Tag Archives: Bram Arman

Kenapa Tidak Semua Game Kompetitif Sukses Berkembang Jadi Esports?

Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.

 

Berkaca Dari Industri Olahraga

Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.

Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”

Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.

Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.

Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.

Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.

Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.

Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.

Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.

Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Beberapa bentuk investasi NBA yang dilakuan di Tiongkok. Sumber Gambar – Video Athletic Interests

Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.

Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.

Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.

Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.

 

Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports

Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.

Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang  yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.

esports event

Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.

Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.

Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.

Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.

Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.

Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.

Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.

Sebagai bukti dari opini di atas, saya pun mencoba googling “longest match in League of Legends” dan “longest match in Dota 2”. Hasilnya pun seperti yang saya perkirakan. Pertandingan League of Legends profesional terlama adalah pertandingan antara SKT vs Jin Air di LCK Spring 2018 yang berdurasi 1 jam 34 menit. Dota 2? Pertandingan terlamanya adalah antara Cloud9 vs ScaryFaceZ pada kualifikasi Starladder Season 12 (2015) yang berdurasi 3 jam 20 menit. Anda tidak salah baca, TIGA… Jam. Keduanya mungkin sama-sama menyajikan aksi tanpa henti. Tapi saya sih jadi mabok dan ingin pulang kalau harus menonton Dota 2 selama 3 jam.

Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.

Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.

Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .

Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.

Sumber: Riot Official Release
Bukan cuma di Eropa dan Amerika saja, League of Legends juga punya liga profesional untuk kawasan Asia Pasifik. Sumber: Riot Official Release

League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.

Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.

Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.

 

Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports

Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.

Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.

Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.

Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.

Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”

Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esports game fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.

Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Lebih lanjut terkait maksud dari esports enthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esports enthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”

Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.

Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?

Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?

Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”

Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.

“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.

Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.

Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.

“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”

Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”

Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat  untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.

Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.

Sumber Gambar - JeSU Official
Sumber Gambar – JeSU Official

Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.

Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.

Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?

“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.

 

Meramal Tren Game Esports Selanjutnya

Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.

Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.

Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.

Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.

Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.

Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?

Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.

TWT 2020 Diumumkan! Indonesia Tuan Rumah Challenger Event

Pagi ini (21 Februari 2020), Bandai Namco mengumumkan daftar kompetisi yang masuk ke dalam rangkaian Tekken World Tour 2020 (TWT 2020). Menariknya, dari jajaran kompetisi yang ada di dalamnya, terselip satu kompetisi di Indonesia. Gelaran tersebut adalah IFGC MAX (Indonesia Fighting Game Championship), sebuah kompetisi Fighting Game yang dibesut oleh salah satu dedengkot tournament organizer Fighting Game di Indonesia, Advanced Guard.

Gelaran tersebut termasuk ke dalam Challengger Tournaments, yang artinya gelaran ini merupakan salah satu gelaran besar di dalam rangkaian Tekken World Tour. Dalam Challengger Tournaments ada juga gelaran besar seperti Thaiger Uppercut atau TGU yang diadakan di Thailand, atau Summer Jam yang diadakan di Amerika Serikat.

Satu hal menarik lainnya, gelaran Challenger Tournament tidak hanya diadakan di Indonesia, tapi juga di beberapa negara yang jarang terdengar menjadi lokasi gelaran esports. Contohnya seperti Cape Town Showdown yang diadakan di Afrika Selatan, Clash of the Olympians yang diadakan di Yunani, Takra Cup yang diadakan di Pakistan, atau Tekken Round Pro yang diadakan di Columbia.

Menurut pengumuman, IFGC MAX akan diadakan pada 4 – 5 Juli 2020 mendatang di Indonesia. Terkait ini, Bram Arman co-founder Advanced Guard memberikan komentarnya. “Saya sangat excited bisa kembali menjadi bagian dari TWT 2020. Saya berharap bisa memberikan yang terbaik, dan semoga gelaran ini akan menjadi persembahan terbaik bagi komunitas Tekken di Indonesia.”.

Sumber: Youtube Bandai Namco Fight Channel
Sumber: Youtube Bandai Namco Fight Channel

Memang, gelaran IFGC MAX tergolong sebagai “Returning Location” di dalam pengumuman ini. Hal ini mengingat, IFGC Indonesia memang sudah pernah diadakan sebelumnya, tepatnya delapan tahun yang lalu, pada tahun 2012. “EVO memang kiblat kita sedari dulu. Pada mulanya niatan bikin EVO lokal saat tahun 2012 dan akhirnya terciptalah IFGC. Setelah IFGC 2012 selesai, Advanced Guard baru dibuat yang berisikan teman-teman dengan visi yang sama untuk mengembangkan FGC di Indonesia.”. Bram menceritakan.

Tak hanya itu, sejak dulu, IFGC juga bisa dibilang sudah memahat namanya menjadi turnamen Fighting Game bergengsi di Indonesia. “Pada tahun itu, ada semacam Road to EVO, kita apply dan dapet. Berkat itu, IFGC jadi kompetisi bergengsi. Ada player Malaysia datang. Belum lagi kita dari komunitas juga mengundang 5 pemain dari Singapura ketika itu.”. Bram melanjutkan ceritanya.

IFGC lalu terselenggara secara konsisten sejak itu, dan kerap menjadi bagian dari sirkuit kompetisi Fighting Game seperti sirkuit Capcom Pro Tour untuk Street Fighter, atau sirkuit Tekken World Tour untuk Tekken 7.

Selain itu, Bandai Namco juga mengumumkan bahwa TWT Finals 2020 akan diadakan 12 – 13 Desember 2020 mendatang di New Orleans Amerika Serikat.

Kehadiran kembali IFGC tentu akan menjadi angin segar bagi para petarung Tekken 7 di Indonesia. Apalagi dengan pesatnya pertumbuhan ekosistem esports kini, IFGC bisa menjadi ajang unjuk gigi FGC Indonesia kepada para pegiat esports ataupun khalayak umum.

Pentingnya Standar Pada Turnamen Fighting Game Indonesia

Seiring dengan perkembangan esports secara umum di Indonesia, komunitas fighting game atau Fighting Game Community (FGC) ternyata juga turut “kecipratan” perkembangannya. Salah satu alasan terbesarnya mungkin datang dari SEA Games 2019, yang turut mempertandingkan Tekken 7, membuat fighting game (FG) mendapat perhatian yang lebih besar. Dampaknya? Turnamen fighting game kini jadi semakin marak.

Sepanjang tahun 2019, setidaknya ada 6 turnamen figthing game di Jabodetabek. Ini saja kita baru menghitung turnamen yang diadakan oleh salah satu tournament organizer tertua di skena FGC Indonesia yaitu Advanced Guard. Belum lagi turnamen-turnamen lainnya seperti Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight, atau mungkin turnamen di luar Jabodetabek yang diselenggarakan oleh komunitas seperti Drop the Cap.

Namun demikian, banyaknya turnamen fighting game memunculkan beberapa dampak. Salah satunya adalah penerapan rules yang tidak standar antar kompetisi satu dengan yang lain. Karena perkembangan skena fighting game sudah cukup terasa, saya jadi berpikir bahwa kini sudah saatnya turnamen fighting game, apapun itu menggunakan peraturan standar kompetitif yang berlaku. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan terkait hal ini.

