraturan masing-masin. Namun, Liga1PES tidak akan bisa ikut campur dalam regulasi yang dibuat oleh IFeL dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, publisher akan bisa membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh semua TO yang tertarik untuk membuat turnamen esports dari game mereka.

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Memang, kekuasaan absolut publisher ini bisa disalahgunakan. Namun, mengacu pada poin pro #2, publisher tidak akan membuat regulasi yang tidak adil. Karena, hal ini bisa membuat tim dan pemain profesional enggan ikut serta atau bahkan membuat para fans marah. Jadi, kemungkinan besar, publisher akan mencoba untuk membuat regulasi yang memang kondusif untuk pertumbuhan ekosistem esports.

Kontra #1: Bisa Mematikan Ekosistem Esports Kapan Pun

Esports memang bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi publisher. Hanya saja membuat ekosistem esports yang menguntungkan bukanlah perkara gampang. Terkadang, publisher harus menginvestasikan uang yang tidak sedikit dalam waktu lama demi mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Karena itu, jangan heran jika ada publisher yang memutuskan untuk berhenti menyokong ekosistem esports dari game mereka ketika mereka menganggap, competitive gaming tidak menguntungkan. Blizzard Entertainment adalah salah satu publisher yang melakukan hal ini.

Blizzard merilis Heroes of the Storm pada 2015. Di tahun yang sama, Blizzard menggandeng organisasi esports tingkat universitas, Tespa, untuk menggelar kompetisi HoTS untuk para mahasiswa, Heroes of the Dorm. Blizzard menyediakan hadiah berupa beasiswa senilai US$25 ribu untuk tim yang bisa menjadi juara. Satu tahun kemudian, pada 2016, Blizzard mengadakan kompetisi HoTS untuk profesional. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuat turnamen dengan skala global. Turnamen itu dinamai Heroes of the Storm Global Championship (HGC). Skena esports HoTS pun cukup sukses. Buktinya, sejumlah organisasi esports ternama ikut turut serta, seperti Gen.G dari Korea Selatan dan Fnatic dari Inggris.

Namun, pada Desember 2018, Blizzard memutuskan untuk berhenti mendukung skena esports HoTS. Alasannya, karena mereka menganggap, investasi di competitive gaming tidak menguntungkan. Masalahnya, ketika itu, Blizzard tidak menginformasikan rencana mereka untuk berhenti menyokong skena esports HoTS pada para tim atau pemain. Alhasil, pelatih dan pemain profesional HoTS mendadak kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi profesional juga mengalami kerugian karena mereka sudah terlanjur membuat tim untuk HoTS. Kabar baiknya, para fans HoTS berhasil mempertahankan skena dari game MOBA tersebut. Walau tentu saja, skala turnamen yang diadakan menjadi jauh lebih kecil.

Keputusan Blizzard untuk menghentikan turnamen HoTS secara sepihak merupakan salah satu dampak negatif yang mungkin muncul karena publisher memegang kekuasaan absolut di dunia esports. Dan hal ini mendorong politikus Korea Selatan untuk membuat regulasi baru. Pada Mei 2021, anggota kongres dari Partai Demokrat Korea, Dong-su Yoo mengajukan regulasi bernama Heroes of the Storm Law. Regulasi tersebut ditujukan untuk memastikan tidak ada pihak penyelengggara turnamen — baik publisher atau TO — yang mendadak membatalkan kompetisi tanpa mengabarkan hal itu pada semua pihak terkait. Melalui HoTS Law, Yoo berharap, jika publisher atau perusahaan distributor game berencana untuk berhenti mengadakan kompetisi esports, mereka akan memberitahukan hal tersebut pada tim dan pemain beberapa sebelum rencana itu direalisasikan, menurut laporan Naver Sports.

“Dalam esports, jika publisher game tak lagi mendukung skena esports, banyak pihak yang akan terkena dampaknya, termasuk organisasi esports, pemain profesional, caster, penonton, dan berbagai pihak lain,” kata Yoo, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia menyebutkan, kebanyakan pemain esports merupakan remaja atau berumur 20-an, yang merupakan masa penting dalam menentukan dan membangun karir profesoinal mereka. Kematian ekosistem esports secara mendadak bisa memengaruhi karir mereka. “Harus ada regulasi yang melindungi mereka,” ujar Yoo.

Kontra #2: Publisher yang Tak Tertarik dengan Esports

Jika Blizzard memutuskan untuk menyetop kompetisi HoTS setelah menyokong ekosistemnya selama sekitar tiga tahun, Nintendo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk membangun ekosistem esports dari Super Smash Bros. Padahal, ekosistem esports dari Super Smash Bros. cukup berkembang. Buktinya, ada kompetisi tahunan dari Super Smash Bros., Smash Summit, yang diadakan sejak 2015. Tak hanya itu, Super Smash Bros. juga masuk dalam EVO, kompetisi esports paling bergengsi untuk fighting game. Meskipun begitu, Nintendo tetap tak tertarik untuk menyokong ekosistem esports Super Smash Bros.

