Tag Archives: BRI Ventures

Payfazz Announces Series B Funding Worth of 767 Billion Rupiah

Payfazz today (7/6) announced a series B funding worth of US$ 53 million or equivalent to 767.7 billion Rupiah. This round was led by B Capital Group and Insignia Ventures, with the participation of previous investors, Tiger Global Management, Y Combinator, ACE & Company, and Quiet Capital, also BRI Ventures as a new investor.

The fresh money is to accomplish the company’s mission to expand market coverage throughout Southeast Asia. With its various services, Payfazz is to increase digital financial access in rural areas.

In Indonesia, their services are widely applied in traditional stalls, allowing traders to accommodate various types of financial services, such as balance top-up, bill payments, loans, and cash withdrawal.

Payfazz’ Co-Founder & CEO, Hendra Kwik said in his remarks, “We see that smartphone-based fintech applications will revolutionize the financial services industry in Southeast Asia. We want to participate in the revolution by facilitating access to bill payments, money transfers, loans, opening savings accounts, and investment through smartphones, so as to accelerate financial inclusion in Southeast Asia.”

Previously, Hendra has mentioned this fundraising in an interview with DailySocial earlier last year. The regional expansion is to become the main agenda in the future. He believes the Payfazz channel is in line with rural communities’ demand for financial products.

“There are several countries in ASEAN for reference [with lessons from Indonesia]. At first, it may penetrate one or two countries, but I don’t know about this year because we still exploring the most strategic ones.”

In addition, they also schedule to build up the R&D team, to create more relevant solutions with the market share demand.

Business efficiency

Payfazz team members / Payfazz
Payfazz team members / Payfazz

The Covid-19 pandemic has quite a significant impact on Payfazz due to microeconomics stuck in rural areas by social restrictions and so on. Recently, through its official statement, the company conveyed that it has made business efficiency by allocating funds and resources to business units that are considered promising, namely small business, financial services, and digital banking.

The decision applied for a 10% reduction in labor. Hendra said the company decided to restructure and refocus that results in the professional workforce efficiency, therefore, the company remained a sustainable business. Previously, Payfazz’ team has reached 600 people.

In its journey, Payfazz performed various business expansion to form a business group called Fazz Financial. In its derivatives are POST, Sellfazz POS, Fazzcard, Billfazz, and Canfazz. All these products target a variety of consumer segments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri B Payfazz

Payfazz Umumkan Pendanaan Seri B Senilai 767 Miliar Rupiah

Payfazz hari ini (06/7) mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai US$53 juta atau setara 767,7 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh B Capital Group dan Insignia Ventures, didukung beberapa investor terdahulunya Tiger Global Management, Y Combinator, ACE & Company, dan Quiet Capita; serta turut terlibat juga BRI Ventures sebagai investor baru.

Pendanaan ini akan memperkuat misi perusahaan untuk memperluas jangkauan pasarnya di seluruh wilayah Asia Tenggara. Seperti diketahui, dengan berbagai layanannya Payfazz mencoba meningkatkan akses finansial secara digital di daerah rural.

Di Indonesia sendiri, layanan mereka banyak diaplikasikan di warung-warung tradisional, memungkinkan pedagang mengakomodasi beragam jenis layanan finansial, seperti pembelian pulsa, pembayaran tagihan listrik, peminjaman uang, hingga penarikan dana tunai.

Co-Founder & CEO Payfazz Hendra Kwik dalam sambutannya mengatakan, “Kami melihat bahwa aplikasi fintech berbasis ponsel pintar akan merevolusi industri jasa keuangan di Asia Tenggara. Kami ingin ikut serta dalam revolusi dengan memudahkan akses pembayaran tagihan, transfer uang, pinjaman, pembukaan rekening tabungan, dan investasi melalui ponsel pintar, sehingga dapat mempercepat inklusi keuangan di Asia Tenggara.”

Sebelumnya dalam wawancara DailySocial dengan Payfazz awal tahun lalu, Hendra sudah mengatakan mengenai penggalangan dana ini. Ekspansi regional memang menjadi agenda utamanya di waktu mendatang. Dia meyakini bahwa jalur Payfazz sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedesaan terhadap produk keuangan.

“Ada beberapa negara di ASEAN yang bisa direplikasi [dengan pembelajaran dari Indonesia]. Mungkin masuk ke satu atau dua negara dulu, tapi belum tahu apakah tahun ini karena masih dipelajari yang mana yang paling strategis.”

Selain itu, mereka juga mengagendakan untuk perkuat tim R&D, untuk memungkinkan solusi yang dihadirkan selalu relevan dengan kebutuhan pangsa pasar.

Sempat lakukan efisiensi bisnis

Jajaran tim Payfazz / Payfazz
Jajaran tim Payfazz / Payfazz

Pandemi Covid-19 turut memberikan dampak bagi Payfazz, karena ekonomi mikro di daerah-daerah juga tersendat akibat pembatasan sosial dan sebagainya. Belum lama ini, melalui keterangan resminya perusahaan menyampaikan telah melakukan efisiensi bisnis dengan mengalokasikan dana dan sumber daya pada unit bisnis yang dianggap menjanjikan, yakni small business, financial services, dan digital banking.

Keputusan tersebut berimplikasi pada pengurangan 10% tenaga kerja. Hendra menyebut perusahaan mengambil keputusan untuk penataan dan pemfokusan ulang sehingga perlu adanya pengurangan tenaga kerja profesional agar perusahaan tetap menjadi bisnis yang berkelanjutan. Sebelumnya, jumlah tenaga kerja di Payfazz mencapai 600 orang.