Belajar dari EVO 2008

Anda pecinta FG mungkin sudah tidak asing dengan gelaran Evolution Championship Series atau yang lebih dikenal dengan nama EVO. Berjalan sejak tahun 1996 lalu, EVO selama ini dianggap sebagai turnamen paling bergengsi di kalangan Fighting Game Community (FGC). Selama ini posisi EVO berhasil mempertahankan tradisi kompetisi pada zaman arcade, sampai sekarang menjadi sebuah fenomena global.

Menjadi satu gelaran yang sangat berkaitan erat dengan komunitas pemain fighting game, tak heran jika gelaran ini sangat dihormati oleh komunitas. Tak heran agar EVO bisa mempertahankan nama baiknya, ia harus menggunakan peraturan sesuai standar pada setiap cabang game yang dipertandingkan.

Tapi bukan berarti EVO selalu tanpa celah. Pada EVO 2008, mereka sempat melakukan satu kesalahan yang cukup penting. Kesalahan ini memperuncing pertikaian antara komunitas FG secara umum dengan komunitas Smash. Masalah ini muncul pada saat EVO mengikutsertakan Super Smash Bros. Brawl (Wii) sebagai bagian dari kompetisi EVO 2008.

Dalam pertandingan tersebut, EVO menggunakan satu ruleset yang tidak sesuai standar, yaitu memperkenankan Items di dalam pertandingan. Items dalam Brawl merupakan sebuah benda yang muncul dalam waktu, bentuk, serta efek yang acak. Penambahan ruleset ini mengakibatkan jalannya pertandingan jadi semakin sulit untuk diduga, karena menambah faktor keberuntungan dari kemenangan seorang pemain.

Mengutip dari Red Bull Esports, dikatakan bahwa setelah kejadian tersebut Brawl segera menjadi bahan tertawaan oleh peserta cabang game lain EVO. Penerapan ruleset tersebut berdampak kepada cara pandang FGC terhadap Brawl. Memperuncing hubungan antara FGC dengan komunitas penggemar seri Super Smash Bros (SSB). SSB dianggap bukan bagian dari fighting game oleh komunitas karena anggapan bahwa memenangkan kompetisi SSB tidak selamanya karena jago, tapi bisa jadi karena keberuntungan.

Beberapa tahun berlalu, hubungan antara FGC dengan SSB sudah membaik. EVO Japan 2020 kembali melibatkan komunitas SSB lewat seri terbarunya, Super Smash Bros. Ultimate. Walau sempat menjadi kontroversi karena kompetisinya hanya berhadiah sebuah kontroler saja, namun kemenangan Shutton di sana tetap dihormati oleh komunitas karena kemampuan yang ia tunjukkan.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Kasus EVO 2008 sebenarnya bisa menjadi pelajaran berarti bagi penyelenggara turnamen fighting game di Indonesia. Mengingat fighting game bersifat individual, usaha penyelenggara untuk menjunjung tinggi sportivitas pastinya akan sangat diharapkan. Demi kompetisi yang dianggap adil ataupun demi gengsi yang didapatkan sang juara setelah memenangkan kompetisi tersebut.

Tanpa peraturan yang sesuai standar, mereka yang kalah kompetisi mungkin bisa saja nyinyir, menganggap kompetisi tersebut tidak adil karena peraturannya tidak sesuai standar. Buntut panjangnya, mungkin turnamen tersebut bisa menjadi dipandang buruk oleh komunitas.

Kata Komunitas Fighting Game Indonesia

Seakan tak lengkap jika kita membicarakan hal ini tanpa melibatkan Bram Arman co-founder Advanced Guard, ke dalam perbincangan. Bram mungkin bisa dibilang sebagai dedengkot komunitas fighting game di Indonesia yang menurut saya patut untuk dihormati. Salah satu alasan saya pribadi adalah, karena usahanya untuk terus mengasuh komunitas fighting game di Indonesia yang sudah ia lakukan sejak dari tahun 2012 lalu.

Ia mengatakan, permasalahan ini memang punya pro dan kontra tersendiri, apalagi mengingat jumlah massa FGC di Indonesia tidak sebesar di luar negeri. “Semua pasti ada sisi pro and cons, termasuk jika kita bicara soal turnamen fighting game yang semakin banyak, namun memiliki peraturan yang tidak sesuai standar. Melihat hal ini, pro-nya adalah, exposure buat FGC jadi tambah banyak, terutama Tekken yang belakangan memang marak turnamen. Cons-nya kalau menurut pendapat saya personal, saya merasa miris melihat kejadian seperti ini. Apalagi saya sendiri merasa sudah meluangkan banyak waktu untuk membuat turnamen fighting game sesuai standar dan dengan kualitas yang memadai.” Ucap Bram.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Terkait soal hal tersebut, kami juga menanyai komunitas Cross Gathering, salah satu komunitas fighting game yang berdomisili di Surabaya, Jawa Timur. Komunitas ini kerap kali membuat turnamen berbagai macam fighting game untuk para penggemarnya yang berada di domisili Jawa Timur dan sekitarnya. Saya pun menanyai pendapat Eko Gunawan sebagai seseorang yang bisa dibilang sebagai salah satu tetua dari komunitas Cross Gathering.

Eko juga punya pandangannya sendiri terkait permasalahan ini. “Menurut saya pribadi, mempertandingkan suatu game dengan peraturan internasional itu banyak untungnya kok bagi penyelenggara. Karena jadinya komunitas tidak ada yang protes, panitia juga harusnya jadi tidak terlalu direpotkan. Mengapa jadi tidak direpotkan? Karena peraturan internasional pasti sudah melalui pertimbangan serta persetujuan dari developer ataupun komunitas. Jadi penyelenggara tinggal pakai saja.” Ucapnya.

Sumber: Drop the Cap
Eko Gunawan (kedua dari kanan) yang juga menjadi runner up di dalam gelaran Hybrid Cup Sumber: Drop the Cap

Memang apa saja yang membuat turnamen fighting game bisa dikatakan sesuai standar? Menurut saya yang paling minimal adalah turnamen tersebut menggunakan game versi terbaru, pemainnya dibebaskan menggunakan controller apapun, dan menggunakan format best-of-3.

Pertama-tama soal versi game yang digunakan. Sebagai perwakilan pemain, saya menanyai pendapat Jovian (Cobus) dari DRivals. Cobus yang merupakan seorang pemain Tekken 7, merasa kehadiran peraturan atau sistem permainan yang tidak standar sedikit-banyak mempengaruhi mentalitas pemain.

“Kalau ditanya pendapat, pasti kecewa kalau peraturannya tidak sesuai standar. Satu yang paling fatal dan beberapa kali gue temukan adalah penggunaan Tekken 7 versi lama untuk kompetisi. Walau ini tidak mempengaruhi level kompetitif dalam turnamen tersebut, tapi gue merasa hal ini mempengaruhi level kompetitif pemain Tekken Indonesia secara keseluruhan. Menurut saya ini membuat pemain Tekken Indonesia tidak terbiasa melatih mental dan skill untuk tingkat lebih tinggi, terutama untuk kompetisi yang menggunakan peraturan standar internasional.” Cobus mengatakan.

