Tag Archives: BNPL

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) dari Siam Commercial Bank (SCB)

Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Mengenal Kredivo, Pionir Sekaligus Pemimpin Pasar “Buy Now Pay Later” di Indonesia

Berbicara mengenai industri fintech di Indonesia, tentu selalu tidak ketinggalan dengan berbagai kabar menarik di dalamnya. Perkembangan industri fintech yang bertumbuh sangat pesat dipicu oleh banyak hal. Yang teranyar, salah satunya adalah temuan dari laporan DSInnovate yang mengemukakan, nilai GMV (Gross Merchandise Value) tanah air yang mencapai US$70 miliar diyakini menjadi salah satu sebab fintech kian populer di masyarakat Indonesia.

Wujud fintech yang ada di Indonesia hadir dengan berbagai macam layanan. Di antara layanan yang ada, salah satu layanan yang kini digemari oleh konsumer Indonesia adalah layanan BNPL (Buy Now Pay Later). Sesuai istilahnya, layanan itu memfasilitasi konsumen untuk menikmati fasilitas cicilan tanpa kartu kredit untuk berbelanja di platform e-commerce.

Tatkala hadir hanya sejak beberapa tahun ke belakang, adopsi layanan BNPL berkembang secara signifikan. Hal itu tentu tidak tercipta secara instan. Tren pertumbuhan konsumen e-commerce di Indonesia dari tahun ke tahun, dan juga rendahnya kepemilikan kartu kredit menjadi dua faktor utama mengapa layanan paylater menjadi layanan andalan dalam memanfaatkan layanan kredit – khususnya untuk keperluan belanja online.

Dari dua faktor tadi, alhasil beberapa penyedia layanan BNPL mulai bermunculan. Salah satu pionir yang patut diperhatikan adalah Kredivo. Startup fintech yang berada di bawah naungan FinAccel – sebuah perusahaan teknologi finansial asal Singapura ini berhasil memperkenalkan konsep “Buy Now Pay Later” (BNPL) pertama kali di masyarakat Indonesia sejak 2016 silam.

Tanpa perlu waktu lama, Kredivo dinilai mampu tampil memimpin pasar bagi pangsa pasar yang membutuhkan fasilitas kredit konsumtif, tanpa harus memiliki kartu kredit perbankan yang hingga kini penetrasinya sangat rendah. Kebutuhan itu kemudian disempurnakan pula oleh kenyamanan dan fleksibilitas layanan yang ditawarkan.

Bukan tanpa alasan. Dalam risetnya, Kredivo mengklaim, pengguna paylater yang dikelolanya menyatakan memberi respon kepuasan yang baik, terkait dengan proses pengajuan yang mudah, pengalaman bertransaksi, hingga syarat administratif yang cenderung tidak berbelit.

Hasil riset itu sejalan pula dengan fleksibilitas kredit paylater yang ditawarkan Kredivo, dengan sejumlah product unique selling point berupa limit kredit tinggi (hingga 30 juta rupiah), tenor cicilan hingga 12 bulan, hingga ketersediaan layanan di lebih dari 1000 merchant di Indonesia. Tak ketinggalan, keamanan transaksi dan data pengguna juga turut menjadi fokus pengembangan produk dengan fitur keamanan berupa data pengguna yang terenkripsi. Di samping itu, secara legalitas Kredivo juga telah terdaftar dan diawasi secara resmi oleh OJK.

Melalui upaya optimal di atas, tak heran jika Kredivo mampu menguasai pasar BNPL dengan mudah. Dalam studi paylater yang dirilis DailySocial.id, platform Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Elevenia, JD.id, Ralali, iLotte, Jakmall, Bhinneka, Matahari.com, Fabelio, dan juga Sociolla.

Dari sisi pengguna dan bisnis, Kredivo juga berhasil dipercaya oleh lebih dari 5 juta pengguna. Dalam keterangannya, basis pengguna Kredivo diklaim tumbuh hingga dua kali lipat selama 10 bulan terakhir, begitu pula dengan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama 7 bulan terakhir.

Hal tersebut menjadi menarik, tatkala di tengah tantangan perlambatan ekonomi akibat pandemi, Kredivo justru berhasil meraih pertumbuhan yang signifikan, dan berhasil memimpin pasar BNPL dengan “wallet share” yang mencapai setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce tanah air.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan CEO Kredivo Indonesia, Umang Rustagi, dalam fintech report 2021 yang akhir tahun lalu diterbitkan. “Kredivo sebagai e-commerce enabler mendapatkan keuntungan juga dari tren e-commerce karena pasar yang terus tumbuh dengan cepat. Sebagai e-commerce enabler yang fokus pada layanan paylater, ada kenaikan permintaan untuk jasa ini. Selama sepuluh bulan terakhir, customer Kredivo meningkat hingga 2x lipat.” terang Umang.