Memang, Nintendo masih memberikan bantuan pada komunitas Super Smash Bros., seperti bantuan logistik, tapi, mereka tidak memberikan bantuan finansial sma sekali. Alhasil, total hadiah dari turnamen-turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil dari kebanyakan kompetisi esports lainnya. Sebagai perbandingan, Smash Summit 5 — kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar — hanya menawarkan hadiah sebesar US$83,7 ribu. Sementara itu, MPL — yang hanya mencakup Indonesia — mempunya total hadiah sebesar US$150 ribu. Dan Riot menyediakan US$2,25 juta untuk League of Legends World Championship.

Keputusan Nintendo ini membuat sejumlah pemain profesional Super Smash Bros. meradang. Karena itu, pada 2020, President Nintendo, Shuntaro Furukawa, memberikan alasan di balik keputusan Nintendo untuk tidak mendukung ekosistem esports Super Smash Bros. Dia menjelaskan, perusahaan lebih ingin agar Super Smash Bros. bisa dinikmati oleh semua orang, baik gamer hardcore maupun kasual. Mereka tidak ingin menonjolkan perbedaan kemampuan antara pemain Super Smash Bros. profesional dengan pemain kasual. Memang, selama ini, Super Smash Bros. lebih dikenal sebagai fighting game yang fun dan bukannya fighting game yang serius.

Esports, yang menyediakan panggung bagi para gamers untuk bertanding dan memperebutkan hadiah di hadapan penonton, memang bisa menunjukkan daya tarik dari video game,” kata Furukawa pada Nikkei, seperti diterjemahkan oleh Kotaku. “Kami bukannya tidak mendukung esports. Kami ingin bisa berpartisipasi dalam berbagai event sehingga game-game kami bisa dinikmati semua orang, terlepas pengalaman, gender, atau umur. Kekuatan kami, apa yang membedakan kami dari perusahaan lain, adalah pandangan ini dan bukannya besar total hadiah turnamen.”

Kontra #3: Turunnya Legitimasi Turnamen Pihak Ketiga

The International adalah Piala Dunia-nya para pemain Dota 2. The be-all and end-all. Hal ini tidak aneh, mengingat TI memang menawarkan hadiah yang paling besar, tidak hanya jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 lainnya, tapi jika dibandingkan dengan semua kompetisi esports dalam satu tahun. Tim yang menjuarai TI sudah pasti akan menjadi tim dengan total hadiah terbesar dalam satu tahun.

Bagi Valve, tingginya hype TI memang kabar baik. Namun, bagi penyelenggara turnamen pihak ketiga, hal ini justru bisa menjadi masalah. Pasalnya, total hadiah TI yang terlalu besar justru membuat kompetisi Dota 2 lainnya terlihat tidak signifikan. Hal ini bisa membuat para tim atau pemain papan atas enggan untuk ikut serta dalam turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga. Dan jika tidak ada pemain atau tim elit yang berlaga, pihak penyelenggara akan kesulitan untuk menarik perhatian penonton.

Selain dari segi total hadiah, turnamen dari penyelenggara pihak ketiga juga biasanya kesulitan untuk menyaingi turnamen resmi dari publisher dari segi prestige. Ketika Anda menonton The International atau PUBG Mobile Global Championship, Anda tahu bahwa tim-tim yang bertanding di turnamen itu merupakan tim terbaik. Karena, untuk bisa berlaga di TI atau PMGC, sebuah tim harus melalui “babak penyisihan”, seperti turnamen tingkat nasional atau regional. Hal ini menunjukkan, kompetisi resmi dari publisher biasanya memiliki jenjang yang jelas. Dari kompetisi tingkat nasional, lalu naik ke tingkat regional, sebelum masuk ke level global.

Astralis dan The Liquid yang memenangkan Intel Grand Slam Season 1 dan 2. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, tidak semua kompetisi dari TO pihak ketiga bisa sekomprehensif itu. Selain itu, membuat kompetisi esports yang berjenjang, seperti yang dilakukan oleh para publisher, memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang mau untuk menyiapkan dana dan tenaga demi membuat kompetisi esports dengan jenjang panjang. Salah satu perusahaan non-publisher yang bisa melakukan itu adalah Intel, yang mengadakan Intel Grand Slam dengan bantuan dari ESL Gaming. Intel Grand Slam menawarkan hadiah US$1 juta untuk tim CS:GO yang berhasil memenangkan 4 turnamen S-Tier dalam periode 10 kompetisi.

Keberadaan Intel Grand Slam memang membuktikan bahwa pihak ketiga pun bisa membuat kompetisi yang berkelanjutan. Hanya saja, ada berapa banyak perusahaan yang mampu dan mau melakukan hal itu? Intel ada di posisi unik. Mereka tidak hanya punya dana yang memadai, mereka juga merupakan merek endemik esports. Pada 2020, pemasukan Intel mencapai US$77,87 miliar. Sementara itu, pendapatan NVIDIA pada tahun fiskal 2021 adalah US$16,68 miliar, Sony US$10,7 miliar, dan Lenovo Group US$50,7 miliar.