Lalu bagaimana kalau bicara soal controller? Bram lalu mengutarakan pendapatnya. “Kalau bicara dalam lingkup FGC, controller itu sangat fatal. Sejak awal, FGC tidak pernah menyamaratakan controller yang harus digunakan dalam sebuah turnamen. Setiap pemain diperkenankan menggunakan controller-nya masing-masing, entah itu Joystick, Arcade Stick, Mixbox, ataupun Keyboard. Kalau sampai dipaksa menggunakan satu jenis controller saja, menurut saya turnamen tersebut malah jadi kurang sportif.”

Sumber: Geek Buying
Sumber: Geek Buying

Jika bicara controller, saya juga setuju dengan pendapat bram. Pemilihan controller ibarat seperti pemilihan sepatu pada pemain bola. Anda tidak bisa mengharuskan semua pemain menggunakan satu jenis sepatu di dalam pertandingan sepak bola. Karena masing-masing pemain punya karakteristik permainannya sendiri, misalnya pemain sayap butuh sepatu yang optimal untuk gerak lincah, sementara pemain tengah butuh sepatu yang optimal untuk mengontrol serta mengumpan bola dengan tepat sasaran.

Kembali membahas fighting game, kenyamanan dan kebiasaan adalah alasan utama dalam pemilihan controller pesertanya. Pemain yang pakai Arcade Stick biasanya sudah mengenal fighting game sejak masih ada di Arcade, jadi mereka tidak bisa dipaksa harus menggunakan Joystick, begitupun sebaliknya. Jadi adil dalam pemilihan controller di fighting game adalah dengan dibebaskan menggunakan apapun. Toh, perbedaan controller tidak mempengaruhi kemampuan Anda bertarung di dalam pertandingan fighting game. Pada EVO saja, banyak juga kok pemain Tekken atau Street Fighter yang masih menggunakan Joystick untuk bertanding di tingkat dunia.

Terakhir adalah soal format best-of-3. Ini juga menjadi penting dalam sebuah pertandingan fighting game. Bram punya pendapatnya sendiri terkait hal ini. “Memang best-of-3 itu menurut saya wajib di dalam fighting game. Kenapa? Karena best-of-1 rentan memunculkan faktor keberuntungan. Kalau skill gap antara pemain satu dengan yang lain sangat jauh, mungkin best-of-1 masih tidak masalah. Tapi bagaimana jika sama-sama jago? Di sini yang tadi saya sebut, rentan memunculkan faktor keberuntungan.” ucap Bram.

Apa yang Harus Komunitas Lakukan

Menghadapi masalah yang kian terasa ini, apa yang sebetulnya harus dilakukan oleh FGC Indonesia? Tidak, saya tentunya tidak akan menyuruh komunitas untuk “memboikot” turnamen yang peraturannya kurang jelas. Karena saya merasa pasti ada solusi yang lebih bijak atas masalah tersebut.

Saya lalu kembali mengutip pendapat Eko dari Crossgathering untuk membahas ini. Eko juga sedikit cerita, bahwa fenomena seperti ini juga beberapa kali terjadi di Surabaya. “Kalau bicara turnamen FG, seperti di Jakarta, paling banyak tetap Tekken. Walau pesertanya mungkin lebih sedikit dibanding Jakarta, namun turnamen Tekken pasti minimal memiliki 32 peserta. Soal turnamen dengan peraturan yang tidak standar? Sudah pasti ada juga di Surabaya.” ucapnya.

Eko lalu melanjutkan apa yang biasa ia lakukan menghadapi masalah tersebut. “Kalau saya sebagai perwakilan komunitas yang peduli dengan game-nya, biasanya akan menghubungi panitia, lalu menawarkan bantuan serta saran agar turnamen bisa berjalan dengan lancar. Beberapa ada yang terbuka, beberapa ada yang tidak mau menerima. Kalau tidak terbuka, biasanya mereka juga yang kerepotan. Akhirnya peserta banyak yang protes karena panitia tidak berpengalaman. Belum lagi kalau turnamen tersebut dibahas secara buruk oleh komunitas, tentunya pihak penyelenggara juga yang rugi.” Tukasnya.

Sumber: Drop the Cap
Antusiasme pemain fighting game di Surabaya yang sama besarnya seperti di Jakarta dan sekitarnya. Sumber: Drop the Cap

Namun demikian Eko juga merasa bahwa masalah tersebut nyatanya di luar kendali komunitas. “Jika kita bicara soal organizer besar yang menyelenggarakan turnamen fighting game dengan hadiah besar tapi peraturannya tidak mengikuti standar, saya merasa itu kembali lagi menjadi hak mereka. Tapi hal ini tentu sangat disayangkan. Kalau saja mereka mau merangkul dan menerima bantuan komunitas, jalannya turnamen tentu akan jadi lebih mulus. Kenapa? Komunitas sudah pasti paham dengan FG yang dipertandingkan serta perangkat mereka juga lebih update. Jadi pada akhirnya jika mau bekerja sama, ini menjadi simbiosis mutualisme kok antara penyelenggara dengan komunitas.” ucap Eko.

Lalu bagaimana jika dari sisi pemain? Apa yang bisa dilakukan oleh para pemain? Seperti tadi yang sudah saya bilang pada awal, “memboikot” rasanya bukan cara yang bijak untuk dilakukan. Perkembangan komunitas mungkin malah terhambat, jika misalnya tindakan tersebut dilakukan. Skenario terburuknya, memboikot mungkin akan menyebabkan perpecahan. Muncul perbedaan kubu antara pemain pro peraturan standar dengan pemain yang tidak terlalu peduli dengan peraturan standar. Akhirnya FGC Indonesia yang belum sempat menjadi lebih besar, malah terpecah belah terlebih dahulu.

Jovian lalu menyatakan pendapatnya. “Menurut saya, satu-satunya langkah yang patut dicoba memang adalah dengan edukasi kepada panitia tersebut setiap kali turnamen. Supaya ke depannya mereka bisa membuat turnamen yang punya peraturan sesuai standar. Karena kalau dari sisi pemain, jujur saja, kami tentunya ingin bisa mendapat kemenangan, ingin mendapat sesuatu dari hasil latihan yang kami lakukan. Jadi mau tidak mau, banyak turnamen juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pemain kompetitif seperti saya dan kawan-kawan DRivals.” ucapnya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Para peserta di dalam gelaran Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Bicara soal turnamen, Hybrid juga selalu mencoba menunjukkan bahwa turnamen fighting game harus sesuai dengan standar yang ada. Hybrid Cup, sudah hadir beberapa kali dengan mempertandingkan beberapa macam fighting game, dan selalu menggunakan peraturan sesuai dengan standar kompetitif masing-masing game. Hasilnya adalah komunitas mempercayai turnamen yang diadakan oleh Hybrid, dan puncaknya adalah gelaran Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament yang diikuti oleh hampir 200 peserta.

Bicara soal apa yang harus dilakukan komunitas, Bram memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan Eko. Menurutnya, kehadiran banyak turnamen dengan rules yang bervariasi ini memang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Nyatanya, turnamen seperti ini juga tidak akan sepi.” kata Bram.

