Tag Archives: BRI Ventures

Investree Raises 382 Billion Rupiah Funding of Series C’s First Round

The p2p lending startup, Investree announced the first round of Series C funding worth of $23.5 million (more than 382 billion Rupiah) led by MUIP, subsidiary of Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), and BRI Ventures. Other investors participated are SBI Holdings and 9F Fintech Holding Group, both are the existing investors in Series B round.

In the online pers conference, Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi explained, the fresh money will be channeled to tighten the company’s position as the leading p2p lending for SMEs and to support business in Thailand and the Philippines.

“The funding has closed since March 2020. In terms of close round, we’re still discussing in parallel with other potential investors. Whether there’s an adjustment of the total [funding], it’s still an ongoing process. It’s not because we’re currently well-capitalized,” he said on Wed (4/8).

Adrian also mentioned the funding received in the midst of this pandemic is proving investors’ strong confidence in the company’s strategy and management team. “A solid financial platform and conditions enable companies to tackle the current climate with confidence.”

The MUFG and BRI entrance through each of its ventures to Investree allows the company to deepen the partnership. MUFG is a shareholder of Bank Danamon. Synergy with the two banks, he added, is not new. Previously, Investree had begun to establish since 2016 with Bank Danamon and 2018 with BRI.

MUIP’s President and CEO’s Nobutake Suzuki said that he believes to invest in Investree because the company had good fundamentals in terms of performance, legality, and a mature background in the financial world. In addition, he saw the industry, Investree has a great opportunity to lead the lending market for SMEs.

CEO Nicko Widjaja added on his team’s interest is due to the success in serving underserved business segments, such as the creative industries. For conventional financial institutions, this segment tends to be full of risk. “We believe the collaboration between the BRI group and Investree, established since 2018, can contribute significantly to Indonesian economic growth.”

Investree secured  series B funding with an undisclosed value in mid-2018. At that time, the round was led by SBI Holdings Inc., then followed by MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, and Kejora Ventures.

Investree’s next target

Adrian saw opportunity amidst the ongoing pandemic, the company is to enter the growing industry sector, health and telecommunications. These two sectors are considered to have significant opportunities and can be helped through financing, especially now that the health industry is at the forefront in fighting a pandemic.

In addition, to reduce the rate of bad loans, the company has established a series of risk mitigations, such as using credit insurance, restructuring and rescheduling, which are seen on a case-by-case basis. How the borrowers are performing and how far Covid-19 is impacting their business.

“To date, we are discussing with several borrowers from hospitality and retail. We see case by case what we can do. Whether the impact is short-term, needs to be restructured. We have prepared the template and are ready to submit it to lenders because we are not the financiers. ”

Regarding the company’s expansion into Thailand and the Philippines, it is still in the stage of processing business licenses. If nothing gets in the way, it is estimated no later than the third quarter of this year, license can be issued. “Currently, the licensing process is still according to our plan and there has been no change.”

“We enter these two countries by partnering with locals who know the business and regulation in the area.”

Until the beginning of April 2020, the company recorded a total loan of IDR 5.11 trillion and a disbursed loan value of IDR 3.83 trillion. The average rate of return starts at 16% and TKB90 90%. There are 1297 borrowers consisting of individuals and institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Startup p2p lending Investree peroleh pendanaan tahap pertama eri C $23,5 juta dipimpin oleh MUIP, anak usaha ventura dari MUFG, dan BRI Ventures.

Investree Kantongi Pendanaan Seri C Tahap Pertama 382 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Investree mengumumkan pendanaan tahap pertama seri C sebesar $23,5 juta (lebih dari 382 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MUIP, anak usaha ventura dari Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), dan BRI Ventures. Turut berpartisipasi investor lainnya SBI Holdings dan 9F Fintech Holdings Group, keduanya adalah investor existing yang masuk saat putaran seri B.

Dalam konferensi pers yang digelar secara online, Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menjelaskan, dana segar akan digunakan untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai p2p lending terdepan untuk UKM dan mendukung bisnis perusahaan di Thailand dan Filipina.

“Pendanaan ini sudah close dari pertengahan Maret 2020. Untuk close round, kita masih paralel diskusi dengan potensi investor lainnya. Apakah ada kenaikan dari sisi jumlah [funding], masih dalam proses. Kita tidak buru-buru karena kita well capitalized,” terangnya, Rabu (8/4).

Adrian juga mengutarakan pendanaan yang diterima di tengah pandemi ini, membuktikan kepercayaan kuat investor terhadap strategi dan tim manajemen perusahaan. “Platform dan kondisi finansial yang kokoh memungkinkan perusaahaan untuk mengatasi iklim saat ini secara percaya diri.”

Masuknya MUFG dan BRI lewat masing-masing venturanya ke Investree, memungkinkan perusahaan untuk perdalam kemitraan. MUFG adalah salah satu pemilik saham Bank Danamon. Sinergi dengan kedua bank ini, sambungnya, bukan hal baru. Sebelumnya, Investree sudah mulai menjalin sejak 2016 dengan Bank Danamon dan 2018 dengan BRI.

Presiden dan CEO MUIP Nobutake Suzuki mengatakan, keyakinannya untuk berinvestasi ke Investree karena perusahaan tersebut punya fundamental yang baik dari sisi performa, legalitas, dan latar belakang petingginya yang matang di dunia finansial. Di samping itu, dia melihat secara industri, Investree punya peluang yang besar untuk memimpin pasar lending untuk UKM.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, pihaknya tertarik dengan Investree karena mereka berhasil melayani segmen usaha underserved, seperti industri kreatif. Bagi institusi finansial konvensional, segmen ini cenderung penuh risiko. “Kami percaya kolaborasi antara grup BRI dan Investree yang telah berlangsung sejak 2018 mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.”

Investree mengantongi pendanaan seri B dengan nilai dirahasiakan pada pertengahan 2018. Pada saat itu, putaran dipimpin oleh SBI Holdings Inc, lalu diikuti oleh MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, dan Kejora Ventures.

