“Wah enak ya cuma main game doang bisa dapat uang” kalimat tersebut cukup sering dikatakan oleh orang awam, ketika melihat profesi gamers profesional. Maksud saya gamers profesional di sini adalah mereka yang bermain game dibayar untuk bertanding di ajang kompetitif. Jadi kata gamers profesional di sini tidak termasuk game streamer atau pun youtuber game yang tidak berprofesi sebagai atlet esports.
Masyarakat awam, atau mungkin bahkan gamer itu sendiri, sering salah kaprah mengira bekerja sebagai gamer profesional itu mudah serta menyenangkan. Padahal profesi ini seperti profesi lainnya, memiliki kesulitan dan tantangannya tersendiri.
Hybrid sempat membahas bagaimana beratnya menjadi atlet esports yang terbaik, berikut dengan berbagai pengorbanan yang harus dilakukan oleh para atlet. Tingkat stres menjadi seorang atlet esports terbilang cukup tinggi, mengingat mereka harus bangkit melawan banyak hal; diri sendiri, tim musuh yang dihadapi, dan gempuran nyinyiran para haters.
Beberapa waktu yang lalu kita juga melihat bagaimana perjuangan BOOM.ID di Bucharest Minor berakhir di luar ekspektasi. BOOM.ID dianggap menyerah terlalu dini ketika harapan dalam pertandingan melawan TeamTeam sebenarnya masih ada. Hal ini segera mendapat perhatian dari komunitas dota internasional dan ditulis sebagai “most bizarre ending in Dota 2 History” oleh joinDOTA, salah satu laman situs komunitas Dota 2 yang diakui khalayak Dota internasional.
Ini segera menjadi santapan hangat bagi para netizen. Mereka langsung saja sekuat tenaga memberikan komentar negatif kepada salah satu tim Dota 2 Indonesia ini, yang bisa dibilang sebagai tim dengan komitmen paling tinggi. Namun apakah BOOM.ID berhak atas semua omongan buruk para haters dan juga netizen hanya karena satu momen buruk tersebut?
Menilik Kerasnya Perjuangan Atlet esports Dari Sudut Pandang Psikologi Olahraga
Mencoba melihat dari sudut pandang lain, saya penasaran ingin melihat kasus ini dari sudut pandang psikologi. Walau psikologi esports adalah hal yang krusial dan tidak mudah, namun sayang kerap dianggap remeh. Kebanyakan orang biasanya langsung sampai pada kesimpulan bahwa seorang pro player “harusnya” punya mental yang mantap. Nyatanya, mentalitas setiap orang berbeda-beda, latihan keras bertahun-tahun tak lantas membuat mental seorang manusia jadi unbreakable.
Untuk menjawab hal tersebut Hybrid mewawancarai Yohannes Paraloan Siagian S.Psi. Sosok yang akrab disapa Joey ini terkenal di dunia esports karena jabatannya sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, sekolah pertama di Indonesia yang memiliki program pembinaan esports. Joey bercerita bahwa dirinya sudah hampir 20 tahun menjadi praktisi di bidang psikologi olahraga. Ia punya pengalaman membina dan melatih atlet serta remaja, bahkan beberapa yang ia latih pernah mewakili Indonesia di tingkat tim nasional.
Melihat apa yang terjadi pada BOOM.ID dalam game pertama melawan TeamTeam, Joey mengatakan bahwa nyatanya kesalahan tersebut sebenarnya bukan soal BOOM.ID saja. Menurut pengamatannya pada keadaan itu, kedua tim sebenarnya melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja BOOM.ID ketika itu kelihat lebih salah, karena mereka yang kalah gara gara keadaan tersebut. Penyebabnya? Menurut Joey hal tersebut dikarenakan mereka yang tidak sadar dengan keadaan, tidak fokus main sampai permainan benar-benar selesai.
