Setelah pebisnis sukses meluncurkan perusahaan perdananya, banyak hal yang dipelajari baik saat pra maupun pasca peluncuran. Bagaimana kita diajarkan untuk berdedikasi, bersemangat, berkorban, dan berimajinasi untuk menciptakan sesuatu.
Tak hanya itu, kita juga akan diajarkan perlunya menanamkan banyak benih dalam membangun sesuatu yang berumur panjang dan memberi dampak, serta bagaimana menjaga dan mengembangkannya.
Mengutip dari ucapan salah seorang founder dari program startup akselerator Y Combinator Paul Graham mengatakan, “Startup adalah perusahaan yang dirancang untuk tumbuh cepat. Satu-satunya hal yang penting adalah pertumbuhan. Segala sesuatu yang dikaitkan dengan startup berangkat dari pertumbuhan.”
Ucapan dari Graham menunjukkan bahwa membangun perusahaan itu dapat datang dari berbagai bentuk: ide baru, cabang, layanan atau lainnya. Apa yang tidak tumbuh itu berarti sudah mati. Analogi ini bila disederhanakan: kembangkan bisnis atau mati.
Setelah Anda berhasil meluncurkan startup perdana, langkah Anda sebagai seorang pebisnis tidak bisa berhenti di situ saja. Masih banyak solusi dari bidang lainnya yang bisa Anda bantu selesaikan untuk masyarakat. Namun apabila Anda masih ragu, artikel ini akan membantu langkah apa saja yang perlu dilakukan sebelum meluncurkan startup kedua Anda.
1. Lakukan uji tuntas
Meluncurkan perusahaan butuh persiapan mulai dari legal, logistik, dan operasional. Sebaiknya Anda jangan ambil jalan pintas, tetap siapkan dokumen yang benar agar strategi Anda tetap sejalan. Jangan terburu-buru dan persiapkan setiap keputusan bisnis berdasarkan analisis yang lebih tajam dibandingkan saat Anda hendak meluncurkan startup perdana Anda. Sebab detail terkecil dapat memberi pengaruh yang terbesar dalam jangka panjang.
2. Startup kedua menjadi pelengkap startup pertama
Ketika suatu startup mencapai hal tertentu, misalnya mendapat pendanaan seri A dengan pertumbuhan yang signifikan, ada momentum yang bisa Anda manfaatkan seperti membuat startup dengan bisnis yang saling melengkapi.
Contohnya, saat founder dari Philadepha goBeer, meluncurkan goPuff, sebuah startup dengan bisnis yang komplementer dengan goBeer. goBeer memungkinkan sistem pengiriman dapat bekerja sama dengan goPuff, sehingga prosesnya pun jadi lebih halus.
3. Buat proyeksi bisnis
Anda perlu membuat proyeksi bisnis agar dapat tumbuh dalam kota yang berbeda. Maka dari itu perlu ukur risiko, trek pertumbuhan dengan strategi yang berbeda-beda, jangkau berbagai segmen konsumen untuk memastikan pengalamannya sama. Hal ini berguna untuk memastikan apakah startup Anda benar-benar dapat diukur bisnisnya dan dapat melompat.
4. Jangan melupakan startup pertama Anda
Pertumbuhan itu penting, tapi akan jadi fatal bila terjadi ketidakstabilan. Saat proses peluncuran startup Anda yang kedua, jangan lupakan startup pertama Anda. Intinya adalah jika Anda mengembangkan usaha baru, selalu tekankan bahwa bisnis adalah evolusi konstan. Sama seperti hubungan antara Tesla dan SolarCity, ide besar berikutnya hanyalah pendukung dari ide terkuat dari bisnis pertama.
Memanfaatkan potensi pertumbuhan bisnis pertama dengan membuat kaki-kaki yang kuat, tidak meletakkan berat terlalu banyak pada mereka.
Melihat lanskap startup digital yang ada saat ini, mudah ditemui bibit baru yang mulai memainkan peranan penting pada peta kewirausahaan digital, bahkan beberapa sudah mencapai puncak kemapanan dan menjadi inspirasi para pemula. Visinya suda sangat gamblang, bukan sekedar mengejar independensi finansial, melainkan lebih banyak berorientasi pada kebebasan mencurahkan ide, kebebasan menentukan otoritas dan menghadirkan efek sosial berkelanjutan. Kata sosial menjadi perlu digarisbawahi, karena kini menjadi esensi penting dari karakter entrepreneur digital di Indonesia.