Perjalanan Kredivo dalam mengakselerasi pertumbuhan yang signifikan diperkirakan bakal terus berlanjut. Selain mengantongi angka jumlah pengguna dan wallet share yang gemilang, kabar rencana “go public”, diikuti dengan raihan pendanaan terbaru dan kemitraan strategis dengan berbagai entitas (salah satunya dengan Bank Sampoerna merilis kartu “Paylater” Flexi Card) diyakini bakal menjadi amunisi Kredivo, dalam mengukuhkan posisinya sebagai pionir, sekaligus pemimpin pasar kredit online di Indonesia.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

Paylater Berkembang Pesat Selama Pandemi, Seiring Perkembangan E-Commerce dan Transaksi Digital

Seiring berkembangnya teknologi, ada aspek lain yang terus tumbuh dan berkembang, yaitu pertumbuhan e-commerce dan juga maraknya perusahaan financial technology (fintech), sebuah industri yang bergerak dalam layanan keuangan. Dua aspek ini menggeser kebiasan masyarakat dalam preferensi pembayaran, di mana pembayaran tunai beralih menjadi pembayaran digital atau yang biasa disebut cashless, yang merupakan pengaruh dari meningkatnya penetrasi internet dan adopsi konsumen digital.

Pembayaran digital juga membuka sektor transportasi, layanan pengiriman makanan, transportasi online, dan media online untuk mengadopsi sistem transaksi digital. Bahkan, sektor-sektor tersebut diprediksi oleh laporan e-Conomy SEA 2021 mampu menyumbang angka sebesar $70 miliar pada tahun 2021.

Paylater melesat untuk menjangkau berbagai kalangan

Seiring meningkatnya transaksi digital, perusahaan fintech memiliki kesempatan baru untuk melebarkan sayapnya dalam menghadirkan fasilitas paylater. Hal ini tersirat dari laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia rilisan DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo..

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

Pionir paylater di Indonesia, Kredivo, akan melayani puluhan juta pelanggan di Indonesia.

Di antara banyaknya perusahaan fintech di Indonesia yang bergerak di bidang paylater, Kredivo semakin menjadi yang terdepan dalam layanan paylater di Indonesia, terutama setelah mengumumkan rencana go public melalui skema SPAC. Dengan demikian Kredivo akan mencapai penilaian ekuitas sebesar $2,5 miliar dan berhasil menjadi “unicorn” di tahun 2021.

Menurut Umang Rustagi selaku CEO Kredivo Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat di Indonesia, membuat investor asing dan pasar global paylater juga semakin melirik.

“Populernya e-commerce dan transaksi digital, serta rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia menyebabkan paylater justru menjadi pintu masyarakat ke akses kredit yang terjamin. Hal ini terlihat lewat riset internal yang menunjukkan bahwa 60% pengguna kami mendapatkan kredit pertamanya lewat Kredivo,“ ujarnya.

Sebagai pionir paylater di Indonesia, tentunya layanan paylater yang dimiliki oleh Kredivo sudah menjamur di banyak platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, JD.id, Blibli, dan Elevenia. Selain itu juga, bunga yang ditawarkan Kredivo menjadi yang terendah (per September 2021) dibandingkan penyedia layanan paylater lainnya.

Sumber: DSInnovate Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021 (09/2021)

Kredivo melalui PT FinAccel Finance Indonesia beroperasi dengan lisensi perusahaan pembiayaan (multifinance) di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperoleh melalui akuisisi PT Swarna Niaga Finance.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini / PPRO

Perkuat Layanan di Indonesia, PPRO Gandeng Kredivo

Setelah meluncur di pasar Indonesia akhir tahun 2020 lalu, platform pembayaran PaaS asal Inggris “PPRO” berencana untuk menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan platform pembayaran digital di Indonesia.

Setelah OVO dan Doku, kini PPRO kembali mengumumkan kerja sama strategis dengan Kredivo. Besarnya penggunaan metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini dilancarkan.

“Kami melihat pilihan pembayaran BNPL banyak dipilih oleh pengguna layanan e-commerce secara global bukan hanya di Indonesia. Memanfaatkan sekitar 5 juta pengguna Kredivo, diharapkan kolaborasi ini bisa berguna untuk pasar di Indonesia,” kata VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini.

PPRO mencatat sekitar 55% pengguna layanan e-commerce memilih untuk melakukan pembayaran dengan cara BNPL. Dengan menawarkan metode pembayaran BNPL kepada konsumen saat checkout, merchant dapat meningkatkan tingkat konversi mereka, menghasilkan transaksi rutin dari konsumen yang menggunakan metode pembayaran, dan berpotensi melihat ukuran keranjang yang lebih besar.

“Integrasi kami dengan PPRO memungkinkan lebih banyak merchant untuk menawarkan pelanggan mereka opsi untuk membayar dengan Kredivo. Melalui mereka, kami dapat memperkuat komitmen kami untuk memberikan konsumen kesempatan untuk mengakses lebih banyak pasar e-commerce dunia,” kata VP Business Development Kredivo Krishnadas.

Sebelumnya PPRO juga telah melakukan integrasi dengan Jenius Pay dan LinkAja. PPRO dalam waktu dekat juga berencana untuk mengumumkan kerja sama strategis dengan platform dompet digital terbesar di Indonesia. Disinggung apakah GoPay yang akan menjadi mitra baru PPRO dalam waktu dekat, Tristan enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut.

