Tag Archives: BRI Ventures

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teknologi Sebagai Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Bayangkan sebuah dunia di mana tugas-tugas yang bersifat repetitif telah diambil alih oleh robot. Sebuah dunia di mana pabrik mesin mencetak mobil-mobil self-driving, drone antar-jemput dari rumah ke rumah, serta mesin chatbot kecerdasan buatan bisa  melayani pelanggan melalui telepon. Hal-hal ini telah terjadi, dan itu hanya sebagian kecil contoh. Setiap hari, di seluruh dunia, pekerjaan formal yang dulu dianggap sebagai domain eksistensi manusia kini telah bertransformasi menjadi lebih otomatis atau digital.

Model pendidikan saat ini sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk bekerja dalam ekonomi yang akan punah ketika mereka lulus dari universitas. Tenaga kerja masa depan yang terbangun akan lebih berpusat pada manusia dan layanan kreatif, yang beroperasi melalui saluran sarat digital. Dengan demikian, adalah hal yang vital bagi sektor pendidikan Indonesia untuk berporos ke arah kurikulum modern yang menekankan teknologi dengan sentuhan manusia.

Teknologi pendidikan — biasa disebut ‘edtech’ oleh para pemangku kepentingan dalam permulaan dan permodalan ventura — seringkali diabaikan dibandingkan dengan sub-sektor lain dari ekosistem teknologi. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran usand terhadap pendidikan yang menempatkan fokus pada menghafal dan gagasan ‘etika’ yang tidak jelas.

Sementara nilai-nilai tradisional memiliki tempatnya, akan jauh lebih baik menggunakan pendekatan pragmatis untuk pendidikan dan mempertimbangkan fakta bahwa tanggung jawab pertama dan utama lembaga pendidikan di Indonesia adalah untuk membantu siswa tumbuh menjadi kontributor yang sesuai untuk ditempatkan dalam masyarakat.

Lagipula, sentimentalitas tidak memiliki tempat dalam persiapan tenaga kerja yang kompetitif, namun hal ini bukan berarti tenaga kerja digital masa depan akan berperilaku seperti robot. Sebaliknya, mereka akan melakukan hal-hal yang paling manusiawi yang tak terkikis oleh automasi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kolaborasi, serta komunikasi intim antar manusia tidak dapat digantikan oleh algoritma. Penting sekali untuk melengkapi sekolah-sekolah di Indonesia dengan kapasitas penuh dalam mempersiapkan kaum muda kita untuk ekonomi yang lebih lanjut dengan memaksimalkan transformasi digital sistemik.

Posisi negara saat ini

Indonesia berada pada peringkat 41 dari total 63 negara dalam indeks IMD (Lembaga Manajemen Pengembangan). Sementara negara ini memiliki daya tarik yang diposisikan pada urutan ke 24, kita juga berada di urutan ke-51 berdasarkan faktor investasi dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi tinggi untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, relatif terhadap posisinya saat ini.

Untuk bisa memaksimalkan potensi ini, jika kita tilik lebih dalam, ada lebih dari 87,2 juta siswa yang terdaftar dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebutuhan akan sosok guru juga sangat mengejutkan dan tidak terpenuhi; terwujud dalam rasio 7: 100 antara guru dan siswa. Rasio ini bahkan lebih buruk di pulau-pulau terpencil, di mana sepanjang sejarah sekolah mengalami kekurangan dana dan kekurangan tenaga.

Untuk meningkatkan rasio di atas dan melengkapi para pendidik dengan alat dan teknologi terbaru, sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk mengatasi beberapa hambatan utama dalam digitalisasi.

Pertama, kita harus mengatasi kurangnya modal inovatif di sektor pendidikan. Pemerintahan Jokowi mengusulkan anggaran Rp585,8 triliun ($ 35,51 miliar) untuk pendidikan pada tahun 2020, meningkat 50 persen dari tahun 2015. Sementara sebagian besar dari anggaran pendidikan selama ini telah dialokasikan untuk beasiswa dan pemeliharaan sekolah, sebagian juga harus disisihkan untuk investasi edtech.

Kedua, ada isu pembangunan infrastruktur tidak merata di setiap sekolah. Terdapat perbedaan mencolok antara sekolah di daerah pedesaan dengan sekolah modern di kota-kota besar yang harus dijembatani. Melengkapi guru dengan kurikulum digital ketika siswa tidak memiliki laptop atau koneksi internet sama dengan hal yang sia-sia. Proyek Palapa Ring, jalan raya serat optik bawah laut baru yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah salah satu dari banyak solusi potensial untuk masalah ini yang lahir dari kemitraan publik-swasta.

Ketiga, dan yang paling penting, Indonesia membutuhkan lebih banyak guru untuk berpartisipasi menjadi tenaga kerja. Banyaknya inovasi edtech serta uang untuk dibelanjakan pada digitalisasi hanya akan menjadi janji-janji kosong jika tidak ada pendidik yang mau mengajar di lapangan. Memberikan nilai tambah menarik seperti insentif, finansial atau lainnya, bagi para pendidik kelas dunia untuk mengajar di Indonesia adalah salah satu cara untuk men ‘doktrin’ , serta meningkatkan prospek negara.

Edtech di Indonesia

Sektor edtech Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu marketplace, platform kelas online, sistem manajemen sekolah dan pinjaman siswa. Ruangguru, sebuah marketplace les privat online, telah berhasil mendapatkan lebih dari 6 juta pengguna [siswa] untuk mempelajari lebih dari 100 mata pelajaran secara online. Zenius, dengan model bisnis yang sama, menyediakan bahan belajar mandiri untuk siswa di bawah program sekolah nasional 12 tahun di seluruh Indonesia.

Platform edtech lainnya, HarukaEdu, juga menyediakan layanan administrasi di samping kursus pembelajaran online mereka. Layanan mereka berkisar dari membantu universitas selama proses seleksi hingga menyediakan konten dan bantuan operasional untuk institusi. Satu hal menarik adalah program pembelajaran korporat yang mereka sediakan, yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan orang usia kerja.

Di dunia di mana pekerja harus mempelajari ulang pekerjaan mereka per-dekade atau lebih (atau berisiko menjadi usang), keterampilan lebih sama pentingnya dengan pendidikan tinggi. Model pembelajaran yang disesuaikan yang disediakan oleh Ruangguru, Zenius dan HarukaEdu masih dalam tahap awal. Mereka, bagaimanapun juga, memberikan proyeksi masa depan di mana pendidikan tidak dibatasi oleh jarak, usia, atau strata sosial.

Pengikisan Ujian Nasional Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan, standar kinerja usang yang menempatkan siswa dalam hierarki pendidikan, harus dianggap sebagai lampu hijau untuk perubahan dari sektor publik.

Hal ini menunjukkan, untuk benar-benar mereformasi sistem pendidikan Indonesia, mengandalkan kebijakan tidaklah cukup. Perubahan harus dilakukan secara sistematis pada skala nasional. Peluang ini membutuhkan para pendiri startup yang inovatif untuk berpartisipasi dan memanfaatkan keahlian mereka dalam membentuk sistem baru. Pasar berkesempatan untuk mengumpulkan guru yang mampu menyediakan bahan yang tepat, dan kelas online dapat memberikan ruang bagi siswa untuk meninjau kembali pemahaman mereka tentang materi pembelajaran.

