Tag Archives: brand aggregator

Bisnis Brand Aggregator

Thrasio Kolaps, Resiliensi Startup Roll-up E-commerce Lokal Dipertanyakan

Pengembang layanan roll-up e-commerce atau brand aggregator Thrasio beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat startup. Perusahaan yang telah mendapatkan $3,4 miliar funding dari 18 investor tersebut dikabarkan tengah melakukan restrukturisasi — bahkan pemberitaan WSJ, mengatakan mereka tengah bersiap untuk menyatakan kebangkrutan.

Isu utamanya karena masalah keuangan internal yang diakibatkan penurunan pesat penjualan pasca-pandemi.

Menjalankan model bisnis roll-up sejak 2018, Thrasio bekerja mengakuisisi brand dari bisnis pihak ketiga yang rata-rata sukses melakukan penjualan di Amazon. Saat ini ada sekitar 150 brand yang sudah diakuisisi dan diakselerasi oleh tim Thrasio. Dengan pendanaan terbarunya yang membawa perusahaan di valuasi lebih dari $5 miliar, mereka ingin menggandakan pendapatan tersebut 10x lipat.

Namun nasib kurang baik melanda startup yang didirikan Joshua Silberstein dan Carlos Cashman ini. Setelah krisis akibat Covid-19, terjadi penurunan pembelian online di platform Amazon. Di sisi lain, ada tren perubahan pola konsumen yang tadinya meningkatkan pembelanjaan online, lalu kembali ke mode offline seperti sebelum pandemi.

Efisiensi bisnis pun sempat dilakukan Thrasio, tahun lalu 20% tenaga kerja telah dirumahkan.

Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT
Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT

Sebenarnya ini bukan cerita kegagalan pertama dari platform roll-up e-commerce. Sebelumnya Benitago Group, agregator Amazon lainnya, mengajukan kebangkrutan dua tahun setelah mengumpulkan pendanaan sebesar $325 juta. Kondisi ini turut mempengaruhi iklim investasi di sektor ini mencapai 88% pada tahun 2022.

Pandangan pemain lokal

Bisnis roll-up e-commerce turut dikembangkan di Indonesia. Saat ini ada sejumlah pemain di vertikal ini, dua di antaranya adalah Hypefast dan Tjufoo. Keduanya berkembang cukup pesat dalam dua tahun terakhir dan mendapatkan dukungan dana ekuitas dari investor.

Untuk menggali pandangan para pelaku industri terkait fenomena yang terjadi dengan Thrasio, DailySocial.id berkesempatan untuk diskusi dengan Founder sekaligus CEO dari kedua startup tersebut, yakni Achmad Alkatiri (Mad) dan TJ Tham.

Mad berpendapat, berbagai platform roll-up e-commerce punya strategi masing-masing. Namun jika melihat apa yang terjadi dengan Thrasio, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran.

Pertama, akuisisi brand yang dilakukan terlalu  banyak dan terlalu cepat. Menurut Mad, ini mengakibatkan proses onboarding dari brand tersebut tidak begitu maksimal, karena untuk tak jarang tantangan yang cukup menantang muncul dalam pengelolaan portofolio, mengingat masing-masing brand kadang perlu perlakukan khusus. Pada akhirnya ini berdampak langsung pada growth yang kurang baik—karena tanpa sinergi dan optimasi biaya.

Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast
Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast

Faktor kedua, Thrasio dinilai lebih condong mengakuisisi “hero product“, bukan “hero brand“. Ini membuat tantangan yang semakin berat ketika ada pemain lain yang muncul menawarkan varian produk yang sama dan dihargai lebih murah, seperti Amazon Basics. Di sana tidak ada loyalitas, karean tidak ada proses “brand building“.

Faktor berikutnya terkait dengan keputusan founder menggalang terlalu banyak utang. Mad mengatakan, “Too much debt raised when the capital was cheap, and with that, paid too high multiples on brand acquistion because of assets competition on acquistion.”

Misalnya per tahun 2021, Thrasio telah mengumpulkan pendanaan debt senilai $650 juta. Dalihnya dengan dana utang tersebut, founder meyakini Thrasio akan memiliki fleksibilitas dan likuiditas tambahan seiring dengan targetnya mengakuisisi lebih banyak merek di lintas negara. Faktanya suku bunga yang terus naik tanpa diimbangi peningkatan penjualan membuat perusahaan kesulitan untuk melakukan pembayaran debt yang dimiliki.

Faktor terakhir, Thrasio terlalu fokus berjualan di Amazon—kontribusi penjualan di sana bisa sampai 95%. Dengan menempatkan revenue utamanya di satu keranjang, dinilai berpotensi mendapatkan turbulensi kencang ketika pemilik platform merilis kebijakan baru (misal terkait algoritma atau produk) yang berdampak langsung pada brand terkait.

Selain poin yang diungkapkan Mad di atas, TJ juga menambahkan “Brand aggregator atau D2C apa pun tidak hanya dapat dipertahankan tetapi juga berkembang jika ada fokus pada profitabilitas berkelanjutan, distribusi omnichannel, dan pengembangan ekuitas merek jangka panjang, bukan sekadar mengejar pendapatan.”

Yang membuat roll-up e-commerce lokal berbeda

Pemain lokal seperti Tjufoo dan Hypefast memiliki pendekatan berbeda dengan Thrasio. Dan menurut TJ, secara pasar juga memiliki karakteristik berbeda. Di Indonesia dan Asia Tenggara, ekosistem e-commerce terfragmentasi yang memaksa setiap brand untuk melakukan diversifikasi saluran penjualan. Belum lagi jika berbicara di Indonesia, ritel 90% lebih masih didominasi offline.