Dalam perjalanannya, Payfazz melakukan berbagai ekspansi bisnis sehingga membentuk grup usaha bernama Fazz Financial. Di bawahnya ada POST, Sellfazz POS, Fazzcard, Billfazz, dan Canfazz. Seluruh produk tersebut menyasar beragam segmen konsumen.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures Contributes in Modalku’s Series C Funding

BRI Ventures agrees to invest in Modalku’s fintech lending company, Funding Societies. This is to be discussed directly by Modalku Co-Founder & CEO Reynold Wijaya. He mentioned to DailySocial, inviting BRI Ventures is part of the Modalku C series which was posted last April 2020.

“It is expected that we have announced that the Modalku group has raised commitments for the series C funding worth of US$ 40 million (or around 625 billion Rupiah) from the current investors and undisclosed investors. The fund with BRI Ventures contribution is part of our series C,” said Reynold.

This fresh fund will be increased by Modalku to realize the vision of increasing financial inclusion in Southeast Asia, as well as enhancing a positive vision for growth in Indonesia. Especially in the future of this pandemic, asking for this will support the company’s strategy to support SMEs to continue to grow and survive. In addition, Modalku is tocontinue innovation in providing new products.

“The company also has a target to be able to support more SMEs in various sectors and regions. However, our main focus now is to support SMEs whose business is increasing this pandemic. Supporting our main strategy now is better to promote restructuring.”

Pandemic effect

Pandemic made several technology startups do business operational efficiency, some of which even layoff to pivot business models. Meanwhile Reynold stressed, so far Modalku did not do that, including laying off employees. The wave of pandemic that occurred forced Modalku to make various internal and external anticipatory measures.

From the internal side, the company also conducts streamline operations to improve efficiency so that operational processes are simpler. According to Reynold, in these conditions, it is important for companies to stabilize the company’s pace and continue to grow in a healthy manner. Therefore, he was reluctant to call this a layoff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Co-Founder Modalku

BRI Ventures Terlibat dalam Pendanaan Seri C Modalku

BRI Ventures terlibat dalam pendanaan induk perusahaan fintech lending Modalku, Funding Societies. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya. Kepada DailySocial ia mengungkapkan, keterlibatan BRI Ventures merupakan bagian dari pendanaan seri C Modalku yang dibukukan April 2020 lalu.

“Sebelumnya kami telah mengumumkan bahwa grup Modalku telah memperoleh komitmen pendanaan seri C sebesar US$40 juta (atau sekitar 625 miliar Rupiah) dari investor-investor terdahulu yang telah bergabung serta investor baru yang belum bisa diumumkan namanya. Pendanaan yang melibatkan BRI Ventures ini merupakan bagian dari pendanaan seri C kami,” kata Reynold.

Dana segar ini akan difokuskan Modalku untuk merealisasikan visi meningkatkan inklusi keuangan di Asia Tenggara, serta menciptakan dampak positif bagi perekonomian di Indonesia. Terutama di masa pandemi ini, pendanaan ini akan mendukung strategi perusahaan untuk mendukung UKM tetap bisa bertumbuh dan bertahan. Selain itu, Modalku untuk terus berinovasi menyediakan produk baru.

“Perusahaan juga memiliki target untuk bisa menjangkau lebih banyak UKM di berbagai sektor dan wilayah. Namun, fokus utama kami saat ini adalah mendukung UKM yang bisnisnya terkena dampak pandemi ini. Sehingga strategi utama kami saat ini adalah bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro melalui restrukturisasi.”

Dampak pandemi

Pandemi membuat beberapa startup teknologi melakukan efisiensi operasional bisnis, beberapa di antaranya bahkan sampai melakukan layoff hingga pivot model bisnis. Sementara itu Reynold menegaskan, sejauh ini Modalku tidak melakukan hal tersebut, termasuk mem-PHK pegawainya. Gelombang pandemi yang terjadi memaksa Modalku membuat berbagai langkah antisipasi internal dan eksternal.

Dari sisi internal, perusahaan juga melakukan streamline operations untuk meningkatkan efisiensi agar proses operasional lebih sederhana. Menurut Reynold, pada kondisi seperti ini, penting bagi perusahaan untuk menstabilkan laju perusahaan dan tetap tumbuh secara sehat. Maka dari itu, ia enggan menyebutnya ini sebagai layoff.

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures to Manage New Venture Fund “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures launches a new managed fund named “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. The fund acts as a new vehicle for BRI Ventures to invest in early stage startups and the non-fintech segments, such as education, agro-maritime, retail, transportation, and health.

As a non-CVC fund, Sembrani Nusantara’s concept is similar to the Centauri Fund managed by the MDI Ventures and KB Financial Group in South Korea, despite some fundamental differences.

The name Sembrani Nusantara is to represent a symbol of the future startup philosophy. Sembrani, Batara Wisnu’s horse in the wayang story, is a representation of a unicorn with local wisdom.

In today’s event (6/24), BRI Ventures is said to raise IDR300 billion. BRI, as a General Partner, also plants money into the fund and has received some commitments from institutional investors as Limited Partners.

In terms of managing venture funds, BRI Ventures has obtained OJK approval after submitting it last year. The venture fund is an investment contract scheme between PMV and the custodian bank, made by OJK for the venture capital industry willing to enter the equity participation.

To date, most of local PMVs play in profit-sharing financing, which is not much different from the ones performed by financial companies.

BRI Ventures‘ CEO, Nicko Widjaja explained, Sembrani Nusantara is inspired by the will to prepare a broader investment climate, however, in compliance with rules under OJK’s surveillance radar.

“BRI Ventures intends to build an ecosystem which lately controlled by foreign PMVs and we are yet to prepare. Now is the time for us to start, which is likely to change the ecosystem in ASEAN,” he said.

The issue of high taxation, which behind many local PMVs to run away and flee to neighboring countries, can actually be overcome with some adjustments. He said BRI Ventures reduced management costs and other costs.