Pandemi dan pertumbuhan layanan e-commerce

Pandemi secara langsung telah mempercepat akselerasi layanan e-commerce di Indonesia. PPRO juga mencatat terdapat 3 negara yang kemudian banyak mendapatkan permintaan dari merchant di Indonesia. Di antaranya adalah Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Singapura. Dilihat dari negara Top 3 tersebut menjadi relevan bagi PPRO untuk memperluas kemitraan dengan pemain lokal di Indonesia.

“Kami melihat 23% layanan e-commerce di Indonesia sudah lintas batas. Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi kami untuk melakukan konsolidasi pasar. Kita sudah mempunya live traffic dengan payment menthod di Indonesia,” kata Tristan.

Selama 2 tahun terakhir PPRO mengklaim menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas mereka. Namun demikian karena pandemi, PPRO belum memiliki rencana untuk menempatkan tim di Indonesia. Selanjutnya PPRO akan terus fokus di PSP dan memenuhi demand dari para merchant. Selain pasar di Indonesia, PPRO juga memiliki rencana untuk memperluas layanan di negara lain seperti India hingga Malaysia.

PPRO adalah perusahaan fintech yang mengglobalisasikan platform pembayaran untuk bisnis, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan pembayaran pada saat checkout di berbagai platform dan meningkatkan penjualan lintas batas.

“Klien kita adalah global mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Serikat, ada potensi melakukan cross border untuk Indonesia.,” kata Tristan.

Alpha JWC Participates in the Funding for “Pace” Paylater Startup

Pace paylater aka BNPL (buy now pay later) startup announced $40 million (over 569 billion Rupiah) funding in series A round. Several investors joining the round, including UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, and a series of family business from Japan and Indonesia.

Previous investors, such as Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, and Genesis Alternative Ventures also participated. All three chipped in a seven-figure value for the early-stage funding this year.

In an official statement, Pace’s Founder & CEO, Turochas ‘T’ Fuad explained, this round of investments came from some of the most successful and established investors which signifies their belief that Pace is the leading BNPL player in Asia.

“This area is expected to be the fastest growing BNPL market in the world. This funding will support Pace in achieving its mission to democratize financial services for all, and help us expand into Japan, Korea and Taiwan,” said T.

UOB Venture Management’s Executive Director, Paul Ng added, “We are impressed by Pace’s founders’ clear vision, rapid growth and experience not only in BNPL payments, but in its progress in creating financial inclusion, and remain confident in their ability to revolutionize financial services.”

After this investment round, Pace is said to be the fastest growing multi-region BNPL player from Singapore. The company will use its fresh funding to expand technology, operations and business development, to achieve a $1 billion Gross Merchandise Value by 2022 and grow its user base by 25 times over the next 12 months.

To date, Pace has more than 3 thousand points of sale throughout the region, engaged in various types of businesses, from fashion, fitness, F&B, education, jewelry, hobbies, services, electronics, and others. The company leveraged its technology to increase overall sales by up to 25% by leveraging local customer insights, while driving repeat purchases from a rapidly growing user base.

T launched Pace earlier this year. It has successfully expanded its overseas operations in collaboration with regulators and adapting ultra-local approaches, such as integrating payment methods in frequently used markets to build resonance with merchants and buyers. This strategy will continue to replicate the hyperlocal framework as it rolls out in new countries.

Pace enables consumers to split their purchase bill into three interest-free payments over 60 days, through an omnichannel experience that helps consumers for sustainable shopping.

Pace aims to create financial inclusion for consumers in the region, by helping them control and shop at their own pace, while helping merchants meet growing consumer demand and increase sales efficiency. Currently, Pace operates in Singapore, Malaysia, Hong Kong and Thailand.

Yet to enter the Indonesian market

Pace is yet to plan expansion to Indonesian market. However, this market segment is already crowded with players from both local and overseas. Its implementation appears in many applications, from digital wallets, ticket bookings, to the most popular on e-commerce platforms and/or online marketplaces.

BNPL is one of the promising fintech segments in Southeast Asia. According to research conducted by Google, Temasek Holdings and Bain & Co., about half of Southeast Asia’s nearly 400 million adults are unbanked.

Over 90 million people are “underbanked”: They have bank accounts but do not have adequate access to investment, insurance or credit products. Millions of small and medium-sized businesses also face significant funding gaps, according to the study. This problem is getting spiky in Indonesia, where more than 70% of adults—about 140 million people—are unbanked or unbanked.

Data rewritten by Nikkei Asia


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan seri A Pace

Alpha JWC Ventures Kembali Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup Paylater “Pace”

Startup paylater alias BNPL (buy now pay later) Pace mengumumkan telah mengumpulkan $40 juta (lebih dari 569 miliar Rupiah) dalam putaran pendanaan seri A. Investor yang bergabung dalam putaran tersebut adalah UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, dan serangkaian kantor keluarga dari Jepang dan Indonesia.

Investor sebelumnya, Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, dan Genesis Alternative Ventures juga berpartisipasi. Ketiganya menyuntik Pace dalam pendanaan tahap awal dengan nilai tujuh digit pada awal tahun ini.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Pace Turochas ‘T’ Fuad menerangkan, putaran investasi ini datang dari beberapa investor paling sukses dan mapan yang menandakan keyakinan mereka bahwa Pace adalah pemain BNPL terkemuka di Asia.