‘Bagaimana’ bukan ‘apa’

Hanya 16 persen orang dewasa berumur 25 hingga 34 berhasil mengenyam perguruan tinggi, jauh di bawah rata-rata OECD 44 persen. Dekade berikutnya akan mewakili tonggak penting untuk kita bisa mendigitalkan sektor pendidikan dan menyiapkan kaum muda menghadapi ekonomi berbasis pengetahuan, atau tetap berpegang pada model-model yang menyiapkan mereka untuk pekerjaan yang cenderung akan punah ketika mereka tumbuh dewasa.

Upaya sukses Cina dalam menumbuhkan dan mempertahankan bakat domestik adalah contoh dari apa yang bisa dicapai oleh reformasi pendidikan sektor publik yang didukung oleh teknologi sektor swasta. Seperti halnya Indonesia, Cina saat ini sedang dalam proses mereformasi ujian masuk universitas dan kurikulumnya untuk lebih menekankan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Perbedaannya adalah bahwa reformasi mereka didukung oleh tujuh dari 10 edtech unicorn dunia dan pasar pembelajaran digital terbesar di dunia dengan 172 juta pelajar online.

Teknologi maju dengan kecepatan eksponensial dan ikut memboyong masyarakat di dalamnya. Untuk mempertahankan tenaga kerja kompetitif di dunia global di mana satu hal yang konstan adalah perubahan, kita harus mendidik siswa tentang bagaimana cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Dengan demikian, platform, teknologi, dan institusi yang mendidik generasi muda kita harus mencerminkan hal ini.

Sebagai pendiri Go-Jek lulusan Harvard serta Menteri Pendidikan Indonesia yang baru dicetak, Nadiem Makarim, baru-baru ini menyatakan:

“Kita [orang Indonesia] harus mempersiapkan generasi baru kita untuk mencari ilmu berdasarkan kemauan mereka sendiri karena apa yang mereka pelajari saat ini di sekolah tidak lagi berlaku. Isi studi kami tidak lagi menjadi masalah — yang penting adalah keterampilan [skill] yang dipelajari. Bagaimana berpikir, bagaimana menyusun ide, bagaimana memecahkan masalah dan bagaimana berkolaborasi satu sama lain. Itu adalah keterampilan yang penting.”


Artikel asli ditulis oleh Markus L. Rahardja, VP-Investor Relations BRI Ventures. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian.

Korporasi ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital dengan strategi beragam

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

corporate venture capital indonesia

Peran CVC dalam Pengembangan Ekosistem Teknologi Digital

Empat sampai lima tahun yang lalu, corporate venture capital (CVC) adalah satu fenomena yang terhitung baru di kancah startup Indonesia, di mana banyak korporasi dalam negeri yang mulai masuk ke ranah pendanaan bisnis digital. Menilik iklimnya di luar Indonesia kala itu, bentuk venture capital yang satu ini terlihat telah lebih dulu menjadi tren progresif.

Tren tersebut bisa dilihat dari angka pertumbuhan yang positif secara global. Menurut data CB Insights, kontribusi CVC dalam ekosistem investasi venture capital (VC) secara global selalu meningkat; terlihat dari jumlah partisipasi CVC dalam seluruh pendanaan VC sebanyak 16% pada 2013 dan 23% pada 2018. Juga, tren keaktifan pendanaan CVC meningkat 47% dari tahun 2017 ke 2018.

Angka di atas menunjukkan daya dan upaya CVC untuk terus meningkatkan kesehatan ekosistem bisnis teknologi, yang juga tentunya sejalan dengan tujuan CVC untuk menghubungkan inovasi terbaik dengan bisnis dan akses pasar dari perusahaan induk. Dengan demikian, penting untuk menilik lebih lanjut bagaimana profil dan potensi dari perusahaan induk kemudian dapat berkontribusi ke startup melalui CVC, khususnya korporasi besar dengan CVC yang masih terbilang hijau.

Salah satunya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Bank BRI) yang di kuartal tiga 2019 ini meluncurkan CVC mereka BRI Ventures. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa meski BRI Ventures terhitung baru dalam penjelajahan di wilayah investasi dunia digital–dengan bekal tim subur pengalaman dan wawasan–namun ia yakin bahwa kecepatan eksekusi adalah cara terbaik untuk dapat memberi dampak pada inovasi terbaik. Lantas, bagaimana langkah taktis BRI Ventures sebagai CVC yang tergolong baru untuk dapat ikut serta mengembangkan ekosistem startup?

Visi CVC pada investasi di bisnis digital

Seperti yang disebutkan di awal artikel, masuknya korporasi dalam bentuk CVC ke dalam kolam bisnis inovasi digital menjadi perbincangan kurang lebih setengah dekade ke belakang. BRI Ventures saat ini jelas tampak masih muda ketika memasuki rimba startup dan teknologi, apalagi dengan perusahaan induk yang termasuk terbesar dan tertua di industri.

Menyambung apa yang disebutkan Nicko terkait keberadaan BRI Ventures di industri, Markus Liman Rahardja, VP Investor Relation and Strategy BRI Ventures, sama sekali tidak keberatan jika harus injak pedal sedalam-dalamnya untuk maju mempercepat pembaruan bagi Bank BRI.

“Karena BRI Ventures ada untuk mengakselerasi inovasi dari luar (Bank BRI) dan mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dijalankan di dalam (Bank BRI). BRI Ventures akan mengambil peran sebagai penghubung inovasi, di mana nanti inovasinya bisa dari Bank BRI atau startup terkait, agar kita semua selalu siap menghadapi industri ini yang memang secara alami terus berubah,” tegas Markus.

Secara brand image, BRI Ventures boleh jadi dinilai baru, namun individu-individu di baliknya adalah para veteran di sektor digital, inovasi, dan teknologi. Selain Nicko, Markus, dan VP Investment BRI Ventures William Gozali yang memang sudah lebih banyak mengenyam pengalaman di industri (baik dari perspektif sebagai founder maupun VC), BRI Ventures juga diotaki oleh sang founder Indra Utoyo, Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi Bank BRI, yang juga dikenal sudah lama dalam pengambilan keputusan strategis di korporasi dalam fokus inovasi teknologi dan kolaborasi.

Bersama figur-figur tersebut di dalam tim utama, BRI Ventures mengambil peran sebagai CVC yang membangun ekosistem digital secara menyeluruh. Keberadaan Bank BRI sebagai perusahaan induk tentu mengundang asumsi di awal bahwa dukungan BRI Ventures lebih fokus pada industri finansial (secara spesifik fintech).

“Kami akan masuk tidak hanya di industri keuangan, tapi juga ke emerging ecosystem lainnya, tentu dengan melihat inovasi digital yang mempunyai nilai besar. Hanya saja, kami berharap value-nya benar-benar nyata, bukan angka-angka dan cerita-cerita karangan. Real people, real work, real customers, and relevant value propositions,” ujar Markus.

