Tag Archives: BNPL

Induk Kredivo bersiap melantai di bursa NASDAQ lewat skema SPAC / Kredivo

MDI Ventures dan Sejumlah Investor Berikan Pendanaan 1,79 Triliun Rupiah ke Kredivo Melalui PIPE

FinAccel selaku induk usaha Kredivo kembali memperoleh investasi sebesar $125 juta atau 1,79 triliun Rupiah dari MDI Ventures, Cathay Innovation, dan Endeavour Catalyst melalui Private Investment in Public Equity (PIPE). Investasi tambahan ini akan memperkuat posisinya menjelang persiapan IPO lewat skema SPAC.

Dalam keterangan resminya, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku terkesan dengan visi perusahaan dalam membangun platform kredit konsumen digital berbasis AI lewat pemanfaatan data alternatif pasca-pendanaan pertamanya ke putaran seri B. Kredivo juga didukung dengan kemitraan berkelanjutan dengan delapan platform e-commerce terkemuka di Indonesia.

Dalam kesempatan sama, FinAccel turut mengumumkan tiga jajaran baru yang akan mengisi posisi Dewan Komisaris Kredivo Indonesia, yaitu Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, dan Karen Brooks. Ketiganya masih menunggu persetujuan dari regulator. Adapun, Dewan Komisaris baru ini akan berperan untuk membantu merancang pertumbuhan strategis dan perluasan pasar Kredivo.

Profil singkat ketiganya terdiri dari Arsjad Rasjid saat ini menjabat sebagai CEO PT Indika Energy Tbk serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia); Darmin Nasution merupakan ekonom terkemuka di Indonesia yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2015-2019), dan mantan Gubernur Bank Indonesia (2010-2013); serta Karen Brooks yang pernah bertugas sebagai Staf Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih, memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di private equity dan pengelolaan investasi global.

Dalam pernyataan bersama, ketiganya mengatakan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu pasar unbanked terbesar di dunia meski beberapa tahun terakhir ada peningkatan inklusi keuangan. “Kami berkomitmen membantu Kredivo untuk memberikan dampak kepada puluhan juta pelanggan selama beberapa tahun ke depan karena kami optimistis dengan sistem sistem penilaian kredit mereka yang inovatif,” paparnya.

Seperti diketahui, FinAccel mengumumkan langkahnya menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Untuk memuluskan rencana ini, Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC). Dari peleburan keduanya, FinAccel akan mengantongi valuasi pro-forma ekuitas sebesar $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Pasar pinjaman digital

Menurut data yang dikutip DSInnovate dalam laporan “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, layanan paylater akan bertumbuh 76,7% dibanding tahun sebelumnya, membukukan GMV $1,5 miliar pada 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat mencapai $8,5 miliar pada tahun 2028. Hal ini turut didukung pemahaman tentang model bisnis paylater yang semakin akrab di masyarakat.

Selain Kredivo, di Indonesia ada beberapa pemain lainnya seperti Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, dan Home Credit. Selain itu, aplikasi super juga turut mengembangkan layanan serupa, seperti Gopaylater, Traveloka Paylater, dan SPayLater dari Shopee.

Terkait pendanaan, beberapa startup juga telah menerima dukungan dari investor. Dari data yang kami himpun, Akulaku menjadi salah satu pemain dengan valuasi terbesar setelah Kredivo, nilainya sudah mendekati $1 miliar.

Pendanaan startup paylater di Indonesia / DSInnovate
Application Information Will Show Up Here

Daya Tarik Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti Memicu Pergerakan Perbankan di Indonesia

“Beli sekarang, bayar nanti” (BNPL) menjadi salah satu jenis produk fintech yang paling populer di Indonesia saat ini. Seperti namanya, BNPL memungkinkan pelanggan untuk melakukan pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu hingga lunas. BNPL kian mendapat momentum di Indonesia selama dua tahun terakhir sebagai bagian dari sektor e-commerce dan fintech yang semakin matang. Pemain utama di sektor ini antara lain Kredivo, Akulaku, Traveloka PayLater, GoPay, Ovo, dan ShopeePay.

Tahun lalu, 55% pengguna e-commerce baru memilih untuk menggunakan opsi BNPL ketika mereka melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut diambil dari 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020. Secara keseluruhan, 41% konsumen mengatakan mereka menggunakan BNPL untuk mengendalikan arus kas bulanan mereka.

Tak mau kalah, berbagai lembaga keuangan konvensional memasuki segmen ini dengan menggandeng penyedia fintech dan BNPL. Misalnya, Traveloka bersanding dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Mandiri masing-masing pada tahun 2019 dan 2020, untuk penawaran BNPL mereka.