“Pemain-pemain fighting game sudah pasti haus kompetisi. Jadi, pemain juga pasti realistis saja, mengapa tidak untuk ikut turnamen seperti ini? Walau peraturannya mungkin tidak nyaman bagi pemain, tetapi mereka pasti punya sisi oportunis, ingin mengejar hadiah, ingin mendapatkan pengakuan, atau sesederhana ikut karena dekat dengan lokasi acara dan ingin jajal kemampuan. Menurut saya hal itu juga tidak salah, karena motivasi masing-masing pemain tentunya berbeda-beda.” Bram menyatakan pendapatnya.

“Pada dasarnya, turnamen fighting game yang merebak memang menguntungkan player. Kalaupun mereka ikut, para player dari komunitas biasanya sharing tips kepada sang penyelenggara, karena mereka sebenarnya juga punya kepedulian yang sama. Cuma, jika bicara dari sudut pandang saya sebagai Tournament Organizer, saya cuma bisa bilang saya berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.”

“Maka dari itu saya sejujurnya sangat bersyukur terhadap beberapa pihak yang masih percaya dengan saya, karena kepercayaan tersebut menjadi kesempatan bagi saya dan FGC Indonesia untuk unjuk gigi community effort yang sesungguhnya. Pada akhirnya, passion komunitas bisa berjalan bersamaan kok dengan keinginan pihak-pihak terkait.” Bram memberi pendapatnya seraya menutup perbincangan kami soal standar turnamen fighting game.

Turnamen yang tidak sesuai standar memang kerap kali menjadi masalah bagi komunitas game, tak terkecuali komunitas fighting game. Saya sendiri setuju dengan pendapat para narasumber yang telah membantu saya melengkapi artikel ini, yaitu edukasi tanpa henti dan terus memberi saran kepada penyelenggara yang sudah membuat turnamen fighting game untuk komunitas.

Sumber header: Esports Edition

Kumite Coaching Clinic, Sarana Berlatih Pecinta Fighting Game!

Sedari awal Hybrid hadir dengan landasan keinginan untuk membangun ekosistem esports ke arah yang lebih baik. Hybrid juga sejak awal berharap bisa memberi kontribusi yang signinfikan atas ekosistem secara keseluruhan, dan bukan hanya media yang sekadar meliput tentang game serta kompetisi. Maka dari itu, salah satu caranya Hybrid menghadirkan beberapa hal untuk ekosistem, seperti Hybrid Dojo sebagai ruang latih tanding komunitas, dan Hybrid Cup sebagai wadah pemain untuk unjuk kemampuan mereka.

Tidak berhenti sampai situ saja, salah satu yang kami coba hadirkan adalah sarana latihan para gamers, terutama pemain game fighting, lewat Kumite Coaching Clinic! Akhir pekan ini (1 Februari 2020) akan menjadi gelaran perdana Kumite Coaching Clinic, pertama-tama lewat Street Fighter V.

Kumite Coaching Clinic akan menghadirkan pelatih-pelatih yang memang sudah ternama di skena Street Fighter V. Sosok yang sudah cukup lama dikenal pada skena Street Fighter seperti Bram Arman atau Aron Manurung akan hadir dan melatih para pemain yang ingin naik tingkat menjadi lebih baik. Berikut daftar pelatih dan peserta dari Kumite Coaching Clinic Perdana.

Sumber: Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Hybrid – Ajie Zata

THE COACH

  • Bram “buramu” – Pelatih 1
  • Ardi “shamwow” – Pelatih 2
  • Kevin “kevbul” – Pelatih 3
  • Alvin “batagor” – Pelatih 4
  • Aron “aronmanurung” – Pelatih 5
  • Devin “roxas32” – Pelatih 6

Peserta Sesi 1

  • Caezariorei – Peserta 1
  • Silver – Peserta 2
  • Fenix12 – Peserta 3
  • anna nina – Peserta 4
  • Han-Ki – Peserta 5
  • KenobiK66 – Peserta 6

Peserta Sesi 2

  • chria5k – Peserta 1
  • Disc-Co – Peserta 2
  • Al-Fath – Peserta 3
  • Wingchun89 – Peserta 4
  • didaswiwaw – Peserta 5
  • Botanpon – Peserta 6

Peserta Sesi 3

  • ShinXOrc – Peserta 1
  • MAJINSFV – Peserta 2
  • WIF | Douwes Dekker – Peserta 3
  • BaHaMuT_LoRd – Peserta 4

Peserta Sesi 4

  • Julismn – Peserta 1
  • Halogaes – Peserta 2
  • Para-DX – Peserta 5

Peserta Sesi 5

  • Alvin Deary – Peserta 5
  • Puucho – Peserta 6

Enam pelatih akan melatih 6 peserta setiap sesinya dengan durasi selama 30 menit. Setiap pelatih akan dipasangkan dengan peserta berdasarkan nomor yang tertera. Setelah sesi pelatihan selesai, acara akan dilanjut dengan Community Gathering yang dimulai pada pukul 13:00 dan Private Session bagi peserta yang ingin belajar lebih lanjut lagi.

Sumber: Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Hybrid – Ajie Zata

“Ini merupakan babak baru bagi Hybrid Dojo serta mimpi saya pribadi sebagai founder Hybrid. Sudah lama Hybrid sebenarnya ingin memberikan coaching clinic lewat Hybrid Dojo. Kebetulan kami bertemu dengan mitra yang tepat yaitu Advaced Guard. Kami akhirnya sepakat untuk membentuk nama baru yaitu KUMITE. Ini akan mewadahi program coaching clinic, diawali dengan game SF V. Semoga ke depan kami bisa menghadirkan coaching clinic untuk game lain.” Ucap Wiku Baskoro co-founder Hybrid.

“Sebagai sebuah pilot project, saya berharap kehadiran Kumite bisa meningkatkan kualitas skill pemain SF lokal. Harapan jangka panjangnya, saya ingin program ini bisa menjaring lebih banyak peminat FG di Indonesia. Bagaimanapun, jika ingin FGC besar di Indonesia, hal tersebut harus kita sukseskan bersama.” Tukas Bram Arman, salah satu pelatih di sesi Kumite Coaching Clinic SF V yang merupakan co-founder Advanced Guard.

Kumite Coaching Clinic akan diselenggarakan esok hari, 1 Februari 2020, dimulai dari pukul 12:00 WIB, di Hybrid Dojo. Jika sesi seperti ini ada lagi, kira-kira game apa yang ingin kalian pelajari?

Bersiap Untuk Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament!

Mengawali tahun 2020, Hybrid mencoba hadir dengan berbagai variasi baru lewat gelaran yang diadakan. Contohnya kemarin, Hybrid sempat bekerja sama dengan komunitas Smash lewat Batavia Gamers untuk mengadakan Batavia Brawl: Pre-Season. Selain itu, ada juga Road to Hybrid Cup, yang menjadi gelaran turnamen sebagai bentuk persembahan Hybrid bagi komunitas Rainbow Six Siege Indonesia, R6 IDN.

Rentetan gelaran ini tentu tidak berhenti sampai di situ saja, karena untuk selanjutnya akan ada Hybrid Cup Series – Play on PC bertemakan Fighting Game Tournament. Untuk kali ini, Hybrid bekerja sama dengan salah satu dedengkot di dunia esports fighting game Indonesia, Advanced Guard.

Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament menghadirkan 3 cabang game, yaitu Tekken 7, Street Fighter: V, dan Soul Calibur VI sebagai pendatang baru. Selain itu, dalam hal Tekken 7, Hybrid Cup Series kali ini hadir sedikit beda karena mempertandingkan para petarung tingkat rookie.