“Di sinilah Tjufoo sejak awal berdirinya memiliki pendekatan distribusi omnichannel, 70% penjualan dihasilkan secara offline,” ujar TJ.

Seperti baru-baru ini Dapur Coklat, salah satu portofolio Tjufoo, mengumumkan pembukaan outlet baru. Didirikan sejak 2001, kini Dapur Cokelat telah memiliki 32  gerai dan 56  titik pengiriman di sejumlah kota besar di Indonesia.

Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo
Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo

Untuk mendesain bisnis yang berkelanjutan, sejumlah strategi juga digencarkan oleh pemain lokal. TJ merangkum strategi tersebut ke dalam tiga poin utama. Pertama, fokus membangun merek dan menjual produk. Kedua, bermitra dengan para pendiri brand dan meningkatkan keterampilan mereka.

Dan yang ketiga, menyuplai dengan talenta berkualitas di berbagai lini operasional untuk mendorong lebih dalam penetrasi bisnis mereka.

Tjufoo sendiri mengklaim sudah profitabel sejak awal tahun 2023 ini dengan 5 merek dengan pengalaman gabungan lebih dari 46 tahun. Untuk mengakselerasi bisnisnya lebih lanjut, perusahaan juga tengah melakukan finalisasi ronde pendanaan berikutnya  — dikatakan penutupan pendanaan ini tidak akan lama lagi.

Pengelolaan terpadu

Sementara menurut yang keterangan Mad, Hypefast menghasilkan pendapatan bersih sebesar $43 juta pada 2022, hampir 2x lipat pendapatan mereka pada tahun 2021 ($22 juta), tanpa akuisisi merek baru dan murni dari pertumbuhan organik merek yang sudah ada. Hypefast juga sudah dalam kondisi profitabel.

Dalam wawancara sebelumnya Mad bercerita, meskipun Hypefast beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal.

Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Proses operasionalnya tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat investasi ke brand, kami ini upgradingtheir business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Kerja sama mendalam dengan e-commerce lokal juga dipertajam. Hypefast belum lama ini menandatangani kerja sama Joint Business Plan (JBP) bersama Lazada Indonesia. Kerja sama ini akan membantu brand portofolionya melalui berbagai kegiatan kolaboratif seperti exclusive launch products, joint event, marketing barter, training and development, hingga inovasi lainnya.

DStour berkunjung ke kantor Tjufoo

[Video] Berkunjung ke Kantor Tjufoo | DSTOUR 2023

Brand aggregator Tjufoo menyediakan ruang kerja fleksibel untuk pegawai. Selain berfungsi sebagai workspace, Tjufoo memberikan ruang bagi brand untuk melakukan kegiatan promosi secara online.

Dengan kantor yang berisi lebih dari 10 ruangan meeting, Tjufoo memberi nama ruang dengan nama-nama tokoh di film series “Money Heist”.

Dipandu CEO Tjufoo TJ Tham, berikut office tour di kantor Tjufoo.

Untuk video menarik lainnya seputar program jalan-jalan ke kantor startup Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DStour.

Founder & CEO Tjufoo TJ Tham / Tjufoo

Tjufoo Paparkan Peran Brand Aggregator dalam Mengakselerasi UMKM

Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, Indonesia menawarkan peluang yang besar bagi brand aggregator untuk berperan penting dalam membentuk lanskap ritel. Salah satu platform yang berkecimpung dalam lanskap tersebut adalah Tjufoo. Menargetkan pelaku UMKM, Tjufoo memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan hingga akselerasi bisnis.

Perkuat infrastruktur

Baik Amerika Serikat dan Tiongkok telah menyaksikan pertumbuhan yang pesat dalam layanan e-commerce selama bertahun-tahun. Perusahaan seperti Amazon dan Alibaba telah mendominasi pasar, yang secara signifikan memengaruhi perilaku konsumen dan dinamika pasar.

Di Indonesia, layanan e-commerce terus berkembang pesat, namun masih menghadapi tantangan seperti penetrasi internet yang terbatas di daerah pedesaan dan kendala infrastruktur logistik, menghambat penetrasi e-commerce secara penuh.

“Sampai kita bisa berada di posisi negara-negara tersebut, brand aggregator yang menyasar D2C saat ini harus membangun infrastruktur. Terutama untuk distribusi online dan offline, yang menurut saya saat ini masih susah untuk bisa mengelola kedua hal tersebut. Dan kami di Tjufoo sudah melakukan proses tersebut cukup baik, namun kami merasa bisa bekerja lebih baik lagi,” kata Founder & CEO Tjufoo TJ Tham.

Distribusi lokal juga berperan penting dalam membantu UMKM mengatasi berbagai tantangan dan membuka peluang pertumbuhan. UMKM sering menghadapi kendala sumber daya dan logistik, sehingga menyulitkan mereka untuk menjangkau basis pelanggan yang lebih luas dan memperluas pasar mereka. Dengan memanfaatkan keahlian dan jaringan distributor lokal, UMKM dapat fokus pada kekuatan inti mereka sekaligus mendapatkan wawasan pasar yang lebih baik.

“Menurut saya jika ingin melakukan scale-up untuk menjadi brand nasional masih sulit dan akan membutuhkan waktu agar infrastruktur lebih matang. Karena alasan itulah kebanyakan brand lebih memilih untuk bekerja sama dengan brand aggregator seperti Tjufoo, karena kami menyediakan infrastruktur tersebut dan keahlian khusus,” imbuh TJ.