CVC secara umum pasti menginginkan keterhubungan dengan bisnis utama grup. Bank BRI dengan BRI Ventures tentu punya ekspektasi serupa, dengan nilai inovasi tinggi yang mencakup berbagai sektor industri digital. “BRI ‘kan saat ini menjadi solusi finansial yang terintegrasi. BRI Ventures ingin menjadi ekosistem digital yang terintegrasi,” terang William memperkuat penuturan Markus terkait visi BRI Ventures.

CVC untuk ekosistem digital Indonesia

Berjalan bersama raksasa jasa keuangan di Indonesia yang terhitung tua tetap membuat BRI Ventures bergerak leluasa dalam menjalin komitmen dengan ekosistem teknologi, dengan dua fungsi yang menjadi payung utama dalam kolaborasi, yakni fungsi Digital Center of Excellence (DCE) untuk kolaborasi dengan fintech dan fungsi Kerja Sama Teknologi (KJT) untuk kolaborasi dengan non-fintech.

“Jadi kalau ditanya sejauh mana kolaborasinya, paling sedikit kami punya komitmen dengan memiliki tim yang spesifik, yang memang tugasnya untuk melakukan kolaborasi dengan bank. Di era sekarang, tidak semua bisa dijalankan sendiri,” ujar Markus.

Kasus nyata kolaborasi Bank BRI dengan ekosistem teknologi yang dipimpin langsung oleh Markus ialah Indonesia Mall. Kolaborasi yang diluncurkan pada April 2018 ini adalah program kerja sama antara Bank BRI dengan beberapa e-commerce terkemuka di Indonesia (Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli, dan Blanja) dalam membuat official online store dari produk UMKM terpilih.

“Kami tidak punya sumber daya berupa keahlian, logistik, dan kapital dari sisi e-commerce. Makanya, dibanding membuat e-commerce sendiri, kami lebih memilih kolaborasi. Kita eksekusi hal-hal yang bisa kita kolaborasikan untuk mengakselerasi inovasi dan akan dipikirkan bentuk kerja samanya,” tutur Markus.

Komitmen Bank BRI terhadap kolaborasi yang direncanakan oleh BRI Ventures terlihat dari pendanaan senilai $250 juta seperti yang pernah disebutkan. Dengan sumber daya setara Rp3,5 triliun tersebut, fokus terdekat BRI Ventures adalah untuk menata portofolio, terutama untuk merangkul ekosistem di luar fintech.

“Ekosistem ini antara lain agriculture, maritim, kesehatan, pendidikan, tourism & travel, transportasi, industri kreatif, dan retail. Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal,” terang William.

Fokus kolaborasi BRI Ventures saat ini adalah di tahap growth stage, di mana startup yang mereka incar adalah mereka yang sudah memiliki produk dan model bisnis. “Kami sudah ada penjajakan dengan sejumlah startup. Cuma pengumumannya tidak bisa langsung. Sampai akhir tahun baru LinkAja yang sudah diumumkan. Sebetulnya ada beberapa startup lagi yang sedang kami evaluasi. Tahun ini, kami dalam tahap akhir di 4-6 startup, untuk detailnya akan kami umumkan di waktu yang lebih tepat,” sambung William.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh BRI Ventures.

Fintech Report 2019 DailySocial

Laporan DSResearch: Fintech Report 2019

Teknologi finansial (fintech) masih menjadi model bisnis yang sangat populer di Indonesia. Perkembangan bisnis dan inovasi produk yang terus berlanjut makin menarik untuk diamati.

Demikian juga menurut pengamatan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, “Tahun 2019 merupakan pencapaian penting bagi kita semua, dengan memasuki babak baru di dunia digital. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki peran penting dalam era ekonomi digital ASEAN. Dengan terciptanya unicorn dari anak bangsa, pasar yang lebih matan dan konsumen digital yang terus bertambah baik dari segi skala dan kualitas. Begitu pula pencapaian di bidang teknologi finansial dan jendela kesempatan yang terbuka lebar bagi para entrepeneur yang memiliki solusi tepat bagi lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Melihat dinamika pasar dan minat yang tinggi terkait lanskap bisnis tersebut, DSResearch merilis laporan tahunan “Fintech Report 2019”. Bertajuk “Moving Towards a New Era in Indonesia’s Financial Industry”, laporan ini mencoba mencatat tren-tren baru yang dihasilkan fintech. Sembari mengamati adopsi berbagai layanan di masyarakat – mulai dari pembayaran, pinjaman, hingga investasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak hal disoroti dalam laporan ini, meliputi pergerakan industri, pemain fintech terkini, dan perspektif konsumen. Sudut pandang dari penyedia dan pengguna layanan yang dihadirkan diharapkan memberikan pengetahuan berharga bagi ekosistem fintech Indonesia.

Beberapa pembahasan yang dirangkum dalam laporan tersebut meliputi:

  • Fintech lending masih terus mengalami pertumbuhan. Tahun ini tercatat ada 47 pemain baru yang terdaftar di OJK. Sementara itu otoritas juga mulai menggulirkan status “izin usaha” untuk p2p lending, 11 pemain sudah mengantonginya.
  • Beleid mengenai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tahun ini diresmikan oleh BI. Dinilai akan berdampak signifikan pada bisnis pembayaran digital.
  • Digital wallet (82,7%) menjadi kategori produk fintech yang paling populer menurut responden, dilanjutkan investment (62,4%), paylater (56,7%), dan p2p lending yang mengakomodasi kebutuhan personal (40%).
  • Gopay (83,3%) masih menjadi aplikasi digital wallet yang paling banyak digunakan tahun ini. Sementara Ovo (99,5%) menjadi aplikasi digital wallet yang memiliki awareness masyarakat tertinggi.

Selain tiga poin di atas, masih banyak hal lain yang terangkum dalam laporan. Termasuk mengenai peran investor dalam mendukung fintech lokal, tren pendanaan startup fintech, hingga survei mengenai layanan fintech terfavorit untuk berbagai kategori.

Dapatkan laporan lengkapnya melalui tautan berikut ini: Fintech Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan unit bisnis ventura miliknya BRI Ventures dalam penerbitan laporan ini. Kedua perusahaan saat ini memiliki konsentrasi tinggi terhadap perkembangan fintech di Indonesia, termasuk memberikan dukungan dalam bentuk investasi dan kerja sama strategis.

BRI ventures

BRI Ventures Pertimbangkan Investasi di Luar Sektor Fintech

BRI Ventures, ventura korporasi dari BRI, mengungkapkan rencana untuk berinvestasi di luar sektor fintech pada tahun depan. Sektor yang disasar adalah industri kreatif, agrikultur, maritim, kesehatan, pendidikan, travel, fesyen, dan ritel.

VP of Investment BRI Ventures William Gozali menjelaskan, sebelumnya perusahaan harus memenuhi beberapa aturan karena mereka adalah usaha ventura dari bank. Sebelum itu terpenuhi, maka fokus utama saat ini BRI Ventures adalah berinvestasi untuk startup fintech dan fintech-enabler.