Kesimpulan

Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kehidupan bernegara, seseorang yang memegang kekuasaan penuh kemungkinan besar memang akan tergoda untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dan dalam dunia esports, publisher — sebagai pemegang kuasa absolut — juga punya potensi untuk berbuat semena-mena. Hal ini dibuktikan oleh Blizzard yang secara sepihak menyetop kompetisi Heroes of the Storm. Namun, hal itu bukan berarti semua publisher akan melakukan hal itu.

Pasalnya, sebagai perusahaan, publisher pasti akan mencoba untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dan esports bisa menjadi sumber pemasukan baru. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan untung dari esports, publisher harus terlebih dulu membangun ekosistem yang solid. Dan publisher tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari tim, pemain, dan penyelenggara turnamen esports. Jadi, walau publisher bisa membuat keputusan sesukanya, mereka harus mengambil langkah yang menguntungkan semua pihak yang terlibat jika mereka ingin mendapatkan untung dari esports.

Sumber header: Win.gg

Hero Overwatch Ke-32, Echo, Dibekali Sederet Kemampuan Unik

Di tengah  penantian terhadap sekuel Overwatch, sebagian dari fans mungkin juga merasa cemas. Permainan anyar itu dari awal dirancang agar terintegrasi dengan Overwatch pertama sehingga progres tidak hilang dan gamer di kedua judul dapat bermain bersama di mode PvP. Tapi kita belum tahu akan seperti apa implementasinya serta seberapa efektif strategi ‘menyatukan’ dua permainan ini.

Selain fokus pada pengembangan Overwatch 2, kita tahu developer juga berjanji untuk terus memperkaya konten game yang sudah ada. Di bulan November 2018, Blizzard memublikasikan film animasi singkat berjudul Reunion. Di sana, mereka memperkenalkan dua karakter baru. Tak lama setelah itu, tokoh bernama Ashe bisa dimainkan, namun butuh waktu setahun lebih bagi Echo buat tersedia di game. Padahal, ia sempat muncul di trailer Overwatch 2.

Minggu ini, game director Jeff Kaplan mengabarkan bahwa Echo akhirnya bisa dimainkan. Echo merupakan salah satu hero Overwatch paling unik, dan itu alasannya Blizzard membutuhkan waktu lama buat menggodoknya. Echo sudah dapat dijajal di Public Test Region, tapi sepertinya developer tak ingin buru-buru menghadirkannya di server standar. Kaplan bilang timnya akan segera memodifikasi Echo jika menemukan sesuatu yang bisa merusak keseimbangan permainan.

Berbeda dari dugaan sebelumnya, Echo didesain sebagai hero damage. Namun ia juga menyimpan banyak kemampuan yang membuatnya sangat unik, salah satunya kapabilitas terbang/melayang seperti Pharah atau Mercy. Dan yang paling istimewa adalah skill ultimate bertajuk Replicate. Dengan mengaktifkannya, Echo bisa meniru hero musuh dan dapat mengakses segala kemampuannya (termasuk skill ultimate). Itu berarti Echo memberikan pemain kesempatan luas buat beradaptasi terhadap situasi.

Lewat video, Jeff Kaplan menceritan sedikit latar belakang karakter ini. Echo dibuat oleh seorang peneliti asal Singapura, Dr. Mina Liao, dengan kemampuan mengamati, belajar dan meniru. Liao ialah pakar robotik dan AI, bekerja untuk Omnica Corporation hingga pecahnya krisis Omnic. Ia segera direkrut Overwatch begitu insiden tersebut dimulai, tapi kehilangan nyawanya dalam sebuah serangan.

Sempat mempelajari karakteristik dan kebiasaan Liao, Echo terpaksa dikarantina karena Overwatch khawatir teknologinya dapat disalahgunakan dan seluruh proyek pengembangannya dihentikan. Echo akhirnya diaktifkan kembali oleh Jesse McCree, orang yang tadinya ditugaskan buat melindungi Liao, karena Overwatch butuh bantuan (dapat Anda saksikan di film animasi Reunion).

IMG_20032020_132459_(1000_x_650_pixel)

Jeff Kaplan bilang bahwa ada kemungkinan Echo merupakan hero terakhir yang dirilis untuk Overwatch hingga sekuelnya dilepas. Kronologi peluncuran karakter game belakangan memang sedikit membingungkan: Ocho diperkenalkan bersama Ashe, namun setelah itu Blizzard merilis Baptiste dan Sigma, memposisikan Echo sebagai hero Overwatch ke-32.

Warcraft III Reforged Resmi Rilis! Apa Saja yang Berubah?

Lama ditunggu-tunggu, Warcraft III Reforged akhirnya resmi dirilis 29 Januari 2020 kemarin. Game ini sendiri merupakan pengonsepan ulang dari salah satu game Real-Time Strategy yang mungkin banyak membekas di kalangan gamers generasi warnet, yaitu Warcraft III: Reign of Chaos dan Frozen Throne.