Dalam perjalanan bisnisnya yang baru berusia satu tahun, Tjufoo mengklaim telah mencapai profitabilitas dan telah berinvestasi kepada 6 brand. Di antaranya ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, dan Dapur Cokelat. Perusahaan juga berencana untuk menambah sekitar 2 sampai 3 brand baru untuk diinvestasikan dan bergabung ke dalam ekosistem Tjufoo tahun ini.

Pengaruh tech winter

CEO Tjufoo TJ Tham bersama dua mitra brand / Tjufoo

Menurut TJ, brand aggregator dinilai dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar, menjaga hubungan yang kuat dengan brand mereka, dan terus memberikan nilai kepada konsumen selama masa-masa sulit. Faktor tersebut menjadi salah satu alasan mengapa kondisi tech winter, tidak terlalu terpengaruh kepada mereka.

Kebanyakan kondisi tersebut sangat berpengaruh kepada perusahaan yang masih melakukan kegiatan bakar uang dan memiliki runway terbatas. Sementara Tjufoo sejak awal sudah fokus untuk profitable. Selanjutnya fokus mereka membuat bisnis yang sustainable dan terus tumbuh.

Serupa dengan bisnis lainnya, menjaga stabilitas keuangan, mendiversifikasi sumber pendapatan, dan menerapkan praktik manajemen risiko yang baik menjadi penting untuk mengurangi dampak potensial dari fluktuasi ekonomi. Bagi brand aggregator yang fokus pada kategori niche atau menawarkan nilai unik kepada konsumen, berada pada posisi yang diuntungkan saat menghadapi tech winter atau krisis finansial.

“Secara teknikal seperti venture capital dan private equity, apa yang mereka inginkan dari portofolio mereka adalah certain return. Menurut saya memiliki startup yang sudah profitable, apakah itu brand aggregator atau industri lainnya, bisa memberikan value ke stakeholder terutama bagi investor menjadi diversifikasi yang baik dari portofolio mereka,” kata TJ.

Jika dulunya valuasi ditentukan oleh investasi senilai satu miliar dolar, menurut TJ kini memiliki portofolio startup yang sudah mencapai profitabilitas menjadi lebih berharga, dibandingkan dengan penilaian valuasi.

Dalam dunia bisnis, profitabilitas dan valuasi satu miliar dolar merupakan dua metrik penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan minat investor. Meskipun valuasi tinggi dapat membuka pintu bagi peluang pertumbuhan, namun hal tersebut tidak boleh mengesampingkan pentingnya profitabilitas. Menemukan keseimbangan antara profitabilitas dan valuasi merupakan kunci bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan kesuksesan secara jangka panjang.

Dalam perjalanan penggalangan dana yang telah dilakukan, tahun 2022 lalu Tjufoo telah mengantongi pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura dan dan Venturra Discovery. Tahun ini perusahaan berencana untuk bisa mendapatkan dana segar tahap seri A.

Dorong lebih banyak brand aggregator

Agar UMKM lebih banyak mendapat bantuan dan membangun infrastruktur yang lebih solid, kehadiran lebih banyak brand aggregator bisa mempercepat proses tersebut. Ketika ada beberapa brand aggregator yang beroperasi di pasar, hal tersebut akan mengarah pada peningkatan persaingan, yang dapat menguntungkan berbagai stakeholder, termasuk brand, konsumen, dan platform aggregator itu sendiri.

“Karena pengalaman saya sebelumnya di Grab bekerja secara dekat dengan orang lapangan (mitra pengemudi dan merchant) saya merasa ingin membantu mereka, dan saya belajar banyak dari mereka. Saya ingin membantu mereka scale-up. Menurut saya menjadi ideal untuk berinvestasi kepada UMKM, karena semakin banyak uang yang diberikan kepada mereka semakin besar potensi mereka untuk tumbuh,” kata TJ.

TJ berharap akan lebih banyak lagi pemain serupa. Dalam hal ini tidak harus menjadi kompetitor karena masih sangat luasnya potensi pasar terutama di ritel. Selain perusahaan ritel besar, ke depannya diprediksi akan lebih banyak lagi pelaku UMKM yang bakal hadir. Hal tersebut menurut TJ menjadi ideal bagi brand aggregator untuk berinvestasi kepada D2C brand agar bisa membesarkan industri bersama.

Saat ini selain Tjufoo, pemain yang sudah hadir di Indonesia menargetkan bisnis D2C dan menawarkan layanan serupa di antaranya adalah, Una Brands, Evo Commerce , USS Networks dan Hypefast.

Bisnis Tjufoo 2023

Klaim Capai Profitabilitas, Tjufoo Akan Berinvestasi ke Tiga Brand Baru Tahun Ini

Startup brand aggregator membentuk kemitraan strategis dengan beberapa brand pilihan, dengan tujuan membangun hubungan yang kuat dan kolaboratif. Kemitraan ini turut memberikan dukungan permodalan, sumber daya, dan panduan tentang pemasaran dan operasional.

Salah satu brand aggregator yang meluncur saat pandemi dan mengklaim hingga saat ini terus mengalami pertumbuhan yang positif adalah Tjufoo. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham mengungkapkan rencana perusahaan melakukan penggalangan dana tahun ini dan menambah beberapa brand untuk didanai.