Rencana Investree berikutnya

Adrian melihat, di tengah pandemi yang masih berlangsung, perusahaan akan masuk sektor industri yang tumbuh hijau yakni kesehatan dan telekomunikasi. Dua sektor ini dinilai punya peluang yang signifikan dan bisa dibantu lewat pembiayaan, apalagi saat ini industri kesehatan menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi.

Di samping itu, untuk menekan laju kredit macet, perusahaan sudah menetapkan serangkaian mitigasi risiko, seperti menggunakan asuransi kredit, restrukturisasi dan reschedule yang dilihat kasus per kasus. Bagaimana performa para peminjam tersebut dan seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap bisnis mereka.

“Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower dari perhotelan dan ritel. Kita lihat case by case apa yang bisa kita lakukan. Apakah dampaknya jangka pendek, perlu direstrukturisasi. Kita sudah siapkan template-nya dan siap disampaikan ke lender karena kita bukan pemberi pembiayaannya.”

Terkait ekspansi perusahaan ke Thailand dan Filipina, sejauh ini masih dalam tahap pemrosesan izin usaha. Bila tidak ada aral melintang, diperkirakan paling lambat pada kuartal ketiga tahun ini izin bisa dikantongi. “Sejauh ini proses perizinan masih sesuai rencana kita dan belum ada perubahan.”

Adrian juga memastikan perusahaan hanya fokus pada tiga negara sepanjang tahun ini. Thailand dan Filipina sebelumnya dipilih karena keduanya punya masalah yang sama dengan Indonesia, yakni rendahnya penetrasi pinjaman modal usaha untuk UKM.

“Kami masuk ke dua negara ini dengan menggandeng mitra lokal yang tahu bisnis dan regulasi di sana seperti apa.”

Hingga awal April 2020, perusahaan membukukan total pinjaman sebesar Rp5,11 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp3,83 triliun. Rata-rata tingkat pengembalian mulai 16% dan TKB90 90%. Ada 1297 peminjam yang terdiri dari individu dan institusi.

Application Information Will Show Up Here

TaniHub Secures 285 Billion Rupiah Worth of Series A+ Funding

TaniHub Group announced to secure series A+ funding worth of US$17 million or around 285 billion Rupiah. This is the follow on round of the series A last May 2019.

The latest round was led by Openspace Ventures and Intudo Ventures. Also involved in this round, UOB Venture Management, Vertec Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital and Golden Gate Ventures. In total, TaniHub has obtained Rp462 billion funding since 2016.

The additional funding will be allocated to tighten business position by expanding services, both for farmers and customers. They will also focus to improve operational, such as the implementation of automation in processing and packaging centers.

TaniHub Group’s Co-Founder & President, Pamitra Wineka said, regeneration is very important for Indonesian agriculture, considering they are one of the country’s biggest economic contributors. Farmers need to increase productivity and income to make sure the easy generation that agriculture is a sector that has bright prospects.

“Our TaniHub Group Ecosystem is designed to help farmers achieve their dreams and consumers can enjoy agricultural products at reasonable prices. This will enable ‘agriculture for everyone’, which is our main goal,” he added.

TaniHub claimed that they had managed to get a threefold increase compared to the previous year. In total there are more than 30,000 small farmers who join their ecosystem. Within their platform there are also 5,000 business customers consisting of SMEs, hotels, restaurants, catering and 115,000 retail customers.

Based on Startup Report data from DSResearch, the TaniHub application is the most downloaded for the agrotech category with a total download of more than 100,000 in 2019. Defeating Winged Beans and iGrow. Meanwhile, in terms of business, the delivery of agricultural products from TaniHub is in the same segment as Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, and others.

Aim to be of service throughout Indonesia

Currently, TaniHub has five branch offices in Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, and Denpasar. The latest news, TanhiHub is currently finalizing PPC (Processing and Packing Center) in Malang with 3,000 sqm area.

For automation solutions, they will install machines that can process and pack automatically. The goal is to reduce the touch of human hands so that the quality and safety of products is guaranteed. After Malang, it is planned that there will also be PPC and DC in other cities.

“TaniHub focuses on building infrastructure and supply chains which are currently the biggest challenges in the Indonesian agriculture sector. We are committed to strengthening our partnerships with partners in the B2B area, including SMEs. We expect better growth for this year and we hope to reach all cities throughout the country by 2020,” TaniHub Group’s CEO & Co-Founder, Ivan Arie Sustiawan said.

In addition to providing agricultural products, TaniHub Group also has a P2P lending service, TaniFund. This service has succeeded in disbursing 100 billion Rupiah in loans since start operating in 2017 ago.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Tanihub 2020

TaniHub Amankan Pendanaan Seri A+ Senilai 285 Miliar Rupiah

TaniHub Group mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan seri A+ senilai US$17 juta atau setara 285 miliar Rupiah. Ini merupakan kelanjutan dari putaran seri A yang sebelumnya diumumkan pada Mei 2019 lalu.

Pendanaan kali ini dipimpin oleh Openspace Ventures dan Intudo Ventures. Turut berpartisipasi di dalamnya UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital dan Golden Gate Ventures. Dengan ini total pendanaan yang diraih TaniHub Group sejak tahun 2016 mencapai Rp462 miliar.

Modal tambahan yang diterima akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi bisnis dengan memperluas cakupan wilayah, baik untuk petani maupun pelanggan. Peningkatan operasional juga jadi fokus, seperti penerapan solusi automasi otomadi pusat pemrosesan dan pengemasan.

Co-founder & Presiden TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, regenerasi sangat penting bagi pertanian Indonesia, mengingat mereka menjadi salah satu kontributor terbesar ekonomi negara. Petani perlu meningkatkan produktivtas dan pendapatan untuk membuat yakin generasi mudah bahwa pertanian merupakan sektor yang memiliki prospek cerah.

“Ekosistem TaniHub Group kami dirancang untuk membantu para petani mencapai mimpinya dan konsumen dapat menikmati produk pertanian dengan harga yang wajar. Ini akan memungkinkan ‘agriculture untuk semua orang’, yang merupakan tujuan utama kami,” jelas Pramitra.