Pada versi remastered ini, Warcraft III Reforged menghadirkan banyak pembaruan dengan mempertahankan fitur-fitur yang memang jadi andalan. Warcraft III Reforged tetap menghadirkan mode single-player yang mencakup tujuh campaign berbeda.

Game ini juga akan tetap menghadirkan empat ras yang jadi bagian utama dari Warcraft III, yaitu ras Orc yang terkenal barbar dan sangat kuat, Human dengan jiwa ksatrianya, Night Elf yang terkenal dengan sihir serta tradisinya, serta Undead sang pembawa membawa teror.

Sumber: Blizzard
Sumber: Blizzard

Pada Warcraft III Reforged, pemain akan dibawa menyaksikan jalan cerita lewat momen penting di sepanjang sejarah cerita Warcraft. Mulai dari serangan Burning Legion, kebangkitan Lich King, sampai kisah asal usul dari para karakter ikonik seperti Thrall, Jaina Proudmoore, Sylvanas Windrunner, Illidan Stormrage, dan tentunya jalan cerita Arthas Menethil dari putra mahkota Lordaeron sampai jadi suksesor tahta Frozen Throne.

“Warcraft III merupakan salah satu pencapaian yang kami banggakan sebagai sebuah perusahaan. Kami merasa terhormat atas banyaknya pemain dari seluruh dunia yang masih mengganggapnya sebagai contoh terbaik untuk permainan genre RTS,” ucap J. Allen Brack, presiden dari Blizzard Entertainment. “Untuk Warcraft III: Reforged, tujuan terbesar kami adalah untuk membuat permainan ini jadi lebih modern sembari tetap mempertahankan semua hal yang dicintai oleh para pemain. Kami harap para penggemar bisa setuju bahwa ini adalah langkah yang tepat.”

Selain menghadirkan cerita orisinil, Warcraft III Reforged juga hadir dengan pembaruan-pembaruan fitur yang menarik. Salah satunya adalah pembaruan grafis, yang sempat Hybrid bahas lewat sebuah komparasi model antara versi lama dengan versi Reforged. Tak hanya itu, Audio juga jadi hal lain yang di perbarui. Sambil tetap membertahankan voice-over orisinil, Blizzard juga melakukan remaster pada sektor audio agar jadi lebih jernih.

Warcraft III Reforged juga menyertakan World Editor versi baru yang memungkinkan pemain untuk membuat custom map. Sebelumnya Hybrid juga membahas hal ini, menunjukkan bahwa custom-map penuh kenangan seperti Defense of the Ancients dan Element TD juga turut hadir di Warcraft III Reforged.

Sumber: Blizzard
Sumber: Blizzard

Pembaruan lain adalah dari sisi multiplayer. Selain implementasi sistem Battle.net, Warcraft III Reforged juga memungkinkan pemainnya untuk bermain dengan pengguna Warcraft III versi lama entah itu Reign of Chaos ataupun Frozen Throne.

Warcraft III: Reforged sudah dapat dibeli secara digital melalui Blizzard Shop. Game ini memiliki dua versi, ada Standard Edition seharga US$29.99 (sekitar Rp410 ribu) dan Spoils of War Edition seharga US$39.99 (sekitar Rp547 ribu). Pada versi Spoils of War, terdapat berbagai skin hero unik untuk Arthas, Cenarius, Jaina, dan Thrall.

Selain itu ada juga bonus in-game untuk game Blizzard lainnya yang langsung didapatkan setelah pre-purchase, seperti kendaraan Meat Wagon yang mengerikan untuk World of Warcraft, cardback Third War untuk Hearthstone, dan pet Mal’ganis untuk Diablo III, dan masih banyak lagi.

Sumber header: Blizzard

Apakah Warcraft III Reforged Akan Memiliki Custom Map?

Jelang rilisnya Warcraft III Reforged pada 28 Januari 2020 mendatang, banyak hal yang mungkin jadi pertanyaan terhadap satu game yang sangat berkesan di karir gaming kita. Soal bagaimana bentuk model karakter dan berbagai perubahannya sudah sempat kami bahas pada artikel sebelumnya.

Selain dari hal itu satu pertanyaan yang cukup penting dari game ini mungkin adalah soal kehadiran mod atau custom map. Karena, mau tidak mau, banyak kenangan kita bermain Warcraft III datang dari custom game buatan orang, termasuk Defense of the Ancient (DotA).

Mengutip dari artikel PCGamer, dikatakan bahwa Warcraft III: Reforged akan tetap mendukung mod dari game WC 3. “Pada dasarnya kedua game tersebut berasal dari game yang sama yang memungkinkan pemain dengan Warcraft 3 versi terdahulu bisa bermain dengan Warcraft III Reforged.” Ucap Game Designer Warcraft III Reforged Michael Scipione kepada PCGamer.