Untuk itu, Hybrid Cup kali ini akan menggunakan daftar Advanced Player Tekken 7 milik Advanced Guard untuk menentukan kelas pemain. Pemain yang masuk dalam daftar tersebut adalah pemain-pemain yang aktif mengikuti berbagai turnamen yang diselenggarakan oleh Advance Guard selama tahun 2019 di regional Jabodetabek, dan tidak boleh mengikuti Hybrid Cup Series – Play on PC Fighting Game Tournament. Pemain yang masuk daftar tersebut adalah pemain yang berhasil mendapatkan peringkat 16 besar pada turnamen dengan partisipasi 64 orang, atau pernah masuk 32 besar di turnamen dengan partisipasi 128 orang.

Sumber: Advanced Guard
Sumber: Advanced Guard

Wiku Baskoro selaku Co-Founder Hybrid.co.id memberikan pandangannya terkait hal ini. “Tekken untuk rookie diadakan pada Hybrid Cup kali ini karena kerja sama dengan Advanced Guard yang punya rank list untuk Tekken. Rencananya Tekken rookie ini akan jadi babak awal untuk turnamen Tekken yang berkelanjutan. Ke depan, semoga akan ada turnamen Tekken lainnya dengan kategori yang berbeda-beda.”.

Bram Arman selaku Co-Founder Advanced Guard juga menambahkan. “Berhubung Hybrid Cup kali ini adalah hasil kerja sama antara Advanced Guard dengan Hybrid, jadi saya usulkan untuk bikin multiple turnamen. Bicara soal pilihan game, kalau Tekken sudah jelas, pemain-pemaninya banyak yang haus kompetisi. Tapi, berhubung Tekken sudah banyak kompetisi, makanya saya dan mas Wiku setuju untuk membuat Tekken rookie di kompetisi ini dan berharap nantinya bisa berjalan secara berkelanjutan dengan kategori yang lain.”.

“Kalau Street Fighter dan Soul Calibur dipilih karena saya sendiri kepingin perkembangan FGC bisa lebih merata di Indonesia. Soul Calibur mungkin terbilang baru muncul di Hybrid Cup. Namun demikian, saya dan mas Wiku sepakat memilih game ini karena sejak awal rilis, saya lihat pergerakan komunitas cukup solid. Maka dari itu saya juga dengan senang hati membantu komunitas Soul Calibur.” Bram melanjutkan.

Sumber: Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Hybrid – Ajie Zata

“Untuk Hybrid, saya sendiri berharap semoga Hybrid Dojo semakin dikenal banyak pihak. Supaya nantinya kompetisi seperti Hybrid Cup Series ini bisa jadi lebhi heboh lagi, lebih besar lagi.” Bram menutup komentarnya sambil mengatakan harapannya terhadap Hybrid Dojo.

Pendaftaran Hybrid Cup Play on PC dibuka sejak tanggal 15 Januari 2020 kemarin sampai 31 Januari 2020 mendatang. Untuk mendaftar, Anda dapat langsung pergi ke tautan bit.ly/hybridfight. Informasi lebih lanjut seputar Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament, Anda dapat mengunjungi tautan yang satu ini.

Pertandingan Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament akan diadakan pada 8 Februari 2020 mendatang di Hybrid Dojo, Kemang, Jakarta Selatan. Persiapkan diri, dan tunjukkan kemampuan Anda di Hybrid Dojo!

R-Tech dan sbyrazor Bertandang ke Singapura untuk Versus Masters 2019

Tanggal 27-28 April 2019 ini, BeastAPAC bekerja sama dengan PVP Esports menggelar Versus Masters 2019 (VS Masters). VS Masters ini merupakan sebuah event yang menjadi program Versus Community untuk mengembangkan komunitas gaming di Asia.

Acara yang disponsori oleh Singtel dan digelar di Singtel Recreation Club ini akan mempertandingkan 9 game fighting (dengan 10 cabang) berbeda, sebagai berikut:

  1. Super Smash Bros Ultimate
  2. Street Fighter V: Arcade Edition
  3. Tekken 7 (masuk dalam rangkaian Tekken World Tour Dojo Event)
  4. Soul Calibur VI
  5. Blazblue Cross Tag Battle
  6. Under Night In-Birth
  7. Ultra Street Fighter IV
  8. Dragon Ball Fighter Z
  9. Mortal Kombat 11 (PS4)
  10. Mortal Kombat 11 (Nintendo Switch)

Untuk kompetisi Tekken 7 nya sendiri, setidaknya ada dua jagoan Tekken Indonesia yang akan ikut bertandang ke sana yaitu Christian ‘R-Tech’ Samuel dan Sean Sebastian ‘sbyrazor’ Wijaya (yang bisa dipastikan sampai artikel ini ditulis). Oh iya, selain itu, Valerie Christi-Ann, seorang shoutcaster fighting dari Indonesia, juga turut menjadi shoutcaster di gelaran ini.

Saya pun berbincang-bincang dengan Bram Arman, Co-Founder Advance Guard sekaligus sesepuh di Fighting Game Community (FGC) Indonesia, dan Christian Samuel mengenai kompetisi ini.

Buat yang tidak terlalu mengikuti esports fighting Indonesia, menurut cerita dari Bram, event ini menjadi event keempat dari Valerie menjadi shoutcaster event internasional. Shoutcaster ini memulai debut internasionalnya saat memandu pertandingan di Abuget Cup 2018.

Sedangkan R-Tech mungkin bisa dibilang sebagai salah satu pemain Tekken 7 Indonesia terbaik bersama dengan Muhammad ‘Meat’ Adrian Jusuf. Pemain Alter Ego ini sudah langganan juara turnamen Tekken 7 tingkat nasional seperti ESL Fighting Arena, dan turnamen Tekken 7 KASKUS Battleground 2018.

Di sisi lainnya, sbyrazor adalah salah seorang pemain Tekken 7 yang biasanya masuk peringkat 8 di turnamen lokal Jakarta.

IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard
Meat (kiri) melawan R-Tech (kanan) di IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard

Seperti yang saya cantumkan di atas, turnamen Tekken 7 di VS Masters merupakan bagian dari rangkaian Tekken World Tour Dojo. Anda bisa membaca tautan tadi untuk info lebih lengkap soal jenjang esports Tekken 7 yang digunakan di tahun 2019 ini.

Namun singkatnya, Tekken World Tour (TWT) menggunakan sistem jenjang yang mirip dengan Dota 2 dan FIFA 19; yang berbasis poin. Para pemenang turnamen yang masuk dalam rangkaian TWT (di sini disebut Dojo) akan mendapatkan poin tertentu, berdasarkan peringkat dan jenis turnamennya. 19 pemain dengan poin tertinggi (rankingnya bisa dilihat di sini) di akhir musim akan langsung mendapatkan undangan untuk bertanding di kompetisi Tekken 7 paling bergengsi di dunia, Tekken World Tour Finals.

Tekken World Tour 2019 - Ranking Points
Pembagian Ranking Points TWT 2019 | Sumber: Bandai Namco

TWT musim ini sendiri memang baru saja dimulai dengan gelaran pertama yang bertajuk MIXUP di Lyon, Perancis, tanggal 20 April 2019 kemarin.