“Jadi ada beberapa kerangka manajemen risiko dan operasional yang harus kita penuhi. Makanya kita pastikan comply, baru kita bisa agresif [berinvestasi ke sektor di luar fintech],” terang William di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Sektor startup yang diincar beberapa di antaranya adalah DNA dari BRI sebagai bank mikro yang menyentuh nasabah di agrikultur dan maritim.

Adapun untuk sektor fintech, yang diminati BRI adalah yang bergerak di bawah payung regulasi OJK dan BI. Ada pembayaran, crowdfunding, p2p lending, dan IKD, termasuk di dalamnya insurtech, wealth management, credit scoring, big data, dan lainnya.

“Kami hanya mau berinvestasi ke startup yang sudah berlisensi dan terdaftar di regulator, karena kami respect dengan regulator.”

BRI juga melihat berdasarkan hierarki kebutuhan konsumen. Di Indonesia, pertama kali masyarakat mulai paham terhadap produk pembayaran, kemudian pinjaman, transfer uang, dan remitansi.

“Secara hierarki orang lebih butuh produk pinjaman, setelah itu lanjut ke saving, asuransi, dan wealth management. Tidak mungkin langsung ke asuransi dulu kalau tidak punya saving, berdasarkan siklusnya seperti itu.”

Kendati hadir sedikit terlambat daripada CVC lainnya, William meyakini banyak pembelajaran, terkait strategi berinvestasi, bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan.

Di antaranya mengenai apa yang sukses di Amerika Serikat (Silicon Valley), tidak bisa direplikasi begitu saja di Indonesia. Seperti posisi Uber saat ini yang kini ingin mengikuti model super app yang sudah diterapkan oleh Gojek.

Pun demikian di Tiongkok. Di sana kondisinya cukup berbeda, orang Tiongkok tergolong lebih hyper consumtive, kualitas internet sangat baik, dan sebagainya. Kondisi di Indonesia tidak demikian.

“Itu seninya, kita connecting the dots, pattern-pattern yang mirip, tapi enggak bakal 100% sama. Jadi kita harus mau learn dan unlearn. Intinya enggak boleh sok tahu, meski BRI ini punya banyak pengalaman tapi willing to learn.”

Pengumuman investasi berikutnya

BRI Ventures adalah salah satu inisiatif BRI yang ingin adaptif terhadap perkembangan digital. Untuk itu, di-plot sebagai venture investment yang fokus pada pendanaan seri A ke atas. Sementara pada tahap awal, BRI punya inisiatif lainnya berbentuk program inkubasi BRIncubator.

Di sisi venture build, ada salah satu inisiatif yang sudah diluncurkan lewat BRI Agro untuk aplikasi lending Pinang.

“Ini lebih ke arah appetite. Mungkin pada tahap seed, startup yang masuk ke BRI belum siap. Kita enggak ingin, sistem startup-nya down karena langsung diakses oleh 80 juta nasabah BRI.”

BRI Ventures telah disuntik dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk diinvestasikan kembali ke startup. Sejak diumumkan kehadirannya pada Juli 2019, baru ada satu pengumuman investasi BRI untuk LinkAja pada putaran seri A dengan nilai yang tidak disebutkan.

Ditanya mengenai komitmen untuk kembali berinvestasi ke LinkAja yang tengah menggalang seri B, William hanya memastikan dukungan penuhnya untuk LinkAja.

“Kita full support di LinkAja baik secara finansial dan sinergi. Itu komitmen kita dari awal. Mereka itu perusahaan independen, jadi sambil kita supervise, kita support strategi manajemennya.”

Dengan dana $250 juta ini menurutnya cukup untuk berinvestasi sampai tiga tahun mendatang. Perusahaan akan berinvestasi ke startup antara $5 juta-$10 juta per investasi (setara Rp70 miliar-Rp140 juta).

“Kami tidak target spend, tapi melihat market opportunity karena ada beberapa sektor yang capital intensive, tapi ada juga yang capital efficient. Kami melihat bagaimana sinerginya dengan BRI bisa leverage aset mereka dengan startup.”

Investasi berikutnya akan diumumkan pada pertengahan Desember mendatang.

Sebelumnya sumber kami mengonfirmasi bahwa BRI sedang menjajaki kemungkinan investasi ke Traveloka, namun sejauh ini belum ada keputusan final.

BRI disebut memang sedang menjajaki investasi ke Traveloka, namun belum ada keputusan final

BRI Jajaki Potensi Investasi ke Traveloka

Sumber kami mengonfirmasi BRI memang sedang menjajaki investasi atau berbagai peluang lain ke Traveloka, namun belum ada keputusan final. Penjajakan ini dimulai dari tersedianya top up Brizzi, peluncuran kartu kredit PayLater, yang berlanjut pada potensi investasi.

Wacana ini diungkapkan Direktur Utama BRI Sunarso, kemarin (24/10). Dia menyebut perseroan mempertimbangkan untuk menyuntik modal ke Traveloka. Ada beberapa opsi yang bakal dilakukan, kerja sama operasi, titip jual produk BRI di aplikasinya, atau ikut ambil kepemilikan saham.

“Nanti kami pilih opsi yang paling optimal, kalau ketiganya optimal, ya kami lakukan semua,” terang Sunarso seperti dikutip dari Kontan.

Tidak dijelaskan berapa nominal yang disiapkan BRI untuk investasi ke Traveloka. Bisa jadi berasal dari alokasi dana tahunan sebesar Rp5 triliun untuk menggelar aksi korporasi.

“Setiap tahun kami mencadangkan dana hingga Rp5 triliun untuk aksi korporasi. Namun apakah dana tersebut akan disalurkan ke satu target (perusahaan) atau ke beberapa (perusahaan) nanti kita lihat.”

Di luar wacana ini, ambisi yang ingin dicapai BRI adalah menjadi perbankan yang kuat di kredit mikro yang dapat melayani rakyat sebanyak mungkin dengan harga semurah mungkin.

Sebelumnya, ada wacana untuk membuat perusahaan fintech di bidang kredit, tabungan, hingga pembayaran. Namun bentuk konkretnya masih dipikirkan, entah ditempatkan di anak perusahaan, memiliki sendiri, atau kolaborasi.

BRI sendiri telah mengumumkan pendirian BRI Ventures yang mengelola dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk startup fintech late stage atau Seri A ke atas. BRI Ventures dipimpin oleh Nicko Widjaja.

Investor kenamaan Indonesia, Nicko Widjaja berbicara tentang masa-masa terkucil, keyakinan sebagai underdog serta pencapaian selama ini

Nicko Widjaja dalam Investasi Teknologi: Bangkit dari Rasa Tersisih dan Anggapan Remeh

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Industri teknologi bukanlah tempat bermain, tidak ada buku panduan dalam mencapai kesuksesan dalam hal ini. Menjadi salah satu penggiat investasi teknologi, Nicko Widjaja, telah merasakan pahit manisnya industri ini. Sebagai seorang CEO, Nicko berhasil menjadikan MDI Ventures dengan dukungan telkom Indonesia, satu dari sedikit perusahaan modal ventura (PMV) yang menuai profit paling besar.