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

“Bicara soal custom map, mungkin kita hanya bisa bilang bahwa, jika ada yang tidak berfungsi, kami akan berusaha untuk memperbaiki hal tersebut. Tetapi pada intinya, kedua pemain tersebut (WC 3 lama atau versi Reforged) sama-sama bisa memainkan custom game.” lanjut Scipione.

Pada kesempatan lain StarCraft 2 Production Director, Tim Morton, yang turut bergabung di dalam tim Warcraft III Reforged juga mengatakan hal serupa kepada PCGamesN. “Kami berusaha memastikan custom map dapat berjalan dengan lancar di Warcraft III Reforged. Mengingat, seperti pada StarCraft Remastered, banyak orang melakukan ini dan itu sejak map-editor pertama kali muncul. Jadi kami bisa pastikan, bahwa salah satu hal yang kami kerjakan adalah memastikan semua custom maps bisa berjalan dengan lancar di Warcraft III: Reforged.” Ucap Morton kepada PCGamesN.

Warcraft III Reforged sendiri sebenarnya sudah memasuki fase beta. Jadi beberapa pemain yang sudah melakukan pre-purchase sudah bisa mencoba main dan beberapa di antaranya bahkan sudah memainkan custom map. Salah satunya seperti salah satu channel youtube ternama dari komunitas Dota regional Russia.

Mereka sudah sempat mencoba menjalankan Defense of the Ancients di Warcraft III: Reforged. Ternyata, tanpa diduga, semua berjalan dengan cukup lancar dan tentunya…Membawa nostalgia ke awal tahun 2000an saat Dota masih berupa custom map Warcraft III saja.

Tidak hanya itu saja, satu mode yang tak kalah legendaris dan mungkin kalian masih ingat adalah Element TD. Apakah custom map tersebut tersedia dan bisa dimainkan di Warcraft III Reforged? Ternyata masih sama. Custom map tersebut masih bisa berjalan lancar, bahkan bisa dimainkan secara multiplayer.

Jadi Anda tidak perlu khawatir. Apakah Warcraft III akan memiliki custom map? Jawabannya tentu saja iya! Dan tetap memiliki berbagai koleksi custom map seru yang dahulu biasa kita mainkan ketika zaman Defense of the Ancients.

Warcraft III Reforged rilis 28 Januari 2020 mendatang. Saat ini, Warcraft III Reforged sudah masuk masa Pre-Purchase dan dapat dibeli di laman resmi Blizzard Shop.

Warcraft III Reforged Akan Rilis, Bagaimana Perubahan Grafisnya?

Bagi Anda para penggemar Dota 2, Warcraft III tentu menjadi satu game yang membekas di kenangan Anda. Pasalnya sebelum Dota menjadi sebuah game standalone, ia hanya berawal sebagai game yang dibuat dengan mod Warcraft III lalu diberi nama Defense of the Ancient.

Kini, setelah 18 tahun berlalu sejak Warcraft III: Reign of Chaos (WC 3) pertama kali dirilis, Blizzard memutuskan untuk melakukan remaster dan merilis ulang WC 3 dengan nama Warcraft III Reforged.

Game yang satu ini akan dirilis pada tanggal 28 Januari 2020 mendatang. Hadir dengan berbagai macam pembaruan, mulai dari grafis sampai beberapa bagian gameplay, kira kira akan seperti apa jadinya Warcraft III Reforged?

Beberapa waktu yang lalu Blizzard merilis komparasi model hero dan unit pasukan WC 3 dengan Warcraft III Reforged? Kira kira bagaimana bentuknya? Apa saja perubahannya? Berikut beberapa di antarnya:

Illidan the Demon Hunter (Night Elf)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Sosok yang satu ini bisa dibilang ikon dari WC 3. Muncul sebagai sosok antagonis, penantang Arthas sang calon Lich King, sosok ini iterkenal kuat, mematikan, dan sulit dihentikan.

Jadi bagaimana dia di Warcraft III Reforged? Satu yang pasti, badannya tidak lagi kotak-kotak seperti dulu. Kini dia wajah bentuknya jadi terlihat lebih jelas karena jadi lebih detil dan berotot. Satu perubahan yang cukup terasa adalah warna tubuh dan tatonya yang kini terasa lebih “elf”, mengikuti skema warna yang ada di World of Warcraft.

Archer (Night Elf)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Pasukan dasar milik fraksi Night Elf. Walau sangat berguna, namun bentuk unit ini terbilang kurang jelas pada WC 3. Apalagi banyak unit di zaman WC 3 terlihat jadi lebih pendek dari apa yang kita bayangkan.

Maka dari itu, kini unit pasukan Night Elf Archer jadi lebih proporsional. Selain itu, busur yang jadi senjata utama Archer juga jadi lebih sederhana dan tradisional, tanpa ornamen yang berlebihan.

Jaina Proudmoore (Human)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Walau lebih dikenal sebagai Rylai the Crystal Maiden di Dota, tapi sosok yang satu ini sebenarnya adalah salah satu karakter di WC III yang bernama Jaina Proudmoore.