Klaim sudah profitable

Meluncur awal tahun 2022, startup yang didirikan oleh mantan pegawai Grab tersebut ingin menjadi brand aggregator dengan konsep “House of Brands”. Yakni membantu brand lokal meningkatkan performa melalui rangkaian teknologi digital, platform data, kecerdasan buatan, dan tim yang berpengalaman.

Dalam perjalanan bisnisnya yang baru berusia satu tahun, Tjufoo mengklaim telah mencapai profitabilitas dan telah berinvestasi kepada 6 brand. Di antaranya ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, dan Dapur Cokelat. Perusahaan juga berencana untuk menambah sekitar 2 sampai 3 brand baru untuk diinvestasikan dan bergabung ke dalam ekosistem Tjufoo tahun ini.

“Kami memilih untuk tidak memiliki jumlah brand yang terlalu banyak, dengan demikian kami bisa membantu mereka mengembangkan bisnis. Target Tjufoo adalah ingin terus mengembangkan brand yang saat ini sudah diinvestasikan,” kata Tham.

Tjufoo juga memiliki rencana untuk menambah jumlah gudang mereka, menyesuaikan kebutuhan. Selain di Jabodetabek, perusahaan juga ingin menambah di wilayah lain seperti Jawa Tengah dan lainnya. Perusahaan juga telah memiliki sekitar ratusan pegawai yang membantu mengembangkan bisnis Tjufoo.

Disinggung apakah perusahaan ingin melakukan penggalangan dana tahun ini, Tham menegaskan kegiatan penggalangan dana terus mereka lancarkan. Meskipun dirinya menyadari, saat ini semakin sulit bagi startup seperti Tjufoo untuk melakukan penggalangan dana.

Tahun 2022 lalu Tjufoo telah mengantongi pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura dan dan Venturra Discovery. Tahun ini perusahaan berencana untuk bisa mendapatkan dana segar tahap seri A.

Fokus pada brand lokal

Secara khusus brand aggregator bukan hanya menjadi fasilitator saja, namun mereka juga merupakan investor aktif dalam brand yang mereka investasikan. Hubungan yang saling menguntungkan ini memungkinkan brand untuk tumbuh, berkembang, dan mencapai target pengguna yang lebih luas.

Tjufoo juga ingin menjadi mitra bagi brand, yang bukan hanya memberikan investasi saja sekitar 51%, namun juga ingin menjadi mitra yang membantu brand mengelola bisnis hingga membantu mereka merekrut talenta digital yang terbaik.

Selain mendapatkan pendanaan dari Tjufoo, tercatat kebanyakan brand lokal yang bersedia untuk menjadi bagian dari Tjufoo adalah agar mereka bisa mengembangkan bisnis mereka. Brand tersebut juga melihat kemitraan dengan Tjufoo bisa membantu mereka mengembangkan konsep omnichannel, yang ternyata menjadi fokus dari Tjufoo.

Operasional yang efisien dan logistik yang dapat diandalkan sangat penting untuk kesuksesan brand. Dalam hal ini, brand aggregator berinvestasi dalam mengoptimalkan rantai pasokan, sistem manajemen inventaris, dan proses pemenuhan untuk memastikan operasi yang lancar bagi merek mitra mereka. Dengan memberikan dukungan dalam bidang ini, aggregator memungkinkan brand untuk fokus pada kompetensi inti mereka, yang berujung pada peningkatan kepuasan pelanggan dan peningkatan penjualan.

“Dengan bergabung bersama kami, brand lokal potensial dapat fokus mengembangkan bisnis dari sisi produk, sementara kami membantu memberikan sudut pandang strategi bisnis dengan mempertimbangkan landscape nasional, regional, maupun global. Sinergi ini membuat brand lokal dapat lebih objektif dalam menyusun strategi, termasuk dengan mengoptimalkan strategi online-to-offline (O2O) di momen kebangkitan ritel demi menguatkan brand presence dan diversifikasi saluran penjualan,” ungkap Tham.

Survei Hypefast: Tren Belanja Offline Kembali, Aksesibilitas di Daerah Jadi Perhatian

Startup rollup e-commerce Hypefast mengungkap terjadi tren channel shifting atau peralihan penggunaan kanal belanja oleh pembeli produk brand lokal sejak beberapa tahun terakhir.

Dalam sesi paparan “Mengupas Tren Brand Lokal 2023” yang diambil dari 5.000 sampel brand lokal di Indonesia, terungkap konsumen mulai kembali berbelanja di toko offline karena sejumlah marketplace mulai menaikkan platform fee pada transaksi hingga mengurangi subsidi gratis ongkos kirim. Menurut surveinya, strategi tersebut ditempuh karena marketplace tengah mengejar profitabilitas.

“(Konsumen) berpotensi shifting ke marketplace kompetitor atau belanja di toko offline. Konsumen di daerah pun enggan belanja online. Makanya, toko offline tengah dilirik brand lokal untuk masuk ke kota tier 2 dan tier 3. Begitu mulai masuk distribusi offline, masuk ke convenient store, aksesibilitas menjadi jauh lebih luas dibanding online presence,” tutur Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad), Rabu (21/6).

Tren ini juga terlihat pada pendapatan akumulasi grup Hypefast. Mad menyebut pendapatan dari penjualan online Hypefast menyumbang porsi 88% pada sepuluh bulan lalu. Namun, sekarang pendapatan online dan offline perusahaan masing-masing mengambil porsi 50%. “Kami melihat tren belanja offline kembali lagi,” tumbuhnya.

Sebagai tambahan, saat ini Shopee disebut masih menjadi kanal utama penjualan brand lokal, terutama brand lokal yang sejak awal memasarkan produknya lewat kanal online. Shopee disebut memiliki basis pembeli loyal bagi brand lokal.