Pihak TaniHub mengaku bahwa mereka telah berhasil mendapatkan peningkatan tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan ada lebih dari 30.000 petani kecil yang bergabung dengan ekosistem mereka. Di dalam platform mereka juga terdapat 5.000 pelanggan bisnis yang terdiri dari UKM, hotel, restoran, katering, dan 115.000 pelanggan ritel.

Berdasarkan data Startup Report dari DSResearch, aplikasi TaniHub paling banyak diunduh untuk kategori agrotech dengan total unduhan lebih dari 100.000 pada tahun 2019. Mengalahkan Kecipir dan iGrow.  Sementara dari segi bisnis pengantaran produk hasil pertanian TaniHub berada di segmen yang sama dengan Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, dan lainnya.

Mempunyai mimpi untuk hadir di seluruh Indonesia

Saat ini TaniHub sudah memiliki lima kantor cabang atau regional, yakni ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.  Yang paling baru TaniHub Group sedang melakukan finalisasi PPC (Prosessing and Packing Center) di Malang dengan luas bangunan 3.000 meter persegi.

Untuk solusi automasi, mereka akan memasang mesin yang bias memproses dan melakukan packing secara otomatis. Tujuannya untuk mengurangi sentuhan tangan manusia sehingga kualitas dan keamanan produk terjamin. Setelah Malang, rencananya juga akan ada PPC dan DC di kota-kota lainnya.

“TaniHub berfokus pada membangun infrastruktur dan rantai pasokan yang saat ini merupakan tantangan terbesar di sektor pertanian Indonesia. Kami berkomitmen untuk memperkuat kemitraan kami dengan mitra di area B2B, termasuk dengan UKM. Kami mengharapkan pertumbuhan lebih baik untuk tahun ini dan kami berharap bisa menjangkau semua kota di seluruh negeri pada tahun 2020.” jelas Co-founder & CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan.

Selain melayani penjualan hasil pertanian TaniHub Group juga memiliki layanan P2P lending, TaniFund. Layanan ini telah berhasil menyalurkan 100 miliar Rupiah pinjaman sejak beroperasi pada tahun 2017 silam.

Application Information Will Show Up Here
Grab Ventures Velocity Ke 3

Grab dan BRI Ventures Resmi Membuka “Grab Ventures Velocity” Gelombang Ketiga

Warung makan dan logistik menjadi tema pilihan Grab untuk gelombang ketiga program Grab Ventures Velocity (GVV). Potensi pasar yang sedang besar-besarnya menjadi alasan mereka memilih kedua vertikal tersebut.

GVV merupakan program akselerasi milik Grab yang berjalan sejak 2018. Sejasa, BookMyShow, SayurBox, dan Qoala adalah beberapa nama startup yang dipilih dari dua gelombang yang sudah diadakan.

Banyaknya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) adalah alasan fundamental kenapa usaha mikro dalam berbagai sektor jadi peluang bagi startup digital. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, warung merupakan salah satu jenis usaha mikro yang punya masa depan cerah jika terhubung dengan ekosistem.

“Jumlah usaha mikro itu 63 jutaan mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan sampai warung; namun sesuai namanya usahanya mereka kecil-kecil, di sektor pertanian lahan mereka pun sempit. Jadi dibutuhkan startup baru yang bisa jadi partner usaha mikro untuk bisa terhubung dalam ekosistem,” ujar Teten.

Managing Director Neneng Gunadi menambahkan, meningkatnya industri kuliner dan kebutuhan pergudangan serta pengantaran untuk mendukung dunia usaha.

“Untuk usaha warung makan itu potensinya cukup besar, kuliner jadi sesuatu yang ngetren. Kedua, logistik jadi sangat penting di Indonesia. Jadi pada tahun ini kita menyasar ke dua hal itu,” sambung Neneng.

Gandeng BRI Ventures

Grab menggandeng BRI Ventures sebagai mitra strategis penyelenggeraan GVV tahun ini. Dalam kerja sama ini baik Grab maupun BRI Ventures sama-sama urunan dana dan fasilitas untuk mengakomodasi peserta.

“Tidak hanya cash, tapi fasilitas juga. Ekosistem yang dimiliki oleh Grab dan ekosistem yang dimiliki oleh BRI, nilai alokasinya kurang lebih 50-50,” ucap CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Program GVV ini resmi dibuka mulai 03-31 Maret 2020. Sama seperti gelombang sebelumnya, Grab memperkenankan startup dalam negeri maupun luar negeri mengikuti program akselerasi ini.

Dan serupa sebelumnya, Grab menjanjikan startup yang diterima dalam program ini akan mendapatkan pilot project untuk menjajakan layanan mereka di platform Grab. Itu artinya startup tersebut punya kesempatan memperkenalkan produknya ke puluhan juta pengguna Grab.

“Itu kan sesuatu banget, karena mereka bisa memaksimalkan customer kita. Mereka bisa cek, pertumbuhannya akan seperti apa karena basisnya besar banget. Mereka juga akan dapat bimbingan dari C-level startup termasuk dari kami tentang bagaimana caranya agar jadi unicorn,” pungkas Neneng.

Program GVV gelombang ketiga ini dijadwalkan berlangsung selama 16 minggu. Pihak Grab berharap akan ada lebih banyak yang bergabung ke dalam program ini dengan asumsi dampak yang diberikan ke masyarakat juga akan lebih besar dari sebelumnya.

Disclosure: DailySocial.id adalah strategic partner Grab Ventures Velocity batch 3

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dana Kelolaan BRI Ventures

BRI Ventures Siapkan Dana Kelolaan untuk Startup Non-Fintech di Jakarta dan Singapura

BRI Ventures, corporate venture capital milik BRI, tengah menyiapkan dana kelolaan baru sebagai kendaraan investasi untuk startup non-fintech di 2020.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo memastikan izin untuk berinvestasi di non-fintech (Special Purpose Vehicle/SPV) tengah diurus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Ini masih dalam kendali BRI Ventures, tapi disebut venture fund karena bisa untuk [investasi] apa saja termasuk non-fintech. [Untuk funding] ada Limited Partner kami dari luar,” ujar Indra kepada DailySocial.