Lalu bagaimana sebenarnya peluang pemain Indonesia di turnamen kali ini?

R-Tech yang rendah hati sempat memberikan komentarnya, “Saya ga berani ngomong sampe mana. Cuma saya selalu do the best aja. Hehe.” Ujarnya. Sedangkan Bram menjelaskan bahwa, menurutnya, Indonesia setidaknya ada di 3 besar di dunia persilatan Tekken 7 se-Asia Tenggara.

“Kalau menurut saya pribadi, masih di bawah Thailand dan Filipina.” Ujar Bram. R-Tech juga setuju dengan pendapat Bram soal posisi Indonesia di dunia persilatan Asia Tenggara tadi. Dari Thailand sendiri, ada pemain Tekken 7 bernama Book. Sedangkan Filipina memiliki 2 bintang, Doujin dan AK. Setidaknya 3 nama itulah yang disebutkan Bram saat saya tanyakan jagoan-jagoan Tekken 7 dari Thailand dan Filipina.

Akhirnya, mampukah 2 jagoan Tekken kita meraih poin TWT pada pertandingan VS Masters 2019 kali ini? Kita doakan saja yuk!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Advance Guard.

Indonesia’s Fighting Game Esports: Excluded yet Refused to Die

We can say that 2018 is a year of esports awakening in our homeland, and esports itself actually has a lot of game genres from MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, and many more.

In the unfortunate fact, this awakening is spreading uneven between all genres. MOBA is the most played games thanks to Mobile Legends and Dota 2. Fighting game is one of esports genres that one could say is still marginalized.

We’ll discuss about other genres some other time, as for this time I’ve invited Co-Founder Advance Guard Bramanto Arman, a figure of fighting games, to share his story.

Bram Arman (left). Source: Advance Guard
Bram Arman (left). Source: Advance Guard

For those who are unaware of the esports world, Advance Guard is an icon of fighting game esports in Indonesia. When many are doing MOBA, Bram with the Advance Guard are raising this genre keenly since this icon was established in 2012.

According to Bram, Advance Guard is a place for fighting game community to gather. Tekken community, for example, which is mostly from IndoTekken, and Street Fighter which is mostly from IndoSF.

Thanks to their hard work and persistence, several tournaments conducted by Advance Guard have successfully claimed an official certificate from CAPCOM (for Street Fighter series) and Bandai Namco (for Tekken series) as a qualification tournament at international level.

Indonesia representations who would like to compete in CAPCOM Pro Tour and Tekken World Tour have to participate in the tournament conducted by Advance Guard first.

Of course, those achievements cannot be taken lightly anymore, in fact, there’s no any other higher authority than them in the world of Indonesia’s fighting game esports.

Let’s take a look at our talks.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity in Indonesia

As I said before, esports fighting game in Indonesia is lack of an exposure, and Bram knew it.

“The exposure is lower than any other popular games with a huge number of player base in Indonesia,” said Bram. He added that this happened because of the game’s factor.

Bram explained that esports games enthused among Indonesian players are the addictive freemium games so that players might forget oneself and shop at the in-app purchase.

“Eventually, they saw many Indonesian players playing those games and created a big event from that. The games are Mobile Legends, AoV and PUBG Mobile.”

Meanwhile, for PUBG (PC), Bram sees a place that possibly can accommodate the gamers, like various types of iCafe. Therefore, many gamers can try the game without having to buy it; they only need to pay the bill at the iCafe. It has also happened to Dota 2.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity outside the country

If esports figthing gamepopularity in Indonesia is low, how about in the other countries?

Bram said that people in another country were also showing low interest in fighting game esports, compared to any other popular games and one of the biggest esports fighting game events in the world, EVO, also began from the same story.

They initially conducted an event for the community full of passion. As the development of esports, however, now EVO is on the same level as most esports events having their match in a stadium with festive production, and get a lot of sponsors.

https://youtu.be/D8AIba6eYco

Thanks to EVO’s struggles, many big EOs that didn’t even go near fighting games before began to take interest in it.

Bram then added that fighting game esports should actually be popular as people would be easier to enjoy the games even if they’re newcomers, and I personally agree. As if we compare it to a MOBA match, we wouldn’t really enjoy watching the match if we didn’t even play and understand the game itself, while fighting game is an easily watchable game even for newcomers.

Source: VG274
Source: VG274

Outside the country, fighting game esports are way bigger than here, despite its lack of popularity. Bram told us about his experience visiting REV Major, the biggest fighting game tournament in Philippines, and he saw great enthusiasm not only from players but also from audiences willing to come even if the tickets were quite pricy.

Even fighting game esports has gotten some supports from several celebrities like the wrestlers Kenny Omega and Saviour Woods, as well as the American rapper Lupe Fiasco.

Advance Guard’s struggle on keeping Indonesia’s fighting game esports alive

The question is with the lack of popularity, why Bram and Advance Guard are willing to stay and fight for this esports? Why they just don’t shift to another popular game like most Event Organizers (EOs)?

“Because our approach is different,” Bram answered straightforwardly.

“It’s a fact that other EOs are mostly commercial, so they’re looking for mature markets, while I come from and for the community. So, I’m fighting for the community to keep them alive. It’s indeed hard and difficult as we’re lacking support compared to other popular game.

Most people think that watering barren land is useless; it’s better to harvest fruit that’s there,” he said figuratively. Bram chose to keep on watering the barren land until a leaf is finally growing, and so he does because of his love to fighting games.

Source: Polygon
Source: Polygon

The result shows now how Advance Guard has its own identity and stand as the icon of fighting game esports. They started from a small scale of a community and now become the international benchmark.

That said, from the business side, Bram admitted that Advance Guard’s journey was far from other EOs who were prefer working on popular games to get more profit.

According to him, big EOs from other countries usually collaborate with those used to the field concerned and it happens in Malaysia, Philippines, and Thailand.

“That is the ideal way of working on an esports. Meanwhile here, sometimes we don’t really get along and fight over some sweets instead… Hahaha,” said Bram joking.

The things esports fighting game in Indonesia needs

What are the things that Indonesia’s fighting game esports needs?

First of all, in terms of exposure, there are still so many games and esports media that don’t cover fighting game esports events. “It tends to be covered only by some media that have their interest in fighting games. Most media would write about fighting game esports if it is a huge event. As I know, IGX (Indonesia Game Xperience) is one with the most writings about it.”

IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard

According to Bram, the readers of fighting game news are still segmented compared to the popular games. Whereas, on the other hand, many things can be brought up from fighting games, like national and international professional players.

Moreover, the players of fighting games from Indonesia are actually able to compete at the level of Southeast Asia. Bram told us that several times ago, Indonesia representation was taking home the trophy of BlazBlue Cross Tag Battle and BlazBlue Central Fiction competition in Philippines.

That said, to be able to successfully get achievement in Asia or even the world, Indonesia players still need a lot more practice. This achievement is yet worth a praise considering fighting game esports lacking of exposure and support.

Then how about the support for local esports organizations? Can it help develop fighting game esports? Given fighting game division of some esports organizations has not yet been much established.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

“In my personal opinion, it might happen to be a boost of help; as long as there’s potential and passion from the players. Sponsors can give them a chance to compete abroad for some experience,” explained Bram.