Lantas, lanjut Mad, pihaknya tak serta-merta akan menambah toko offline. Untuk saat ini di level grup, Hypefast belum berencana menambah toko baru. Namun, pemilik brand berpotensi untuk membuka toko offline apabila menunjukkan kinerja penjualan yang baik di toko flagship.

Saat ini, Hypefast punya multibrand store sebagai toko flagship untuk berbagai portofolio brand. Toko flagship dibidik sebagai branding channel, bukan revenue channel. Adapun, Hypefast telah memiliki lebih dari 15 portofolio brand lokal, termasuk di segmen fashion dan beauty.

Tak hanya channel shifting, survei ini juga menemukan tren transisi brand atau brand shifting sejak 3-4 tahun lalu. Brand lokal yang utamanya didorong oleh segmen fashion, kini mulai beralih ke health & beauty. Pemilik brand menilai persaingan di fashion semakin ketat. Berbeda dengan segmen beauty yang punya barrier-to-entry besar karena butuh modal usaha yang besar juga.

Menurutnya, pelaku usaha bisa membangun brand fashion dengan modal Rp3 juta. Di segmen ini, potensi pembeli berulang mencapai 32% dengan laba kotor rata-rata sebesar 32%. Namun, pergerakan tren fashion sangat cepat yang mana perlu ada SKU baru setiap dua minggu.

Sementara, produk beauty perlu modal sekitar Rp50 juta dengan potensi pembeli berulang sebesar 58% dan laba kotor rata-rata 65%. Produk beauty juga memiliki expiration date lebih lama. Segmen ini tengah berkembang pesat karena manufakturnya mulai banyak dibuka di Indonesia. Situasinya berbeda dengan dulu di mana riset produk kecantikan bisa memakan waktu dua tahun.

Melihat tren ini, ia bilang bahwa perusahaan akan fokus ke segmen health & beauty karena menyumbang EBITDA terbesar ke kinerja perusahaan. Hypefast mengklaim sudah EBITDA positif sejak 2021, serta mencapai EBITDA positif dan net income positif di 2022. Pendapatan akumulasinya (semua brand di bawah entitas Hypefast) diklaim mencapai Rp1 triliun, mayoritas dari organik, bukan acquired revenue.

“Untuk strategi top line dan bottom line kami, lini fashion menyumbang top line paling besar, sedangkan beauty berkontribusi paling besar ke EBITDA dan bottom line Hypefast–yang mana ini normal karena gross margin profile berbeda,” ungkapnya.

Tahun ini, Hypefast membidik pertumbuhan double digit sambil melihat potensi akuisisi brand, terutama di kategori health & beauty dan mom & kids. Untuk memperkuat posisinya sebagai house of brand, ia juga mengungkap minatnya untuk masuk ke ekosistem penunjang, tidak hanya di ekosistem brand saja.

Disinggung soal rencana penggalangan dana baru, ia menutup, “we’re lucky enough to be a profitable business. Ini belum urgent sekarang. Kami masih menunggu.”

Startup brand agregator Tjufoo kini memiliki enam brand yang sudah diakuisisi, ACMIC, Granova, Cypruz, Dew It, Muscle First, Dapur Cokelat

Tjufoo Kejar Kualitas daripada Kuantitas Saat Akuisisi Brand

Startup brand agregator Tjufoo mengungkapkan perusahaan akan terus menjaga kualitas brand lokal yang telah diakuisisi untuk tumbuh bersama, ketimbang mengejar kuantitas. Mengejar pertumbuhan brand menuju scalable growth menjadi fokus perusahaan yang dirintis oleh Tj Tham ini.

“Kita enggak mau terlalu banyak [akuisisi], bantu yang existing saja tapi harus high quality [bisnisnya]. Sekarang ada enam brand, akan ada lagi. Totalnya enggak penting, yang penting mereka bisa bangun bersama dengan kami,” terang Co-founder dan CEO Tjufoo Tj Tham saat Buka Bersama Media pada pekan lalu, (6/4).

Tj menekankan bahwa pihaknya mengincar brand secara agnostik alias tidak terpaku pada satu industri tertentu saja. Terhitung, saat ini Tjufoo sudah mengakuisisi enam brand lokal, yakni:

  1. ACMIC: brand untuk produk mobile accessories,
  2. Granova: brand cemilan sehat,
  3. Cypruz : produk wajan anti gores untuk ibu muda,
  4. Dew It : brand skin care berbahan dasar vegan,
  5. Muscle First: brand untuk suplemen fitness,
  6. Dapur Cokelat: brand kue dan cokelat yang memiliki beragam menu signature.

Menariknya, keputusan Dapur Cokelat untuk bergabung dilatarbelangi oleh pertimbangan manajemen yang turut dipengaruhi oleh pandemi yang berlangsung pada dua tahun lalu. CEO Dapur Cokelat Silvano Christian yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, expertise dan ekosistem yang kuat menjadi alasan utama Dapur Cokelat bergabung dengan Tjufoo.

Menurut dia, pandemi ‘sukses’ memaksa perusahaan untuk lebih agile dan membuka mata bahwa Dapur Cokelat butuh dukungan dari partner eksternal agar dapat terus bertumbuh. “Harapannya brand Dapur Cokelat dapat awareness lebih tinggi, bisa stay strong dan bisa ke seluruh Indonesia,” ujar Silvano.