“Instead of waiting for the rules to change, why don’t we change the mindset. We have talked to the [BRI] group, we changed the carry profit and management fees, [because] we are aware that we cannot instantly ask the government to change. With Sembrani Nusantara, we are trying to redefine the VC industry in Indonesia. We adjust [two things] to make the industry more competitive. It’s like an early startup with a subsidy.”

Of the total Rp300 billion managed funds, BRI Ventures is to invest in 10-15 non-fintech early-stage startups for the deployment period between the next two to three years.

Widjaja said Sembrani will continue to review its progress, considering this is BRI Ventures’ first time to create funds and managed external funds. Until recently, BRI Ventures always invested in startups as a single LP.

“The challenge in managing venture funds is we have to communicate more for there are various investors and most importantly to perform education which very lacks these days.”

First mover

Sembrani Nusantara is to bring fresh air for the local startup ecosystem which continues to be dominated by foreign investors. The license from OJK can be considered as the first movers because they agree to comply with domestic rules.

For the record, many venture capital players, even with an office in Indonesia, are having legality in Singapore due to tax-friendly. The provision of paid-up capital limits is considered not in accordance with the pattern of VC players which mostly run in tech startups and raise funds from external investors.

In addition, the large income tax (PPh) is still a challenge for local investors to compete with foreign investors. According to PMK No.48 of 2018 regarding the Tax Treatment of Equity Participation of Venture Capital Companies in Micro, Small and Medium Enterprises is considered not friendly to accommodate the capital gain tax rules.

The capital gains tax for PMV reaches 25% of the increase in equity value, while for individual investors 30%. This large number has made foreign investors prefer to channel their capital through PMA, rather than collaboration with local PMVs. Meanwhile, the capital gains tax in Singapore is only 5%.

Most of the local PMVs investing in digital startups and have been registered with the OJK are part of the bank’s subsidiary, such as Central Capital Ventures (CCV), BRI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia. The majority of them focus on investing fintech startups to support their parent business in accordance with the regulator’s mandate.

According to OJK’s data as of March 2020, there are 61 PMVs obtained permits, consisting of 57 conventional PMVs and four of which were Sharia-based. As of April 2020, the performance of most PMVs came from profit-sharing financing of 77%, 19% equity participation, and 4.1% convertible bonds. This number changed from last year’s position. Profit-sharing financing portion reaches 99%.

“We are encouraging BRI to become a digital [investing digital startup] PMV. In addition, Sembrani Nusantara is well received by investors, therefore, it can support the PMV industry which is very limited [for investing shares in startups,” the Head of OJK’s 2B IKNB Supervision Department Bambang W. Budiawan explained on the same occasion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures luncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara untuk danai startup early stage dan non fintech, pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan

BRI Ventures Kelola Dana Ventura Baru “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sebagai dana non CVC, konsep Sembrani Nusantara mirip dengan dana kelolaan Centauri Fund yang diinisiasi MDI Ventures dan KB Financial Group Korea Selatan, meski memiliki beberapa perbedaan mendasar.

Nama Sembrani Nusantara dipilih sebagai simbol filosofi startup di masa mendatang. Sembrani, kuda tunggangan Batara Wisnu di cerita pewayangan, merupakan representasi sebuah unicorn dengan kearifan lokal.

Pada peluncuran hari ini (24/6), BRI Ventures menargetkan dapat menghimpun dana sebesar Rp300 miliar. BRI, sebagai General Partner, turut menaruh dana ke dalam fund tersebut dan telah mendapat sejumlah komitmen dari investor institusi sebagai Limited Partner.

Dalam mengelola dana ventura, BRI Ventures telah mendapat restu OJK setelah pengajuan dimulai dari akhir tahun lalu. Dana ventura merupakan skema kontrak investasi antara PMV itu sendiri dengan bank kustodian, yang dibuat OJK agar industri perusahaan modal ventura lebih berani untuk masuk ke penyertaan saham.

Selama ini PMV lokal mayoritas bermain di pembiayaan bagi hasil yang notabenenya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menjelaskan, latar belakang peluncuran Sembrani Nusantara adalah keinginan untuk menyiapkan iklim investasi yang lebih luas, namun dengan aturan main yang tetap berada dalam radar pengawasan OJK.

“BRI Ventures ingin membangun ekosistem yang selama ini dikuasai PMV asing dan kita kemarin tidak siap. Sekarang saatnya kita mulai yang kemungkinan juga bisa mengubah ekosisem di ASEAN,” ujarnya.

Isu perpajakan yang tinggi, yang selama ini menjadi dalih banyak kebanyakan PMV lokal untuk menghindar dan lari ke negara tetangga, sebenarnya dapat diatasi dengan sejumlah penyesuaian. Dia menerangkan, BRI Ventures menurunkan biaya management dan biaya lainnya.

“Daripada nunggu aturan berubah kenapa kita tidak ubah cara pikir. Kita sudah bicara dengan grup [BRI], kita ubah carry profit dan management fee, [karena] kita sadar enggak bisa minta plek-plek minta pemerintah ubah. Dengan Sembrani Nusantara, kami mencoba meredefinisikan industri VC di Indonesia. [Dua hal itu] Kami sesuaikan untuk membuat industri semakin kompetitif. Mirip seperti startup yang di masal awal memberikan subsidi.”

Dari total dana kelolaan Rp300 miliar, BRI Ventures akan berinvestasi tahap awal untuk 10-15 startup yang bergerak di sektor non fintech untuk masa deployment antara dua sampai tiga tahun mendatang.

Nicko mengatakan, ke depannya Sembrani akan terus ditinjau progress-nya, mengingat ini adalah pertama kalinya BRI Ventures membuat fund dan mengelola dana eksternal. Selama ini, setiap berinvestasi ke startup, BRI Ventures selalu menjadi single LP.