Pada tahun 2011, Ia memulai PMV bernama Systec Ventures dikala banyak yang masih ragu dengan perkembangan startup teknologi di Indonesia. Setelah tutup buku di tahun 2013, Ia kemudian memimpin sebuah program startup inkubator terbesar oleh Telkom di Indonesia bersama Telkom Indigo Incubator. Di tahun 2015, Ia naik menjadi kepala PMV racikan Telkom Indonesia, MDI Ventures.

Setelah sukses membawa lima perusahaan exit di luar negeri, ekspansi ke Singapura, dan melakukan penggalangan dana kedua untuk MDI Ventures, Nicko kini diangkat menjadi CEO dari PMV baru milik BRI, BRI Ventures, untuk mengelola dana sebesar $250 juta menargetkan ekosistem fintech di Indonesia.

Seluruh pencapaian ini bukan tanpa kerja keras dan dedikasi. Berikut adalah beberapa potongan cerita yang berhasil dirangkum oleh tim DailySocial.

Dimulai dari bagaimana perjalanan awal seorang Nicko Widjaja serta apa yang menjadi dasar di balik setiap pemikirannya?

Pertama-tama, saya terlahir di waktu yang tepat. Jika saya lahir 10 tahun lebih awal, dunia belum siap, sementara lebih lama lagi sudah terlambat.

Saya tidak pernah percaya dengan sistem pendidikan oleh institusi. Hal itu sangat ketinggalan jaman dan secara eksplisit menggambarkan sistem kerja sebuah pabrik – anda masuk, lalu jadilah, dan ditaruh di suatu tempat. Saya tumbuh menjadi seorang rebel. Bukan seorang pembangkang terhadap orangtua, namun lebih kepada iseng terhadap teman.

Selama itu, saya merasa tidak biaa beradaptasi. Saya tidak merasa cocok dimanapun dan mengalami depresi melihat kehidupan di sekitar layaknya sebuah film “Divergent” – di mana sedikit banyak mencerminkan era 90-an. Saya mengampu pendidikan di sebuah institusi Katolik, semacam persiapan untuk ‘orang-orang sukses’ yang dididik untuk berkomitmen pada kehormatan keluarga, karier, reputasi, dan dapat dipercaya seumur hidup.

Percaya tidak percaya, beberapa orang bahkan benar-benar menjadi seperti yang dulu sering mereka bicarakan. Seorang pekerja bank, arsitek, dokter, atau bahkan putra / menantu seseorang – sangat mengerikan, bukan?

Dalam usaha menyesuaikan diri, saya gagal pada banyak subyek seperti matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan lainnya. Reputasi sebagai penunda akut melekat sampai akhirnya saya menggagalkan pelajaran olahraga dan orang-orang menganggap itu sebagai pemberontakan. Seketika dunia sekitar berubah, dan saya menjadi ‘tanpa golongan’.

Saat itu saya sadar bahwa mengikuti jejak orang lain bukanlah sebuah keharusan, juga memiliki banyak waktu untuk mempelajari diri sendiri. Hal ini menjadi penting dalam membangun fondasi seorang Mastermind: Know yourself.

Di perguruan tinggi, jurusan apa yang Anda ambil? Mengapa?

Ya, bukankah ini sesuatu yang sudah dirancang untuk kita? Lulus SMA, masuk universitas, membangun karir/menikah, lalu pensiun. Sebuah lingkaran penderitaan yang tanpa akhir.

Alasan saya masuk universitas mungkin berbeda dengan kebanyakan orang yang berfikir: “Ya, saya ambil jurusan akuntansi karena ingin menjadi akuntan!” atau “Yah, sepertinya bakat saya adalah menggambar, saya akan coba jurusan desain grafis!”. Dalam pikiran saya ada keinginan untuk belajar mengenal diri sendiri. Apa hal-hal yang menjadi inspirasi/motivasi serta apa yang tidak. Tempat di mana kita bisa menemukan tujuan/ambisi lain yang lebih besar dalam hidup. Mengapa sebuah mata kuliah bisa membuat saya penasaran sementara yang lain tidak.

Saya belum menetapkan jurusan sampai tahun ketiga di universitas. Beruntung saya memiliki orang tua yang mau mengerti dan tetap mendukung. Pada awalnya saya fokus pada jurusan teknik dan merasa tidak cocok, lalu mengambil beberapa matkul bisnis yang ternyata tidak menarik, sampai akhirnya saya menemukan liberal arts. Pelajaran tentang evolusi manusia, narasi serta interaksi menjadi fokus hidup saya. Apapun itu yang sedang saya lakukan, semua adalah hasil dari pembelajaran saya saat itu.

Coba ceritakan kisah awal kembalinya Anda ke Indonesia. Apa saja yang Anda lakukan?

Setelah lulus dari Oregon, saya pindah ke San Fransisco di tahun 2000. Kota itu dipenuhi dengan ‘situs-situs’, hanya selang beberapa tahun – yang sekarang dikenal dengan nama startup. Semua tentang e-commerce hingga portal pra-sosmed sangat menarik. Saya mencari pengalaman di beberapa perusahaan, aeringkali di bidang pengembangan konten, bisnis analisis, dan bidang lain yang cocok untuk lulusan baru.

Saya kembali ke Jakarta di tahun 2004 dan bergabung dengan Indofood sebagai corporate development officer yang bersinggungan langsung dengan CEO yang mengajarkan banyak hal tentang dasar-dasar bekerja serta hepicopter view dalam mengatur strategi perusahaan. Setelah tiga tahun bekerja, saya mulai mendengar desas desua tentang seseorang yang ingin menciptakan sebuah revolusi.

Setelah resign dari Indofood di 2007, saya menjadi co-founder di beberapa unit bisnis, Thinking*Room (perusahaan desain), Mindcode (perusahaan riset conaumer dan inovasi), serta berinvestasi pada beberapa produksi film. Masa sebelum industri VC adalah masa dimana hidup masih indah dan belum serumit sekarang.

Selama 2009-2010, beberapa teman mengenalkan saya pada dunia teknologi, orang-orang yang membangun Koprol, Urbanesia, Dealoka, di sini juga pertama kali saya mengenal Rama dan DailySocial – tanpa terasa sudah hampir 10 tahun!

Bagaimana bisa muncul ide untuk membangun Systec?

Saat itu saya sedang terlibat dalam industri film pada tahun 2009 ketika dihubungi beberapa rekan, “Ayo kesini dan dengarkan langsung dari orangnya!”

Kemudian mereka diundang ke acara tentang startup lokal yang mencoba menantang Google di Indonesia, sesuatu seperti Google versi Bahasa Indonesia, atau semacamnya – sebuah ide yang revolusioner pada saat itu. Bayangkan, Google bisa menerapkan semua bahasa secara instan begitu saja. Namun, orang ini, entah darimana membawa kebanggaan, nasionalisme bercampur, dan jadilah $ 1-2 juta ia kumpulkan dengan mudah.

