Startup cleantech Bioniqa mengumumkan perolehan pendanaan awal dengan nominal yang tidak disebutkan dari Bali Investment Club (BIC). Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk kebutuhan riset dan pengembangan produk.
Bioniqa mengembangkan fotobioreaktor yang dapat mengonversi jejak karbon menjadi kredit karbon dan oksigen. Mereka mengadopsi pendekatan lokal yang diklaim belum pernah ada sebelumnya di Indonesia dalam memerangi isu polusi udara di pusat perkotaan.
“Fotobioreaktif unik yang kami miliki dapat menampung alga dalam lingkungan terkendali, yang dapat menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen. Ini bukan hanya sebuah mesin, tetapi ekosistem yang dapat membersihkan udara yang kita hirup sehingga membuat kota menjadi lebih layak huni,” ujarnya Co-Founder dan President Bioniqa Andre Hutagalung lewat siaran resmi.
Bioniqa didirikan pada 2023 oleh RaMa Raditya dan Andre Hutagalung. Keduanya dikenal sebagai pendiri startup pengembang smart cityQlue. Saat ini, Bioniqa telah mengoperasikan instalasinya di tempat penitipan anak di wilayah Jakarta, dan targetnya akan dipasang secara agresif di sekolah-sekolah besar di sejumlah kota.
Bioniqa menyasar sektor B2C di segmen menengah ke atas, mencakup residensial mewah dan apartemen vertikal; sektor B2B, mencakup gedung perkantoran, ruang ritel; serta sektor B2G lewat kemitraan dengan fasilitas pemerintahan, dan ruang publik berlalu lintas tinggi.
Klaimnya, satu fotobioreaktor Bioniqa telah meningkatkan kualitas udara luar ruang sebesar 60%-80% pada area seluas 150 meter persegi dalam waktu 24 jam. Lalu, mesin ini dapat mengimbangi 165 hingga 240 kg emisi karbon setiap tahunnya, serta menghasilkan 6.800 liter oksigen setiap tahunnya.
Melalui pendanaan ini, Bioniqa akan mengembangkan laboratorium dan perkebunan alga, hingga meningkatkan kemampuan fotobioreaktor melalui teknologi IoT.
Nicolo Castiglione, Managing Partner Bali Investment Club mengatakan ini menjadi momentum tepat berinvestasi untuk merespons krisis polusi udara yang dihadapi Jakarta selama beberapa bulan terakhir.
“Per satu mesin saat ini setara dengan 80 pohon dalam produksi O2 dan 20 pohon untuk mengurangi CO2. Di kota padat seperti Jakarta, kita tidak bisa menanam pohon di sembarang tempat dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum pohon itu tumbuh. Bioniqa hadir untuk memecahkan masalah ini dengan menggabungkan alam dan teknologi.”
Beberapa waktu lalu, pemerintah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon), merespons target Indonesia untuk mencapai pengurangan emisi karbon menjadi 31,89% pada 2030. Payung hukumnya juga telah diterbitkan melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 yang akan menjadi pedoman dan acuan perdagangan karbon.
Peluncuran Bursa Karbon Indonesia juga merespons berkembangnya kebutuhan terhadap solusi di bidang teknologi hijau (cleantech), khususnya dekarbonisasi, yang diikuti oleh kemunculan pengembang inovasi di bidang karbon.
Beberapa di antaranya Fairatmos yang mengembangkan platform untuk mengakselerasi penyerapan karbon, juga Jejak.in yang memanfaatkan teknologi IoT dan satelit dalam menganalisis jejak karbon.
Kerusakan lingkungan global terus berlanjut mengancam habitat seluruh makhluk hidup. Langkah kecil pun dimulai oleh Agung Bimo Listyanu (CEO), Innandya Irawan (COO), dan Jessica Novia (CMO), yang bertemu di One Young World Summit 2018 di Belanda untuk memulai CarbonEthics. Saat itu, ketiganya bertugas sebagai delegasi dari masing-masing perusahaan, berusaha mencari jalan keluar untuk mengurangi emisi karbon.
“Dari situ kita aware bahwa iklim enggak bisa nunggu. Makanya, we need to do something beyond our office dan ignite the spirit dari tiap korporasi untuk mengambil aksi. Akhirnya mulai bangun CarbonEthics di Mei 2019,” kata Agung Bimo Listyanto, atau lebih akrab disapa Bimo saat dihubungi DailySocial.id.
Masing-masing co-founder ini datang dari latar belakang yang beragam. Bimo punya pengalaman sebagai geothermal engineering ditambah pernah bekerja di dunia komersial untuk sales dan marketing, serta pernah bertanggung jawab memegang fund khusus ESG. Sementara, Jessica punya segudang pengalaman di dunia kreatif, digital marketing, dan manajemen konsultasi.