Dalam wawancara beberapa waktu lalu, VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman sempat menyebut bahwa persiapan dana kelolaan ini ditargetkan rampung pada Februari ini.

Ada tujuh ekosistem non-fintech yang menjadi target investasi, antara lain agro-maritim, kesehatan, pendidikan, pariwisata dan perjalanan, transportasi, serta retail dan industri kreatif.

“Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal. Tapi di pipeline, kami sudah ada 6-8 deal dalam setahun jika melihat bandwith dan opportunity yang ada,” tuturnya.

Berdasarkan informasi terbaru kepada DailySocial, Markus juga mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang menyiapkan izin SPV tak hanya Indonesia, tetapi juga di Singapura.

Entity akan dibentuk di Singapura untuk acquire license ke Monetary Authority of Singapore. Namun, kendaraan investasi tetap fund,” ungkap Markus.

Sementara, sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan BRI di 2019, BRI Ventures disebutkan akan membidik industri retail dan kreatif sebagai fokus utama investasi di 2020.

Menurut Markus, industri retail dan kreatif di Indonesia maupun di luar memiliki pasar yang lebih siap. Ia menilai vertikal bisnis lainnya membutuhkan effort yang lebih panjang untuk bisa jalan.

“Sektor ini lebih siap, baik dari para pelaku [bisnis] maupun ekosistem pendukungnya,” tambahnya.

BRI Ventures yang baru berdiri di 2019, telah mendapatkan suntikan dana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Laporan keuangan mencatat dana ini telah disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp200 miliar (Maret), Rp800 miliar (Juli), dan Rp500 miliar (Desember).

Total investasi yang disalurkan BRI Ventures di 2019 baru sebesar Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

Corporate Venture Capital as an Answer to the Disruption Era

In June 2010, UberCab has launched in San Fransisco for easier access to book a cab. Soon, the platform was getting popular in the area, although the fare was higher. Users are willing to pay more for efficiency.

Five months later, the company received seed funding worth $1.25 million from several investors. The brand changed into Uber following its decision to include other transportation besides taxi. In early February next year, Uber announced Series A funding of $11 million.

Settled with $60 million valuations, they finally had its grand launching in New York. The public expressed their enthusiasm with the new innovation, the big apple later become the early biggest market share in the US. Some taxi provider companies have issued an intervention, asking for the business legal.

In late 2011, Uber secured $32 million Series B funding, including Jeff Bezos. The international expansion begins, aimed at Paris. User’s feedback, on the fare and availability, has encouraged the company to release some variant products, including UberX for more affordable service.

Halfway to 2014, Uber made expansions to India and Africa. Along with the Series C investment worth of $258 million. Valuation exceeds $3.76 billion and the company is officially a unicorn. Next, they secured another investment worth of $1.2 billion in July 2016 and took the company to a decacorn valuation at $17 billion.

In brief, with the current business dynamics, including expansion, downsizing business, and follow on funding, they finally had an IPO in May 2019 in NYSE with a market capitalization reached $75.5 billion.

Based on the business journey, there are some points to be highlighted: (1) a rapid growth business, (2) disrupted business, (3) business with fantastic valuation growth.

“Disruption” term as a barrier

Uber business model is getting replicated by others, including Gojek with the local wisdom – in this case, ojek (two-wheeler) transportation. After running a business in a semi-conventional way since 2011, they finally launched the first app on the Android and iOS platforms on January 7th, 2015. It used to provide only transportation, instant courier and groceries.

Similar to Uber, the offered services are in high demand. Traction rise up now and then, as well as financial support from investors. It applies to the rejection issue, both the motorcycle taxi drivers and transportation companies had a hard time. Sometimes, the “pressure” comes from regulation, due to no legal umbrella to accommodate the business model, at that time.

It’s from the ride-hailing sector, the truth is new platforms (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning and so on) are created as a way to replace traditional businesses and it’s getting the hype as the increasing number of smartphone users in Indonesia. Suddenly the term “disruption” became the main topic in various news, public discussions, to scientific publications.

Some companies have passed the term and feel encouraged to follow the existing trends, in order to not be eliminated. In the end, the jargon “digital transformation” turned into a campaign. Businessmen massively go-digital, trying to adopt the latest technology to accelerate the business model. From the simplest as creating a social media account for marketing and applying the concept of data science to business.

Technology holds an important role in the disruption era. Moreover, it has the right medium to connect a service to its user, the computing devices – including smartphones. If not through the mobile apps, maybe the growth of Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory and other startups won’t be that fast.

Strategic partnership through investment

Some of the large companies with high demand in market share were made flustered by digital startups. As the few shopping centers said to be empty of visitors – and some reduce the number of outlets – after the booming e-commerce services in Indonesia. “Natural law” in business seems to start showing results: adapting or slowly dying.

Some retailers are trying to change their approach, for example, Matahari Department Store which finally released an e-commerce portal. Other shopping centers are starting to optimize application-based services, such as the GetPlus loyalty platform at Grand Indonesia. Its vision is to improve the customer experience. So far, the consumer sector is where the disruption impacted the most.

There are two options, to develop independently or collaborate with existing startups. Each option comes with implications. First, if you choose to build a digital foundation independently, you must invest in a variety of resources including infrastructure and experts. As for the second option, a strategic partnership can be one solution and most likely to be effective.

Digital transformation should be fast. Even technology is dynamically evolving. While corporate executives stay focused on improving the core business, they don’t think there’s enough time to create digital solution experiments. Digital products require some process in order to reach market-fit – research, market validation, and others.

Corporates can adjust the synergies with business vision of both. As for the companies in the financial sector, they can collaborate with fintech startups which appropriate to support business development. Companies in the insurance field can start cooperating with insurtech startups to increase the presence and easy access to public services.

After finding a suitable startup and they have proven product-market-fit, further cooperation is required for a more exclusive stage. One way is by giving investments – acquiring a few percent of ownership shares – to related startups. Furthermore, if this soon become a concern to the corporation, they can create a new venture capital sub-company.

