Tag Archives: burgreens

Green Rebel Vietnam

Startup Produsen Protein Nabati Green Rebel Ekspansi ke Vietnam

Startup produsen pangan nabati Green Rebel Foods resmi meluncurkan produknya di Vietnam, yang juga sekaligus menandakan aksi ekspansi terbarunya di regional.

Masuknya Green Rebel ke Vietnam diketahui lewat unggahan yang dibagikan di platform LinkedIn pada Senin (18/9). “A big thank you to all who joined us for the incredible launch in Vietnam!” demikian tulis Green Rebel.

Disebutkan juga Green Rebel telah berkolaborasi dengan tujuh mitra di Ho Chi Minh City dan Hanoi untuk memasarkan produknya, antara lain Annam Group, eMart, Genshai, Laang Saigo, L’s Place, MM Mega Market Vietnam, dan Organic Convenience Stores.

Sebelumnya Green Rebel telah masuk ke Singapura dan Malaysia pada 2022, diikuti Filipina dan Korea Selatan di paruh pertama 2023. Perusahaan baru-baru ini juga berkolaborasi dengan AirAsia untuk kerja sama menu in-flight di Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Dari pemberitaan sebelumnya, Green Rebel mendapat pendanaan pra-seri A senilai $7 juta (sekitar Rp100 miliar) untuk mendukung ekspansinya. Selain negara-negara yang telah disebutkan, Green Rebel juga membidik pasar Australia.

Sebagai informasi, Green Rebel didirikan oleh Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias yang juga pemilik restoran organik Burgreens. Meluncur sejak 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Saat ini, produk Green Rebel tersedia di lebih dari 1000 toko dan restoran/kafe di Indonesia.

Mengutip informasi dari situs resminya, Green Rebel memproduksi daging dengan menggunakan lebih sedikit sumber daya alam dan menghasilkan lebih sedikit gas emisi CO2 dibandingkan produk hewani.

Pihaknya menyebut telah memberikan dampak positif selama 2 tahun terakhir beroperasi, termasuk menghasilkan 5,4 ton emisi CO2, menghemat 10 ribu ton biji gandum, menyelamatkan 1,5 juta km² hutan, bermitra dengan 2.200 petani, hingga membuka 206 lapangan pekerjaan baru.

Selain Green Rebel, startup dengan misi serupa adalah Outrageous Future Foods (OFF) Foods, yang memproduksi protein alternatif tanpa mematikan daging dari hewan asli dan mengorbankan rasa. Tahun lalu, OFF Foods dilaporkan memperoleh pendanaan tambahan $1,5 juta dari Jungle Ventures.

Laporan BIS Research mengungkap bahwa nilai industri makanan nabati (plant-based) diproyeksi menyentuh $480 miliar di global pada 2024. Sementara, industri protein nabati diperkirakan tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% pada 2021-2027 menurut laporan Research and Markets.

Green Rebel pendanaan dan ekspansi

Green Rebel Dapat Pendanaan 100 Miliar Rupiah, Gencarkan Ekspansi Asia Tenggara

Salah satu startup pertama di segmen protein alternatif Indonesia, Green Rebel, berhasil meraih pendanaan pra-seri A senilai $7 juta atau setara 100 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini diikuti oleh beberapa investor termasuk Unovis, Betterbite Ventures, AgFunder, Teja Ventures, Grup CJ, dan pengusaha kelahiran Singapura Kane Lim.

Pendanaan kali ini disebut akan digunakan untuk mendorong ekspansi regional dan pengembangan produk baru, menjelang pendanaan seri A. Singapura adalah negara pertama di luar Indonesia yang jadi tujuan Green Rebel, diikuti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Australia yang dijadwalkan pada akhir tahun 2022.

“Pendanaan putaran baru ini akan membantu kami memperluas tim R&D kami lebih jauh dan meningkatkan produksi, untuk memungkinkan kami meluncurkan ke pasar baru dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Helga, salah satu Founder Green Rebel.

Diluncurkan di Indonesia pada September 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Green Rebel tersedia di lebih dari 800 perusahaan F&B di Indonesia termasuk Starbucks, Ikea dan Domino, dan lebih dari 100 pengecer nasional.

Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh pasangan Indonesia Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias — keduanya vegan lama — yang berkomitmen untuk mendemokratisasi makanan nabati dengan membuatnya terjangkau dan mudah diakses.

“Tujuan kami dengan Green Rebel adalah membuat lebih banyak orang terbuka untuk makan nabati lebih sering — memungkinkan konsumen Asia untuk menganut pola makan fleksibel yang berpusat pada tumbuhan,” kata Helga.

Green Rebel telah menggabungkan keahlian kuliner, pengetahuan nutrisi, dan teknologi pangan untuk menciptakan bahan dasar alternatif daging nabati yang benar-benar lezat. Semua produk Green Rebel dikuratori dan dibuat dari bahan nabati alami, dan tanpa tambahan MSG, pengawet, dan gula rafinasi. Hasilnya adalah rangkaian cita rasa khas Indonesia dan Asia yang menarik dan menggugah selera di belahan dunia ini.

Semua produk Green Rebel dirancang dengan cermat untuk dimasak dengan metode berbeda yang populer di wilayah ini, mulai dari hotpot dan tumis hingga memanggang, mengukus, dan banyak lagi. Perusahaan telah memiliki sejumlah kemitraan makanan dan minuman yang signifikan di seluruh Indonesia, bekerja dengan Domino’s Pizza, Starbucks dan IKEA, serta jaringan lokal ABUBA Steak dan Pepperlunch. Green Rebel juga menawarkan produknya di rantai pabrik Burgreens, yang juga dimiliki Angelina dan Andias.

Rencana ke depan

Belum lama ini, Green Rebel telah diluncurkan di Singapura. Pengunjung dapat merasakan cita rasa yang unik di kawasan ini, mulai dari masakan klasik Tiongkok nabati seperti daging sapi lada hitam dan babi asam manis, masakan favorit Asia Tenggara tanpa daging seperti rendang dan sate, dan bahkan makanan pokok Barat yang sangat disukai seperti steak dan pasta yang lezat

Dinamai berdasarkan salah satu pendiri dan kepala inovasi Max Mandias, ini adalah serangkaian proses unik yang berhasil meniru pengalaman makan daging asli. Di antaranya adalah formulasi eksklusif dari minyak kelapa, air dan bumbu vegan alami. Dibuat melalui teknologi emulsi, ia bertindak sebagai pengganti lemak hewani untuk mencapai rasa, aroma, dan kesegaran khas yang diasosiasikan dengan protein hewani.

“Kami ingin membuktikan bahwa alternatif daging nabati bisa lezat dan sehat,” kata Max, yang memanfaatkan pengalaman kulinernya di Amsterdam untuk menghadirkan cita rasa khas Green Rebel. “Buktinya ada di makan.”

Untuk peluncurannya di Singapura, Green Rebel telah bermitra dengan restoran-restoran populer untuk menawarkan kepada para pengunjung di sini sajian hidangan populer yang lezat, menggunakan produk-produknya seperti Rendang Tanpa Daging yang laris dan Steak Tanpa Daging yang inovatif, serta Potongan Tanpa Daging Sapi, Fillet Chick’n dan Chick’n Karaage. Selain itu, perusahaan katering Invictus Asia juga akan memperkenalkan produk Green Rebel ke dalam pilihan hidangan mereka.

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya “western food”, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Dalam beberapa bulan mendatang, daging Green Rebel akan ditampilkan di restoran lain termasuk restoran speakeasy Dragon Chamber, roastery kopi Indonesia dan kafe Tanamera Coffee, dan kafe kasual Grain Traders. Green Rebel juga akan bermitra dengan pusat gaya hidup F&B multi-label, The Refectory untuk menu khusus untuk bazaar artisanal dua bulanan yang terakhir pada akhir April. Green Rebel akan didistribusikan secara eksklusif oleh penyedia solusi makanan terkemuka, Indoguna Singapura di seluruh dunia F&B kota, dan dalam beberapa bulan ke depan, paket ritel yang ditujukan untuk masakan rumahan akan diluncurkan untuk konsumen

Green Butcher brand khusus di bawah yang Burgreens khusus menangani distribusi daging nabati sebagai alternatif daging sapi dan ayam untuk konsumen vegan

Green Butcher dan Misinya Populerkan Makanan Vegan Daging Nabati

Founder Burgreens Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias menyadari, adanya pandemi yang dimulai oleh virus yang ditransmisi melalui hewan, membawa suatu dorongan untuk beralih ke protein nabati karena memiliki keamanan makanan yang tinggi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Oleh karenanya, pola makan harus segera diubah.

Akan tetapi, Burgreens yang merupakan restoran makanan sehat berbasis nabati, tidak bisa melakukan misi tersebut sendirian karena mereka belum bisa mengakomodasi kebutuhan protein untuk masak di rumah. Sehingga dibutuhkan brand baru yang khusus menangani segmen tersebut.

Dorongan tersebut juga datang dari eksternal, ia mengaku pihaknya mendapat banyak permintaan dari konsumen loyal Burgreen dan rekan bisnis restoran untuk bisa membeli alternatif daging sapi dan ayam yang selama ini baru bisa dinikmati saat berkunjung ke restoran Burgreens.

“Kami pun akhirnya meluncurkan Green Butcher di tengah pandemi, tepatnya di September 2020. Target konsumen kami adalah semua orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungan, namun menyukai rasa daging,” ucap Helga dalam wawancara bersama DailySocial.

“Daging nabati” ini sebenarnya terbuat dari jamur, kedelai non-GMO, buncis, dan seitan (gluten gandum). Bahan-bahan lainnya diambil dari petani lokal di Indonesia, misalnya garam laut yang berasal dari Bali, rempah-rempah (i.e. kunyit, lengkuas, dan serai) dari Jawa, dan minyak kelapanya bersumber dari pohon kelapa yang tumbuh secara berkelanjutan di Riau.

Dari segi rasa, Green Butcher mengambil pendekatan seperti Burgreens yang mengambil cita rasa dari kuliner Indonesia dan Asia, seperti Beefless Rendang, Chick’n Satay Taichan, dan Chink’n Karage. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan Vegan Boba yang mendapat respons baik dari konsumen.

Seluruh menu ini adalah makanan kemasan (Consumer Packaged Goods/CPG) yang siap masak (ready-to-cook) oleh konsumen di dapurnya masing-masing. Ada dua jenis bisnis yang dijalankan oleh Green Butcher, yakni B2C dan B2B. Untuk B2C, perusahaan bekerja sama dengan jaringan supermarket di berbagai kota dan melalui kanal digital untuk distribusi ke konsumen.

“Kami memiliki Production Facility yang berfungsi sebagai distribution center. Dari sinilah semua produk Burgreens dan Green Butcher didistribusikan.”

Sementara dengan B2B, perusahaan bekerja sama dengan pemain restoran menjadi penyuplai untuk menu daging nabati. Salah satu yang sudah terealisasi adalah bersama Starbucks yang meluncurkan meatless pastry line menggunakan Beefless Chucks milik Green Butcher.

“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran produk plant-based dengan dua grup F&B ternama di Indonesia yang sangat terkenal dengan meat selection dan japanese food mereka.”

Helga berharap para brand F&B ini ke depannya semakin banyak yang terlibat dalam gerakan menghadirkan menu plant-based untuk mengakomodasi lebih banyak konsumen yang ingin makan protein dengan sehat dan aman.

Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens
Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens

Terima pendanaan tahap awal

Menariknya, meski usia Green Butcher belum menginjak satu tahun, sudah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) yang dipimpin Unovis Asset Management, Teja Ventures, diikuti oleh SavEarth Fund yang berorientasi pada dampak lingkungan dari James dan Suzie Cameron, Phi Trust, C4D, dan investor individu Elisa Khong, Michal Klar, dan Simon Newstead.

Teja Ventures merupakan salah satu investor Burgreens yang turut masuk dalam sejumlah putaran investasi yang digelar.

Dalam keterangan resmi, Managing Director Unovis Asset Management Kim Odhner mengungkapkan rasa terhormatnya karena bisa mendukung pekerjaan penting yang sedang dilakukan Green Butcher.

“Helga Angelina dan seluruh tim telah membuat kemajuan yang mengesankan selama setahun terakhir, dan Unovis bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman unik dan posisi industrinya untuk membantu meluncurkan pembangkit tenaga listrik nabati yang inovatif ini kepada khalayak global,” terang Odhner.

Helga menyebut, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengembangkan tim R&D, meningkatkan produksi, dan masuk ke jaringan pengecer utama pada Q2 2021.

Secara terpisah, Helga mengatakan Unovis adalah investor global terdepan khusus di industri alternatif protein. Nantinya mereka akan membantu proses peluncuran Green Butcher sebagai brand global. “Kami sangat bersyukur bisa bekerja dengan highly experienced investor seperti Unovis,” tutupnya.

Restoran Makanan Vegan Burgreens

Cerita Burgreens, Pionir Restoran Makanan Vegan di Indonesia

Dulu, untuk menemukan restoran khusus makanan vegan di Indonesia masih sulit, bahkan Jakarta sekalipun. Alternatif yang ada pada saat itu adalah mengunjungi restoran Cina. Kesulitan tersebut akhirnya menginspirasi Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias untuk mendirikan Burgreens. Kebetulan keduanya adalah konsumen makanan vegan.

Burgreens merupakan restoran makanan vegan yang dirancang khusus untuk lidah orang Asia. Meski menunya terfragmentasi, menariknya basis pelanggannya terbesar bukan vegetarian, melainkan orang-orang yang sadar terhadap kesehatan dan memilih untuk mengurangi konsumsi daging untuk alasan kesehatan dan lingkungan.

Tidak hanya menjadi restoran, visi dan misi dari Burgreens itu sebenarnya adalah gerakan sadar sosial bahwa makanan yang dipilih itu berasal dari alam dan petani lokal organik. “Sebagian besar bahan makan kami diambil dari petani lokal, salah satunya Yayasan Usaha Mulia dan BSP,” terang Marketing Manager Burgreens Irene Tjhai kepada DailySocial.

Bentuk bisnis Burgreens adalah ritel offline dengan 10 gerai yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Tangerang. Menu yang dikembangkan mulai dari makanan berat, paket katering harian, makanan beku, snack, minuman hingga makanan untuk anak.

Dalam perjalanannya, Burgreens telah menerima investasi dari ANGIN sebanyak dua kali, pada 2016 dan 2017 dengan nominal yang dirahasiakan. Perkembangan perusahaan yang pesat, akhirnya membuat Angin tertarik untuk top up masuk ke putaran terbaru.

Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, dikabarkan Burgreens telah mengantongi pendanaan pra Seri A dari ANGIN dan Teja Ventures. Ketika dikonfirmasi ulang oleh DailySocial, Irene hanya mengatakan bahwa sebenarnya putaran tersebut masih berlangsung dan perusahaan akan mengumumkannya secara resmi.

Mulai manfaatkan teknologi digital

Irene menjelaskan sejauh ini perusahaan baru memanfaatkan kehadiran teknologi digital yang disediakan oleh mitra logistik untuk pengiriman pesanan ke konsumen. Situsnya sendiri baru menyajikan informasi mengenai menu dan direktori gerai.

Perusahaan berencana untuk merilis secara resmi aplikasinya sendiri pada dua bulan mendatang. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di dalamnya akan tersedia pilihan menu makanan sesuai preferensi lidah masing-masing, biasanya ada yang anti gluten, hanya mau vegan saja, dan sebagainya.

“Tadinya pilihan seperti itu tidak bisa jika dipesan melalui aplikasi kurir online. Tapi nanti kita bisa rincikan semua permintaan konsumen melalui aplikasi kita dan dikirim oleh kurir internal kita. Selain itu kita juga mau sediakan informasi lengkap terkait makanan organik dalam berbahasa Indonesia.”

Meski belum diresmikan, namun aplikasi ini sudah bisa diakses di Play Store.

Terpukul karena pandemi

Karena perusahaan termasuk pemain kuliner offline, secara langsung ikut terguncang karena pandemi yang saat ini masih berlangsung. Mayoritas gerainya harus ditutup pada awal PSBB diberlakukan. Meski demikian, Irene mengaku perusahaan bertekad untuk tidak mengurangi karyawan dan gaji.

“Saat PSBB, masih ada gerai kami yang tetap dibuka. Menariknya karyawan kami punya solidaritas tinggi jadi mereka memberlakukan share shift, karyawan yang kerja di gerai yang ditutup bisa kerja di gerai yang buka secara bergantian.”

Perusahaan juga terbantu dengan diberlakukannya diskon sewa dari pengelola mal. “Jujur kalau itu enggak ada, kita bakal struggling banget.”

Dalam unggahan di akun media sosial Helga pada lima bulan lalu, dia menyebutkan pandemi berdampak pada menurunnya penjualan hingga 30%. Tak hanya itu harga bahan baku yang naik tajam, penurunan jumlah kunjungan ke gerai, masalah cashflow, dan keterlambatan pembiayaan yang tidak terduga.

“Hari-hari kami dipenuhi oleh pengambilan keputusan yang mendadak. [..] Kami akan mengambil beberapa keputusan yang sangat sulit dan menghancurkan hati: melepaskan anggota baru kami yang seharusnya bekerja di gerai baru kami dan menutup beberapa toko kami,” tulisnya.

Akhirnya, seiring pelonggaran PSBB oleh pemerintah setempat pada awal Juni kemarin, Burgreens kembali membuka gerai yang berdiri sendiri (stand alone) dan menerima makan di tempat (dine-in) dan takeway.

Untuk memesan makanan, konsumen tidak perlu mengunjungi kasir, cukup memindai kode QR untuk memesan menu. Saat pembayaran pun sudah non tunai, konsumen memindai kode QRIS dari nota yang bisa digunakan oleh beragam aplikasi uang elektronik, seperti Gopay, Ovo, dan Dana.

Application Information Will Show Up Here