“Kawasan ini diharapkan menjadi pasar BNPL dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Pendanaan ini akan mendukung Pace dalam mencapai misinya untuk mendemokratisasi layanan keuangan untuk semua, dan membantu kami ekspansi ke Jepang, Korea, dan Taiwan,” ujar T.

Direktur Eksekutif UOB Venture Management Paul Ng menambahkan, “Kami terkesan dengan visi yang jelas dari pendiri Pace, pertumbuhan yang cepat, dan pengalaman tidak hanya dalam pembayaran BNPL, tetapi dalam kemajuannya dalam menciptakan inklusi keuangan, dan tetap percaya diri dengan kemampuan mereka untuk merevolusi layanan keuangan.”

Setelah putaran investasi ini, diklaim Pace menjadi pemain BNPL multi-wilayah dengan pertumbuhan tercepat dari Singapura. Pendanaan baru ini akan digunakan perusahaan untuk memperluas teknologi, operasi, pengembangan bisnis, untuk mencapai nilai Gross Merchandise Value sebesar $1 miliar pada 2022 dan menumbuhkan basis penggunanya sebesar 25 kali pada 12 bulan ke depan.

Hingga saat ini, Pace memiliki lebih dari 3 ribu titik penjualan di seluruh wilayah, bergerak dari berbagai jenis usaha, mulai dari fesyen, fitness, F&B, edukasi, perhiasan, hobi, jasa, elektronik, dan lainnya. Perusahaan memanfaatkan teknologinya untuk meningkatkan penjualan secara keseluruhan hingga 25% dengan memanfaatkan wawasan pelanggan lokal, sambil mendorong pembelian berulang (repeat purchase) dari basis pengguna yang berkembang pesat.

Pace diluncurkan oleh pada awal tahun ini oleh T. Ia berhasil mengembangkan operasinya di luar negeri bekerja sama dengan regulator dan mengadaptasi pendekatan ultra-lokal, seperti mengintegrasikan metode pembayaran dalam pasar yang sering digunakan untuk membangun resonansi dengan pedagang dan pembeli. Strategi ini akan terus mereplikasi kerangka kerja hiperlokal saat diluncurkan di negara-negara baru.

Pace memungkinkan konsumen untuk membagi tagihan pembelian mereka menjadi tiga kali pembayaran bebas bunga selama 60 hari, melalui pengalaman omnichannel yang membantu konsumen berbelanja secara berkelanjutan.

Pace bertujuan untuk menciptakan inklusi keuangan bagi konsumen di wilayah tersebut, dengan membantu mereka mengendalikan dan berbelanja sesuai keinginan mereka, sambil membantu pedagang memenuhi permintaan konsumen yang meningkat dan meningkatkan efisiensi penjualan. Saat ini, Pace beroperasi di Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Thailand.

Belum ada rencana masuk Indonesia

Belum dipaparkan kapan rencana Pace untuk hadir di Indonesia. Namun, segmen pasar ini sudah ramai diisi oleh banyak pemain baik dari lokal maupun luar negeri. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

BNPL adalah salah satu segmen fintech yang menjanjikan potensinya di Asia Tenggara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek Holdings dan Bain & Co., sekitar setengah dari hampir 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank.

Lebih dari 90 juta lebih “underbanked”: Mereka memiliki rekening bank tetapi tidak memiliki akses yang memadai ke produk investasi, asuransi, atau kredit. Jutaan usaha kecil dan menengah juga menghadapi kesenjangan pendanaan yang signifikan, menurut penelitian tersebut. Masalah ini lebih pelik di Indonesia, di mana lebih dari 70% orang dewasa—sekitar 140 juta orang—tidak memiliki rekening bank atau unbanked.

Grafik dioleh kembali oleh Nikkei Asia
Application Information Will Show Up Here

Paper.id to Complete Series B Funding Round, Launching a B2B Paylater Service

The B2B invoicing and payment platform “Paper.id” is currently fundraising for series B round and to be announced in early 2022. Paper.id’s Co-Founder & CEO, Jeremy Limman said to DailySocial that the company is currently in the process of finalizing and plan to use the fresh funds to support product developments that have proven to be growing rapidly during this pandemic.

Paper.id’s latest funding was in 2019 for the series A round from Modalku fintech and Golden Gate Ventures. In early 2018, they also received seed funding from Golden Gate Ventures.

Pandemic elevating business

The number of Paper.id users has grown almost 3 times since the beginning of the pandemic last year. The invoices that have been processed has reached the highest level over Rp9 trillion, this number is claimed to have increased by 2 times from the same period last year. ​Currently, Paper.id has 300 thousand users and is spread across more than 300 cities and regencies in Indonesia.

“In general, the pandemic has negatively impacted the MSMEs, especially the tourism and retail sectors. However, Paper.id users belong to the sector-agnostic segment, therefore, several industries can still survive and continue to grow, such as logistics, FMCG and online sellers,” Jeremy said.

