Tag Archives: Bob Tyasika Ananta

BNI Introduces “Yap”, An Exclusive Payment App For Customer

Bank Negara Indonesia (BNI) launches an app-based digital payment innovation called Yap that especially made for BNI customer. This app is designed to address
challenges, while meeting society’s need by providing mobile and simple payment mechanism.

Bob Tyastika Ananta, BNI’s Director of Planning and Operations explained that this application developed in collaboration between BNI in-house with some fintech startups. However, He wouldn’t mention any further details.

“BNI’s investment to build Yap ecosystem is not large. Yet, the app will be
internally managed by BNI,” Ananta said to DailySocial (1/25).

For him, Yap’s market segment is very wide starts from micro/SMEs, retail, chain
store, to premium brand segment. The presence of Yap is expected to be a solution for both bank customers and the corporate customers.

Ananta explained, in its business model, Yap provides three kinds of funding source to be used by customers, starts from credit or debit cards, and electronic money UnikQu. For the payment, Yap is using scan QR code through customer’s smartphone screen.

He ensures customers who has already using UniQu, this app is still available.
Whether the customer download Yap and use UnikQu with the same phone number, the balance will appear the same with the one in UnikQu app.

Some merchants already joined with Yap, including Cold Stone, Coffee Philosophy, Family Mart, Dinomarket, Super Indo, Blibli, Yellow Truck and 100 thousand other merchants scattered around Indonesia.

For the desktop version, Yap provides online new account services for both credit
and debit cards.

Previously, BNI partnered up with Dimo in delivering UnikQu. This app is using Pay by QR technology of Dimo to process payment transactions online and offline with various Dimo partners.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

BNI Hadirkan Aplikasi Pembayaran “Yap” Khusus untuk Nasabah

Bank Negara Indonesia (BNI) meluncurkan inovasi pembayaran digital berbasis aplikasi Yap khusus diperuntukkan nasabah BNI. Aplikasi ini dirancang untuk menjawab tantangan, sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menyediakan mekanisme pembayaran yang simpel dan mobile.

Direktur Perencanaan dan Operasional BNI Bob Tyasika Ananta menerangkan aplikasi ini dikembangkan secara kolaborasi antara in-house BNI dengan beberapa startup fintech. Hanya saja, Bob enggan menyebutkan detilnya lebih lanjut.

“Investasi yang BNI siapkan untuk membangun ekosistem Yap tidak besar. Namun, aplikasi ini akan dikelola sendiri oleh BNI,” terang Bob kepada DailySocial, (25/1).

Menurutnya, segmen pasar yang digarap Yap sangat luas mulai dari segmen mikro/UMKM, ritel, chain store, hingga brand premium. Sehingga diharapkan kehadirannya ini dapat menjadi solusi untuk nasabah konsumer bank maupun korporat itu sendiri.

Bob menjelaskan, dalam model bisnisnya, Yap menyediakan tiga jenis sumber dana yang bisa dipakai nasabah, mulai dari kartu kredit dan debit BNI, dan uang elektronik UnikQu. Untuk pembayarannya, Yap memanfaatkan scan QR code melalui layar smartphone nasabah.

Ia memastikan untuk nasabah yang sudah menjadi pengguna e-money UnikQu, aplikasi ini masih tetap bisa digunakan. Apabila masyarakat mengunduh Yap dan menggunakan UnikQu dengan nomor hp yang sama, maka saldonya akan tetap muncul sama dengan saldo di aplikasi UnikQu.

Beberapa merchant yang sudah bergabung di Yap, di antaranya Cold Stone, Filosofi Kopi, Family Mart, Dinomarket, Super Indo, Blibli, Yellow Truck, dan 100 ribu merchant lainnya tersebar di seluruh Indonesia.

Untuk versi desktopnya, Yap menyediakan layanan pembukaan rekening untuk nasabah baru secara online baik untuk kartu kredit maupun debit.

Sebelumnya, BNI menggandeng Dimo dalam menghadirkan UnikQu. Aplikasi ini memanfaatkan teknologi Pay by QR dari Dimo untuk memproses transaksi pembayaran secara online dan offline di berbagai mitra yang sudah bermitra dengan Dimo.

Application Information Will Show Up Here

Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.