Terakhir, Innandya mendalami industri energi didukung dengan pengalaman lainnya di bidang commercial and investment appraisal, strategi dekarbonisasi, dan lainnya. Seluruh kemampuan dari ketiganya mendukung satu sama lain dalam merancang visi dan misi CarbonEthics. Sebagai catatan, ketiga co-founder ini baru akan full time di CarbonEthics per Januari 2023 mendatang.
“Sejak awal kami melabelkan diri sebagai corporate activist, yang punya privileges mendorong korporasi dari dalam. Tapi perlu juga untuk dorong dari luar, seperti mengevaluasi kebijakan dari perusahaan yang dirasa masih kurang bagi lingkungan. Kami buat CarbonEthics karena kami ingin reach lebih banyak pihak turut serta.”
Berdayakan masyarakat sambil mengurangi emisi karbon
Dalam upaya mengurangi emisi karbon, perjalanan CarbonEthics dimulai dengan menemui para petani di pesisir pantai untuk memulai fokus pada restorasi ekosistem biru. Salah satunya, dengan menanam mangrove, lamun, dan rumput laut. Kelompok masyarakat ini paling rentan terhadap isu lingkungan, sebab apabila permukaan air laut naik, rumah merekalah yang pertama akan tenggelam.
Terlebih, selama pandemi kesejahteraan para petani ini sangat terdampak. Penghasilan mereka bahkan turun hingga 90% karena penurunan permintaan dari restoran yang tutup, menurut temuan CarbonEthics.
“Mangrove, lamun, dan rumput laut ini bisa menyerap karbon antara 4-10x lebih banyak dari hutan di darat. Namun bukan itu yang ingin kita coba selesaikan. Tapi dari sisi isu ESG, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan economic value dari apa yang ditanam.”
Tim CarbonEthics, dibantu oleh 100 relawan, perlahan mendekati para petani pesisir untuk mulai menanam mangrove, dengan program pendampingan dari awal hingga pemantauan rutinnya. Proses menyeluruh ini dilakukan selama satu hingga dua tahun. Mangrove, lamun, atau rumput laut yang ditanam ini merupakan pesanan yang dibeli oleh konsumen CarbonEthics, entah dari konsumen ritel atau korporat.
Para petani inilah yang bertugas untuk merawatnya, dibantu oleh tim CarbonEthics dalam pendampingan. Untuk menjaga kepercayaan dari seluruh pihak, tim juga melakukan intervensi dari sisi ekonomi untuk mencegah para petani menebang atau menjual mangrove yang telah ditanam. Sejak awal pendampingan, tim mulai membentuk kelompok tani sebelum diedukasi. Kemudian bangun bedeng, pilih site, semuanya dilalui lewat izin resmi dari pemerintah setempat.
“Berjalan satu tahun kita lihat apakah mereka bisa kita edukasi untuk next step, biasanya setelah tanam mangrove, istrinya [petani] ngapain? Kita ajarkan mereka buat sabun dari bibit bekas mangrove agar bisa punya penghasilan. Lalu bisa juga buat batik dari bibit mangrove yang sudah layu, ini bisa jadi pewarna batik alami.”
Ia tidak setuju dengan program yang on off, semua harus berkelanjutan sampai masyarakat di pesisir itu teredukasi. Bahwa mereka dapat hidup, memperoleh nilai ekonomi dengan mengandalkan mangrove.
Sejauh ini, menurut Bimo, CarbonEthics telah memiliki tiga area penanaman yang tersebar di Pulau Harapan, Kep. Seribu, Pulau Dompak, Kep. Riau, dan Padangbai, Bali. Khusus Bali, CarbonEthics menanam terumbu karang. Kendati terumbu karang ini tidak termasuk ekosistem karbon biru, namun penanaman ini diharapkan dapat merestorasi keanekaragaman hayati di dalam laut yang sudah terlanjur rusak karena ulah manusia.
Dalam menciptakan dampak pengurangan emisi karbon secara lebih luas, CarbonEthics menggaet lebih banyak korporasi agar dapat turut serta. Bimo menuturkan, pihaknya menyediakan kalkulator jejak karbon di dalam situsnya agar konsumen dapat melihat seberapa banyak emisi karbon yang terbuang dalam kehidupan sehari-hari.