Indonesian corporate venture capital

Corporate venture capital (CVC) usually takes form as a separate business unit (subsidiary) that is focused on channeling company investment funds to startups. It involves a strong team to do analysis and screening, in order to find startups that fit the company’s requirements.

CVC is getting popular in Indonesia, along with its achievements – both in terms of strategic partnerships to increase business or exit (IPO or acquired with a higher valuation value) as a mechanism for investors to get financial returns.

Daftar CVC di Indonesia

The investment focus is simple, each company explores the sectors with the highest potential to strengthen corporate lines. As an example, Central Capital Ventura from BCA, it’s targeting startups which provides access to financial convenience for consumers and businesses. The derivatives are quite diverse, ranging from credit platforms, financial technology supporting businesses, to insurance. Apparently, Astra International follows the rule, the company focuses on startups that empower automotive products, around transportation and logistics.

A bigger chance for growth-stage startups

After previously debuting with up to 3.5 trillion Rupiah managed funds. Recently, BRI has re-injected additional capital worth 500 billion Rupiah for BRI Ventures. In addition to increasing the portion of share ownership to 99.97%, it is expected to accelerate the subsidiary. Quite a fantastic number for a business kick-off in the new venture capital business.

Another CVC, Mandiri Capital Indonesia (MCI) has invested in 13 startups by the end of 2019. The CEO, Eddi Danusaputro said to have 50 billion Rupiah ready to be invested in other fintech startups. Their latest lead is the investment to the Halofina financial planning platform in the pre-series A.

The large value poured by corporations into the CVC is not random. From the existing trends, they are usually investing in startups at the growth stage. In this phase, startups are usually have proven the traction of the targeted market. As with Telkomsel Mitra Innovation (TMI), which was recently formed halfway to the end of last year, they made a debut investment to Kredivo’s series C.

A deeper approach was taken by the Telkom Group by establishing the Indigo Creative Nation’s integrated incubation and acceleration program. MDI Ventures is involved to invest in the startups graduated from the program.

More CVC to come

Although it’s not explicit, several companies reportedly participated as Limited Partners (LP) in venture capital. Acting as an LP means that they entrust the designated party to channel funds to the right startup, instead of forming their own team or subsidiary in processing investments from top to bottom.

Digital startups with the success story in demonstrating competitive value in the market and support for the current industry, are believed to attract more corporates involved in the ecosystem, specifically forming CVC. Aside from local case studies, overseas even world-class companies have also intervened in the ecosystem.

The latest news is that several other state-owned companies are also interested in forming a subsidiary in the field of venture capital. BNI and Pegadaian are said to be finalizing an investment strategy to strengthen the company’s business line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyeimbangkan hukum "supply" dan "demand", CVC lokal mulai melihat potensi menggalang dana dari investor eksternal

Corporate Venture Capital Indonesia Mulai Aktif Incar Investor Eksternal

Kehadiran investor asing menstimulus pembangunan suatu negara. Sektor yang butuh tambahan modal, perlu digenjot agar memberikan dampak ekonomi yang maksimal buat negara, termasuk sektor digital.

Menurut estimasi BKPM, persentase Penanaman Modal Asing (PMA / Foreign Direct Investment) ke sektor digital berkisar $1,3-2,4 miliar atau sekitar 15%-20% dari total PMA yang masuk, yakni $9-12 miliar per tahunnya.

“Belum ada indikasi kuat investor kehilangan antusiasmenya kepada sektor ini. Trennya masih sangat kuat,” ucap Kepala BKPM saat itu, Thomas Lembong, April 2019.

Angka di atas kalah jauh dengan lima sektor yang masih menjadi primadona para investor asing. Pada tahun 2018, posisi teratas ditempati sektor listrik, gas, dan air sebesar $4,4 miliar; pertambangan $3 miliar; transportasi, gudang & telekomunikasi $3 miliar; logam dasar & barang logam bukan mesin $2,2 miliar.

Tiga negara investor terbesar adalah Singapura $9,2 miliar, Jepang $5 miliar, dan Tiongkok $2,4 miliar. Dari total investasi, porsi PMA masih mendominasi, mencapai 56%, sementara sisanya adalah investasi dalam negeri.

Laporan e-Conomy SEA 2019 mengestimasi pada tahun lalu Indonesia berkontribusi terhadap 40% atau senilai $40 miliar nilai ekonomi digital dari total $100 miliar di ASEAN. APJII juga menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh 10,12% pada 2018 menjadi 171,17 juta jiwa dari total populasi 264 juta.

Ruang tumbuh yang masih begitu luas, melatarbelakangi dibutuhkannya tambahan sokongan modal agar lebih kencang menangkap potensi unicorn berikutnya. Langkah ini ditangkap para modal ventura korporasi (CVC).

Mereka mulai berupaya menarik pemodal asing untuk menaruh dananya untuk dikelola dan diinvestasikan ke startup digital lokal. Sejauh ini, ada tiga CVC, yakni MDI Ventures, Mandiri Capital Indonesia (MCI), dan BRI Ventures yang mulai membuka diri.

Dikonfirmasi DailySocial, masing-masing perwakilan ketiga CVC ini kompak menjawab tahun ini dimulainya perusahaan menarik investor luar untuk berpartisipasi dalam fund khusus.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menyebut proses penggalangan dana investasi ketiga sudah hampir rampung. Dia memperkirakan pengumuman resmi terkait fund ini bakal dilakukan menjelang akhir Januari 2020 atau awal bulan depan.

“Kita tunggu announce first investment saja. Harusnya akhir bulan ini atau awal bulan Februari,” ujarnya, Selasa (14/1).

Detail terkait rencana ini masih ditutup rapat-rapat oleh Kenneth. Tapi dari wawancara sebelumnya, MDI menargetkan dana investasi yang siap dikelola sebesar $100 juta dan telah roadshow ke Timur Tengah, sejumlah negara ASEAN seperti Thailand, dan Singapura untuk menarik LP.

Nominal yang sama juga diincar Mandiri Capital. CEO MCI Eddi Danusaputro mengaku saat ini masih dalam proses penggalangan. Ditargetkan sekitar kuartal ketiga tahun ini dapat segera ditutup atau mulai berinvestasi dengan dana segar tersebut ke startup baru.