Awalnya, mereka minta dikenalkan dengan orang-orang di jajaran atas. Saya melakukan networking sana-sini – saya rasa mengapa tidak – sampai ketika saya tak henti membicarakan ekosistem digital. Saya seperti masuk dalam mode penggalangan dana ketika berbicara tentang digital.

Beberapa bulan kemudian, saya ikut mendirikan Systec Ventures dengan beberapa rekan dari Mindcode. Ini menjadi bagian awal ekosistem mengingat pada tahun 2011 hanya ada sedikit kami yang hadir di acara-acara seperti Sparxup, Echelon, dll. Systec Ventures adalah studio pembangun ventura, inkubator + investor + kolaborator – mirip dengan Science Inc. Hal ini menjadi menarik ketika saya bisa bekerja sama dengan para pengusaha. Mereka dapat memanfaatkan ruang terbuka milik kami (seperti di kantor sekarang) secara gratis selama Anda seorang investee. Di sinilah Anda bisa mendapatkan gambaran akan pengembangan ekosistem.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Apakah ada yang bisa Anda ceritakan mengenai kegagalan berbisnis?

Banyak yang belum menyadari bahwa VC menghasilkan uang dari penjualan saham portofolio mereka – bukan dari dividen. Di Systec Ventures, kami sangat sibuk mengerjakan setiap portofolio untuk menyempurnakan produk, konten, dan model bisnis, sampai kami sadar bahwa tanpa investasi lanjutan maka tidak akan ada profit – sekali lagi ini terjadi di masa awal dunia startup di Indonesia.

Satu per satu portofolio kehilangan likuiditas, sementara bertaruh hanya pada satu atau dua produk fitur.

Hal ini menjadi pelajaran besar yang dipetik, bahwa yang paling berkontribusi terkait industri ini melibatkan pemikiran ‘uang adalah raja.’

Apa yang anda lakukan selanjutnya? Indigo?

Pada tahun 2014, kami diperkenalkan pada Telkom Indonesia, mereka sedang akan memulai kembali Telkom Indigo Incubator untuk startup digital. Kami saling mempelajari terutama ketika Telkom Indonesia memulai program ini di tahun yang sama dengan Systec Ventures, 2011. Sebelumnya, Indigo Incubator adalah ajang untuk mengumpulkan para pendiri startup untuk akhirnya bekerja dalam salah satu proyek di Telkom Group. Tidak jauh berbeda dengan Systec Ventures, atau perusahaan yang didukung konglomerat lainnya.

Ketika kami (sebagian besar adalah tim Systec) masuk ke Indigo Incubator untuk membantu meningkatkan program, kami menyadari bahwa investasi lanjutan harus menjadi metrik kesuksesan – layaknya program inkubator di seluruh dunia.

Saat itu … pendanaan lanjutan jarang sekali terjadi. Sebagian besar program inkubator (terutama di korporat) gagal menarik investor luar. (Satu hal yang dibanggakan dari Systec Ventures adalah akses ke individu/konglomerat yang akan menjajaki bisnis digital).

Kami mengundang berbagai jaringan investor untuk terlibat selama program sebagai mentor/penasihat. Hasilnya, kami mendapatkan 40% pendanaan lanjutan dalam batch pertama, lalu sekarang adalah Indigo Creative Nation yang bisa saja menjadi program akselerator startup paling terkemuka di Indonesia menghasilkan lebih dari 70% follow-on dan $180 juta kapitalisasi pasar dengan portfolio startup terkemuka seperti Payfazz, Nodeflux , PrivyID, Sonicboom, GoersApp, dan sebagainya.

Bagaimana cara Anda menemukan penawaran-penawaran bagus?

Filosofi investasi saya sederhana: Anda akan mendapatkan penawaran bagus dari seseorang yang tahu cara mendapatkan penawaran terbaik. Lalu, mengapa mereka mau memberikan penawaran terbaik? Di MDI Ventures, kami benar-benar mengembangkan dan membina hubungan dengan investor global papan atas. Berbagi dan menggabungkan sumber daya bersama dengan Telkom Indonesia menjadi bagian dari strategi untuk mendapatkan penawaran terbaik.

Saya pernah mendengar tentang salah satu VC di Singapura memberikan investasi kepada startup namun tanpa ada itikad baik, pada akhirnya hanya untuk meraup uang LP. Hal ini tidak bisa diterima, sebab di industri ini, berita menyebar dengan cepat, dan jika Anda benar-benar ingin bergelut dalam industri, reputasi adalah segalanya.

Belakangan, bagaimana perasaan Anda ketika berada di MDI?

MDI Ventures bisa jadi salah satu dari sedikit VC yang paling profitable di Indonesia. Bulan lalu saja (Juni / Juli), kami terlibat dalam tiga exit, dengan total lima exit selama 4 tahun beroperasi, satu IPO di TSE dan satu di ASX. Hal ini mengawali era baru bagi para pemula yang terlibat dalam industri dengan banyaknya uang mengalir. Tim ini akan selalu memiliki semangat tinggi.

Bergeser ke BRI. Bagaimana proses transfer Anda hingga sampai pada posisi ini?

MDI Ventures adalah salah satu yang pertama menerapkan model CVC (Corporate Venture Capital). Ada rumor yang menyebutkan bahwa kami menjadi referensi setiap kali ada pembahasan mengenai CVC. Saya merasakan validasi pertama kali untuk bekerja dengan entitas luar adalah ketika berkolaborasi dengan Mandiri Capital untuk meluncurkan Mandiri Digital Incubator pada tahun 2016. Itu menjadi interaksi pertama kami dengan sektor perbankan.

Sejak saat itu kami telah bekerja sama dengan Pegadaian dan Pertamina untuk memperkenalkan sinergi perusahaan rintisan dan korporasi.

Ketika Anda berbicara tentang transformasi digital di sektor perbankan, BRI telah menjadi salah satu yang paling progresif dalam mengimplementasikan inisiatif digitalnya sejak tahun 2017. Pembahasan tentang dana sudah dimulai pada tahun 2018 dan tesis ekosistem telah dibuat.

Saya menyatakan dengan jelas bahwa perpindahan ke BRI Ventures tidak berarti meninggalkan MDI Ventures sepenuhnya. Keduanya jelas bersinergi dalam banyak hal dan belajar untuk saling memanfaatkan sumber daya satu sama lain: bank terbesar, perusahaan telekomunikasi terbesar, dengan startup teknologi berada di tengah. Kami tengah menantikan kesempatan untuk berkolaborasi sesegera mungkin.

Sedikit jeda membahas industri, coba ceritakan sedikit tentang pengalaman mengajar Anda.

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Lagi-lagi, hidup tidak bisa diprediksi – bahkan untuk orang-orang yang tidak menyukai institusi akademik. Saya pernah mengajar di UPH Business School selama 2010-2015 (dalam kurun waktu sama dengan Systec Ventures). Ini menjadi kesempatan menarik, bisa bersinggungan dengan pemikiran dari generasi mendatang dalam hal kepemimpinan, kewirausahaan, dsb.