“Tantangannya dalam mengelola dana ventura, kami jadi lebih banyak berkomunikasi karena ada beragam investor dan terpenting melakukan edukasi yang selama ini kurang.”

First mover

Kehadiran Sembrani Nusantara menjadi angin segar untuk ekosistem startup lokal yang terus didominasi pendanaan dari luar negeri. Posisi mereka yang sudah terdaftar di OJK bisa dianggap sebagai first mover karena mereka sepakat untuk tunduk pada aturan di dalam negeri.

Sebagai catatan, banyak pemain modal ventura, meski kantornya ada di Indonesia, tetapi legalitas mereka ada di Singapura karena di sana lebih ramah pajak. Ketentuan batas modal disetor dianggap kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi dan menggalang dana dari investor eksternal.

Di samping itu, pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih menjadi tantangan untuk investor lokal untuk berkompetisi dengan pemodal asing. Menurut PMK PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal. Sementara, pajak capital gain di Singapura hanya 5%.

Adapun mayoritas PMV lokal yang mendanai startup digital dan sudah terdaftar di OJK adalah bagian dari anak usaha bank, yakni Central Capital Ventura (CCV), BRI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia. Ketiganya mayoritas fokus mendanai startup fintech untuk mendukung bisnis induk usahanya sesuai dengan mandate dari regulator.

Menurut data OJK per Maret 2020, tercatat ada 61 PMV yang telah mengantongi izin, terdiri dari 57 PMV konvensional dan empat diantaranya berbentuk Syariah. Per April 2020, kinerja dari mayoritas PMV tersebut berasal dari pembiayaan bagi hasil sebesar 77%, penyertaan saham 19%, dan obligasi konversi 4,1%. Angka ini terjadi perubahan dibandingkan posisi tahun lalu. Porsi pembiayaan bagi hasil mencapai 99%.

“Kami mendorong BRI menjadi PMV yang [membiayai startup] digital. Selain itu, Sembrani Nusantara dapat diterima oleh investor dengan baik, sehingga dapat mendukung industri PMV yang masih sangat limited [untuk penyertaan saham ke startup,” tutup Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan yang hadir di kesempatan tersebut.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik untuk mengukur kinerja CVC yang didanai korporasi

Mengukur Kinerja CVC yang Didanai Korporasi

Pertumbuhan corporate venture capital (CVC) menggambarkan adanya fenomena inovasi terbuka (open innovation) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. CVC menjadi salah satu opsi strategis korporasi dalam menghadapi era digitalisasi dan disrupsi, dengan harapan startup yang didanai dapat me-leverage teknologinya ke dalam bisnis perusahaan.

CVC punya peran spesifik di luar bisnis utama perusahaan. Ia menjalankan fungsi investasi ke startup sehingga entitasnya harus terpisah. Selain itu, CVC juga memiliki tim untuk melakukan analisis terhadap calon startup yang dapat memenuhi visi strategis perusahaan.

Saat ini, lebih dari tujuh perusahaan di Indonesia dari berbagai vertikal bisnis telah membentuk CVC. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi, perbankan, media, hingga grup konglomerasi. Bahkan ada beberapa portofolio startup perusahaan yang sudah exit.

Sebetulnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapapun dapat mengembangkan inovasi. Namun, dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi baru tidak bisa langsung direalisasikan begitu saja.

Ada beberapa kemungkinan, yaitu korporasi tidak memiliki kapabilitas di bidang teknologi dan digital, SDM terbatas, atau terhalang regulasi sehingga tidak bisa begitu saja mengembangkan inovasi. Di sinilah CVC berperan untuk menjadi kendaraan eksplorasi ide bisnis perusahaan yang bersifat disruptif.

Pada kasus Bank BRI, kehadiran BRI Ventures menjadi kendaraan inovasi eksternal perusahaan. Selama ini, bank lambat dalam men-deliver produk ke pasar karena pergerakannya sangat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Menurut VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman, sektor perbankan harus mengajukan laporan satu tahun sebelumnya untuk mengembangkan produk atau ide bisnis baru. Untuk mengatasi isu tersebut, BRI Ventures hadir untuk membantu mengakselerasi pengembangan inovasi tanpa keluar dari jalur corporate strategy perusahaan.

At some point, pengembangan di internal pasti terbatas karena ada inovasi yang tidak bisa dilakukan oleh bank. Mentoknya pada proses compliance karena harus lapor ke OJK dan BI, risk management, dan mengikuti SoP. Kalau produk gagal, kami akan kehilangan trust, dan ini yang kita ingin hindari,” papar Markus kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik

Lalu, bagaimana CVC dapat menjadi opsi strategis terhadap pengembangan inovasi dan bisnis perusahaan?

Menurut Senior Partner & Managing Director The Boston Consulting Group Middle East Markus Massi, motivasi pembentukan CVC dapat bervariasi. Tetapi, sebagian besar perusahaan memang berfokus pada inovasi yang memberikan Return on Investment (ROI). Jadi, ketimbang membangun perusahaan R&D dari nol, mendanai startup atau mengakuisisinya jauh lebih masuk akal.

Beberapa alasan tersebut juga diamini beberapa CVC yang telah kami wawancarai. Dari informasi yang dihimpun, semua sepakat bahwa aksi korporasi ini memiliki dua objektif utama, yakni me-leverage teknologi yang dimiliki startup untuk memperkuat lini bisnis atau operasional bisnis serta meraup keuntungan modal dari investasi (capital gain).

Untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan, ada beberapa metrik yang dapat digunakan. Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li menyebutkan bahwa metrik ini berbeda-beda, tergantung dari tahap pendanaan, model bisnis, hingga vertikal bisnis.