“Sekarang masih on going, belum ada angka yang bisa di-share,” ujar Eddi, Selasa (14/1).

Sementara itu, BRI Ventures memberi sinyal bahwa mereka juga melakukan fundraising dengan investor lain, di luar BRI, supaya tetap sejalan dengan strategi tesis investasi yang sudah di buat.

“Kami fundraising juga dengan investor lain dan strategi supaya align dengan strategi BRI, dan juga strategi investment thesis yang akan kita buat. Tahun depan [fund akan diumumkan],” kata VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman saat DailySocial temui menjelang akhir tahun lalu.

Supply belum menyamai demand

Beberapa alasan yang melatarbelakangi ketiga para CVC ini untuk menggalang dana dari luar Indonesia adalah ketersediaan dana domestik yang terbatas. Kurang sepadan dengan tingginya permintaan investasi dari para startup. Mereka pun pede bisa memberikan return yang menarik kepada para LP berbekal pengalaman mengelola dana sebelumnya.

Khusus untuk menggambarkan potensi fintech lending saja, data acuan yang sangat sering dipakai adalah: credit gap sebesar Rp1.000 triliun tiap tahunnya yang belum terpenuhi bank untuk disalurkan ke pemilik usaha mikro dan kecil. Padahal UMKM adalah penggerak ekonomi terbesar Indonesia.

Angka ini cukup bombastis dan menggiurkan para pemilik modal untuk terjun ke sini. Tak heran, banyak investor berbondong-bodor mengucurkan dananya untuk startup fintech lending.

Tapi, kesulitan buat mereka adalah bagaimana untuk terjun langsung menangkap potensi tersebut? Apakah kapabilitas mereka cukup paham dengan tantangan pasar Indonesia untuk memantau langsung pergerakan dana yang diinvestasikan atau cukup memercayakan pengelola investasi yang handal?

Menurut catatan sementara pendanaan startup sepanjang 2019, sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor. Per 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan startup dan/atau investor Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, SaaS (9), e-commerce (8) dan logistik (6).

Alhasil, kondisi ini mendorong para CVC untuk tidak selalu bergantung dana suntikan dari induknya agar bisa bersaing. Dunia persaingan antar investor itu sendiri sebenarnya juga tidak kalah sengit. CVC harus bergerak cepat dalam mencari dana, meski preferensi startup yang dibidik ada sedikit perbedaan.

Eddi menjelaskan, rencana yang diusung MCI sepenuhnya mendapat dukungan Bank Mandiri. Bahkan perseroan akan ikut terus berpartisipasi tiap kali MCI merilis Mandiri Venture Fund baru.

Driver utama sebenarnya adalah kita lihat opportunity untuk bawa investor asing ke Indonesia kerena kita confident ada return [bagi investor] yang menarik dan juga demi market startup di Indonesia.”

Optimisme yang sama juga diungkapkan Kenneth. Rekam jejak MDI tidak hanya berinvestasi untuk startup lokal. Sejauh ini mereka mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit sejak pertama kali beroperasi di 2015. Performanya tentu tidak perlu diragukan lagi.

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Benchmark dari luar negeri

Pemain CVC di luar negeri sebenarnya juga melakukan hal yang serupa ada juga yang tidak. Semua tergantung masing-masing strategi yang diputuskan grup tersebut.

Tidak bisa melulu harus mengandalkan dana dari induk saja dalam berinvestasi, perlu diversifikasi dana dari investor luar untuk memberikan nilai tambah buat investee, grup dari CVC itu sendiri, dan para LP yang berpartisipasi dalam fund yang digalang.

CVC sebenarnya ada tanggung jawab yang harus mereka emban dalam berinvestasi, bagaimana memastikan startup yang mereka investasi bisa memberikan nilai tambah buat grup mereka agar bisa berkompetisi di pasar.

Pada akhirnya, banyak potensi kolaborasi yang bisa dilakukan dari mengelola dana investasi dari investor luar, digabungkan dengan kekuatan grup. Jaminan pasti seperti ini belum tentu bisa diberikan VC independen.

Bayangkan saja, bila suatu startup didanai BRI Ventures, kemungkinan besar mereka bisa menggarap nasabah BRI yang jumlahnya diklaim lebih dari 80 juta orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Akses ini begitu mahal buat didapatkan sebuah startup yang baru dirintis.

Meskipun demikian, CVC yang masih menutup kesempatan buat investor luar  tidaklah salah. Dengan kondisi ini, CVC punya kendali yang lebih leluasa dalam mengelola dana dan memilah startup sesuai preferensi tanpa banyak dituntut para LP.

Pun pada akhirnya, saat berinvestasi ke startup, sangat jarang investor masuk sendiri karena harus berbagi risiko dengan investor yang lain.

Salah satu CVC tersohor di Singapura, yakni Vertex Ventures. adalah salah satu arm investment Temasek, perusahaan investasi pelat merah Singapura. Vertex khusus bergerak di pendanaan tahap awal sejak 2008.

Perjalanan Vertex untuk fund pertama dan kedua, pada 2010 dan 2014, disokong sepenuhnya oleh Temasek Holdings melalui Vertex Venture Holdings. Memasuki fund putaran ketiga, mereka memulai debut menjaring investor eksternal pada 2017.

Saat itu, perusahaan berhasil mengantongi komitmen investasi sebesar $210 juta, oversubscribed dari target awal $150-180 juta. Temasek masih berpartisipasi sekitar 50% dalam putaran ini. Sisanya diikuti LP baru yang berasal dari institusi keuangan di Asia, korporasi, dan perusahaan keluarga.

Tahun lalu, Vertex menutup fund putaran keempat dengan total dana $305 juta. Beberapa portofolio Vertex untuk startup Indonesia di antaranya adalah RoomMe, Grab, Warung Pintar, PayFazz, Pintek, dan Cicil.

Contoh yang sedikit berbeda adalah Rakuten Ventures, yang merupakan bagian raksasa e-commerce Jepang Rakuten. Dalam perjalanannya, sejak diresmikan pada 2013, hingga kini mereka belum membuka investor eksternal dalam setiap putaran pendanaannya.