Kreativitas mengukuhkan dirinya menjadi sebuah kekuatan “muda” yang hebat. Bermakna lebih luas, kreativitas kini menjadi kunci terlahirnya pemecahan masalah yang berkontribusi langsung terhadap masyarakat. Internet memberikan sumbangsih besar — di tengah berkembangnya konektivitas atas masifnya pemanfaatan perangkat pintar — memberi ruang pendekatan baru yang mudah disebarkan. Nyatanya lebih efektif, dengan modal niat pun beberapa membuktikan bisa starting up melahirkan solusi terbarukan.
Keyakinan baru kewirausahaan untuk melahirkan dampak sosial
Tak pernah bosan kami menceritakan kisah sukses startup Indonesia. Begitu banyak memberikan inspirasi dan pelajaran bagi kita semua.
Dimulai dari mencontohkan apa yang telah digapai startup pertama Indonesia yang berhasil menyandang gelar unicorn, Go-Jek. Dalam berbagai kesempatan, Co-Founder dan CEO Nadiem Makarim selalu mengatakan bahwa visi Go-Jek dari awal ialah untuk meningkatkan pendapatan pengendara ojek dan mempermudah kehidupan orang banyak. Menurut pemuda lulusan Harvard Business School tersebut, permasalahan orang di masa sekarang ini ialah efisiensi waktu. Terlebih studi kasusnya dimulai di ibukota Jakarta.
Ojek dinilai sebagai moda transportasi gesit, mampu diajak menembus kepadatan lalu lintas. Sayangnya sistem yang ada dinilai belum mampu memberikan timbal-balik yang maksimal bagi pelaku bisnis di dalamnya. Dari situ Go-Jek dilahirkan. Sederhananya Go-Jek membuat para driver menjadi multi-skill dan multi-function. Hal ini yang menjawab pertanyaan “mengapa ojek tarifnya mahal, sedangkan melalui Go-Jek bisa menjadi murah?”. Jawabannya adalah efisiensi waktu, yang membuat biaya tersebut menjadi relatif lebih murah.
Pada umumnya driver ojek konvensional tidak banyak mengangkut order. Jikapun mendapatkan order harus bergantian dengan driver lain di pangkalan. Waktu mereka digunakan lebih banyak menunggu, bergantian. Sehingga berdampak pada menaikkan tarif. Sedangkan di Go-Jek fleksibilitas diberikan. Sistem memberikan kepada mereka sistem order, kapanpun mereka tersedia bisa memenuhi panggilan tersebut. Dampak yang ingin diwujudkan berantai, selain memberikan opsi transportasi yang murah, juga ingin membuat orang makin suka berlalu-lintas dengan kendaraan umum.
Contoh lain, mengambil cerita visi dari online marketplace yang sempat tercatat sebagai bisnis online dengan nilai investasi tertinggi di Asia Tenggara pada akhir tahun 2014. Ya, Tokopedia. Startup digital yang dipimpin William Tanuwijaya tersebut lahir dengan misi untuk membawa orang mudah berbisnis melalui medium internet. Kisahnya juga berawal dari kegelisahan, kala itu Co-Founder lulusan Binus angkatan 1999 tersebut sempat bekerja menjadi moderator di sebuah forum online ternama kala itu, banyak keluhan tentang mekanisme yang buruk dalam jual-beli online di Indonesia. Sehingga banyak penipuan di sana-sini.
Kegelisahan tersebut makin menjadi ketika William sempat bekerja menjadi web designer, beberapa klien memintanya untuk membuatkan situs jual-beli online. Pengguna, yang pada umumnya non-tech savvy users, membuat sistem yang dibangun menjadi kurang optimal, karena kebanyakan orang akan terpaku pada urusan teknis. Sementara bisnisnya kadang menjadi terlantar. Bermodal dana investasi yang didapat, Tokopedia tetap disajikan gratis dengan fitur jual-beli yang sangat lengkap.
Di sebuah kesempatan seminar tentang startup William mengatakan, proses bisnis Tokopedia adalah membawa mitranya sukses. Ketika Toppers (sebutan untuk pemilik merchant di Tokopedia) berhasil dibantu oleh Tokopedia, maka Tokopedia juga akan sukses. Di awal misi mereka membuka lapangan pekerjaan baru. Seperti banyak dituliskan di blog resmi Tokopedia, tentang cerita kesuksesan orang yang memulai wirausaha berjualan online melalu platformnya, apa yang menjadi tujuan Tokopedia semakin jelas.
