Tag Archives: Boston consulting group

(Ki-Ka) Brendan Board dan Marc Schmidt of BCG, Raditya Wibowo of Maka Motors, Lauren Blasco of AC Ventures

AC Ventures dan BCG Rilis Laporan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Indonesia

Salah satu peluang yang paling menjanjikan untuk green growth di Indonesia adalah renewable energy. Indonesia memiliki sumber daya renewable energy yang melimpah, termasuk energi surya, angin, hidro, dan panas bumi. Dengan berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi renewable energy, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan beralih ke sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Hal ini tidak hanya membantu mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan peluang kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan yang dirilis AC Ventures dan Boston Consulting Group mengenai Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Derkabonisasi di Indonesia terungkap, peluang yang besar bagi Indonesia dalam strategi, pengurangan gas rumah kaca, dan penyeimbangan emisi, dengan meminta partisipasi luas dari perusahaan, pemangku kepentingan pemerintah, dan investor dalam transisi ekonomi yang kritis.

Tiga kategori penentu keberhasilan solusi Green Growth

Green growth adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan. Untuk mencapai ambisi Indonesia dalam memenuhi net zero emission maksimal pada 2060, diperkirakan pengeluaran publik dan swasta di negara ini akan mencapai $350 miliar per tahun pada 2030.

Dalam laporan tersebut terungkap, terdapat tiga kunci sukses agar dekarbonisasi bisa berjalan sukses di Indonesia. Di antaranya adalah solusi energi, solusi pengelolaan limbah dan yang terakhir adalah solusi agrikultur.

Khusus untuk solusi energi selain electric vehicle (EV), platform seperti Xurya dinilai mampu membantu Indonesia melancarkan gerakan dekarbonisasi.

Meskipun masih ada banyak tantangan dalam pengelolaan limbah di Indonesia, upaya yang dilakukan saat ini menunjukkan komitmen pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Beberapa startup yang telah menghadirkan solusi pengelolaan limbah di antaranya adalah Waste4Change dan Surplus.

Sementara itu solusi agrikultur di Indonesia dinilai masih sulit untuk ditangani secara menyeluruh. Namun demikian, fungsinya menjadi penting karena mendukung ekonomi untuk mengadopsi dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Kompleksitas sisi teknik agrikultur itu sendiri hingga perubahan tanaman dan sistem makanan merupakan fundamental dari pertanian yang harus diselesaikan lebih lanjut. Perusahaan yang mencoba menghadirkan solusi untuk agrikultur di Indonesia di antaranya adalah, iGrow (diakuisisi LinkAja tahun 2021), Aruna dan Neurafarm.

Platform dan organisasi pendukung ekosistem startup berdampak

Selain startup yang menyasar kepada lingkungan dan renewable energy, platform seperti Ecoxyztem yang merupakan venture builder khusus untuk climate tech dan startup berdampak di Indonesia, dinilai juga dapat membantu pemerintah melancarkan kampanye peduli lingkungan. Meskipun belum banyak investor yang tertarik untuk memberikan dana segar kepada startup berdampak, namun saat ini mulai banyak platform seperti Ecoxyztem dan lembaga lainnya yang tertarik untuk berinvestasi di startup berdampak Indonesia.

“Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk beralih ke ekonomi hijau. Perubahan ini merupakan peluang bagi startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan investor untuk memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim,” kata Principal – Head of ESG AC Ventures Lauren Blasco.

Kekurangan talenta digital

Meskipun saat ini sudah mulai banyak perusahaan yang menghadirkan solusi dengan target dan layanan yang berbeda untuk mendukung green growth, kebanyakan dari mereka masih kesulitan untuk mencari talenta yang relevan. Dalam laporan tersebut terungkap, Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan terkait akses terhadap talenta yang tersedia dan sesuai.

Laporan RGF pada tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 50% dari para pengusaha Indonesia di 10 sektor menghadapi kekurangan talenta yang signifikan. Kekurangan talenta ini terutama dirasakan di ruang startup, dengan pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia bakal membutuhkan sembilan juta talenta di bidang teknologi pada tahun 2030 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat. Ini mewakili peningkatan 10x lipat dari sekitar 900 ribu pekerja talenta digital yang berada di Indonesia pada tahun 2020.

Menurut laporan tersebut Indonesia dapat melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini dengan lebih baik menarik pekerja asing berbakat, namun masih ada hambatan-hambatan yang signifikan termasuk hambatan bahasa, proses aplikasi yang kompleks dan restriktif, serta upaya untuk meningkatkan kemampuan talenta yang ada saat ini, atau menarik kembali talenta Indonesia yang tersebar di luar negeri. Untuk jangka pendek, para pemangku kepentingan di sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk memahami cara menarik, melatih, dan mempertahankan talenta terbaik saat ini.