Sementara itu, BNI telah bermitra dengan Traveloka dan Shopee PayLater. Pada bulan September, BNI dan Traveloka meluncurkan “nomor kartu virtual” yang memungkinkan pengguna Traveloka PayLater untuk melakukan transaksi di platform e-commerce di luar ekosistem platform pemesanan perjalanan.

Beberapa bank sedang mengembangkan produk BNPL mereka sendiri. Bank Mandiri dikabarkan berencana untuk meluncurkan produk BNPL pada kuartal keempat tahun 2021, dengan batas saldo hingga Rp 5 juta (USD 350). Layanan pembanding CIMB Niaga diharapkan akan diluncurkan tahun depan, sementara BCA dikabarkan sedang mengkaji kemungkinan untuk mengeluarkan produk serupa.

“Hal ini adalah perkembangan alami dari industri teknologi. Seiring dengan semakin matangnya adopsi teknologi dan pasar, para pemain lama akan mulai mengikuti dan menciptakan produk mereka sendiri,” Kenneth Li, partner di MDI Ventures mengatakan kepada KrASIA.

BNPL bukanlah konsep baru. Sama halnya dengan produk pembiayaan cicilan yang sudah ada. Namun, BNPL telah mendapatkan momentum karena kemudahan yang dibawa oleh integrasi berbasis aplikasi dengan platform e-commerce.

Meskipun aplikasi kartu kredit mungkin memerlukan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk disetujui, pengguna dapat mengajukan permohonan untuk akun BNPL dan menerima pemberitahuan aktivasi dalam waktu 24 jam, menjadikannya pilihan yang lebih disukai oleh banyak generasi muda.

“Penetrasi kartu kredit di Indonesia sangat rendah, sekitar 5%. Lalu, sejak pandemi dimulai, produksi kartu kredit melambat. Hal ini menunjukkan peluang bagi BNPL untuk menyalip kartu kredit dalam hal penetrasi, terutama karena sifat produk yang scalable,” sebut Kenneth.

Dalam hal penyaluran pinjaman pribadi jangka pendek seperti BNPL, bank yang sudah mapan memiliki beberapa keunggulan. Bank memiliki neraca yang lebih dalam yang membedakan mereka dari startup fintech yang sudah meraih pendanaan selangit. Hal ini memberi bank sarana untuk menawarkan batas yang lebih tinggi daripada penyedia fintech mandiri. Bank juga memiliki basis konsumen dan pedagang besar yang mungkin lebih bersedia untuk mengadopsi layanan baru, terutama jika mereka digabungkan dengan fitur yang ada. Produk BNPL baru yang dikembangkan oleh bank mendiversifikasi penawaran mereka, memberikan lembaga cara baru untuk menjangkau pelanggan yang tidak memiliki kartu kredit, seperti pemilik UMKM.

Namun, Kenneth berpendapat, tidak mudah bagi bank konvensional untuk meniru inovasi tekfin. “Bank-bank tradisional dibatasi oleh peraturan dan kepatuhan, belum lagi ambang batas risiko mereka juga lebih rendah daripada pemain BNPL penuh.” Kenneth percaya bahwa bank dan penyedia tekfin dapat hidup berdampingan di sektor ini. Dia memperkirakan akan lebih banyak bank yang bekerja sama atau bahkan mengakuisisi platform fintech untuk menawarkan layanan ini daripada mengembangkan produk mereka sendiri dari awal.

“Daripada mengambil risiko untuk menciptakan dan menerapkan pengeluaran ke dalam model bisnis baru yang mungkin tidak berfungsi, akan lebih bijaksana untuk bermitra dengan pemain yang ada dan memanfaatkan ekosistem yang sudah mapan seperti perusahaan e-commerce yang sudah memiliki jutaan pedagang dan pelanggan,” ujar Kenneth.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

GopayLater di Tokopedia

Integrasi Produk Gojek Mendalam di Tokopedia, Kini Tersedia GoPayLater

Perusahaan merger dari Gojek dan Tokopedia, GoTo, semakin perdalam integrasi produk antar keduanya di masing-masing platform. Informasi yang terbaru adalah hadirnya layanan fintech BNPL (buy now pay later) dari Gopay yakni GoPayLater yang kini tersedia di aplikasi Tokopedia.

Belum ada informasi resmi yang diberikan perusahaan terkait kabar teranyar tersebut. Kehadiran GoPayLater tentunya berindikasi pada semakin jelasnya upaya Tokopedia untuk mengurangi dominasi OVO di platformnya.