Masih banyak kisah startup lain di Indonesia yang begitu mempesona. Sebut saja Bridestory yang berhasil menjembatani pemilik jasa serba-serbi pernikahan, mengefisienkan biaya promosi yang awalnya banyak disuguhkan dalam expo dengan biaya mahal. RuangGuru, startup pendidikan yang mencoba menghubungkan antara guru (privat) dengan muridnya dalam medium digital. Dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan memberikan kesempatan pada guru untuk meningkatkan kualitasnya secara kompetensi.
Empat startup tersebut memiliki pangsa pasar berbeda, namun ada satu hal yang dapat ditarik menjadi benang merah, yakni memberi dampak sosial di masyarakat. Proses bisnis mereka jelas, dan apa yang coba diselesaikan pun adalah masalah riil yang sedang diperangi oleh masyarakat. Di sinilah ternyata startup berperan, startup menoreh sukses ketika mereka mampu mengkombinasikan antara sebuah proses bisnis (perusahaan) dengan permasalahan dalam bentuk penyelesaian.
Bagaimana masyarakat menanggapi tren tersebut?
Media sosial mengubah masyarakat Indonesia secara umum dalam memandang sebuah isu. Dari apa yang bisa kita amati sehari-hari di lingkungan, pengguna media sosial selalu haus untuk terdorong terlibat pada isu sosial. Keterlibatan dilakukan dengan banyak hal, mulai dari menyebarkan semangat positif, memberikan donasi, hingga hadir dalam keterlibatan langsung menjadi relawan. Banyak insiatif sosial dalam aksi nyata yang berawal dari inisiatif di media sosial.
Awareness masyarakat menjadi sebuah titik temu pada bisnis digital (yang membawa misi sosial di dalamnya). Selain memang solusi tersebut dibutuhkan sebagai cara yang lebih mudah diakses, penilaian masyarakat atas dampak sosial yang diberikan startup digital ternyata begitu signifikan. Kami mencoba menyebutnya sebagai “cara baru dalam memasarkan produk secara native”. Bukan berarti bisnis menjual dampak sosial, namun karena nilai sosial tersebut menjadi prioritas di kalangan konsumen.
Mungkin banyak dari kita merasa pesimis, millennials memiliki kepedulian sosial yang rendah. Namun dari tren yang ada, mungkin lebih tepat jika dikatakan kepedulian sosial masyarakat modern memiliki tempat yang berbeda. Tantangannya kini pada transisi, modernisasi di Indonesia masih memiliki gap yang ketat. Di satu sisi masyarakat sudah sangat terbiasa dengan pola kehidupan digital, di sisi lain banyak yang masih merangkak dan pemula dalam beradaptasi. Tak ada cara lain yang bisa dilakukan selain melakukan sosialisasi.
Kasusnya seperti yang terjadi pada penerapan model bisnis startup digital di masyarakat. Kembali mencontohkan pada Go-Jek. Setelah menjadi viral, layanan Go-Jek banyak diminati, namun beberapa waktu silam tak sedikit penolakan dilakukan. Banyak penyedia dan pemain di jasa transportasi konvensional yang merasa dirugikan. Media menyorot secara besar, regulator pun sempat direpotkan karena berusaha berada di tengah.
Diceritakan Nadiem bahwa hal itu yang menjadi tantangan di bisnis Go-Jek. Mereka yang menolak Go-Jek umumnya karena belum memahami bagaimana sistem tersebut bekerja. Kendati sangat susah di awal, perlahan sistem tersebut mulai bisa diterima. Dan kini bisa kita rasakan bersama bahwa layanan online tetap bisa berdampingan dengan apa yang ada sebelumnya.
Bisa disimpulkan banyak startup digital lahir dengan visi-misi yang jelas. Dalam proses bisnisnya, mereka mencoba menyelesaikan permasalahan sosial yang ada di tengah masyarakat. Startup yang bernilai besar akan memberikan dampak signifikan pada penyelesaian masalah riil di lingkungan sosial.