Kalau dulu, lagi-lagi, model hero ini kurang proporsional dan jadi lebih pendek. Kini dia tampil dengan berbagai ornamen di baju dan bentuk tubuhnya yang jadi lebih detil. Sebagai perbandingan, model Jaina terdahulu hanya memiliki 700 polygon saja, sementara model di Warcraft III Reforged memiliki 15.000 polygon.

Gryphon Rider (Human)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Kalau Anda memainkan WC 3 terdahulu, Anda mungkin sadar bahwa bentuk unit ini terlihat sangat tidak jelas. Hanya terlihat seperti burung membawa palu saja. Maka dari itu pada Warcraft III Reforged banyak perbaikan dilakukan pada unit Gryphon Rider milik Human.

Satu yang paling ditunjukkan adalah sosok Dwarf penunggang Gryphon yang jadi lebih detil. Tak lupa, palu yang jadi senjata andalan Gryphon Rider kini jadi lebih besar dan terlihat.

Arthas Death Knight (Undead)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Setelah menjadi bagian dari fraksi Undead, Arthas jadi menunggangi kuda tengkorak dan terlihat lebih menakutkan. Namun demikian, keterbatasan engine WC 3 malah membuat Arthas Death Knight jadi sedikit lucu dan lagi-lagi, lebih pendek dari yang apa kita bayangkan.

Pada Warcraft III Reforged, satu yang pasti adalah bentuknya yang lebih proporsional. Selain itu, bentuk armor untuk Arthas serta sang kuda pembawa kematian juga terlihat jadi ganas dan mematikan.

Frost Wyrm (Undead)

Sumber: Blizzard Official site
Sumber: Blizzard Official site

Frost Wyrm! Unit terkuat milik Undead. Dahulu ketika engine WC 3 masih cukup terbatas unit ini tetap menjadi teror bagi musuhnya, walau bentuknya kurang jelas. Pada Warcraft III Reforged, dijamin Anda jadi lebih bergidik ketika melihat sosok ini. Karena Frost Wyrm jadi lebih garang dengan tulang belulang yang lebih detil.

Warcraft III Reforged rilis 28 Januari 2020 mendatang. Saat ini, Warcraft III Reforged sudah masuk masa Pre-Purchase dan dapat dibeli di laman resmi Blizzard Shop. Bagaimana? Sudah siap untuk menyaksikan kembali petualangan Arthas dan Illidan dengan grafis yang kini jadi lebih detil?

Menutup Tahun, INDOESPORTS League Hadirkan Kompetisi Overwatch

Setelah sukses dengan CS:GO, INDOESPORTS League (IES League) kembali hadir dengan game yang berbeda. Sebelumnya, IES League memilih CS:GO sebagai game yang dipertandingkan. Walau nyawa esports CS:GO Indonesia kerap dianggap sudah di ujung tanduk, namun nyatanya komunitas masih antusias dengan kehadiran kompetisi, terlihat dari 4 seri kompetisi IES League yang menghasilkan banyak pendaftar.

Mencoba mengembangkan sayap, kini IES League mempertandingkan Overwatch, team-based multiplayer first-person shooter besutan Blizzard Entertainment. Game ini sempat jadi buah bibir di Indonesia ketika pertama rilis tahun 2016 lalu. Terlepas dari harga Overwatch yang cukup mahal, komunitas tetap antusias terhadap berbagai gelaran kompetisi skala kecil yang diadakan oleh berbagai pihak.

Kini mencoba kembali membangun tren tersebut, IES League menjalin kerja sama dengan AKG Games yang merupakan official partner Blizzard Entertainment untuk mewadahi kegiatan komunitas Overwatch di Indonesia. Diadakan pada bulan Desember, gelaran IES League Overwatch menjadi gelaran yang menutup tahun 2019 ini.

Memperebutkan total hadiah sebesar Rp10 juta, IES League Overwatch terbuka untuk semua kalangan pemain. Jadi, siapapun Anda baik seorang pemain berpengalaman, pemain yang mencoba menjajaki karir di dunia Overwatch, pecinta Overwatch yang suka berkompetisi, atau mungkin hanya sekadar iseng ingin menjajal kemampuan bermain, Anda bisa segera mendaftarkan diri ke dalam turnamen ini.

Sumber: INDOESPORTS
Sumber: INDOESPORTS

Pendaftaran IES League Overwatch dibuka mulai tanggal 4 sampai 9 Desember 2019 mendatang. Bagi Anda yang ingin mendaftar, Anda dapat langsung menuju ke laman pendaftaran resmi milik INDOESPORTS. Pertandingan IES League akan diselenggarakan mulai tanggal 10 sampai 13 Desember 2019 mendatang. Pertandingan dimulai pada pukul 19:00 WIB secara online di berbagai iCafe jaringan DA Arena seluruh Indonesia, dan akan ditayangkan pada channel Youtube INDOESPORTS.