Sebelum GoTo diresmikan ke publik, program loyalitas Tokopedia yang sempat menggunakan OVO Points akhirnya kembali menghidupkan TokoPoints pada April 2021 setelah sempat dirilis pada 2018.

Lewat OVO Points, sebelumnya pengguna Tokopedia dapat memperoleh poin untuk mendapatkan cashback dari setiap transaksi yang dilakukan di Tokopedia. OVO Points dapat digunakan sebagai salah satu metode pembayaran, konversi 1 poin senilai dengan Rp1.

TokoPoints juga dapat dapat ditukar tanpa batas minimum/maksimum poin untuk untuk semua transaksi produk fisik dan berbagai produk digital. Pemakaian TokoPoints untuk transaksi produk fisik juga dapat digabungkan dengan promo lainnya dan Bebas Ongkir secara bersamaan.

Tokopedia juga menyediakan gamifikasi yang dapat digunakan pengguna untuk mengumpulkan TokoPoints setiap harinya.

Munculnya GoPayLater artinya tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya Gopay hadir di Tokopedia. Selama ini, OVO adalah metode pembayaran utama yang tersedia di laman utama Tokopedia untuk berbagai transaksi. Di Tokopedia, tersedia fitur top up instan saldo, transfer, dan bayar dengan kode QR yang terhubung langsung dengan OVO.

Mengutip dari DealStreetAsia, Tokopedia dan afiliasinya memiliki 41% saham di OVO. Dengan rincian, Tokopedia menguasai 36,1% saham di induk OVO, Bumi Cakrawala Perkasa, Co-Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison dan William Tanuwijaya memiliki 5% melalui Wahana Inovasi Lestari yang diakuisisi Grab pada Februari 2020. Sedangkan Grab Inc menguasai 39,2% saham di induk OVO.

GoPayLater sendiri adalah produk dari Findaya, startup p2p lending yang diakuisisi Gojek pada 2018. Dalam perkembangannya, melalui wawancara bersama DailySocial pada Februari 2021, disampaikan GoPayLater sudah memperluas cakupan layanannya, tidak hanya dapat digunakan untuk seluruh transaksi di aplikasi Gojek dan merchant offline afiliasinya.

Sejumlah mitra e-commerce yang dapat menerima pembayaran dengan GoPayLater adalah Blibli, JD.id, Zalora, dan masih banyak lagi.

Diungkapkan pada tahun lalu pertumbuhan transaksi dengan GoPayLater naik hingga 3,3 kali lipat. Transaksi terbesarnya dikontribusikan dari pembelian makanan melalui GoFood dan membayar tagihan di GoBills.

“Gopay Paylater menjadi salah satu layanan yang paling digemari pengguna, terbukti dengan peningkatan transaksi sampai dengan 3,3 kali lipat sepanjang tahun 2020 dengan NPL di bawah industri,” ucap Head of Growth GoPayLater Neni Veronica.

Penetrasi layanan fintech

Industri fintech lending yang merupakan ranah dari GoPayLater terus menunjukkan tren pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan statistik OJK, pada semester I 2021 angka penyaluran mencapai Rp70,88 triliun, hampir menyandingi pencapaian sepanjang tahun lalu sebesar Rp74,41 triliun. Bila melihat secara kumulatif saja, telah mencapai Rp221,56 triliun.

Angka ini diprediksi akan semakin tumbuh, mengingat masih banyaknya kelompok masyarakat underserved dan unbanked. Pemain seperti GoPayLater yang mengusung BNPL atau kartu kredit digital, mengisi gap kebutuhan terhadap akses finansial yang memadai dengan pendekatan digital.

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Persaingan di kancah uang elektronik itu sendiri juga tak kalah menarik. Di Indonesia, peta persaingannya semakin meruncing di antaranya lima pemain dominan di pasar. Mereka tak lain Gopay, OVO, DANA, ShopeePay, dan LinkAja. Dalam berbagai riset, kelimanya saling berganti posisi satu sama lain dalam tiap periodenya.

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, ada lima aplikasi pembayaran digital yang paling banyak digunakan menurut responden. Secara berurutan meliputi Gopay (87%), OVO (80,4%), Dana (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%).

Sementara, menurut survei yang diselenggarakan Neurosensum, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi berikutnya adalah OVO (62%), lalu DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Traveloka akan membawa layanan paylater ke Vietnam dan Thailand pada tahun ini

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com 

Paylater Pace

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here