Pengembangan EV di Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan diproyeksi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi menjadi pertumbuhan ekonomi hijau. Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan. Laporan tersebut memperkirakan nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar $400 miliar yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.

Menurut Managing Director dan Partner BCG Singapura Marc Schmidt, khusus untuk Indonesia solusi energi, pengelolaan limbah hingga agrikultur memainkan peranan penting, namun demikian jika pemerintah Indonesia bisa memprioritaskan solusi yang ingin dihadirkan lebih dulu, solusi energi menjadi opsi yang ideal.

“Dengan fokus kepada solusi energi memberikan kesempatan kepada EV yang memiliki low emission zero emission untuk berkembang menjadi sistemik untuk diselesaikan. Yang nantinya bukan hanya fokus kepada energy generation namun juga transmission yang membutuhkan infrstruktur untuk semua.”

Saat ini tercatat sudah banyak perusahaan lokal hingga asing yang menghadirkan motor listrik serta produk pendukungnya di Indonesia. Di antaranya ION Mobility yang berbasis di Singapura, Tingkok dan Indonesia. Sementara untuk produk lokal di antaranya adalah Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

Salah satu perusahaan lokal yang sedang merintis solusi di sektor EV adalah MAKA Motors. Dalam pendekatan alternatif dibandingkan dengan kebanyakan pemain otomotif Indonesia yang fokus pada perakitan dan penjualan/layanan purna jual, Maka Motors mengadopsi rantai nilai terintegrasi secara vertikal melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan/layanan purna jual.

Model terintegrasi secara vertikal ini diklaim memungkinkan mereka untuk merancang dan memproduksi produk kendaraan listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia dan memungkinkan perusahaan memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan produk whitelabel dengan spesifikasi serupa (ukuran baterai, daya motor) karena struktur biaya yang lebih efisien.

“Kami percaya bahwa kendaraan listrik merupakan kunci perjalanan dekarbonisasi Indonesia, membuka jalan menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Untuk mengajak konsumen Indonesia beralih dari kendaraan bensin mereka, para pemain kendaraan listrik harus menyediakan total biaya kepemilikan yang lebih rendah tanpa mengorbankan apa yang sudah diperoleh konsumen dari kendaraan bensin saat ini yaitu, jarak tempuh, daya, kegunaan, daya tahan, dan keterjangkauan,” kata Founder & CEO Maka Motors Raditya Wibowo.

Laporan "Indonesia's Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise" yang disusun oleh AC Ventures dan BCG ungkap perkembangan fintech di Indonesia

Riset AC Ventures-BCG: Semakin Matang, Industri Fintech Indonesia Tumbuh 6 Kali Lipat

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan enam kali lipat pada jumlah pemain fintech, dari 51 pada 2011 menjadi 334 pada 2022. Hal terungkap dalam laporan berjudul “Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise” yang disusun oleh AC Ventures dan Boston Consulting Group (BCG).

Laporan tersebut mengungkap, pada awalnya, pertumbuhan sektor ini didorong oleh segmen pembayaran. Namun, lanskap fintech semakin beragam dan dinamis, diisi oleh sektor pinjaman, pembayaran, dan wealthtech yang menjadi industri menjanjikan di masa depan.

Selain itu, segmen baru di sektor fintech, seperti SaaS dan insurtech yang kian bermunculan, menunjukkan bahwa industri fintech di Indonesia semakin matang dan bergerak menuju produk dan layanan yang lebih canggih.

Gelombang pertama fintech yang diisi oleh sektor pembayaran kini memiliki lebih dari 60 juta pengguna aktif pada 2020. Sektor ini diperkirakan mencapai tingkat CAGR sebesar 26% pada 2025. Sementara di sektor pinjaman, terdapat lebih dari 30 juta akun peminjam p2p yang aktif pada 2021.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Secara transaksi, nilai transaksi terus bertumbuh dengan lebih dari $20 miliar transaksi e-wallet selama 2017-2021. Adapun sektor pinjaman mencapai lebih dari $17 miliar yang disalurkan selama 2017-2022.

Selanjutnya, sektor wealthtech memiliki lebih dari 9 juta investor ritel pada 2022, mencapai nilai CAGR 56% sepanjang 2018-2022. Terakhir, adopsi platform SaaS juga semakin meningkat, dengan 6 juta UMKM menggunakannya dengan pertumbuhan 26 kali lipat dari tahun sebelumnya.

Sentimen investor

Laporan ini juga mengungkapkan bahwa sentimen investor tetap bullish terhadap sektor ini, terlihat dari kenaikan pendanaan ekuitas tahunan dari $353 juta pada 2020 menjadi $1,51 miliar pada 2021. Meskipun signifikan, sebagian dari pendanaan digunakan untuk menyuntik sektor pembayaran dan pinjaman.