INDOESPORTS League sendiri sudah dimulai sejak bulan Mei 2019 lalu. Sepanjang periode tersebut, kolaborasi antara INDOESPORTS dengan LG UltraGear sudah mempertandingkan beberapa game lewat gelaran IES League. Beberapa contohnya seperti Point Blank, CS:GO, PUBG, Dota 2, dan CrossFire. Overwatch meruapakn salah satu pendatang terbaru dalam jajaran game yang dipertandingkan dalam IES League.

Apakah Anda sudah mempersiapkan tim untuk dapat bertanding di gelaran IES League Overwatch?

Diablo IV Tidak Mempunyai Mode Offline, Harus Selalu Online

Judul-judul seperti remake Resident Evil 2, Sekiro, Devil May Cry 5, Disco Elysium dan The Outer Worlds memperlihatkan kita bahwa permainan single-player masih jadi favorit para gamer di tahun 2019. Itu berarti, jalan cerita dan gameplay merupakan faktor pertimbangan penting banyak orang dalam memilih game ketimbang aspek lain, misalnya kehadiran komponen online dan multiplayer.

Namun bagi sejumlah developer serta publisher, komponen online ialah bagian yang tak lagi bisa dipisahkan dari platform atau layanan mereka. Ambil contohnya Blizzard Entertainment. Sejak StarCraft II meluncur, kita harus terdaftar dan log-in di Battle.net untuk dapat menikmati game RTS tersebut. Kewajiban untuk selalu online menjadi hal yang paling dikritik gamer dan media di permainan Diablo III. Dan Blizzard sepertinya tidak berniat untuk menghadirkan dukungan mode offline di sekuelnya, Diablo IV.

Di sesi diskusi panel BlizzCon 2019 kemarin, lead designer Angela Del Priore mengonfirmasi ketiadaan mode offline di Diablo IV. Alasannya adalah karena developer mencoba membangun dunia permainan berukuran besar yang tersambung dan ‘terbagi’; sehingga transisi saat Anda pergi menelusuri ruang-ruang bawah tanah, bertualang bersama kawan, menikmati PvP dan berdagang dapat berlangsung mulus. Artinya mau tak mau, sistem online dibutuhkan.

Metode shared open world yang diusung Diablo IV sejatinya membuat permainan jadi menyerupai MMO. Dengannya, game siap menyajikan fitur world events, social hub dan zona kompetitif PvP. Di dunia permainan, tak jarang kita bertemu pemain lain, kecuali jika Anda (dan kawan co-op) memasuki area campaign atau dungeon. Intinya, Diablo IV memperkenankan kita bermain sendiri tapi tidak secara offline.

Berdasarkan info yang dirangkum oleh PC Gamer, Diablo IV tidak mempunyai pilihan tingkat kesulitan. Level musuh akan disesuaikan dengan kemampuan karakter Anda, sehingga kita bisa selalu bermain bersama kawan meski berbeda level. Meski demikian, terdapat area-area yang lebih berbahaya dari lokasi lain, cocok jika Anda menginginkan tantangan lebih besar. Kabarnya, Diablo IV turut dibekali mode Hardcore beserta sistem permadeath (kematian bersifat permanen).

Absennya mode offline di Diablo IV akan mengingatkan pemain veteran pada insiden memalukan yang menimpa Diablo III di momen peluncurannya. Saat itu, banyak gamer sama sekali tidak bisa mengakses game hingga berhari-hari. Ketika mencoba masuk, mereka hanya mendapatkan pesan ‘Error 37’. Kemudian mungkin Anda masih ingat dengan kontroversi real money auction house yang akhirnya dihapus Blizzard di tahun 2014.

Waktu peluncuran Diablo IV juga masih sangat jauh. Saya menduga Blizzard baru akan melepasnya setelah merilis Diablo Immortal di perangkat bergerak.

Via Gamespot.

Diablo IV, Overwatch 2 dan Semua Game Baru yang Diumumkan di BlizzCon 2019

BlizzCon ialah acara gaming tahunan yang Blizzard langsungkan dalam rangka mempromosikan produk-produk baru mereka. Namun sebuah langkah tidak biasa mereka ambil tahun lalu. Di tengah kerumunan gamer PC, mereka malah menawarkan permainan mobile. Ditambah insiden dengan jawara Hearthstone Blitzchung, perusahaan tampak kehilangan sentuhan soal bagaimana seharusnya memperlakukan pemain.

Banyak orang skeptis dengan BlizzCon tahun ini, dan sesuai agenda, acara tersebut turut diwarnai aksi unjuk rasa membela Hong Kong (kemitraan Activision-Blizzard dengan NetEase dan Tencent dianggap sebagai penyebab dijatuhkannya hukuman keras terhadap Blitzchung karena menyuarakan dukungan terhadap pembebasan Hong Kong). Di sisi lain, fans sangat menanti penyingkapan game baru Blizzard yang sudah lama dirumorkan.