Menurutnya keadaan tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah soal disiplin dan fokus. Untuk menjelaskan hal tersebut, Joey lalu meminjam analogi dari olahraga bola basket yang punya istilah “play to the buzzer”. Istilah ini digunakan untuk menyebut mentalitas permainan yang memaksa pemain untuk tetap fokus bermain, sampai bel babak terakhir berbunyi, tanpa perlu memikirkan hasil. Jadi, menurutnya, kasus tersebut bisa terjadi karena mentalitas itu kurang terlatih, baik di dalam tim BOOM.ID ataupun TeamTeam itu sendiri.
Lalu bagaimana dari sisi psikologi dan mentalitas? Joey menjelaskan lebih lanjut bahwa keadaan psikologis atau mental dari setiap atlet, termasuk atlet esports, memiliki batasan tenaga serta daya tahan. Seperti fisik, kekuatan mental juga butuh istirahat agar bisa kembali prima. Jadi secara umum mental juga dapat mengalami kelelahan atau disebut juga sebagai Mental Fatigue. Keadaan mental fatigue bisa terjadi pada atlet jika mereka mengalami tekanan yang sangat tinggi, namun kekuatan serta stamina mental mereka sudah tak sanggup menahan segalah hal tersebut.
Mengutip tulisan psikolog bernama Karen Nimmo dari medium.com, ada beberapa indikator ketika mental fatigue terjadi pada atlet. Menurutnya dalam keadaan mental fatigue, atlet akan lebih sering melakukan kesalahan, sulit untuk fokus, overthinking terhadap segala hal yang menciptakan keresahan, pergerakan kaku sehingga performa menurun, kehilangan motivasi, serta munculnya pikiran buruk yang membuat atlet takut salah bahkan dalam melakukan hal yang ia sangat mahir.
Kompetisi sebesar Bucharest Minor merupakan kompetisi dengan tekanan mental yang sangat tinggi. Ada beberapa faktor penyebab kompetisi ini memberi tekanan mental tinggi, seperti panggung besar, sorotan khalayak Dota internasional, lawan kelas berat, serta tanggungan beban membawa nama baik negara sendiri. Menghadapi kompetisi ini, jelas seorang atlet esports harus memiliki kekuatan mental yang besar serta stamina mental yang tinggi; agar tidak mengalami mental fatigue dan bisa mengeluarkan performa konsisten sepanjang kompetisi.
Menutup obrolan, saya menanyakan soal pentingnya kehadiran pelatih mental di dalam sebuah tim esports? “S-A-N-G-A-T!!” Jawab Joey semangat. Ia mengatakan bahwa aspek tersebut harus ada di dalam program pelatihan esports, karena esports layaknya olahraga, bukan hanya soal fisik tapi juga mental yang prima. “Tim apapun yang mengabaikan aspek mental ibarat membangun rumah dengan mengabaikan beberapa tembok kemudian bingung kenapa rumah tersebut bisa roboh” ucap Joey.
Cerita Atlet Esports Senior Soal Tekanan Mental di Dalam Sebuah Kompetisi
Tak adil rasanya jika kita tidak melihat dari sisi pengalaman sang atlet esports itu sendiri. Menjawab hal ini saya menanyakan pendapat salah satu atlet esports Dota 2 legendaris. Pemain yang jadi narasumber untuk artikel ini adalah seorang pemain senior yang terakhir kali bermain di dalam tim Rex Regum Qeon, yaitu Farand ‘Koala’ Kowara. Koala berkarir di dunia esports Dota 2 sejak dari lama, sekitar tahun 2006, dan ia sudah menghadapi kerasnya jagat kompetisi DotA bersama tim XcN, ketika bahkan Dota 2 belum rilis. Dulu ia juga bahkan sempat memenangkan MGC 2008 di Tiongkok saat masih bergabung di Fnatic.
Sejak tahun 2017 lalu, Koala sudah gantung keyboard dan memilih untuk undur diri dari jagat kompetitif Dota 2. Alasan ia gantung keyboard adalah untuk memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda agar dapat menunjukkan bakatnya. Namun pensiun bukan berarti Koala sepenuhnya mundur dan tidak mengamati situasi dalam jagat kompetitif Dota.