BNI Yet to Decide on Venture Capital Subsidiary Plan

Bank Negara Indonesia (BNI) is to decide regarding digital banking business development, whether to acquire venture capital or setting up a new company. The company has not narrowed the options, resulting in unspecified time announcement for corporate actions.

“We are still in assessment level [to build a company]. It has not been narrowed down [on strategy to be taken],” BNI’s Director of Strategic Planning and Operation, Bob Tyasika Ananta to DailySocial on Monday (20/11).

Even though the strategy is yet to be decided, BNI will focus more on developing digital banking business by launching a number of digital products. Some that already available in the market are BNI UnikQu, BNI Digital Loan, Dashboard Bansos, Agen46 BNI, and others.

BNI also embraces some fintech companies in developing its products. One of them is an intelligence platform made by (AI) BJtech, Bang Joni, for “Cinta: Personal Intelligent Banking” chatbot.

This product helps clients to manage banking purposes such as: sharing information, product registration, and UnikQu transaction through chat. Cinta can be accessed through BNI official account in Facebook Messenger and Twitter.

Based on the company’s business plan this year, BNI allocates Rp4 trillion for inorganic growth plans. In order to strengthen existing business, BNI plans on setting up a new subsidiary engaged in insurance, venture capital, and asset management.

In contrast to BNI, other state-owned bank, BRI, is ready to execute the plan for local venture capital acquisition, Bahana Artha Ventura. The acquisition process is targeted to be completed in November 2017.

BRI prepared Rp4 trillion for the subsidiary business and the new subsidiary acquisition. Related to acquisition, the company will acquire Bahana securities and Bahana Artha Ventura for around Rp700 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BNI Belum Putuskan Rencana Pendirian Anak Usaha Modal Ventura

Bank Negara Indonesia (BNI) mengungkapkan belum memutuskan lebih jauh terkait pengembangan bisnis digital banking apakah akan melakukan akuisisi modal ventura atau mendirikan perusahaan baru.

Perseroan belum mengerucutkan opsi mana yang akan dipilih. Sehingga belum bisa ditentukan kapan aksi korporasi ini akan diumumkan.

“Kami masih dalam tahap penjajakan atau kajian [mendirikan perusahaan baru]. Sejauh ini masih belum mengerucut [strategi mana yang akan diambil],” terang Direktur Perencanaan dan Operasional BNI Bob Tyasika Ananta kepada DailySocial, Senin (20/11).

Kendati belum mengerucutkan strategi, yang pasti mulai tahun ini BNI makin fokus mengembangkan bisnis digital banking dengan meluncurkan produk digital. Beberapa produk digital yang telah diluncurkan antara lain BNI UnikQu, BNI Digital Loan, Dashboard Bansos, Agen46 BNI, dan lainnya.

Selain meluncurkan produk, BNI juga merangkul perusahaan fintech dalam mengembangkan produknya. Salah satunya dengan platform kecerdasan buatan (AI) BJtech (Bang Joni) untuk produk chatbot “Cinta: Personal Intelligent Banking.”

Produk ini membantu nasabah mengelola keperluan banking BNI, mulai dari berbagi informasi, registrasi produk BNI, hingga transaksi UnikQu melalui kemudahan chatting. Cinta dapat diakses melalui akun resmi BNI di platform Facebook Messenger dan Twitter.

Berdasarkan rencana bisnis perseroan tahun ini, BNI mengalokasikan dana sebesar Rp4 triliun untuk rencana pertumbuhan anorganik. Selain memperkuat bisnis yang ada, BNI berencana mendirikan anak usaha baru yang bergerak di asuransi umum, modal ventura, dan aset manajemen.

Berbeda dengan BNI, perbankan lainnya, BRI, siap menuntaskan rencana untuk mengakuisisi perusahaan modal ventura lokal Bahana Artha Ventura. Ditargetkan proses akuisisi tersebut rampung pada November 2017.

BRI menyiapkan anggaran sebesar Rp4 triliun untuk menyuntuk seluruh anak usaha di bawahnya dan mengakuisisi anak usaha baru. Terkait akuisisi, perseroan akan mengakuisisi Bahana Sekuritas dan Bahana Artha Ventura dengan menyiapkan budget sebesar Rp700 miliar.