BlizzCon 2019 akhirnya dibuka beberapa jam lalu di tanggal 1 November waktu setempat, digelar di Anaheim Convention Center, Kalifornia. Melewatkan seremoni pembukaannya? Jangan cemas, saya sudah merangkum seluruh permainan anyar yang Blizzard umumkan. Ini dia:

 

Diablo IV

Menyusul desas-desus yang beredar lebih dari satu tahun, Blizzard akhirnya resmi mengungkap Diablo IV lewat dua trailer: sinematik dan gameplay. Arahan desain visual Diablo IV tampak berbeda dari Diablo III yang ‘cukup cerah’ terlepas dari tema dark fantasy-nya. Diablo IV mencoba meneruskan kelamnya dunia Diablo II, sembari kembali menyuguhkan gameplay action-RPG dengan perspektif kamera isometrik.

Trailer sinematik Diablo IV berlangsung selama sembilan menit lebih, dan kontennya malah menyerupai film horor. Seperti game-nya, video ini tidak cocok dikonsumsi oleh mereka yang masih berada di bawah umur – karena penuh kekerasan, darah dan twist mengejutkan. Untuk trailer gameplay, saya melihat eksistensi dari mode kooperatif serta PvP. Hampir bisa dipastikan, Diablo IV akan kembali menggunakan sistem always online seperti Diablo III.

 

Overwatch 2

Overwatch adalah permainan brilian, tapi sejatinya, ia hanyalah first-person shooter multiplayer berbasis hero. Overwatch tidak mempunyai narasi in-game, kecuali lewat dialog antar karakter. Kita baru dapat memahami apa yang terjadi di dunianya lewat film-film animasi singkat serta komik yang Blizzard publikasikan secara terpisah. Overwatch 2 didesain untuk melengkapi pengalaman bermain lewat kehadiran Story Missions dan Hero Missions. Gameplay kini lebhi difokuskan pada konten PvE dan co-op, sembari tetap mempertahankan PvP.

Seluruh hero favorit Anda akan kembali, tapi kini permainan dibangun dengan engine anyar sehingga aspek visualnya jadi lebih baik dan developer bisa menyajikan peta berukuran lebih luas. Uniknya, Blizzard tak mau meninggalkan Overwatch pertama begitu saja dan mencoba ‘menyambungkan’ kedua game. Tiap kali Overwatch 2 memperoleh peta baru, map tersebut juga tersaji buat permainan sebelumnya. Lalu koleksi item kosmetik yang telah susah payah Anda kumpulkan di Overwatch dapat digunakan lagi di Overwatch 2.

 

World of Warcraft: Shadowlands

Dahulu sempat jadi penggemar berat WoW, kini pemahaman saya terhadap cerita game sudah tertinggal jauh. Trailer sinematik Shadowlands difokuskan pada Lady Sylvanas Windrunner. Ia datang kembali ke Icecrown Citadel, kemudian mengajak Bolvar (sang Lich King pengganti Arthas Menethil) berduel. Sylvanas berhasil mengalahkan Bolvar, kemudian merebut mahkota Lich King. Ketika kita mengira ia akan mengenakannya, Sylvanas malah menghancurkan mahkota tersebut.

Aksi itu mengoyak realita, mengekspos Shadowlands di alam normal. Pemain WoW kemungkinan besar familier dengan ‘Shadowlands’, ia adalah tempat singgah ketika karakter Anda tewas. Selain menyuguhkan lokasi-lokasi baru dan memperkenalkan musuh-musuh mematikan (satu contohnya Void Lord), fitur andalan di Shadowlands ialah menghidangkan pemain empat pilihan Covenant: Kyrian, Necrolord, Night Fae, dan Venthyr.

 

Hearthstone: Descent of Dragons

Descent of Dragons akan menjadi expansion pack terakhir dari event Year of the Dragon. Update ini menghadirkan sejumlah mekanisme baru. Saya bukan pemain Hearthstone, namun berdasarkan penjelasan developer Alec Dawson di video, Descent of Dragons memperkenalkan hero card Galakrond, nenek moyang dari segala spesies naga. Ia sangat kuat dan bisa di-upgrade ke tiga wujud berbeda selama ada di deck Anda.

Semua pemain akan mendapatkan Galakrond saat Descent of Dragons meluncur, namun hanya ‘kelas jahat’ yang bisa menggunakannya (Priest, Rogue, Shaman, Warlock, Warrior). Masing-masing orang kemungkinan memperoleh versi berbeda dari Galakrond (Azeroth’s End, The Apocalypse, The Wretched. Sementara itu, ‘kelas baik’ (Mage, Hunter, Druid, Paladin) diperkenankan untuk bermain-main dengan kartu yang tak kalah ampuh, yaitu Side Quest. Cara kerjanya mirip Quest Cards.

Ya itu dia empat game andalan Blizzard Entertainment di BlizzCon 2019. Judul apa yang jadi favorit Anda? Saya pribadi berharap agar Overwatch 2 mampu memberikan pengalaman bermain yang lebih menyeluruh. Namun di antara keempat judul ini, perhatian saya terkunci pada Diablo IV. Saya berharap (walaupun tahu kesempatannya sangat kecil), Blizzard membiarkan gamer bermain secara offline. Dari impresi awal, ARPG dark fantasy ini terlihat begitu mengesankan.