In order to increase financing options for users, Paper.id collaborates with a strategic investor, Buana Sejahtera Group, a group of companies engaged in finance, logistics, and hospitality to expand Paper.id’s capabilities in business funding and penetration into the conventional supply chain.

“Later on, we will ask our strategic investors about what business sector they want. Then Paper.id will recommend businesses that are eligible to get financing from the multifinance,” Jeremy said.

Launching a B2B Paylater

Aiming to help SMEs make their business easier, Paper.id launched its latest product, the B2B Paylater or Buy Now, Pay Later (BNPL). For buyers, they can get benefits in the form of an extension of time. Suppliers can also experience other benefits from this product through a new feature called “Get Paid Faster”.

Prioritizing the aggregator concept, Paper.id will later recommend business owners who want to use BNPL for fintech lending services to banks that have become strategic partners. Currently, there are 10 fintech service and banking partners, including Modalku, Bank Jago, and Pinjam Modal.

“In terms of financing, we cannot provide services for all. Thus, we have good partnerships with P2P, multi-finance and banking services. Everything will be tailored to the needs of the business,” Jeremy added.

In ensuring the business to run good track record, Paper.id conducts a curation process for businesses with intention to use BNPL through data invoicing on Paper.id. Therefore, banking partners and fintech services are guaranteed to get business recommendations with the best quality. Since the launching, Paper.id has validated more than 3000 invoices for BNPL products.

“With our experience that has channeled productive funding of more than Rp. 175 billion for MSMEs, BNPL is a feature that is much requested by our users and is expected to drive the MSME business development and help them manage cash flow better,” Jeremy said.

B2B Paylater in Indonesia

In a report titled “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” published by DSInnovate, the paylater services that focus on business consumers is said to start mushrooming. The scheme is in the form of collaboration, between fintech lending and business service providers.

Indonesia’s B2B Paylater players

In contrast to productive loan products in the style of P2P Lending, B2B paylaters do not provide cash to improve business operations. They finance the expenditure of goods or services that are channeled directly to the provider.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Paylater B2B Paper.id

Segera Rampungkan Penggalangan Dana Seri B, Paper.id Luncurkan Layanan Paylater B2B

Platform invoicing dan payment B2B “Paper.id” tengah melakukan penggalangan dana tahapan seri B yang rencananya akan diumumkan awal tahun 2022 mendatang. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Paper.id Jeremy Limman menyebutkan, saat ini perusahaan dalam proses finalisasi dan rencananya dana segar tersebut digunakan untuk mendukung perkembangan produk yang sudah terbukti berkembang pesat selama pandemi ini.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Paper.id adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A dari perusahaan fintech Modalku dan Golden Gate Ventures. Awal tahun 2018 mereka juga telah mengantongi pendanaan awal dari Golden Gate Ventures.

Pandemi mendongkrak bisnis

Tercatat sejak awal pandemi tahun lalu jumlah pengguna Paper.id telah berkembang hampir 3x lipat dari sebelumnya. Jumlah invoice yang telah diproses pun mencapai level tertinggi hingga Rp9 triliun lebih, angka tersebut diklaim naik 2 kali lipat dari periode yang sama di tahun lalu. ​Saat ini Paper.id memiliki 300 ribu pengguna dan tersebar di lebih dari 300 kota dan kabupaten di Indonesia.

“Secara umum, pandemi memberikan dampak buruk yang hebat kepada UMKM, terutama sektor pariwisata dan ritel. Namun, pengguna Paper.id termasuk segmen sector-agnostic, sehingga tetap ada beberapa industri yang bertahan dan tetap bertumbuh seperti logistik, FMCG dan online seller,” kata Jeremy.

Untuk menambah pilihan pembiayaan kepada pengguna, Paper.id menggandeng investor strategis, Buana Sejahtera Group sebuah grup perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, logistik, dan perhotelan guna memperluas kapabilitas Paper.id dalam pendanaan bisnis dan penetrasi ke dalam
supply chain konvensional.

“Nantinya kita akan bertanya kepada investor strategis kita kira-kira sektor usaha apa yang mereka inginkan. Kemudian Paper.id akan merekomendasikan usaha yang layak mendapatkan pembiayaan dari multifinance tersebut,” kata Jeremy.

Luncurkan paylater B2B

Bertujuan untuk membantu UKM  mempermudah usaha, Paper.id meluncurkan produk terbaru paylater atau Buy Now, Pay Later (BNPL) B2B. Bagi buyer, mereka bisa mendapatkan manfaat berupa perpanjangan tempo. Supplier juga bisa merasakan manfaat lainnya dari produk ini melalui fitur baru bernama “Get Paid Faster”.

Mengedepankan konsep agregator, nantinya Paper.id akan merekomendasikan pemilik usaha yang ingin memanfaatkan BNPL kepada layanan fintech lending hingga perbankan yang telah menjadi mitra strategis. Saat ini tercatat sudah ada 10 mitra layanan fintech hingga perbankan, di antaranya adalah Modalku, Bank Jago, dan Pinjam Modal.

“Di financing kita tidak bisa memberikan layanan untuk semua. Dengan demikian kemitraan kami jalin baik dengan layanan P2P, multifinance, hingga perbankan. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari usaha tersebut,” kata Jeremy.