Misalnya, pengukuran berdasarkan tahap pendanaan. Metrik kinerja portofolio startup di tahapan early stage dan seri A ke atas, tentu akan berbeda. Startup di tahap awal mungkin masih berkisar tentang bagaimana mencari traction, sedangkan seri A harus bicara tentang bagaimana cara untuk scale up bisnisnya.

Kemudian, metrik profitabilitas. Mengingat bisnis MDI Ventures sudah tumbuh signifikan dan tak lagi bermain di early stage, Kenneth menyebut bahwa objektif utamanya saat ini adalah bottom line atau keuntungan. Ia mengungkap portofolio yang sudah exit kini sudah untung. Portofolio yang tersisa juga sudah mengarah ke profitabilitas.

“Contoh lainnya Wavecell. Dengan me-leverage ekosistem Telkom, mereka sekarang sudah mengantongi pertumbuhan signifikan. Wavecell sekaligus membawa bisnis baru ke Telkom,” kata Kenneth kepada DailySocial.

Namun, keuntungan dinilai bukan menjadi satu-satunya metrik yang mutlak. CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan bahwa kinerja startup juga dapat terlihat dari bagaimana teknologinya dapat me-leverage perusahaan, baik dari sisi bisnis maupun operasional.

Contoh lainnya adalah PrivyID. Startup yang mengembangkan platform tanda tangan digital ini sama-sama mengantongi pendanaan dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan Mandiri Capital Indonesia.

Menurut Eddi, solusi yang dikembangkan PrivyID sangat efektif dalam mempercepat proses bisnis layanan di Bank Mandiri. Solusi PrivyID diterapkan pada proses pembukaan rekening kartu kredit baru. Karena sudah bisa dilakukan secara online, perusahaan tak lagi memerlukan tanda tangan basah.

“Nah, metrik ini dapat diukur dari berapa nasabah yang mendapatkan approval Bank Mandiri pada proses pengajuan kartu kredit,” ujar Eddi dalam wawancaranya dengan DailySocial.

Eddi menilai bahwa kinerja startup jangan langsung dilihat dari profitabilitasnya saja. Untuk mencapai profitabilitas, startup tidak harus langsung mengejar keuntungan. Sebaliknya, profitabilitasnya ini dapat terlihat dari sejauh mana startup melakukan strategi “bakar uang” secara terus-menerus.

Pada kasus Amartha, metrik yang digunakan tentu berbeda dengan PrivyID mengingat keduanya memiliki model bisnis yang berbeda juga. Sebagai penyalur pinjaman untuk segmen mikro, kinerja Amartha dapat dinilai dari jumlah dana yang telah disalurkan (loan disbursement).

“Di 2019, penyaluran dana mereka telah mencapai Rp1,5 triliun dengan jumlah peminjam mencapai 250.000. Kami mengukur kinerja Amartha berdasarkan penyaluran pinjaman di sejumlah titik per kuartal dan per tahun dan dampaknya terhadap penambahan jumlah peminjam kami,” tutur Eddi.

Menyelaraskan mindset startup dan korporasi

Berbeda dengan VC, CVC dituntut untuk dapat mencapai target perusahaan, baik secara bisnis maupun keuangan. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah mengingat startup dan korporasi memiliki kultur kerja dan perspektif yang bertolak belakang terhadap pengembangan sebuah produk.

Ada yang menyebut bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menghalangi kelincahan kerja startup agar tidak menghancurkan semangat kreatifnya. Poin ini dinilai patut dipahami perusahaan sejak awal ketika memutuskan untuk mendanai startup.

Secara umum, Kenneth menilai bahwa perbedaan mindset menjadi tantangan terbesar perusahaan dan startupuntuk mencapai target yang diinginkan. Korporasi memiliki kultur kerja dan pola kerja yang berbanding terbalik dengan startup.

“Di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. Di sini, kami bisa berkontribusi untuk me-leverage mindset startup supaya korporasi besar bisa beradaptasi,” paparnya.

Menurutnya, baik korporasi dan startup perlu saling menyeimbangkan antara pengembangan inovasi dan pengelolaan bisnis existing. Hal ini untuk menyelaraskan cara kerja mereka agar tidak terjadi benturan.

Ia mengungkap bahwa saat ini adaptasi mindset dan kultur kerja antara Telkom dan portofolio sudah mulai terlihat perubahannya. Malahan, ungkap Kenneth, Telkom telah berkolaborasi dengan banyak startup di mana nilai sinergi keduanya sudah jauh dari nilai yang kita investasikan di awal.

Pendanaan Nium oleh BRI Ventures

BRI Ventures Terlibat dalam Pendanaan Nium, Startup Remitansi Asal Singapura

BRI Ventures mengumumkan keterlibatannya pada putaran pendanaan baru Nium, startup fintech asal Singapura. Selain BRI Ventures, VISA turut berpartisipasi pada putaran ini.

Sebagaimana diberitakan Business TimesCo-founder & CEO Nium Prajit Nanu mengungkapkan bahwa penggalangan dana ini bertujuan untuk merealisasikan rencana ekspansi pasar, baik segmen baru maupun existing, melalui pengembangan produk.

“Kami tertarik untuk berkolaborasi dengan penyedia platform pembayaran lokal yang dapat membantu penetrasi pasar kami lebih cepat. Kami akan tetap fokus untuk melayani pengguna kami, seperti di Eropa, India, Inggris, dan Amerika Serikat (AS),” tutur Nanu.

Selain itu, perusahaan juga berencana membangun infrastruktur pembayaran yang dapat menjangkau pasar ritel, UKM, dan korporasi berskala besar. Upaya ini dilakukan untuk mengejar profitabilitas yang ditargetkan dapat terealisasi di pertengahan 2021.

Nium sebelumnya bernama InstaRem, yang menyediakan  platform layanan remitansi yang menyediakan layanan pengiriman yang di 90 negara. Di Indonesia, Nium membuka operasional bisnisnya pada akhir 2019.

Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Sementara itu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa pihaknya menantikan pertumbuhan bisnis Nium ke depan sejalan dengan ekspansi layanannya yang mulai masuk ke segmen korporasi dan UKM.

“Potensi fintech itu tidak terbatas. Kami berharap dapat mendukung Nium sesuai jalur pertumbuhannya sejalan dengan ekspansinya ke pasar Indonesia dan sekitar,” ujar Nicko.

Tentang BRI Ventures, perusahaan baru berdiri di 2019 dengan suntikan perdana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Hingga akhir 2019, BRI Ventures baru menyuntik Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

Dihubungi secara terpisahVP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman mengungkap bahwa sinergi ini nantinya untuk memperkuat bisnis remitansi milik BRI.

“Tidak ada produk baru, tetap sama. Tapi, Nium akan memperkuat dari sisi payment network. Untuk kerja sama ini, kami sedang memasuki tahap uji coba dulu,” ungkap Markus kepada DailySocial.

Sementara, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa kali ini MDI Ventures tidak turut terlibat dalam putaran pendanaan baru Nium. Perusahaan juga belum berencana untuk melakukan exit dalam waktu dekat.

“Untuk exit, Nium sepertinya butuh beberapa [funding] round lagi. Dari sejak pertama investasi sampai sekarang, pertumbuhan Nium sudah mencapai hampir 5 kali. Dari sisi valuasi, pertumbuhannya juga lumayan,” ujarnya kepada DailySocial.

Partisipasi BRI dalam pendanaan baru Nium tampaknya menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk mewujudkan visi menjadi The Most Valuable Bank in Southeast Asia and Home to the Best Talent. BRI agresif untuk memperkuat posisinya di ekosistem keuangan, termasuk fintech dan non-fintech.

Application Information Will Show Up Here

Nicko Widjaja dari BRI Ventures Mengimbau VC untuk Tidak Gegabah Masuk ke Pasar Sekunder

Bagi sebagian besar startup, pendanaan diperkirakan akan mengering selama krisis COVID-19. Valuasi akan menurun serta investor akan mulai membatasi diri.

Nicko Widjaja, selaku CEO dari BRI Ventures, sebuah perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN pemberi pinjaman terbesar di Indonesia, mengatakan kepada KrASIA bahwa mereka tidak akan menunda investasinya. Dia melihat celah keuntungan bagi perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti yang ia kelola – mereka dapat membeli dengan harga lebih rendah.

Nicko mengatakan bahwa untuk dana yang saat ini ia kelola, sekarang adalah “waktunya membeli”, dan bahwa VC tidak perlu terburu-buru exit, karena akan mengurangi profit. Sebagaimana KrASIA berbicara dengannya melalui WhatsApp.

KrASIA (Kr): Terkait penyebaran virus COVID-19 di Indonesia, apakah hal ini mempengaruhi BRI untuk menunda investasi? Berapa banyak startup yang akan di-invest tahun ini?

Nicko Widjaja (NW): Tidak ada penundaan dalam rencana investasi. Kami percaya ekosistem akan membaik seiring berjalannya waktu. Lagipula, BVI baru dibentuk tahun lalu dan telah mengikat beberapa deals jauh sebelum kasus COVID-19 melanda. Dari awal, BVI bukan semata-mata investor yang impulsif.

Namun, dalam masa ketidakpastian ini, kami akan menerapkan skenario stress test yang lebih hati-hati kendati pertumbuhan semua startup — termasuk unicorn — akan terhalang dan proyeksi akan tertunda. Kami akan terus membangun bisnis dan koneksi. Secara pribadi, saya percaya tahun ini akan menjadi tahun sinergi, di mana startup dan perusahaan bekerja sama lebih erat untuk kembali pada situasi sebelum COVID-19 mewabah.

Dalam hal berinvestasi, kondisi ini adalah sebuah keuntungan untuk perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti kami, ketika valuasi menurun serta kompetisi merenggang. Namun, hal ini tidak berlaku pada para pendahulu di masa 2015/16 di mana mereka seharusnya menuai hasil di masa sekarang. Bagaimanapun, likuiditas harus tercapai. Jika tidak, akan sulit untuk meyakinkan calon LP maupun yang sudah ada.

Kr: Bagaimana Anda melihat proses exit pada umumnya, secara khusus IPO dan M&A?

NW: Dalam hal exit, ticket size serta kegiatan pendukungnya sedang menurun. Sebagian besar valuasi berkurang secara signifikan karena target tengah terkena dampak setidaknya untuk dua kuartal berikutnya. Mereka yang menggalang Seri D sekarang menjadi Seri C2, Seri C kini menjadi Seri B2, hingga seterusnya. Startup tahap awal adalah yang paling terdampak karena memiliki jenjang yang lebih pendek, pada masa pertumbuhan startup perlu menyesuaikan cash-burn untuk meneruskan operasional, dan rencana likuiditas startup tahap akhir, baik IPO maupun M&A, akan ditunda.

Dana dari tahun terdahulu, 2017/18 — yang berada di pertengahan atau akhir periode penyebarannya — sekarang memasuki masa ketidakpastian, di mana mereka mencoba menyesuaikan rencana semula dengan situasi terkini, terutama ketika mereka mengikat komitmen besar di wilayah ASEAN. Saya tahu beberapa dana kelolaan yang memiliki rencana investasi dalam waktu dekat. Saat ini, mereka baru mendistribusikan sepertiga atau seperempat dari komitmen mereka karena situasi yang tidak pasti.

Tidak diragukan lagi bahkan dana kelolaan pertama kami di MDI Ventures (termasuk yang terdahulu di 2016), yang berhasil mencapai lima exit tahun lalu serta dua exit sebelumnya — yang terakhir adalah ObserveIT, sebuah perusahaan keamanan siber AS-Israel — akan menghadapi tantangan lebih keras untuk bisa exit tahun ini, meskipun likuiditas masih utuh dari aksi sebelumnya.