Saya memiliki metode yang tidak konvensional. Ketika bertemu dengan salah satu murid saya, mereka bisa berbagi pengalaman berada di dalam kelas yang ‘kacau’. Kebanyakan, saya akan membahas tentang ekonomi digital masa kini dan memaparka studi kasus Amazon, YCombinator, Yahoo, dan lainnya, serta mengaitkannya dengan isu-isu domestik.

Apakah yang menjadi rahasia kesuksesan Anda?

Pertama, jangan takut untuk membuat kesalahan selama ada hal yang bisa dipelajari. Kedua, berani mengambil resiko serta lebih terlibat dalam prosesnya.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Apa saran Anda untuk para pelaku industri untuk memulai startup?

Saya dikenal sebagai seseorang yang blak-blakan dalam mengomentari startup, tapi inilah pendapat saya: Anda merasa bisa menjadi unicorn selanjutnya? Tidak, saya katakan.

Beberapa unicorn bahkan tidak pernah bercita-cita untuk menjadi unicorn. Pemikiran sebagai underdog justru yang mengantar Google, Facebook, dan Netflix ke atas panggung. Mereka menang melawan dominasi para korporat kelas atas: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (serta segenap rantai retail di Amerika), Apple Vs IBM, dsb. Jadi, jika Anda mengaku sebagai startup dan bermimpi mendominasi industri tanpa ada validasi internal maupun external, ini bukan ajang yang tepat.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Indonesia's leading tech investor, Nicko Widjaja, on his early misfit days, belief in the underdogs and the recent achievements

Nicko Widjaja on the Tech Investment: The Rise of The Misfits and the Underdogs

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

The tech scene is no joke, in order to succeed, one must not play by the book. As one of the pioneers in the tech investment, Nicko Widjaja, has been through hell and back looking at the industry. As the CEO of telco backed MDI Ventures, he manages to put the company as one of the few profitable venture capital firms in Indonesia.

In 2011, he started his own VC firm named Systec Ventures when many were unsure on how big the tech startup scene would be in Indonesia. Closed the fund in 2013, and became the head of Indonesia’s largest startup incubator program under Telkom Indonesia a year later with Telkom Indigo Incubator. In 2015, he went to head the new iteration of Telkom Indonesia’s creative capital thesis, MDI Ventures.

After successfully leading the exit of five overseas companies, setting up Singapore operation, and raising the second fund for MDI Ventures, Nicko Widjaja is now moving up to head the newly established BRI Ventures with fund eyes up to $250 million targeting fintech ecosystem of Indonesia.

All these achievements are through a series of hard work and dedication. Here’s the glimpse of his story.

Let’s start from the early days of Nicko Widjaja and what’s behind his brilliant mind?

Let’s say I was born on the right timing. If only I was born 10 years earlier, it would be too early, and later would be too late.

I was never a big believer of institutionalized education. It’s outdated, traditional, and somewhat resembled a factory – you’re in and, voila, you’re out for a placement somewhere. I was a rebel growing up. I like to challenge my peers in school most of the time – not the kind of rebel against parents or anything like that.

Growing up, I didn’t fit anywhere. A square peg in a round hole, so to speak. It was quite depressing actually to see the world around you like the movie ‘Divergent’ – the early 90s is somehow reflected in that movie. I was educated in a Catholic institution, like some sort of prep school for ‘successful people’, bred to commit to the family honor, career, reputation, blablabla for life.

And crazy thing was that some people I grew up with really became what they said would be now. Bankers, architects, doctors, or even someone’s son/daughter-in-laws – what the fudge?

As I struggled to fit it, I flunked many subjects. Math, Science, English, and so on. I might have this reputation as chronic procrastinator growing up, until I failed Sports, then the public opinion had begun to label me as rebel. Then the world around me changed. I became the ‘factionless’.

I think this is the beginning when I realized that I don’t have to follow what everybody is and have plenty of time to understand myself better. This is the very important foundation of becoming a Mastermind: Know yourself.

What major did you take? And why?

Oh well, that what we’re ‘designed’ to do anyway, isn’t it right? You graduated high school, go to college, get career/married, go on retirement. An endless cycle of pain.

My reason for going to university was different than most of the dudes back then. Most of them were like: “Hey, I’m majoring in accounting because I want to become an accountant later! Yippy!” or “Hey, I think I’m good at doodles, I’d like to try graphic design!”.

I went because I think I could learn more about myself. What excites/inspires/motivates me and what doesn’t. Where I can find greater purpose/goal/ambition in life and where can’t. Why this particular subject draws me in curiosity and why the other doesn’t.

I didn’t take up to decide a major until the third year of my university year. I’m lucky to have such supportive and understanding parents in that way. I took a bunch of engineering focus courses in my early years and realized that it wasn’t for me. Later took some business courses and I found them quite dull, until I finally found liberal arts. The study of human evolution, narrative and interaction had become a fascination in my life.

Whatever it is that I’m currently doing, it is all a homage to that particular school of thought.

Tell me the early days of your arrival back in Indonesia. What have you done?

After graduating from Oregon State, I moved to San Francisco in 2000. The city was blossoming with dotcoms, just a year before the bust – that what we called startups then. I was attracted to the whole pitch from e-commerce to pre-social media portals.

I did a few gigs in the dotcoms, mostly working in content development, business analysis, and all those chores you expected from a fresh grad.

I returned to Jakarta in 2004 when I joined Indofood as their corporate development officer reporting directly to the CEO where I learned most of the basic working experience and the helicopter view of corporate strategy. I’ve worked there for three years, and during that moment I started to hear chatters about someone was doing something on the Internet.

I resigned from Indofood in 2007, co-founded some businesses, Thinking*Room (multi-disciplinary design company), Mindcode (innovation and consumer research company), and investing in some movie productions. I described my pre-VC days as ‘I-wish-life-was-that-simple-again’ days.

During 2009-2010, I was brought to the early Indonesia’s tech scene by some friends who founded Koprol, Urbanesia, Dealoka, and this was the first time I knew Rama and the Dailysocial – look how we’ve shared this timeline together for almost 10 years!

How did you come up with Systec?

I was in my movie editing studios in 2009 and some friends called over the phone, “You got to come here and listen to this guy!”

Then later they invited to this pitch about a local startup trying to challenge Google in Indonesia, something like Google in Bahasa Indonesia, or something like that – quite a revolutionary too at that point of time. That was crazy, because Google could’ve just easily implemented all languages in instant just like that. But this guy somehow brought pride, nationalism mix together, and voila he collected a hefty $1-2 million easy.

Initially, they asked me to introduce them with some high net worth. I did some introduction here and there – I guess why not – until I found myself talking about the digital ecosystem altogether. Kind of finding myself in a fundraising mode when talking about digital.

Then a few months later, I co-founded Systec Ventures with some colleagues from Mindcode. It was super early ecosystem if you remember in 2011, there were only a handful of us at such events like Sparxup, Echelon, etc. Systec Ventures was a venture builder studio, a hybrid of incubator + investor + collaborator – similar to Science Inc. It was exciting because I can work closely with entrepreneurs. They can utilize our open space (much like what you see in co-working offices now) for free as long as you’re an investee. I think here you can get the bigger picture on how the ecosystem working its way up.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Are you willing to share the demise story?