Untuk memastikan usaha tersebut memiliki track record yang baik, Paper.id melakukan proses kurasi bagi usaha yang ingin memanfaatkan BNPL melalui data invoicing melalui Paper.id. Dengan demikian mitra perbankan dan layanan fintech telah dijamin mendapatkan rekomendasi usaha yang memiliki kualitas terbaik. Sejak diluncurkan, Paper.id telah memvalidasi lebih dari 3000 invoice untuk produk BNPL.

“Dengan pengalaman kami yang sudah menyalurkan pendanaan produktif lebih dari Rp 175 miliar bagi UMKM, BNPL ini adalah fitur yang banyak diminta oleh pengguna kami dan diharapkan dapat mendorong roda perkembangan bisnis UMKM serta membantu mereka dalam mengelola arus kas lebih baik,” kata Jeremy.

Paylater B2B di Indonesia

Dalam laporan bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” yang diterbitkan DSInnovate terungkap, layanan paylater yang fokus kepada konsumen bisnis mulai berkembang. Skemanya berbentuk kolaborasi, antara fintech lending dengan penyedia layanan bisnis.

Pemain paylater B2B di Indonesia

Berbeda dengan produk pinjaman produktif ala P2P Lending, paylater B2B tidak memberikan dana tunai untuk meningkatkan operasional bisnis. Mereka membiayai belanja barang atau layanan yang disalurkan langung kepada penyedia.

Application Information Will Show Up Here

Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti di Indonesia Semakin Marak, Risiko Masih Tinggi

Dalam era gaya hidup digital-first, berbelanja tidak pernah semudah ini, berkat e-commerce dan fintech. Ketika melihat barang yang diinginkan di media sosial atau di pasar, Anda dapat membelinya dan langsung mengirimkannya dengan beberapa ketukan di ponsel pintar. Lalu, jika kekurangan uang tunai, Anda bahkan dapat membayarnya nanti dengan menggunakan metode BNPL.

BNPL adalah singkatan dari buy now pay later atau dalam bahasa Indonesia “beli sekarang, bayar nanti.” Hal ini memungkinkan pelanggan berkomitmen untuk pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu sampai saldo diselesaikan. Konsep BNPL bukanlah hal baru, karena mirip dengan produk pembiayaan angsuran yang sudah ada. Namun, penawaran BNPL berbasis aplikasi mendapatkan momentum di kalangan pembeli milenial dan Gen Z di Asia Tenggara di balik ledakan e-commerce, berkat kemudahan dan kepraktisannya.

Kesenjangan pinjaman di Indonesia masih signifikan, sementara penetrasi kartu kredit masih rendah di angka 5%. Ini menjadi peluang bagi BNPL untuk mengisi celah ini dan memberikan pinjaman pribadi untuk pelanggan yang kurang terlayani.

“Dengan meningkatnya adopsi smartphone di seluruh wilayah, layanan berbasis aplikasi seperti BNPL membuat akses ke layanan keuangan menjadi sangat mudah. Banyak orang Indonesia yang tersisih secara finansial, jadi BNPL menawarkan cara bagi mereka untuk mengakses kredit,” Zennon Kapron, direktur perusahaan riset dan konsultan fintech Kapronasia, mengatakan kepada KrASIA.

Saat ini, hampir semua platform e-commerce di Indonesia mengadopsi metode checkout BNPL dengan bermitra dengan berbagai penyedia fintech. Kredivo yang berkantor pusat di Jakarta telah menjadi salah satu pionir di segmen fintech BNPL sejak 2016, sementara pemain BNPL besar lainnya di tanah air termasuk Akulaku, Home Credit, Traveloka PayLater, dan Shopee PayLater.

Meningkatkan transaksi e-commerce

BNPL membawa banyak manfaat bagi merchant. Hal ini membantu vendor meningkatkan tingkat konversi dan nilai transaksi add-to-cart, serta menjangkau calon pelanggan baru. Pada tahun 2020, 55% pengguna e-commerce baru di Indonesia memilih untuk menggunakan opsi BNPL saat melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut didasarkan pada 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020.

“Penyedia BNPL mengendarai gelombang e-commerce, yang merupakan perkembangan alami karena kredit akan meningkatkan daya beli konsumen pada platform e-commerce,” ujar Kenneth Li, mitra di MDI Ventures, pendukung beberapa perusahaan fintech, termasuk Kredivo. Dengan bermitra dengan platform e-commerce, penyedia BNPL dapat melacak kebiasaan belanja pengguna, yang selanjutnya akan menambah wawasan ke mesin penilaian kredit mereka untuk mengevaluasi potensi risiko saat meminjamkan uang atau memberikan kredit, tambahnya.

Platform online dan operator fintech telah melaporkan pertumbuhan yang stabil dalam transaksi BNPL selama setahun terakhir. Traveloka—perusahaan non-fintech pertama yang menawarkan layanan ini di Indonesia sejak 2018—mendapatkan peningkatan pengguna PayLater sebesar 750% sejak program diluncurkan.