Saya pun menanyakan soal pendapatnya terhadap apa yang terjadi dalam pertandingan BOOM.ID melawan TeamTeam di Bucharest Minor 2019. Koala juga turut mengakui bahwa situasi yang mereka alami tersebut merupakan situasi penuh tekanan. Tak heran jika mereka secara tim keseluruhan mengalami panik sampai akhirnya menciptakan keadaan tersebut.
Berangkat dari kasus tersebut, saya melanjutkan perbincangan membicarakan soal bagaimana sebenarnya tekanan dari menjadi seorang atlet esports. Koala menceritakan pengalamannya sendiri sambil menceritakan cerita kawan-kawannya yang juga berjuang di jagat esports Dota 2.
Menurutnya soal tekanan itu tergantung dari masing-masing orang, seberapa serius mereka menekuni dunia esports. “Tetapi jika sudah mencapai tingkat profesional tangapannya pasti berbeda, mereka dituntut untuk menang, ada hak dan kewajiban, belum lagi kalau kalah dibacotin, tapi balik lagi ke kekuatan mental individunya sendiri, ada yang bisa aja nggak kuat lalu merasa tertekan ada yang cukup kuat jadi biasa aja.” Tambah Koala.
Ia juga mengamini bahwa tekanan pertandingan di atas panggung itu jauh berbeda, tentunya tidak sebanding jika dibandingkan dengan sebuah game MMR di Dota 2. “Balik lagi ke momen BOOM, kalau game MMR gue yakin mereka pasti bisa sadar dengan keadaan. Tapi ini beda, ini tanding di panggung, tekanannya sudah jelas beda. Hal itu nggak cuma dialami BOOM kok, semua tim juga kaya itu” jelas Koala.
Bicara soal tekanan di dalam pertandingan Koala pun menceritakan bahwa dirinya sendiri cukup sering mengalami hal tersebut. “Hal kaya gitu sering banget, hampir setiap kali qualifier besar atau final kompetisi pasti ada pressure mental kaya gitu” cerita Koala. Ia melanjutkan bahwa seberapa besar tekanan dalam tim, itu tergantung seberapa besar tim tersebut peduli dengan ekspektasi orang sekitar, serta seberapa besar keinginan suatu tim untuk menang. Semakin besar pemain atau tim tersebut peduli dengan faktor eksternal dan internal tersebut, bukan tidak mungkin tekanan yang dialami akan semakin tinggi.
Lalu bagaimana cara untuk menghadapi keadaan penuh tekanan seperti ini? Setiap individu tentu punya cara dan siasatnya tersendiri, juga tergantung dari kekuatan serta stamina mental seseorang. Koala cerita ia punya cara yang cukup sederhana. “Just play and have fun, gak usah mikirin hasil, main dan lakukan yang terbaik” jawab Koala menutup obrolan kepada Hybrid.
–
Jika melihat bagaimana tim esports Indonesia kerap gagal ketika main di panggung internasional, saya merasa memang sudah saatnya menghadirkan sosok psikolog atlet. Terkait hal itu Joey juga menjelaskan bahwa memang tak harus selalu ada coach khusus mental yang merupakan lulusan psikologi. Menurutnya coach rangkap teknis dengan mental pun tak apa, selama ia mengerti serta mau belajar soal psikologi dan mentalitas atlit di dalam sebuah pertandingan.
Bagaimanapun jika melihat kemampuan bermain atau kerjasama permainan atlet-atlet Indonesia, mereka semua tak bisa dikatakan buruk; malah kadang bisa jadi lebih bagus dari pemain internasional. Terbukti beberapa pemain Indonesia skill-nya diakui oleh khalayak esports internasional, Hansel “BnTeT” Ferdinand dari CS:GO atau Kenny “Xepher” Deo dari Dota 2 contohnya.
Akhirnya, pelatihan mental dan pemahaman psikologi esports yang dilakukan sama kerasnya dengan pelatihan skill bermain tentunya akan membuat lebih banyak lagi para pemain Indonesia yang sukses menggaungkan namanya di tingkat dunia. Meski memang, hal ini juga akan kembali lagi ke kecepatan masing-masing pemain dalam menyerap berbagai pelatihan tersebut.