Dapur Cokelat sudah beroperasi sejak 2001 dengan toko pertamanya berlokasi di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta. Kini tokonya sudah tersebar di 32 titik dan 56 delivery points. Delivery points adalah proyek yang dirintis perusahaan saat pandemi, memanfaatkan potensi dari cloud kitchen untuk mendekatkan diri ke konsumen di area perumahan dan perkantoran.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Founder Muscle First Sally Varsly. Menurutnya, ia dan tim memiliki pengalaman yang mendalam sebelum menyeriusi bisnis suplemen untuk fitness, bisa mengembangkan produk dan tahu apa yang disukai pasar. Akan tetapi untuk menjadikan Muscle First sebagai bisnis yang berkelanjutan secara jangka panjang, butuh orang yang berpengalaman di bidangnya.

“Muscle First ini baru 2017. Tapi kami sudah berjualan sejak 2012 sebagai suplemen impor, kami belajar market di sini sukanya apa, hingga akhirnya tercetus ide untuk buat brand sendiri. Sekarang kami butuh partner yang jago di bidangnya untuk buat Muscle First berkembang lebih besar lagi,” jelas Sally.

TJ menjelaskan proses dari setiap brand yang diakuisisi, biasanya mereka akan mendapat investasi tak cuma dalam bentuk ekuitas, juga ada bantuan kapital untuk pengembangan bisnis, misalnya berbentuk inventory financing. “Karena mereka kini bagian dari grup besar, jadinya ini safe cost ketimbang ambil pinjaman dari bank atau p2p lending.”

Karena akuisisi, bisa menjadi sarana bagi founder untuk exit. Kendati begitu sebelum dialihkan, TJ ingin memastikan bagaimana Tjufoo bisa tetap melanjutkan warisan dari founder lama dengan baik. Mengingat bisnis yang diambil alih ini sudah dirintis founder dari hari pertama, seperti merawat bayinya sendiri.

Dukungan Tjufoo

TJ melanjutkan passion untuk membangun brand-brand lokal berawal dari tiga kendala yang ia temukan sering menimpa brand. Pertama, brand seringkali tidak investasi dengan merekrut tim berpengalaman untuk menumbuhkan bisnisnya. Kedua, brand seringkali tidak investasi di biaya operasional karena short-term mindset yang tidak berfokus pada sustainability bisnis jangka panjang.

Terakhir, brand kerap kali belum banyak menggunakan data untuk membuat keputusan bisnis untuk hasil yang efektif. Hadirnya Tjudoo berperan sebagai house of brands dengan membangun ekosistem yang tepat untuk brand bisa naik kelas. Mulai dari tim yang berpengalaman dengan hyper-local market, corporate governance, dukungan operasional bisnis, serta keahlian dalam mengolah data dan menggunakannya sebagai bagian dari strategi.

Diklaim dengan dukungan finansial dan tim Tjufoo, sejumlah brand di bawah Tjufoo sukses membuat mereka naik kelas. Contohnya, ACMIC kini memiliki 500 titik penjualan offline semenjak bergabung dari sebelumnya hanya mengandalkan penjualan online. Berikutnya, Granova memiliki 400 titik penjualan offline di berbagai mitra dan toko serba ada, serta meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar.

Selanjutnya, Cypruz yang sebelumnya mengandalkan distribusi penjualan offline kini berhasil meningkatkan online sales hingga 7 kali lipat dan memberikan kapasitas produksi untuk distribusi ke seluruh Indonesia. Adapun untuk Dew It, Tjufoo memberikan dukungan strategi pemasaran dan pendanaan, mengembangkan inventaris hingga berhasil meningkatkan volume penjualan hingga 3 kali lipat dalam enam bulan.

Diklaim, Tjufoo berkomitmen untuk menyalurkan investasi kepada UMKM di Indonesia senilai Rp1,8 triliun. TJ tidak bersedia merinci lebih lanjut mengenai angka tersebut dan kapan target tersebut akan dirampungkan. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, TJ mengatakan Rp1,8 triliun untuk UMKM masih terbilang kecil. Namun di Indonesia, Rp 1,8 triliun adalah angka yang besar untuk UMKM.

“Tapi ini sangat besar kalau kita bandingkan pendanaan khusus untuk UMKM. Banyak negara lain enggak dapat pendanaan khusus sebesar ini untuk UMKM, tapi pendanaan ke bidang teknologi atau startup,” pungkas dia.

Foodtech Indonesia

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

Pendanaan Seri B Una Brands

White Star dan Alpha JWC Pimpin Pendanaan 459 Miliar Rupiah untuk Una Brands

Startup agregator brand e-commerce asal Singapura, Una Brands, telah merampungkan pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 459 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh White Star Capital dan Alpha JWC Ventures. Perolehan ini membuat total investasi yang terkumpul sejak tahun 2021 mendekati $100 juta.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk melakukan akuisisi lebih banyak lagi brand berkualitas di beberapa kategori, mulai dari Rumah & Tempat Tinggal, Ibu & Bayi, dan Kecantikan & Perawatan Pribadi.

Selain itu, Una Brands juga akan terus berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur teknologi milik sendiri yang memungkinkan perusahaan untuk membangun infrastruktur yang lebih efisien, layanan penjualan multi-kanal, dan platform manajemen bisnis.

Menurut CEO Una Brands Kiren Tanna, pendanaan ini membuktikan kepercayaan dan dukungan berkelanjutan yang dimiliki investor atas bisnis Una Brands, tim manajemen, dan organisasi secara keseluruhan.

“Pendanaan semakin memperkuat balance sheet dan posisi kas kami, saat kami ingin terus mengakuisisi brand terbaik dan berinvestasi kepada keunggulan teknologi agar bisa bergerak maju.”

Sebelumnya Una Brands telah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Sejak mulai beroperasi pada awal tahun 2021 lalu, Una Brands mengklaim telah mengakuisisi dan mengoperasikan lebih dari 20 brand e-commerce di enam negara.

Una Brands juga memiliki dan membangun platform teknologi, operasional, dan pertumbuhannya untuk memperoleh, mengoperasikan dan menskalakan berbagai brand di kanal e-commerce seperti Amazon, Shopify, Shopee, Lazada, dan Tokopedia.

“Una Brands telah mengembangkan pedoman untuk mengakuisisi, meningkatkan, dan mengintegrasikan bisnis di seluruh saluran di beberapa pasar. Buku pedoman ini terbukti berhasil dan mempercepat kinerja Una Brands. Kita bersemangat untuk melanjutkan kemitraan kami dengan Kiren dan tim Una Brands melalui pendanaan dan dukungan nilai tambah kami,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertumbuhan bisnis Una Brands

Dalam waktu 18 bulan, perusahaan telah melakukan akuisisi sebanyak 20 brand. Tahun lalu Una Brands telah mengakuisisi ErgoTune dan EverDesk+, yang secara konsisten terpilih sebagai dua brand furnitur ergonomis unggulan untuk pasar Asia Tenggara.

Sejak akuisisi tersebut, Una Brands telah berhasil memperluas brand lokal tersebut ke Australia dan meningkatkan pendapatan mereka menjadi lebih dari 40% dalam waktu kurang dari setahun. Tercatat secara keseluruhan, Una Brands saat ini memiliki pendapatan tahunan lebih dari $50 juta dan diperkirakan akan mencapai profitabilitas grup pada akhir tahun 2022.

“Kami saat ini sedang berada di pertumbuhan yang luar biasa dan menempatkan posisi nomor satu di Asia Pasifik. Lanskap e-commerce, khususnya di Asia Tenggara, dengan akses ke lebih dari 600 juta populasi, memiliki penarik sekuler yang luar biasa,” kata Kiren.

Didirikan pada tahun 2021, Una Brands adalah agregator e-commerce multi-saluran terkemuka di Asia Pasifik yang misinya adalah membentuk masa depan e-commerce dengan mengakuisisi brand dengan memperkenalkan mereka secara global. Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs.

Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Startup direct-to-consumer (DTC) Evo mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan awal senilai $600 ribu yang dipimpin oleh East Ventures

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Startup D2C Asal Singapura “Evo”

Startup direct-to-consumer (D2C) Evo mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan awal senilai $600 ribu (senilai 8,9 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Sejumlah angel investor dari petinggi startup, seperti Aaron Tan (Carro), Joel Leong (ShopBack), Mohandass (Spenmo), dan Jonathan Tan (Prism+) turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Putaran ini sekaligus menambah jajaran investor yang telah mendukung Evo sejak berdiri. Mereka adalah Bonjour Holding, SparkLab Ventures, Paragon Capital, Farquhar Ventures, dan super angels yang mencakup pendiri dan tim manajemen dari berbagai startup ternama.

Dana yang terkumpul akan digunakan perusahaan untuk memperluas penawaran produk Evo dan menggandakan anggaran untuk R&D kategori produk baru untuk mengeksplorasi saluran distribusi baru di sektor D2C.

“Kami percaya bahwa Covid-19 telah mempercepat pola pembelian e-commerce global secara drastis. Kami ingin menjadi generasi baru digital native brand yang melayani pelanggan dalam kategori kesehatan dan kebugaran, dengan brand dan konten produk yang lebih baik, serta harga yang lebih terjangkau dengan menghilangkan perantara,” ujar Co-founder dan CEO Evo Roy Ang dalam keterangan resmi, Rabu (3/8).

Evo didirikan pada 2020 oleh Roy Ang (CEO) dan Teoh Ming Hao (COO). Keduanya merupakan bagian dari anggota tim awal Grab Financial Group, yang membangun GrabPay dan produk pembayaran lainnya secara regional. Sebelum bergabung di decacorn tersebut, mereka berdua memegang posisi manajemen di startup media online e27 dan Tech in Asia.

“Kami telah melihat kemahiran dan ketangkasan Evo dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang pada sektor kesehatan dan kecantikan. Kami percaya bahwa pendanaan ini akan membantu Evo untuk memperluas kehadirannya di pasar regional dan menyediakan produk terbaik yang memenuhi kebutuhan pelanggan,” tambah Principal East Ventures Devina Halim

Produk Evo

Evo memosisikan diri sebagai house of brands yang berfokus pada produk kesehatan dan kecantikan. Perusahaan membuat produk suplemen dan perawatan rambut berkualitas tinggi yang dibuat dari pabrik yang sama dengan brand besar global.

Evo memiliki lebih dari delapan produk berbeda, termasuk produk andalannya, BounceBack, sebuah suplemen perawatan hati dan anti gejala hangover. Diklaim produk unggulan ini disukai oleh banyak pekerja dari berbagai pengalaman berkat tingkat kemanjurannya yang tinggi terhadap gejala hangover setelah mabuk.

Selain produk unggulannya, Bounceback, tim Evo juga menawarkan Mantou, produk anti-rambut rontok, dan meluncurkan kategori suplemen lain untuk mengatasi susah tidur, kesehatan rambut, dan kekebalan tubuh melalui brand Stryv.