Akhir pekan lalu, seorang teman di Surabaya menceritakan tentang realitas bisnis dalam kaitannya mendapatkan suntikan investasi. Dalam gurauannya, si teman tersebut mengatakan, “Kalau bisnis konvensional –mengerjakan bisnis sosial menghasilkan kerajinan tangan— untuk mendapatkan investor sulit sekali. Saya sudah mencoba pitching ke beberapa venture capital dan angel investor, hasilnya nol. Beda dengan startup [digital], investornya sudah ngantri kalau POC-nya [Proof of Concept] jelas.”
Tentu penjelasannya ini membuat saya tertarik menggali lebih dalam mengenai pandangannya tentang konsep startup digital yang ada di Indonesia saat ini.
Sebelumnya, layak kita simak kembali seberapa bombastis tren startup di Indonesia. Sebuah meme dari Richard Fang ini mungkin bisa mewakili betapa startup kini telah menjelma sebagai tren baru di kalangan muda.
Startup pada dasarnya didefinisikan sebagai sebuah bisnis rintisan, bisnis yang benar-benar baru dibuka. Oleh karenanya istilah bootstrapping atau investment melekat erat sebagai entitas di bawahnya. Akhir-akhir ini istilah startup sering diasosiasikan dengan pendekatan bisnis berbasis digital. Jelas saja semua bisnis mencoba untuk bermain di ranah digital –minimal memanfaatkan media sosial sebagai cara pemasaran— demi capaian traksi dan jangkauan yang lebih menjanjikan.
Startup dibudayakan dengan berbagai kegiatan
Salah satu faktor makin lumrahnya pengembangan startup adalah karena berbagai kalangan memang sengaja membuatnya hype. Sebagai contoh Kibar (yang didukung Kemenkominfo) dengan kampanye Gerakan Nasional 1000 Startup, Bekraf dengan Developer Day dan Bekup, bahkan perusahaan-perusahaan secara khusus menggelontorkan CSR mereka untuk kegiatan berbasis hackathon, yang tak lain untuk memajukan startup digital juga. Benar saja, saat ini seperti semua orang bisa meniatkan diri untuk membuat sebuah startup.
Namun, apakah masifnya pengembangan startup yang ada saat ini sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan? Kembali dengan obrolan saya bersama rekan wirausahawati dari Surabaya, ia sempat menanyakan mengapa startup digital saat ini (meski tidak semua) terkesan tidak fokus mendapatkan profit? Justru antusias memburu pendanaan. Padahal jika mengembalikan kepada tujuan paling mendasar, startup tetap saja adalah sebuah usaha bisnis yang harus menghasilkan untung.
Saya tak dapat menyanggah realitas tersebut. Lalu mucul sebuah pertanyaan. Apakah yang sedang menjadi tren saat ini adalah menjadikan startup sebagai proses bisnis atau tren membisniskan startup?
Btw, klo ngobrol sama temen2 (non-tech) udah mulai byk yg paham konsep startup dibikin, raise fund, kejar "growth", trs ujung2nya dijual.
Konsep digital membedakan proses pendekatan di dalamnya
Konsep digital memiliki pendekatan yang berbeda dengan cara konvensional. Sebut saja cerita kesuksesan Facebook. Sekarang dari mana mereka mendapatkan uang? Dari berbagai penawaran yang didasarkan pada kekayaan dan traksi pengguna yang besar. Layanannya gratis dari awal, bisnis dijalankan secara natural di dalamnya. Konsep seperti itu yang coba diusung oleh startup masa kini, terutama yang berbasis layanan.
Ada yang sejak awal fokus pada growth, ada yang fokus pada revenue, hingga ada yang memfokuskan produk startup untuk inovasi (biasanya diikutkan dalam lomba internasional). Begitu bermacam-macam tipikal startup yang ada di Indonesia saat ini dari sudut pandang tujuannya.
Pada kenyataannya “seleksi alam” selalu turut serta dalam berbagai hal. Startup yang mampu mandiri pada akan melaju kencang dan yang mengantungkan roda bisnisnya pada entitas lain lambat-laun kian menurut performanya.
Bagi saya masih terlalu dini untuk menjustifikasi keadaan startup di Indonesia saat ini. Pelaksananya saja masih menggenggam roadmap bisnis yang akan dijalankan selama bertahun-tahun mendatang. Mungkin jawaban dari pertanyaan “membisniskan startup” tadi akan terjawab bersama pembuktian realisasi pematangan pelaku bisnis startup Indonesia.