Kr: Apa yang sekiranya menjadi strategi terbaik untuk VC dalam situasi seperti ini?

NW: Dalam konteks dana kelolaan seperti kami atau Tanglin Venture Partners—menurut sebuah tulisan yang berjudul “COVID-19 Tantangan & Pertanyaan” oleh Pendiri SEA – ini adalah waktu pembelian, terutama bagi mereka yang baru saja mengumpulkan uang dan memiliki cukup uang kas untuk digunakan.

Bagi mereka yang mencari likuiditas, strategi terbaik adalah untuk masuk ke pasar sekunder, meskipun hal ini akan memberikan nilai tawar paling rendah, karena likuiditas terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Hal ini berlaku, terutama untuk dana kelolaan terdahulu di 2015/16, atau mereka tidak akan bisa menggalang dana di putaran berikutnya.

Penjualan di pasar sekunder bukanlah sesuatu yang ideal untuk VC. Hal ini akan menunjukkan kurangnya manuver general partner di masa pergolakan, karena tidak menyanggupi pengembalian modal yang paling diinginkan. Jika kita menganggap bencana COVID-19 hanya sementara, mengapa harus gegabah menjual di pasar sekunder pada masa ketidakpastian ini?

Namun, kita telah memasuki situasi normal yang baru sekarang, dan pasar sudah terlalu kaya sangat lama. Saya percaya mereka sudah mengetahui hal ini.

Jika bisa berkata, sejujurnya, saya percaya pemulihan pasar pada sektor teknologi di region ini menjadi harapan kita semua, memisahkan yang serius dan yang hanya berpura-pura. Saya menaruh harapan pada ekosistem VC, dan inilah saatnya kita memperkuat bisnis dengan lebih lagi.

Kr: Berapa banyak VC yang seharusnya menuai hasil namun pada akhirnya gagal?

NW: Mereka yang menutup penggalangan dana pada 2015/2016. MDI Ventures menjadi salah satunya tetapi telah terbukti solid, setelah membukukan tujuh exit dari 30 portofolio pada tahun 2018 dan 2019, dengan pengembalian rata-rata 300-700%.

Dana kelolaan dari tahun terdahulu di 2015/16 yang belum menutup putaran kedua yang signifikan hampir dpastikan akan hancur. Ketika saya memimpin MDI Ventures, kami menyadari bahwa likuiditas amatlah penting, bahkan untuk usaha korporasi seperti saat itu.

Kita telah menikmati hidup di dunia dongeng bersama para unicorn dan centaur namun dengan dana 20 kali lipat saja kini tidak lagi bisa disebut layak.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Strategi "exit" lewat IPO atau M&A menjadi tidak relevan. Sejumlah venture capitalist memprediksi aktivitas investasi di Indonesia bakal menurun di 2020

Ramalan Industri VC Indonesia 2020 di Tengah Pandemi

Tahun 2019 membawa angin segar terhadap iklim investasi di industri startup Indonesia. Startup Report yang diterbitkan DailySocial mencatat sejumlah pencapaian menarik pada lanskap investasi startup di Tanah Air sepanjang 2019.

Pertama, terdapat 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini melampaui pencapaian di 2017 (67) dan 2018 (71). Kedua, pendanaan pada startup di growth stage, yakni seri A hingga seri C, mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingkan tahun 2018 dan 2017.

Tahun ini, pencapaian di atas belum tentu dapat berulang. Krisis kesehatan akibat COVID-19 memukul rata seluruh perekonomian dan bisnis global. Banyak kekhawatiran yang timbul atas berbagai kebijakan pemerintah terkait untuk menyetop rantai penyebaran COVID-19.

Bagi perusahaan pemodal ventura (venture capital/VC), kekhawatiran ini tentu akan membatasi rencana investasi dan “exit strategy“. Bahkan di kuartal satu ini, industri telah menyaksikan konsolidasi pertama VC di Indonesia yang diumumkan ke publik, yakni Agaeti Ventures dan Convergence Ventures menjadi AC Ventures (ACV).

Apakah tren konsolidasi bakal mewarnai industri VC di Tanah Air? Bagaimana tren dan proyeksi industri VC di sepanjang tahun ini?

Iklim investasi menurun di 2020

Dari informasi yang dihimpun DailySocial,  sejumlah venture capitalist memprediksi bahwa aktivitas investasi di Indonesia bakal menurun di 2020. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja memprediksi ada potensi penurunan nilai pada target penggalangan dana startup. Ia mencontohkan, startup yang sempat menggalang dana seri D bisa saja turun ke seri C2, atau dari target seri C menjadi seri B2, dan begitu seterusnya.

Akan tetapi, dengan proyeksi ini, Nicko tetap memastikan tidak akan ada penundaan rencana investasi bagi BRI Ventures. Selain VC tersebut baru dibentuk pertengahan tahun lalu, eks CEO MDI Ventures ini mengaku sudah mengantongi sejumlah deal jauh sebelum pandemi ini terjadi.

“Setiap rencana investasi kami tentu disesuaikan dengan strategi induk usaha. Nah, kami sudah closing beberapa funding sebelum COVID-19 ini. Kami percaya ekosistem bakal pulih dengan sendirinya,” ungkapnya.

Sementara itu, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menilai akan ada penyesuaian pada aktivitas investasi. Namun, ia memperkirakan akan ada investor yang memanfaatkan situasi ini untuk mencari portfolio startup yang valuasinya dapat di-discount, terutama, investor yang punya cash reserve kuat.