Many might not aware that VCs are making money from the sale of shares in the portfolio they invested in – not from dividends. In Systec Ventures, we’re so busy working on each of the portfolio to perfect their product, content, business model, that we realized until later that without follow-ons then there’d be no path to profit – again this was during the earliest day of Indonesia’s startup scene.

One by one, the portfolio was losing liquidity, while betting on the one or two feature products.

It was a huge lesson learned, and that what contributed to the whole conventional realization that ‘cash is king.’

What did you do next? Indigo?

In 2014, we’ve got introduced to Telkom Indonesia, and they are about to restart the Telkom Indigo Incubator for digital startups. We both learned from each other especially Telkom Indonesia started the open innovation program about the same year as Systec Ventures in 2011. In the past, Indigo Incubator was the kind of a lab when you arrange startup founders to eventually work for one of the projects in Telkom Group. Pretty much similar to Systec Ventures, or any other conglomerate backed venture wannabes out there.

When we (the ‘we’ is mostly Systec’s team) got into Indigo Incubator to help improve the program, we realized that follow-on should be the metric of success – just like any incubator program all over the world.

And back then… follow-on was rare. Most of the incubator programs (especially in corporates) in those days also failed to attract outside investors. (I think one thing about us at Systec Ventures got it right was access to high net worth who are about to venture in the digital business)

We invited our investor networks to even engage during the program as mentors/advisors. We managed to get 40% follow-on rate in our first batch and now Indigo Creative Nation is perhaps Indonesia’s most leading startup accelerator program with more than 70% follow-on and a market cap of $180 million with notable startups such as Payfazz, Nodeflux, PrivyID, Sonicboom, GoersApp, and so on.

How did you manage to find the good deals?

My investment philosophy is simple: You get good deals from someone who knows how to get the best deals. The next question is why would they give their best deals to you? We at MDI Ventures, we really develop and nurture our relationship with top tier global investors. Sharing and combining our resources together with Telkom Indonesia was part of the strategy for our upside in getting the best deals.

I’ve heard of one VC in Singapore giving away term sheets to startups without even honoring them in the end just to bring LP money in. That’s sad because, in this industry, news travels fast, and if you really want to thrive in this industry, your reputation is everything.

How about these past few days in MDI?

MDI Ventures is perhaps one of the few profitable VCs in Indonesia. Last month alone (June/July), we experienced three exit events, totaling of five exits thus far after only 4 years in operation, that is one IPO in the TSE and another one in the ASX. This signals the new dawn for the region’s startups as more money is flowing inbound. The team’s spirit is at all time high.

Let’s move on to BRI. How did you manage to go there?

MDI Ventures was one of the first models of Corporate Venture Capital (CVC). Rumor has it that we were referenced every time CVC is mentioned in corporate meeting rooms all over town. I believe the first validation to work with outside entity was when we collaborate with Mandiri Capital to launch Mandiri Digital Incubator in 2016. That was our first interaction with the banking sector.

Since then we’ve been working closely with Pegadaian and Pertamina to introduce startup x corporation collaboration synergy.

When you talk about digital transformation in the banking sector, BRI has been one of the most progressive implementing its digital initiatives starting in 2017. Started discussing about the fund in 2018 and the ecosystem thesis was coined.

I stated clearly that leaving for BRI Ventures doesn’t mean leaving MDI Ventures completely. Both are clearly in synergy in many ways and learning to leverage each other’s resources: the biggest bank, the biggest telco, and the tech startup right in the middle. We are definitely looking forward to forming up a collaboration sooner that you expected.

Taking a break from the investment story, tell me about your teaching experience?

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Again, life sometimes takes a strange turn – especially for someone who hates school. I taught at UPH Business School during 2010 – 2015 (around the same time of Systec Ventures). It’s an exciting opportunity to experience the streams of thought from the next generation of leaders, entrepreneurs, etc.

My method was quite unconventional. I believe when you meet one of my students they could share one of their experiences of being inside my chaotic classroom. But most of the time I spoke more about the new digital economy, comparing case studies from Amazon, YCombinator, Yahoo, etc. and build some sort of relevance to what’s happening domestically.

If you can attribute your success, what would it be?

First, don’t be afraid to make mistakes as long as you try to learn as much from them. Second, some skin in the game.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Any suggestion for those who want to start their own startups?

I might be known for my bluntness when judging startups, but here’s what I think: You feel you can be the next unicorn? No, I don’t think so.

Unicorns didn’t even aim to be one. It’s the mindset of the underdogs that put Google, Facebook, Netflix on the pedestal. It’s the underdogs who won against the corporate arrogance of domination: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (and later the whole retail chains in America), Apple Vs IBM, and so on.

So, if you’re a startup and your aim is world domination before even begin to validate yourself, then you belong in the insane asylum.

Nicko Widjaja Officially Appointed as the CEO of BRI Ventures, Trusted with 3,5 Trillion Rupiah Investment Funds

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) is officially announced a corporate venture capital (CVC) named BRI Ventures (BV). It’s to debut with $250 million or around 3.5 trillion Rupiah for startups.

They are to focus on the growth-stage and late-stage startups – as in Series A and above. Coverage landscape is still around fintech, particularly those related to the increase of current consumer ecosystem.

BRI has appointed Nicko Widjaja to be the CEO. On the other hand, he is now an advisor to MDI Ventures. There is no announcement regarding his successor for MDI’s CEO, it might be in the next shareholder meeting. Following Nicko, MDI Ventures’ Head of Investment, William Gozali is appointed as BV’s VP of investments. Previously, the company is said to pour $100 million for BV for operational. It also to make maneuvers on getting connected to related parties in the national fintech transformation.

BV is said to have the biggest amount of venture funds for Indonesia with the number they’ve mentioned before. “…the digital disruption is real and there’s no immune to that. We’ve been left behind for five years in this industry (investment in the digital industry), it’s the fast progress and execution that enables one to roll the dice in this game,” he said.

BRI Ventures thesis on startup criteria

On Nicko’s opinion related to fintech sector in particular. Currently, the growing trend is the offline business optimation using technology. For example, Warung Pintar, Fore Coffee, Payfazz, and many more. He believes with BV, there will be more sectors to support through fintech channel and ecosystem, from retail, academic, and health.

In the previous interview with DailySocial at MDI’s office launch in Singapore, he revealed the success strategy on the venture business. Southeast Asia is getting the momentum of investment surge, while investors always need “consultant” to get the picture of the current ecosystem. With MDI, he provides comprehensive insights for all investors while transferring relevant skills in the market.

The year 2018 is the right moment for corporate ventures. There are 2740 CVC transactions during the year that adds up to $53 billion (announced) investment for the digital startup. Asia raises 38% of the total value.

Lead by the same sailor, Nicko Widjaja, BV is to focus on the investment for Series A and above, while MDI Ventures is going to lead the advance matters with stronger fundamental.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian