Tag Archives: breath of the wild

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay

10 Game yang Paling Dinanti di Tahun 2022

2021 sisa sebulan lagi, dan sudah tiba saatnya untuk membahas deretan video game yang bakal dirilis di tahun berikutnya. Di artikel ini, saya telah merangkum 10 game yang paling dinanti di tahun 2022.

Sebagian besar di antaranya memang sudah punya jadwal rilis yang spesifik, namun seperti yang kita tahu, tidak ada hal yang benar-benar pasti di masa pandemi seperti sekarang. Beberapa judul yang tercantum bahkan sebelumnya sudah pernah ditunda perilisannya dari 2020 menjadi 2021.

Well, semoga saja hal itu tidak terulangi di 2022.

1. Elden Ring

Ketika kreator Dark Souls bertemu dengan kreator Game of Thrones, maka lahirlah Elden Ring. Buat yang tidak tahu, ini merupakan sebuah action RPG dengan tingkat kesulitan tinggi dan sistem combat yang sangat memuaskan, yang dikemas dalam setting fantasi open-world buah pemikiran novelis kondang George R. R. Martin.

Menurut pengembangnya, FromSoftware, ini merupakan game dengan skala terbesar yang pernah mereka buat, dan itu tentu bakal membuat mode co-op multiplayer-nya semakin menarik lagi. Elden Ring kabarnya bakal dirilis pada 25 Februari 2022 di PC, PS5, PS4, Xbox One, dan Xbox Series X/S.

2. God of War Ragnarök

Selagi gamer PC menanti kehadiran God of War, pengguna PlayStation dengan sabar menunggu suksesor dari game keluaran tahun 2018 tersebut. Meski belum berani memberikan jadwal rilis yang pasti, Santa Monica Studio berharap mereka bisa meluncurkan God of War Ragnarök di tahun 2022 untuk PS4 dan PS5.

Dari trailer-nya, bisa dilihat bahwa permainan sekali lagi bakal menyuguhkan petualangan Kratos bersama anaknya, Arteus, yang kini sudah bertambah dewasa dan jadi jago sihir di samping sebatas jago panah. God of War Ragnarök juga bakal menghadirkan salah satu tokoh paling terkenal dari mitologi Norse, Thor, lengkap bersama palu kesayangannya, Mjölnir.

3. Horizon Forbidden West

Batal dirilis tahun ini, Horizon Forbidden West dijadwalkan bakal hadir untuk PS4 dan PS5 mulai 18 Februari 2022. Game ini secara langsung melanjutkan cerita dari Horizon Zero Dawn, serta akan membawa sang tokoh utama, Aloy, ke beragam lokasi baru.

Seperti game pertamanya, eksplorasi kembali menjadi salah satu aspek unggulan di sini. Menariknya, Aloy kali ini juga bebas menjelajahi dunia bawah air, sekaligus tentu saja bertarung melawan monster-monster yang sebelumnya tidak pernah ia jumpai di darat.

4. Gran Turismo 7

Suguhan spesial lain dari Sony yang juga sempat tertunda tahun ini adalah Gran Turismo 7. Game balap andalan Sony ini akan tersedia di PS4 dan PS5 pada tanggal 4 Maret 2022, dengan lebih dari 420 mobil yang dapat dikumpulkan langsung sejak hari pertama.

Selain koleksi mobil yang melimpah, Gran Turismo 7 juga bakal menghadirkan fitur legendaris GT Simulation Mode, lengkap beserta kumpulan mobil dan sirkuit klasiknya. Di PS5, Gran Turismo 7 juga bakal sepenuhnya mendukung fitur Adaptive Trigger dan Haptic Feedback milik controller DualSense demi menyuguhkan pengalaman bermain yang lebih immersive lagi.

5. Pokémon Legends: Arceus

Diumumkan pada perayaan ulang tahun franchise Pokémon yang ke-25, Pokémon Legends: Arceus bisa dibilang merupakan hasil kawin silang antara RPG tradisional Pokémon dan RPG open-world macam The Legend of Zelda: Breath of the Wild.

Satu hal yang paling menarik dari game ini adalah setting-nya, yakni region Sinnoh tapi di era Pokémon League belum eksis dan istilah Pokémon Trainer juga belum pernah terdengar. Poké Ball di game ini bahkan juga terbuat dari bahan kayu guna semakin menunjukkan perbedaan zamannya. Pokémon Legends: Arceus rencananya akan hadir di Nintendo Switch pada 28 Januari 2022.

6. Starfield

Kalau saya disuruh memilih, inilah game yang paling saya tunggu-tunggu kehadirannya tahun depan. Starfield merupakan RPG pertama Bethesda di luar franchise The Elder Scrolls dan Fallout, dan kali ini Bethesda bakal mengajak pemain menjelajah antariksa di masa depan.

Buat yang tertarik dengan premis tersebut, sayangnya Anda harus punya kesabaran ekstra, sebab Starfield baru dijadwalkan hadir di PC dan Xbox Series X/S pada 11 November 2022. Well, kalau untuk RPG open-world dengan skala sebesar ini, saya jauh lebih sreg apabila developer-nya mengambil waktu sebanyak mungkin daripada buru-buru dan jadi seperti Cyberbug, eh, maksud saya Cyberpunk 2077.

7. Redfall

Setelah Deathloop, proyek berikutnya dari Arkane Studios adalah Redfall, sebuah game co-op FPS dengan setting open-world dan sejumlah karakter yang memiliki skill uniknya masing-masing. Kedengarannya seperti Borderlands? Ya, betul, tapi yang alur ceritanya melibatkan vampir ketimbang alien.

Sebagai penggemar setia seri Borderlands sekaligus Dishonored (salah satu karya terbaik Arkane), saya juga sangat menanti kehadiran game ini. Sayang Bethesda sejauh ini belum punya jadwal rilis yang lebih spesifik dari “musim panas 2022”. Seperti Starfield, game ini juga hanya akan tersedia secara eksklusif di PC dan Xbox Series X/S.

8. Dying Light 2 Stay Human

Tiga tahun setelah diumumkan pertama kali, Dying Light 2 Stay Human akhirnya punya jadwal rilis spesifik: 4 Februari 2022 di PC, PS4, PS5, Xbox One, dan Xbox Series X/S. Secara naratif, Dying Light 2 mengambil tempat 20 tahun setelah peristiwa yang terjadi di game pertamanya. Lakon utamanya boleh ganti, akan tetapi skill parkour-nya malah lebih superior lagi daripada sebelumnya.

Di samping sebuah grappling hook, tokoh utamanya kali ini juga mempunyai paraglider untuk semakin memudahkannya berpindah dari satu titik ke yang lain. Buat yang menyukai brutalitas pertarungan jarak dekat dari sudut pandang orang pertama, Dying Light 2 sama sekali tidak boleh dilewatkan.

9. Tiny Tina’s Wonderlands

Meluncur pada 25 Maret 2022 di PC, PS4, PS5, Xbox One, dan Xbox Series X/S, Tiny Tina’s Wonderland merupakan spin-off dari franchise Borderlands, dengan narasi dan setting yang lebih jenaka lagi ketimbang sebelumnya. Seperti seri Borderlands, game ini juga bakal menghujani pemainnya dengan segudang kombinasi senjata. Namun yang lebih menarik, koleksi senjatanya kali ini bukan cuma pistol dan senapan saja, melainkan juga pedang, kapak, gada, dan masih banyak lagi senjata jarak dekat lainnya.

Anda memang tidak perlu memainkan semua seri Borderlands untuk bisa menikmati game ini. Namun agar pengalamannya lebih asyik, saya sarankan Anda memainkan setidaknya satu DLC dari Borderlands 2 yang berjudul Tiny Tina’s Assault on Dragon Keep, yang belum lama ini sempat dikemas ulang menjadi game terpisah.

10. Sekuel dari The Legends of Zelda: Breath of the Wild

Terakhir, ada sekuel dari salah satu game terbaik Nintendo Switch, The Legends of Zelda: Breath of the Wild. Informasi mengenai game ini memang belum banyak, dan bahkan judul resminya pun masih belum diungkap oleh Nintendo demi menjauhkan para penggemarnya dari spoiler.

Meski belum punya jadwal rilis yang lebih spesifik dari “2022”, game ini tetap merupakan salah satu yang paling diantisipasi jika melihat kesuksesan game pertamanya. Satu hal yang pasti, Breath of the Wild 2 (atau apapun judulnya nanti) bakal terlihat mengagumkan di layar Nintendo Switch OLED.