“Kita tidak melihat rencana investasi dari agresivitas pasar, tetapi startup yang bakal berhasil di masa depan. Bagaimanapun juga, investasi itu bergantung dari cara investor menetapkan hipotesisnya. Saya yakin VC yang punya fund baru dan track record baik bisa bertahan di situasi ini,” paparnya dalam pesan singkat.

Kenneth juga memastikan bahwa penyebaran virus Corona tersebut tidak akan menunda rencana investasi dan pembentukan dua dana kelolaan barunya tahun ini. Apalagi, dana kelolaan baru ini ditarget mengumpulkan Rp7 triliun.

Sebetulnya, hingga kuartal pertama 2020, pendanaan terhadap startup di Indonesia masih terbilang normal. DSResearch mencatat terdapat 20 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik pada periode Januari-Maret 2020. Angka ini relatif normal jika dibandingkan dengan jumlah transaksi pendanaan di periode sama tahun lalu yang sebanyak 27 transaksi.

Namun, jika melihat perkembangan situasi yang mulai genting sejak Maret ini, ada kemungkinan sejumlah kesepakatan investasi yang sudah dijajaki di bulan-bulan sebelumnya bakal terhambat.

Pelaku startup diminta berhati-hati

Kebijakan pembatasan kegiatan selama sebulan terakhir mulai memberikan dampak ganda terhadap pertumbuhan bisnis di industri startup. Ada yang sudah mulai mengalami kemerosotan permintaan, dan sebaliknya ada banyak yang kebanjiran transaksi karena kebijakan ini.

Masih disampaikan Nicko, startup early stage hingga unicorn sekalipun harus berhati-hati dalam menjalankan strategi bisnis dan kegiatan ekspansi demi mengejar pertumbuhan tahunan. Terutama startup early stage perlu waspada karena hanya memiliki runway yang singkat. Adapun, startup di growth stage perlu menyesuaikan capital spending dalam menjalankan aktivitas bisnis.

“Nah, startup late stage yang berencana exit dengan IPO atau M&A bakal tertunda. Intinya, kebanyakan valuasi [startup] bakal berkurang signifikan dari target yang diincar, setidaknya dalam dua kuartal ke depan,” ungkapnya.

Di situasi seperti ini, ia akan menerapkan berbagai skenario yang lebih hati-hati terhadap portfolio dan calon investee. Namun, Nicko meyakini situasi ini bakal memicu sinergi yang lebih aktif antara startup dan korporasi.

Sementara itu, VC paling aktif di Indonesia, East Ventures, mengungkap bahwa pihaknya terus mengamati perkembangan situasi, tetapi akan mengurangi rencana untuk mengantongi deal investasi baru.

Bagi East Ventures yang mengelola 170 portfolio, situasi ini menjadi tanda waspada mengingat segala macam strategi yang direncanakan menjadi tidak valid dengan situasi saat ini. Maka itu, ia memastikan bahwa seluruh portfolionya memiliki keuangan yang disiplin agar mampu melewati krisis ini

“Saat ini, kami akan lebih fokus mengelola portfolio existing. Kita akan lihat bagaimana COVID-19 berdampak ke industri keuangan,” kata Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca kepada DailySocial.

Tahun sulit bagi pendanaan di 2015/2016 untuk menuai untung

Dikatakan Nicko Widjaja sebelumnya, situasi pandemi dapat memberikan efek berkepanjangan karena strategi “exit“, baik dengan IPO maupun M&A menjadi tidak memungkinkan dilakukan tahun ini.

Menurutnya, bagi funding di pertengahan atau akhir 2017/2018, situasi sekarang menjadi sangat tidak pasti mengingat investor berupaya beradaptasi dengan menyelaraskan tesis awal–terutama mereka yang membuat rencana bisnis besar, seperti ekspansi ke pasar Asia Tenggara.

Sementara, bagi VC yang menghimpun pendanaan di 2015/2016, terutama VC yang belum dapat menggalang dana putaran kedua, tahun ini menjadi tahun yang sulit untuk panen untung. Hal ini karena seharusnya VC sudah bisa “menuai” hasil dari opsi exit di 2020.

Ia bahkan menyebut sulit bicara keuntungan hingga 20 kali lipat di tahun ini meskipun Indonesia sudah memiliki banyak startup unicorn dan centaur. Sebagai catatan, Nicko telah membawa 7 exit dari 30 portfolio MDI Ventures di 2018 dan 2019 dengan rerata keuntungan 3-7 kali lipat.

“VC seperti kami dan Tanglin Ventures Partners–berdasarkan white paper terbaru oleh SEA Founders–menilai langkah yang tepat di situasi seperti adalah buying time, terutama investor yang baru saja menggalang dana dan punya cash cukup besar untuk deploy,” papar Nicko.

Maka itu, ia menggarisbawahi pentingnya likuiditas bagi VC maupun corporate venture capital (CVC). Bagi investor yang mengincar likuiditas, langkah terbaik saat ini adalah masuk ke pasar sekunder. “Pasar sekunder punya nilai tawar paling banyak karena likuiditas sangat terbatas. Terutama bagi dana investasi di periode 2015/2016. Jika tidak, investor akan sulit meyakinkan LP untuk galang dana di putaran berikutnya,” jelasnya.

Sebetulnya, ujar Nicko, masuk ke pasar sekunder tidak pernah menjadi opsi ideal bagi VC. Langkah ini dapat menunjukkan kurangnya manuver LP di masa turbulensi sekarang karena tidak dapat memaksimalkan pengembalian modal yang paling diinginkan.

“Saya percaya market correction adalah sesuatu yang kita butuhkan di sektor teknologi sehingga dapat memisahkan pemain sungguhan dan yang tidak. Namun, saya percaya dengan ekosistem VC, dan ini saat yang tepat bagi kami untuk membangun bisnis lebih dari sebelumnya,” paparnya.