Rakuten masih menjadi investor tunggal untuk dua fund yang dibuat Rakuten Ventures. Fund ini bernama Global Investment Fund dan Rakuten Ventures Japan Fund yang masing-masing dibentuk pada 2014 dan 2016. Startup yang masuk dalam portofolio Rakuten dan beroperasi di Indonesia adalah Shopback.

Dinamika CVC Indonesia bisa dipastikan akan semakin menarik. Kabar dimulainya pencarian pendanaan dari investor eksternal bisa menjadi indikator bahwa ke depannya visibilitas mendapatkan startup incaran dapat lebih mudah ditemukan. Ini baik buat startup yang sedang mengincar akselerasi pertumbuhan dengan cara paling efektif.

Investasi ke startup dijadikan salah satu strategi transformasi digital perusahaan untuk tetap bisa kokoh di era disrupsi.

Modal Ventura Korporasi Jadi Cara Jitu Hadapi Disrupsi

Pada bulan Juni 2010, aplikasi UberCab diluncurkan di San Francisco untuk memudahkan masyarakat memesan taksi. Tak butuh waktu lama, platform tersebut populer di seluruh kawasan setempat, kendati tarif layanan yang dikenakan jadi lebih mahal. Pengguna mau membayar lebih untuk efisiensi yang didapat.

Lima bulan kemudian perusahaan mendapatkan pendanaan awal $1,25 juta dari sejumlah investor. Merek pun diubah menjadi Uber karena mengakomodasi jasa transportasi yang merangkul pengemudi di luar taksi. Februari awal tahun berikutnya, Uber umumkan pendanaan seri A $11 juta.

Mantap dengan valuasi $60 juta, mereka resmikan kehadiran di New York. Masyarakat antusias dengan layanan baru tersebut, bahkan di fase awal wilayah ini jadi pangsa pasar terbesar Uber. Beberapa perusahaan taksi mulai menyerukan penolakan keras, mempertanyakan legalitas bisnis.

Akhir tahun 2011, Uber amankan pendanaan seri B senilai $32 juta, termasuk dari Jeff Bezos. Ekspansi internasional pun dimulai, Paris jadi sasaran utama. Umpan balik dari konsumen, soal harga dan ketersediaan, membuat perusahaan merilis berbagai varian produk, termasuk UberX untuk opsi layanan terjangkau.

Pertengahan tahun 2013, Uber ekspansi ke India dan Afrika. Dibarengi dengan pendanaan seri C senilai $258 juta. Valuasi perusahaan tembus $3,76 miliar, resmi dapatkan gelar unicorn. Lalu Juli 2016 mereka dapatkan pendanaan baru lagi $1,2 miliar dan membawa perusahaan pada valuasi decacron $17 miliar.

Singkat cerita, dengan dinamika bisnis yang ada termasuk ekspansi, perampingan bisnis dan pendanaan lanjutan, pada Mei 2019 mereka melakukan IPO di NYSE dengan kapitalisasi pasar menyentuh $75,5 miliar.

Dari perjalanan bisnis tersebut, ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi: (1) bisnis yang berkembang cepat, (2) bisnis yang mengganggu, (3) bisnis dengan pertumbuhan nilai fantastis.

Terminologi “disrupsi” jadi momok

Model bisnis Uber lalu banyak direplikasi, termasuk oleh Gojek dengan menyertakan kearifan lokal – dalam hal ini moda transportasi ojek. Setelah jalankan bisnis dengan cara semi-konvensional sejak tahun 2011, pada 7 Januari 2015 mereka perkenalkan aplikasi perdana di platform Android dan iOS. Waktu itu menyajikan layanan transportasi, kurir instan dan belanja.

Sama dengan Uber, layanan yang disajikan banyak diminati. Traksi melonjak tinggi dari waktu ke waktu, juga dukungan finansial dari investor. Pun demikian soal isu penolakan, baik oleh kalangan pengemudi ojek dan perusahaan transportasi, mereka juga sempat merasakannya. Bahkan beberapa kali mendapatkan “tekanan” regulasi, karena belum adanya payung hukum yang mengakomodasi model bisnis tersebut, waktu itu.

Itu baru dari ride-hailing, nyatanya masih terus bermunculan berbagai platform baru (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning dan lain sebagainya) yang coba menggantikan proses bisnis tradisional, juga mendapatkan sambutan luar biasa di tengah makin tingginya jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia. Sontak istilah “disrupsi” menjadi bahasan utama di berbagai pemberitaan, diskusi publik, hingga publikasi ilmiah.

Banyak perusahaan yang sudah melenggang sebelumnya merasa perlu untuk mengikuti tren yang ada, agar tidak tersingkir. Pada akhirnya jargon “transformasi digital” pun jadi ramai dikampanyekan. Pebisnis berbondong-bondong go-digital, mencoba mengadopsi teknologi terkini untuk mengakselerasi model bisnis. Dari yang paling sederhana seperti membuat akun media sosial untuk pemasaran, hingga menerapkan konsep ilmu data ke dalam bisnis.

Teknologi memiliki peran penting dalam disrupsi. Terlebih ia telah memiliki medium yang tepat untuk menghubungkan suatu layanan kepada penggunaanya, yakni perangkat komputasi – termasuk ponsel pintar. Jika tidak melalui aplikasi mobile, mungkin pertumbuhan Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory dan startup lainnya tidak secepat itu.

Kemitraan strategis melalui investasi

Banyak perusahaan besar yang sebelumnya moncer di pangsa pasar dibikin kalang kabut oleh startup digital. Sebut saja beberapa pusat perbelanjaan yang mengaku sepi pengunjung –dan sebagian mengurangi jumlah gerai—pasca booming layanan e-commerce di Indonesia. “Hukum alam” dalam bisnis tampaknya mulai tampakkan hasil: turut beradaptasi atau pelan-pelan mati.