He added, “Unavoidably, they need to compete abroad to raise their own standard.”

Recently, a fighting game player was invited to join Alter Ego and we might see the result from their teamwork later.

I then asked, what would happen if the players of fighting games also get monthly salary just as Dota 2 or Mobile Legends players? Would it help them achieve more?


Bram stated that now fighting game players had gotten their salary but just from a stream and it’s not much. “It’s a business after all. So I think we need to find a win-win solution for all.”

This condition is more suitable for those who’re still studying / a fresh graduate and have their passion in fighting games, and it won’t be as much suitable for those adult, as the career path might not be worth the pain.

The biggest problem of having a career in esports is parents’ concern and permission, as the prizes are not as high as MOBA games yet to make sure that their children would not live in despair in the future.

It is true that in the end it goes back to respective players to decide. If they are successful and can be on their own financially, they may be able to convince their parents to have a career in the esports world.

AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD

More to that, sponsors’ support for fighting game esports is indeed very valuable as well; a fighting game competition which was held by AMD (AMD eSports FIGHT! Championship 2018) is for an example.

“If all game tournaments can have similar prize pool as MOBA game tournaments, both business matter and a gap between esports stakeholders and players can be maintained. The point is that esports ecosystem needs to be in a stable condition first.”

The last thing Bram said was that fighting games need to be introduced properly for the sake of its esports’ upturn.

“I realize that Indonesia is far from that, compared to other Southeast Asia countries, like Malaysia, Thailand, or Philippines, they always have a spot for fighting games in an esports event.

For that matter as well, I would like to thank AMD who lets me and believes in me to manage their event.

Hopefully, fighting game esports’ ecosystem will gradually develop its various aspects. After all, fighting game esports is one of esports that people can enjoy because of its entertainment factor that is the most intriguing one, and has many outstanding local players,” said Bram.

That was our brief talk with Bram about fighting game esports’ ins and outs. Hopefully, the barren land managed wholeheartedly by Bram and Advance Guard as well as the community can turn into a wonderful garden where everyone can feel comfortable.

Don’t forget to like Facebook Fanpage Advance Guard for the newest information of fighting game esports.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Esports Fighting Indonesia: Yang Terkucilkan Namun Menolak untuk Tergeletak

Tahun 2018 mungkin boleh dibilang sebagai tahun kebangkitan gairah esports di ibu pertiwi. Namun esports sendiri sebenarnya mencakup banyak sekali cabang game dari mulai MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, dan yang lainnya.

Sayangnya, faktanya, kebangkitan gairah esports ini tidak merata di semua game. MOBA adalah yang paling laris berkat jumlah pemain yang masif dari Mobile Legends dan Dota 2. Game Fighting adalah salah satu genre esports yang boleh dibilang masih dimarginalkan.

Lain kali, kita akan berbincang untuk genre lainnya namun kali ini saya telah mengundang salah seorang dedengkot dari cabang game fighting untuk berbagi ceritanya. Ia bernama Bramanto Arman yang merupakan Co-Founder Advance Guard.

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Buat yang tidak terlalu familiar dengan dunia persilatan esports, ijinkan saya mengenalkannya terlebih dahulu. Advance Guard merupakan icon dari esports fighting di Indonesia. Di kala kebanyakan event organizer di Indonesia ramai-ramai menggarap MOBA, Bram bersama Advance Guard nya memang setia membesarkan genre tersebut sejak didirikan dari 2012.

Menurut cerita Bram, Advance Guard sendiri juga sebenarnya merupakan tempat berkumpulnya beberapa komunitas game fighting. Misalnya, untuk komunitas Tekken, mayoritas berasal dari IndoTekken. Sedangkan untuk Street Fighter, kebanyakan dari IndoSF.

Berkat ketekunan dan jerih payah mereka di sini, beberapa turnamen garapan Advance Guard bahkan mendapatkan sertifikasi resmi dari CAPCOM (untuk Street Fighter series) dan Bandai Namco (untuk seri Tekken) sebagai turnamen kualifikasi di tingkat internasional.

Jadi, perwakilan Indonesia yang ingin bertanding untuk CAPCOM Pro Tour dan Tekken World Tour harus melalui turnamen besutan Advance Guard.

Tentu saja, prestasi Advance Guard tersebut sudah tak dapat dipandang remeh lagi. Plus, kenyataannya, memang tidak ada lagi ‘otoritas’ yang lebih tinggi selain mereka di dunia persilatan esports fighting Indonesia.

Mari kita masuk ke obrolannya.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports fighting di Indonesia

Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, exposure esports fighting di Indonesia memang masih kurang. Hal ini juga dirasakan oleh Bram.

“Minim sekali dibandingkan dengan game-game mainstream yang punya player base sangat besar di Indonesia.” Ungkapnya. Menurutnya, hal ini terjadi juga berkat ada faktor game-nya itu sendiri.

Bram pun menjelaskan bahwa game-game esports yang laris di Indonesia itu memang nyatanya game freemium yang adiktif sehingga bisa membuat banyak orang ‘khilaf’ dengan in-app purchase-nya. 

“Dari situ, akhirnya mereka melihat banyak pemain Indonesia yang memainkan game tersebut dan membuat event berskala besar. Itu untuk game Mobile Legends, AoV, dan PUBG Mobile.”

Sedangkan untuk PUBG (PC), Bram melihat ada wadah yang menaungi para gamer itu, seperti berbagai jenis iCafe. Karena itulah, banyak gamer bisa mencoba game tersebut tanpa membeli; cukup perlu membayar billing di warnet (bahasa kerennya iCafe). Hal ini dirasakan sama seperti yang terjadi di Dota 2.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports figthing di luar Indonesia

Jika popularitas esports fighting di dalam negeri memang masih minim, bagaimana dengan di luar sana?

Bram pun mengatakan bahwa popularitas esports fighting juga masih kalah dengan game-game mainstream di sana. Ia bahkan bercerita bahwa salah satu ajang esports fighting terbesar di dunia, EVO, juga berawal dari cerita yang sama dengan Bram.

Mereka juga awalnya membuat acara untuk komunitas dan penuh dengan passion. Namun seiring berkembangnya esports, EVO sekarang sudah bisa sebanding dengan ajang esports kebanyakan yang bertanding di stadium dengan production yang hingar bingar, dan dapat dukungan banyak sponsor.

Berkat perjuangan EVO itu tadi, EO-EO besar yang sebelumnya tidak menjamah fighting pun akhirnya ikut tergoda.

Bram pun menambahkan esports fighting sebenarnya juga seharusnya bisa populer karena lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang tidak memainkan game tersebut. Saya pribadi setuju sekali. Pasalnya, menonton pertandingan MOBA sebenarnya juga tidak menarik jika kita sendiri tidak memainkannya.

Meski masih kalah populer, di luar sana esports fighting sudah jauh lebih besar. Ia pun bercerita pengalamannya berkunjung ke REV Major, turnamen game fighting terbesar di Filipina. Di sana, ia melihat antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dari para pemainnya namun juga para penonton yang rela datang meski harus membayar tiket yang harganya tidak murah.