Konsumen dapat menghitung jejak karbon dari kendaraan darat dan udara, listrik, makanan, dan plastik. Misalnya, akses dari rumah ke kantor dapat dihitung jaraknya dan diekstrapolasi selama satu tahun. Begitu pun dari makanan yang dikonsumsi per porsinya selama satu minggu, konsumsi plastik, dan tagihan listrik. Setelah seluruh data dimasukkan, tim akan mengirimkan dasbor yang dapat dilihat konsumen beserta rekomendasi ekosistem karbon biru yang perlu ditanam untuk restorasi emisi yang terbuang.
“Kalau konsumen korporat ada jasa servis berbayar untuk perhitungan jejak emisi sesuai dengan protokol ESG. Lalu dari situ ada rekomendasi berapa banyak karbon yang harus dikurangi, dan sisa dari emisi terbuang ini dikompensasi dengan restorasi ekosistem karbon biru.”
Sejauh ini, paket ekosistem karbon biru yang dijual CarbonEthics di situsnya telah dibeli oleh 2 ribu orang dan lebih dari 80 perusahaan turut berpartisipasi. Garnier – L’Oréal Indonesia, PT Allianz Indonesia, The Body Shop, Nike, dan lainnya adalah beberapa nama korporasi besar sudah bergabung.
Indikator dampak yang dihasilkan
Dalam mengukur dampak bagi lingkungan, CarbonEthics mengandalkan Social Return of Investment (SROI). Setiap Rp1 yang diinvestasikan ke perusahaan akan menghasilkan nilai Rp4. Alhasil perbandingannya 1:4, hasil mengukur dari tiga aspek, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dari aspek sosial, tim mengukur berapa banyak petani yang ikut dan teredukasi, juga berkomitmen dalam menjalankan aksi iklim. Tak lupa mengukur dari anggota keluarga dari petani yang ikut terdampak dalam program. Lalu, dari sisi ekonomi, mengukur seberapa jauh penambahan penghasilan dari dan sebelum petani ikut program. Terakhir, dari aspek lingkungan, menghitung berapa banyak karbon yang terserap, baik itu dari mangrove, lamun, atau rumput laut.
Dari laporan perusahaan saat ini, dari aspek lingkungan, CarbonEthics telah menyerap lebih dari 5,3 juta kg gas CO2e diasingkan, 68.357 pohon bakau ditanam, 3.025 bibit lamun ditanam, 4.050 bibit rumput laut ditanam, dan 4.270 karang bayi ditanam. Berikutnya dari aspek sosial, sebanyak 184.933 orang pengguna, 2.709 aksi iklim dijanjikan, 16 orang dengan peningkatan pendapatan, dan 91 langsung dan tidak langsung penerima manfaat pesisir anggota komunitas. Dari aspek ekonomi, sebanyak 22% peningkatan rata-rata pendapatan petani.
Dalam keseluruhan proses bisnis di CarbonEthics, mayoritas masih menggunakan pendekatan tradisional. Namun, kini tim sudah melengkapi aspek teknologi berbentuk platform yang digunakan petani untuk memasukkan informasi dari mangrove, baik dalam bentuk foto dan ukuran pohon selama enam bulan sekali. Informasi tersebut nantinya dipakai untuk konsumen yang membeli mangrove dari CarbonEthics.
Pasalnya, perusahaan memberlakukan jaminan garansi, bakal melakukan penanaman ulang apabila yang berlaku selama dua tahun. “Kami akan transparan memberi tahu pertumbuhan mangrove lewat situs. Ada garansi proteksi selama dua tahun sebelum mangrove stabil, apabila sebelum periode tersebut mangrove mati, akan segera kita ganti. Namun value yang selalu kita tekankan adalah kepastian mereka hidup lewat proses iterasi yang terus kita improve.”
Bimo pun memercayai prospek startup impact seperti CarbonEthics punya ruang pertumbuhan yang sangat lebar. Saat ini pangsa pasar bisnis keberlanjutan memang masih niche, tapi dari waktu ke waktu pertumbuhannya begitu pesat. Karena masih niche, timbul tantangan dari segi harga jual yang lebih mahal, membuat adopsi terasa sulit untuk menjangkau pasar yang lebih umum.
“Sekarang demand ada tapi harga masih mahal. Tapi seiring waktu, masyarakat kian teredukasi, harapannya economic of scale dapat tercipta sehingga tercipta harga jual yang sama.”
Maka dari itu, untuk menyambut pertumbuhan yang bakal lebih pesat, para co-founder CarbonEthics siap menjadi full time di bisnis ini. Ditargetkan ke depannya, perusahaan dapat memperluas area karbon biru di beberapa titik di Indonesia.
Saat ini CarbonEthics juga tengah melakukan penggalangan dana, ditargetkan sampai dengan Desember 2022.
–
Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.