Pada saat yang sama, di Tokopedia, transaksi BNPL meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Platform e-commerce ini bermitra dengan pemain seperti GoPay, Ovo, Kredivo, dan Indodana untuk program BNPL-nya. Blibli, yang juga bekerja sama dengan Indodana untuk layanan BNPL-nya, melaporkan pertumbuhan bulanan 63% antara Mei dan Oktober tahun lalu. KrASIA tidak dapat menemukan data tentang transaksi BNPL di platform e-commerce lain seperti Shopee, Bukalapak, dan Lazada.

Adapun Kredivo, total basis penggunanya telah berlipat ganda dalam sepuluh bulan terakhir, dan pendapatan tahunannya juga berlipat ganda selama tujuh bulan sebelumnya, VP pemasaran dan komunikasi perusahaan, Indina Andamari, mengatakan kepada KrASIA. Kredivo saat ini bermitra dengan sepuluh platform e-commerce dan memiliki hampir 4 juta pelanggan. “Kami menawarkan batas saldo hingga Rp 30 juta (USD 2.105), yang merupakan tertinggi di antara pemain BNPL di negara ini,” kata Indina.

Sisi lain paylater: Meningkatkan konsumerisme dan potensi terjebak hutang

Ide untuk membeli suatu produk tanpa langsung mengeluarkan uang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Konsumen mungkin mendapatkan rasa aman yang salah, yang dapat menyebabkan belanja impulsif, dan mereka mungkin menghabiskan uang yang tidak mereka miliki.

Penelusuran cepat di Media Konsumen, situs yang membantu konsumen menyuarakan pendapatnya, menunjukkan banyak keluhan terkait penawaran BNPL. Beberapa pelanggan menulis surat terbuka di situs web yang meminta pengurangan tingkat bunga atau biaya keterlambatan, karena mereka tidak dapat melunasi hutang mereka. Beberapa pengguna bahkan menggambarkan praktik penagihan utang yang tidak etis oleh penyedia BNPL, sementara yang lain melaporkan transaksi misterius dan tidak sah pada rekening pembayaran mereka nanti.

Termasuk juga kurangnya pendidikan seputar BNPL, yang dapat menyebabkan konsumsi berlebihan. Mengajukan akun BNPL itu mudah—pada sebagian besar platform, hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk diverifikasi, dan kemudian akun pengguna diaktifkan. BNPL tidak memerlukan laporan gaji atau pendapatan, sehingga lebih sederhana daripada aplikasi kartu kredit. Namun, BNPL dapat memberi konsumen akses ke kredit yang tidak mampu mereka bayar, yang dapat menyebabkan jebakan utang yang semakin sulit untuk dilepaskan dengan setiap keterlambatan pembayaran.

“Secara global, regulasi seputar BNPL sangat sedikit, hal ini memastikan adanya risiko dalam model yang ada. Masih harus dilihat apa dampaknya bagi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak terbiasa dengan model jenis ini dan mungkin terjebak oleh biaya tersembunyi atau sulit dipahami,” kata Zennon.

Sumber pendapatan terbesar bagi penyedia BNPL adalah biaya transaksi yang diperoleh dari pengecer atau pasar digital. Biaya ini cenderung lebih tinggi daripada transaksi kartu kredit atau debit biasa, dengan biaya pemrosesan mulai dari 2% hingga 8% per transaksi, dibandingkan dengan 1,3% hingga 3,5% pada mobil kredit biasa. Pemotongan yang lebih besar sering kali datang dengan janji nilai transaksi yang lebih tinggi untuk pedagang.

Namun, perusahaan juga memperoleh pendapatan tambahan dari penalti yang diterapkan pada pembayaran yang terlambat, sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh pelanggan. Opsi bayar kemudian dari Shopee dan Traveloka membebankan biaya keterlambatan sebesar 5% per bulan dari total tagihan. Sementara itu, Kredivo mengenakan tarif 6%.

“Mirip dengan perusahaan kartu kredit, kami membebankan bunga kepada pelanggan kami, tetapi tarif kami termasuk yang terendah di negara ini. Kami menawarkan paket 0% untuk pembayaran nanti dalam 30 hari atau tiga bulan cicilan. Biaya merchant kami juga rendah,” kata Indina dari Kredivo, tanpa mengungkapkan jumlah pastinya. Dia menambahkan, rasio kredit bermasalah pada platform saat ini rendah, sekitar 2,5% hingga 3%.

Terlepas dari beberapa risiko yang disebutkan, Kenneth dari MDI Ventures berpendapat bahwa manfaat BNPL lebih besar daripada ancamannya, karena layanan ini memungkinkan pelanggan yang tidak memiliki rekening bank dan yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses kredit. Ini dapat membantu pelanggan menjaga arus kas mereka tetap terkendali dan pada akhirnya meningkatkan mata pencaharian mereka.

“Penyedia jasa BNPL tentunya harus bertanggung jawab dalam memberikan limit saldo kepada pelanggan. Mereka dapat melakukannya dengan melatih mesin penilaian kredit dengan benar agar tidak membebani individu dengan pengeluaran yang berlebihan,” pungkas Kenneth.