Beberapa peritel mencoba mengubah pendekatan, misalnya Matahari Departement Store yang akhirnya merilis portal e-commerce. Pusat perbelanjaan lain mulai mengoptimalkan layanan berbasis aplikasi, seperti platform loyalty GetPlus di Grand Indonesia. Visinya pada peningkatan pengalaman pelanggan. Sejauh ini sektor consumer memang yang terlihat paling merasakan dampak disrupsi.

Pilihan memang ada dua, mengembangkan secara mandiri atau berkolaborasi dengan startup yang ada. Masing-masing punya implikasi. Pertama, jika memilih membangun pondasi digital secara mandiri, maka harus berinvestasi pada berbagai sumber daya termasuk infrastruktur dan pakar. Sementara untuk opsi kedua, jalinan kemitraan strategis dapat menjadi solusi, dan tampaknya jadi yang paling efektif untuk diadopsi.

Perubahan menuju ranah digital harus dilakukan secara cepat. Pasalnya teknologi itu sendiri berkembang sangat dinamis. Sementara eksekutif di korporasi harus tetap fokus pada peningkatan komoditas bisnis utamanya, merasa tidak punya waktu lebih untuk melakukan percobaan membuat solusi digital. Produk digital yang mencapai market-fit membutuhkan proses yang tidak sederhana – harus melakukan riset, validasi pasar, dan lain-lain.

Korporasi dapat menyesuaikan sinergi yang akan dibangun dengan visi bisnis yang dijalankan. Sebut saja untuk perusahaan di bidang finansial, mereka dapat merangkul startup fintech yang sesuai untuk mendukung pengembangan bisnis. Perusahaan di bidang asuransi, dapat mulai menggandeng startup insurtech untuk meningkatkan kehadiran dan kemudahan akses layanan ke publik.

Setelah menemukan startup yang sesuai dan mereka telah membuktikan product market-fit, selanjutnya dibutuhkan kerja sama untuk tahapan yang lebih eksklusif. Salah satunya dengan memberikan investasi –mengakuisisi beberapa persen kepemilikan saham—kepada startup terkait. Lantas jika inisiatif pengembangan kerja sama strategis ini menjadi perhatian khusus korporasi, pembentukan sub-perusahaan modal ventura dapat dilakukan.

Modal ventura korporasi di Indonesia

Modal ventura korpoarasi atau lebih dikenal dengan istilah corporate venture capital (CVC) umumnya berbentuk unit usaha terpisah (anak perusahaan) yang difokuskan untuk menyalurkan dana investasi perusahaan ke startup. Di dalamnya terdapat tim yang kuat untuk melakukan analisis dan penyaringan, guna menemukan startup yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Praktik pembentukan CVC mulai populer di Indonesia, seiring dengan kesuksesan yang berhasil ditorehkan – baik dalam bentuk kemitraan strategis dalam rangka peningkatan bisnis ataupun exit (IPO atau diakuisisi dengan nilai valuasi yang lebih tinggi) sebagai mekanisme investor dapatkan keuntungan finansial.

Daftar CVC di Indonesia

 

Fokus investasinya pun mudah dibaca, masing-masing mendalami sektor yang berpotensi untuk memperkuat lini korporasi. Ambil contoh Central Capital Ventura besutan BCA, portofolio yang disasar startup yang memberikan akses kemudahan finansial bagi konsumen maupun bisnis. Turunannya cukup beragam, mulai platform kredit, teknologi pendukung bisnis finansial, hingga asuransi. Pun demikian Astra Internasional yang fokus pada startup yang memberdayakan produk otomotif, seputar transportasi dan logistik.

Porsi lebih untuk startup tahap berkembang

Setelah sebelumnya debut dengan dana kelolaan hingga 3,5 triliun Rupiah. Beberapa waktu terakhir BRI kembali menyuntik modal tambahan senilai 500 miliar Rupiah untuk BRI Ventures. Selain untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham menjadi 99,97%, diharapkan mampu mengakselerasi anak perusahaannya tersebut. Angka yang fantastis untuk kick-off bisnis modal ventura baru.

CVC lain, Mandiri Capital Indonesia (MCI) telah berinvestasi ke 13 startup hingga akhir tahun 2019. CEO Eddi Danusaputro menyebutkan di tahun ini mereka masih punya amunisi 50 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech lainnya. Terbaru mereka pimpin pendanaan pengembang platform perencanaan keuangan Halofina dalam putaran pra-seri A.

Nilai besar yang dikucurkan oleh korporasi ke CVC bukan tanpa alasan. Dari tren pendanaan yang ada, rata-rata mereka berinvestasi untuk startup di tahap berkembang (growth stage). Di fase ini startup biasanya sudah mampu membuktikan traksi dari ceruk pasar yang disasar. Seperti halnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang baru dibentuk pertengahan tahun lalu, debut investasi pada putaran seri C Kredivo.

Pendekatan yang lebih mendalam dilakukan Telkom Group dengan membentuk program inkubasi dan akselerasi terpadu Indigo Creative Nation. MDI Ventures dilibatkan untuk mendanai startup yang dinyatakan lulus dari program tersebut.

Diproyeksikan akan makin banyak CVC

Meskipun tidak secara eksplisit mengumumkan keterlibatannya berinvestasi ke startup, beberapa perusahaan dikabarkan turut menjadi Limited Partner (LP) di  venture capital. Bertindak sebagai LP artinya mereka mempercayakan kepada pihak yang ditunjuk untuk menyalurkan dana ke startup yang tepat, alih-alih membentuk tim atau anak perusahaan sendiri dalam memproses investasi dari hulu ke hilir.

Startup digital yang berhasil tunjukkan nilai kompetitif di pasar dan dukungannya terhadap industri yang sudah berjalan, diyakini akan menarik perhatian lebih banyak korporasi untuk terlibat ke dalam ekosistem, khususnya membentuk CVC. Selain studi kasus dari dalam negeri, sebenarnya di luar negeri pun perusahaan kelas dunia juga sudah turun tangan ke dalam ekosistem.

Kabar terkini beberapa perusahaan milik negara lain juga tertarik untuk membentuk anak usaha di bidang modal ventura. Bank BNI dan Pegadaian disebut-sebut tengah matangkan strategi investasi untuk perkuat lini binsis perusahaan.