Beralih dari live commerce software ke D2C, Evo telah mencatat pertumbuhan 700% dalam lima bulan terakhir dan kini beroperasi di 10 pasar secara global. Evo telah mencapai titik impas pada bulan Juni tahun ini, dan bertujuan untuk mencapai 8 digit pendapatan tahunan pada akhir tahun. Selain itu, Evo ingin mengumpulkan tambahan pendanaan sebesar $500 ribu pada kuartal ketiga tahun ini.

Dijelaskan lebih jauh berkat konsep D2C yang diadopsi, konsumen Evo dapat membeli langsung melalui etalase digital native, tanpa harus melewati distributor, grosir, dan pengecer. Dengan proses perdagangan dan persebaran informasi lebih efisien, implikasinya bagi pelanggan akhir adalah kenaikan kualitas produk dan penurunan harga barang secara drastis.

“Kami ingin menjadi katalis untuk perubahan paradigma ini dalam industri kesehatan dan kecantikan,” kata Ang.

Disampaikan pula, perusahaan saat ini beroperasi di 10 pasar dan anggota tim tersebar di Singapura, Indonesia, dan Korea.

Di Indonesia saat ini startup D2C dengan konsep brand aggregator yang sudah hadir di antaranya adalah Una Brands, Hypefast, Tjufoo, OpenLabs, dan USS Networks. Masing-masing juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dari VC.

USS Networks

Menilik Proposisi Nilai dan Strategi Bisnis USS Networks sebagai Brand Aggregator

Berawal dari sebuah pagelaran “Urban Sneaker Society”, USS Networks didirikan pada tahun 2019. Kini mereka berkembang menjadi sebuah group holding yang mengelola 15 IP (intellectual property) & brand menargetkan kalangan Gen Z. Beberapa merek yang dipegang di antaranya Urban Sneaker Society, USS Feed, Outbrake, Cretivox, Menjadi Manusia, dan Sonderlab.

Meskipun cara kerjanya serupa dengan brand aggregator lainnya, namun USS Networks mengklaim memiliki perbedaan cukup mencolok.

Co-founder & CEO USS Networks Sayed Muhammad mengungkapkan, pengalaman dan jaringan yang sudah mereka miliki sejak awal berdiri menjadi salah satu kunci sukses mereka untuk bisa mengembangkan brand yang telah mereka akuisisi.

“Kami memiliki tujuan untuk bisa memperluas jaringan. Dimulai dari sisi pemasaran memanfaatkan jaringan kami, karena secara ekosistem telah memiliki event yang besar, bukan hanya di Indonesia namun di Asia Tenggara yang bisa dimanfaatkan oleh brand sebagai distribution channel. Kami juga memiliki relasi dengan media sampai komunitas dari industri fesyen. Hal tersebut yang membedakan kami dengan platform lainnya,” kata Sayed.

Konsep brand aggregator berkembang cukup pesat dewasa ini. Sudah ada beberapa pemain serupa seperti Hypefast, Tjufoo, Open Labs, dan lainnya. Tidak sekadar fesyen, sektor lain pun juga memiliki brand aggregator-nya sendiri, misalnya Hangry yang masuk di area kuliner.

Tidak berhenti di brand fesyen

Dari sisi produk, USS Networks tidak akan berhenti di produk fesyen saja, ke depannya mereka juga ingin mengakuisisi IP media hingga NFT lebih banyak lagi

Di awal tahun 2022, mereka mengakuisisi pengembang proyek NFT Karafuru. Karafuru sendiri saat ini menduduki peringkat 40 all time transaction di Open Sea dengan total transaksi lebih dari 1,5 triliun Rupiah. Di luar ini, USS Networks masih punya target untuk bisa mengakuisisi 3 s/d 4 brand lain tahun ini.

Selain itu, sejak awal komunitas masih menjadi prioritas bagi USS Networks untuk bisa mengembangkan bisnis. Di sisi lain, proses kurasi memanfaatkan riset juga terus dilakukan  untuk mengakuisisi brand hingga IP yang tepat.

“Kami adalah perusahaan yang profitable dari hari pertama dan terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2021 kami tumbuh lebih dari 100% YoY dan pada tahun 2022 ini kami perkirakan bisa bertumbuh lebih dari 200% YoY, baik secara revenue maupun profit,” kata Sayed.

Rencana bisnis setelah pendanaan

Bertujuan untuk mengakselerasi bisnis, USS Networks telah mengantongi pendanaan pra-seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan. Pendanaan tersebut dipimpin oleh SALT Ventures. Selain itu, Tokopedia dan OCBC NISP Ventura turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Bagi SALT Ventures, sektor digital media dan IP merupakan salah satu fokus investasi karena sektor ini sedang bertumbuh besar di Indonesia.

“Kedua founder sangat jeli dalam melihat upcoming trend dan bahkan bisa menciptakan sebuah tren. Itu adalah resep USS Networks dapat bertumbuh sangat cepat dalam 3 tahun terakhir,” kata Managing Partner SALT Ventures Danny Sutradewa.

Dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan IP & brand D2C yang cocok dengan ekosistem USS Networks. Bukan hanya brand asal Indonesia, cakupan mereka telah diperluas hingga pasar regional.

“Karena pengalaman dan jaringan yang kami miliki, proses akuisisi terhadap brand dan IP selama ini tidak menjadi kendala bagi pemilik brand. Mereka sudah memahami konsep yang kami tawarkan, yang pada akhirnya bisa membantu menambah pendapatan brand menjadi lebih besar lagi,” kata Sayed.