Kemudian, tahun 2021 juga merupakan tahun pelarian bagi pemain wealthtech yang menerima dana lebih dari $500 juta. Ketika tahun 2022 menujukan sedikit penurunan dari total nilai pendanaan—dengan kekhawatiran makro-ekonomi global yang memengaruhi sentimen investor—Indonesia masih menarik pendanaan hampir $1,4 miliar yang menunjukkan ketahanan ekosistem.

“Investasi ke fintech di Indonesia pada periode 2020–2022 mencapai $3,2 miliar. Sebesar 4,6x lipat pertumbuhan pendanaan di periode 2017–2019 menunjukkan investor dengan komitmen kuat. Sebagian besar dana telah mengalir untuk perusahaan yang lebih matang di mana 60% dari volume kesepakatan masuk ke perusahaan tahap awal. Ini menunjukkan keinginan yang kuat untuk berinvestasi dalam inovasi baru,” tulis laporan tersebut.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Managing Partner AC Ventures Helen Wong menyampaikan, AC Ventures telah melihat bahwa beberapa vertikal di industri fintech, termasuk perusahaan pembayaran dan bank digital, lebih matang daripada yang lain.

“Ke depannya, kami akan berinvestasi di lebih banyak vertikal. Misalnya, kami telah melakukan satu investasi dalam pembiayaan mobil, pembiayaan properti, dan mungkin juga beberapa pendukung untuk penilaian kredit dan investasi di KYC,” kata Wong dalam paparan laporan ACV-BCG, kemarin (29/3).

Embedded finance

Poin menarik lainnya yang disampaikan dalam laporan tersebut adalah potensi besar yang dari embedded finance dan akan menjadi game changer di industri keuangan di regional ini.

Managing Director & Partner BCG Sumit Kumar menyampaikan regulasi dari Bank Indonesia mengenai BI FAST dan SNAP menjadi dorongan penting dalam menciptakan inovasi berikutnya di industri fintech, yakni embedded finance. Hal ini mempermudah bank agar tidak perlu buka cabang, memperbanyak kerja sama dengan banyak pemain, termasuk B2C yang biasa digunakan masyarakat umum, dengan memasukkan aktivitas keuangan dan perbankan secara lebih mudah.

“Sebagai masukan, regulasi ini tidak boleh terdiktasi karena ke depannya ada lebih banyak hal yang akan berubah,” kata Kumar.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Banyak contoh implementasi dari open banking yang sukses di berbagai negara, misalnya inovasi UPI (Unified Payments Interface) di India. UPI memungkinkan pemegang rekening di seluruh bank untuk mengirim dan menerima uang dari smartphone mereka hanya dengan menggunakan nomor identitas unik Aadhaar (sebutan E-KTP di India), nomor ponsel, atau alamat pembayaran virtual tanpa memasukkan detail rekening bank.

Juga inovasi yang dihadirkan oleh GCash, pemain e-wallet asal Filipina. Startup unicorn ini mendapat popularitas yang sangat besar karena mereka masuk ke pasar ritel dengan nilai transaksi yang receh. Di pasar ritel, artinya konsumen lebih suka membeli produk dalam kemasan yang lebih kecil dan terjangkau daripada membeli dalam jumlah besar.

Jadi ketika GCash mulai mengembangkan dan memperluas layanan keuangannya (dengan open banking), GCash mempertimbangkan ekonomi sachet dan memperhatikan kebutuhan konsumen di pasar.

“Sebesar 30% dari estimasi aktivitas perbankan di regional akan masuk ke embedded finance. Jadi bank konvensional harus mengikuti tren tersebut atau [bakal] tertinggal. Lalu pada 10 tahun mendatang, seluruhnya akan masuk ke embedded finance.”

CEO ALAMI Group Dima Djani yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, bahwa kehadiran SNAP dan BI-FAST ini sangat dibutuhkan industri fintech karena dapat menekan berbagai biaya. Misalnya, saat menghadirkan fitur transfer bank gratis, yang kini menjadi fitur yang harus ada di setiap aplikasi bank digital.

“Dari commercial finance ke social finance dan kebalikannya, open banking bisa menjadi salah satu solusi terjangkau yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan kredit produktif ke sektor yang membutuhkan. Hal ini melandasi kami untuk masuk ke pembiayaan KPR dan segera masuk ke umroh dan haji.” Tutupnya.

BCG: Melihat Potensi Pasar Melalui Pertumbuhan Middle Class and Affluent Consumers

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang paling pesat pada pertumbuhan masyarakat kelas konsumer. Dalam beberapa waktu ke depan, potensi bisnis dan pasar di Indonesia merupakan potensi yang sangat strategis untuk dijajaki. Melalui laporan The Boston Consulting Group (BCG) tentang pertumbuhan Middle Class and Affluent Consumers (MACs) yang baru saja dirilisnya, dapatkah kita memanfaatkan potensi pasar di Indonesia yang begitu menggiurkan khususnya di industri teknologi?

(null)