Perbandingan antar penyedia layanan di Indonesia

 

Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan terkait

Pertumbuhan berkelanjutan

Sepertinya BNPL ada untuk tinggal. Pembayaran “Beli sekarang, bayar nanti” di negara ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 72,8% per tahun mencapai USD 1,537 miliar pada tahun 2021, menurut sebuah laporan oleh PayNXT360, platform intelijen bisnis yang berfokus pada pembayaran. Nilai barang dagangan bruto BNPL di dalam negeri diproyeksikan meningkat dari USD 889,7 juta pada tahun 2020 menjadi USD 9,2 miliar pada tahun 2028.

Penyedia BNPL juga bekerja sama dengan bank untuk memberikan pinjaman kepada lebih banyak pelanggan. Pada bulan September, Traveloka bermitra dengan Bank Negara Indonesia untuk meluncurkan “nomor kartu bayar nanti virtual”, yang pertama di Asia Tenggara. Pelanggan dapat menggunakan nomor kartu virtual untuk berbelanja di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, JD.id, Bukalapak, dan Tokopedia. Perusahaan juga bermitra dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Bank Mandiri untuk Traveloka PayLater Card dan Traveloka Mandiri Card, dua penawaran yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan pedagang offline dan online yang didukung oleh jaringan Visa.

Bank-bank besar di seluruh negeri juga mengejar pangsa pasar yang lebih besar dan telah mulai mengembangkan produk bayar nanti mereka sendiri untuk menjangkau pelanggan baru, terutama mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Namun, Kenneth berharap untuk melihat lebih banyak kolaborasi antara fintech dan bank tradisional serta lembaga keuangan lainnya dalam waktu dekat. “Pasar BNPL masih dalam tahap awal di Indonesia. Karena adopsi pembayaran digital terus tumbuh, BNPL juga akan berkembang,” katanya.

Saat pasar matang, pihak berwenang kemungkinan akan memberlakukan pedoman yang lebih ketat untuk segmen ini. Misalnya, Otoritas Moneter Singapura saat ini sedang mengkaji pendekatan regulasi yang tepat untuk BNPL di tengah kekhawatiran atas utang konsumen. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh para pelaku fintech BNPL untuk beroperasi. Belum diketahui apakah organ tersebut akan merevisi kerangka tersebut dalam waktu dekat.

“Kami mengharapkan regulator untuk lebih memperhatikan segmen di masa depan, yang kemungkinan akan membatasi keuntungan bagi penyedia BNPL dalam jangka panjang,” kata Kapron.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

MDI Ventures and Some Investors Pour 1.79 Trillion Rupiah to Kredivo Through PIPE

Kredivo’s parent company, FinAccel received another investment of $125 million or 1.79 trillion Rupiah from MDI Ventures, Cathay Innovation, and Endeavor Catalyst through Private Investment in Public Equity (PIPE). This additional investment will strengthen its position ahead of the IPO preparation through the SPAC scheme.

In his official statement, MDI Ventures CEO Donald Wihardja said he was impressed with the company’s vision to build an AI-based digital consumer credit platform through the use of its first post-funding alternative data for the series B round. Kredivo is also supported by ongoing partnerships with eight leading e-commerce platforms in Indonesia.

On the same occasion, FinAccel also announced three new ranks to fill the position of the Board of Commissioners of Kredivo Indonesia, Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, and Karen Brooks. All three are still waiting for approval from the regulator. Meanwhile, the new Board of Commissioners will play a role in helping to design the strategic growth and expansion of Kredivo’s market.

The brief profiles of the three consist of Arsjad Rasjid currently serving as CEO of PT Indika Energy Tbk and General Chair of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN Indonesia); Darmin Nasution is a leading economist in Indonesia who is also the former Coordinating Minister for Economic Affairs (2015-2019), and former Governor of Bank Indonesia (2010-2013); and Karen Brooks, who served on the White House National Security Council Officer, with more than a decade of experience in private equity and global investment management.

In a joint statement, the three said that Indonesia is still one of the largest unbanked markets in the world despite an increase in financial inclusion in recent years. “We are committed to helping Kredivo make an impact on tens of millions of customers over the next few years because we are optimistic about their innovative credit scoring system,” he explained.

In general note, FinAccel announced its action to become a public company on the NASDAQ through the SPAC scheme. In order to realize this plan, Kredivo will merge with shell company VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) which is an affiliate of Victory Park Capital (VPC). From the two company merger, FinAccel will obtain a pro-forma equity valuation of $2.5 billion, assuming no redemption.

Digital loan market

According to data quoted by DSInnovate in the report “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021”, paylater services will grow 76.7% compared to the previous year, posting a GMV of $1.5 billion in 2021. It is projected to continue to increase to reach $8.5 billion in 2028. This is also supported by an understanding of the paylater business model which is increasingly familiar in the community.

Besides Kredivo, in Indonesia there are several other players such as Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, and Home Credit. In addition, the super application has also developed similar services, such as Gopaylater, Traveloka Paylater, and SPayLater from Shopee.

In terms of funding, several startups have also backed by the investors. We have collected the data, Akulaku is one of the players with the largest valuation after Kredivo, its value is close to $1 billion.

Indonesia’s paylater startup funding / DSInnovate


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here