Sumber: VG247
Sumber: VG247

Di luar sana, esports fighting juga bahkan sudah didukung oleh beberapa selebriti seperti atlit wrestling Kenny Omega dan Saviour Woods. Ada juga rapper Amerika, Lupe Fiasco.

Perjuangan Advance Guard menggarap esports fighting Indonesia

Lalu, pertanyaannya, dengan popularitas yang masih minimal, kenapa Bram dan Advance Guard masih setia dengan esports fighting? Kenapa tidak bergeser ke game-game lain yang populer seperti kebanyakan Event Organizer (EO) lainnya?

“Karena approach kita memang berbeda.” Jawab Bram lugas.

Lanjutnya, “tak bisa dipungkiri, EO lain kan umumnya komersil jadi mereka melihat pasar yang sudah matang. Kalau saya kan dari komunitas. Jadi, saya berjuang agar komunitas ini bisa survive. Memang berat sih karena bisa dibilang minim support, jika dibanding dengan game mainstream pada umumnya.”

Ia pun memberikan pengandaian seperti ini, kebanyakan orang merasa menyirami tanaman tandus itu sia-sia; lebih baik memetik buah yang sudah ada. Sedangkan Bram memilih untuk terus menyirami tanah tandus, sampai akhirnya muncul satu helai daun. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya terhadap game-game fighting.

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Hasilnya pun sekarang Advance Guard punya jati diri dan ikonik di esports fighting. Mereka yang tadinya hanya mengerjakan skala kecil dari komunitas, sekarang mereka ‘kiblat’nya standar internasional.

Meski demikian, dari sisi bisnis, Bram mengaku perjalanan Advance Guard masih jauh jika berbicara soal profit (dibanding dengan  sejumlah EO yang menggarap game-game populer tadi).

Menurut ceritanya, untuk esports fighting di luar negeri, EO-EO besar biasanya kolaborasi dengan mereka yang sudah biasa di ranah itu. Hal ini terjadi di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Jadi, idealnya, inginnya seperti itu ya. Tapi kadang-kadang di sini malah jadinya rebutan kue… Hahaha,” ujar Bram sembari berseloroh.

Apa saja yang dibutuhkan oleh esports fighting di Indonesia

Lalu apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh esports fighting Indonesia saat ini?

Pertama, dari sisi exposure, masih banyak media game dan esports yang minim sekali memberitakan dari ranah esports fighting. “Hanya media yang memang memiliki ketertarikan terhadap game fighting yang cenderung lebih banyak membahas. Media umumnya menuliskan berita esports fighting jika cukup besar skalanya. Sepengetahuan saya, IGX (Indonesia Game Xperience) termasuk yang banyak tulisannya dari media.”

IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard

Menurut Bram faktor pembaca game fighting sendiri juga masih segmented dibanding dengan game lain yang lebih populer. Padahal, di satu sisi, banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dari game fighting. Para pemain profesional nasional ataupun luar bisa jadi bahan artikel.

Apalagi, menurut Bram, para pemain game fighting dari Indonesia sebenarnya sudah bisa bertarung di tingkat Asia Tenggara. Bram pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu, di Filipina, perwakilan Indonesia sempat meraih juara 1 untuk kompetisi BlazBlue Cross Tag Battle dan BlazBlue Central Fiction.

Meski demikian, Bram pun menambahkan bahwa untuk mengejar prestasi di tingkat Asia atau dunia, para pemain Indonesia masih perlu banyak belajar. Prestasi ini perlu diacungi jempol mengingat esports fighting memang masih minim exposure dan dukungan.

Lalu bagaimana dengan dukungan organisasi esports dalam negeri? Apakah hal tersebut dapat membantu perkembangan esports fighting? Apalagi mengingat belum banyak organisasi esports Indonesia yang punya divisi game fighting.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

“Kalau menurut saya pribadi, bisa saja; selama ada potensi dan passion dari pemainnya. Sponsor bisa memberikan kesempatan bagi para pemain untuk bertanding di luar negeri untuk menambah pengalaman.” Jelas Bram.

Ditambah lagi, “mau tidak mau, mereka harus bertanding di luar negeri untuk menaikkan standar.”

Kebetulan, belakangan ini salah satu pemain game fighting diajak bergabung dengan Alter Ego. Jadi, hasilnya mungkin bisa dilihat dari hasil kerja sama tersebut.

Selain mendapatkan sponsor, bagaimana jika para pemain game fighting juga mendapatkan gaji bulanan layaknya para pemain Dota 2 ataupun Mobile Legends? Apakah hal tersebut bisa membantu prestasi? Saya pun bertanya.


Menurut cerita Bram, para pemain game fighting saat ini sudah mendapatkan semacam gaji namun dari streaming yang jumlahnya relatif kecil. “Tapi ini bisnis ya, saya rasa mungkin yang win-win saja buat kedua belah pihak.”

Bram pun menambahkan bahwa kondisi yang ada sekarang lebih cocok untuk mereka yang masih kuliah / fresh graduate dan sangat passion di sini. Sedangkan untuk yang sudah berumur, mereka harus berpikir matang apakah sebanding kerja keras dengan jenjang karir ke depannya jika dibandingkan dengan kerja kantoran pada umumnya.

Menurutnya, masalah terberat berkarir di esports itu dari kekhawatiran orang tua yang pasti dibandingkan dengan pekerjaan kantoran. Baru game-game MOBA yang hadiahnya ratusan juta yang bisa membuat sejumlah orang tua terbuka dengan industri esports.

Meski begitu, Bram pun mengatakan, akhirnya memang kembali lagi ke masing-masing pemainnya. Jika dia bisa sukses dan tak bergantung orang tua, mereka bisa menyakinkan keluarga untuk bisa berkarir di sini.

AMD Esports Fight! Sumber: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Sumber: AMD

Selain 2 hal tadi, dukungan sponsor ke esports fighting tentu juga sangat berharga; misalnya seperti AMD yang sempat menggelar kompetisi untuk game fighting (AMD eSports FIGHT! Championship 2018).

“Kalau semua turnamen game bisa menyamai prize pool yang ditawarkan oleh turnamen game MOBA, tentunya dari sisi bisnis dan kesenjangan antara para pelaku esports bisa terjaga. Jadi, ekosistem esports itu perlu stabil dulu.”

Terakhir, menurut Bram, yang dibutuhkan juga oleh esports fighting adalah pengenalan game fighting itu sendiri.

“Saya melihat Indonesia masih jauh dari itu jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Setidaknya, di sana, event esports selalu ada spot untuk game fighting.

Karena itu juga, saya ingin berterima kasih pada AMD yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk menjalankan event mereka.

Harapannya, ekosistem esports fighting terus pelan-pelan berkembang dari berbagai aspek. Toh, esports fighting itu adalah salah satu esports yang punya faktor entertainment yang paling menarik dan punya banyak pemain nasional yang berprestasi di luar sana.” Tutup Bram.

Itu tadi obrolan singkat kami bersama Bram tentang seluk beluk esports fighting. Semoga saja tanah tandus yang sepenuh hati digarap Bram dan kawan-kawannya dari Advance Guard dan komunitas game fighting bisa berubah jadi taman indah yang bisa dinikmati semua orang ya!

Oh iya, jangan lupa like Facebook Fanpage Advance Guard ya untuk info-info terbaru seputar esports fighting.