Tag Archives: CCV

Ascent Venture

Arise dan Centauri Melebur Jadi Ascent Venture Group, Galang Dana Kelolaan 3 Triliun Rupiah

Dua dana kelolaan Telkom, yakni Centauri dan Arise, resmi melebur menjadi Ascent Venture Group. Ascent menargetkan penggalangan dana ketiga sebesar $200 juta (sekitar Rp3 triliun) yang akan difokuskan pada investasi ke 25 startup tahap awal dengan dalam dua tahun ke depan.

Sebagai informasi, Centauri Fund adalah dana kelolaan MDI Ventures bersama KB Financial asal Korea Selatan yang diluncurkan pada akhir 2019. Fokus pendanaannya adalah pra-seri A dan seri B. Sementara, Arise Fund merupakan dana kelolaan MDI Ventures bersama Finch Capital asal Belanda yang diluncurkan pada 2020. Fokus pendanaannya juga serupa, yakni pra-seri A.

Dalam keterangan resminya, Ascent juga sekaligus mengumumkan Central Capital Ventura (CCV), lengan investasi milik BCA, sebagai mitra Ascent. Keterlibatan CCV disebut akan memperkuat sinergi ekosistem di Indonesia dan Asia Tenggara.

Diketahui, kedua dana kelolaan milik Telkom telah diinvestasikan ke 30 startup di Asia Tenggara, di mana 70% telah mengumpulkan dana lanjutan dari investor pihak ketiga setelah investasi awal Ascent–menghasilkan 2 M&A dan 1 IPO dengan money on invested capital (MOIC), atau metrik tingkat keuntungan investasi masing-masing 3,2x dan 1,75x. Beberapa portofolionya adalah Agriaku, Evermos, Qoala, Paxel, dan Fishlog.

“Tujuan konsolidasi sumber daya dan jaringan ekosistem kami adalah untuk membangun platform dengan nilai eksponensial yang dapat memperkuat strategi berbasis thesis-driven. Kami memberikan dukungan product-market fit kepada para founder saat mereka mengembangkan bisnisnya di Indonesia,” ujar Managing Partner Ascent Venture Group Aldi Adrian Hartanto.

Di samping itu, hubungan erat yang dibangun Ascent dengan firma investasi tahap pertumbuhan terkemuka, seperti KB Investment dan MDI Ventures memungkinkan dukungan tambahan bagi portofolio dengan modal tahap lanjut saat memasuki fase marginal profit atau business-model fit.

Ascent akan dikelola oleh 4 partner, yakni Kenneth Li, Aldi Adrian Hartanto, Eric Yoo, dan Hans De Back. Kendati De Back berasal dari Finch Capital, Kenneth Li mengonfirmasi bahwa peleburan ini hanya melibatkan kedua dana kelolaan saja. Ia tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai posisinya di MDI dan Ascent.

“Hanya Arise dan Centauri yang technically yang melebur. [Keempat] partner ini dedicated untuk Ascent,” ujar Kenneth saat dikonfirmasi oleh DailySocial.id.

Secara terpisah, CEO MDI Ventures Donald Wihardja juga menyampaikan bahwa fund ini akan berdiri dan dikelola secara independen oleh tim terkait. “We are an anchor LP to this fund,” ujarnya.

Managing Partner Ascent Eric Yoo, berpengalaman berinvestasi di Korea Selatan dan India–mewakili KB Investment, menambahkan, “Gelombang investasi pertama telah mempercepat adopsi belanja online, ride hailing, hingga fintech. Namun, Indonesia masih berada pada tahap awal adopsi, dan gelombang adopsi berikutnya akan mengikuti pasar berkembang di mana disrupsi akan lebih banyak terjadi di sektor tradisional maupun peluang baru.”

Meski dana kelolaan sebelumnya dijalankan secara terpisah, portofolio yang sudah ada kini dapat memiliki akses ke kemitraan gabungan ini untuk mendukung pertumbuhan mereka. Secara spesifik, Ascent Venture akan membidik peluang investasi di vertikal UMKM enabler, digitalisasi keuangan, dan neo consumer, termasuk sektor baru, seperti iklim dan kesehatan

Startup e-commerce B2B Sinbad dikabarkan menggalang pendanaan Seri A yang dipimpin oleh Centauri Fund, dana kelolaan patungan antara Telkom dan KB Financial Group

Startup E-commerce B2B “Sinbad” Dikabarkan Galang Dana Seri A Dipimpin Centauri Fund

Startup e-commerce B2B Sinbad dikabarkan menggalang pendanaan seri A yang dipimpin oleh Centauri Fund, dana kelolaan patungan antara Telkom dan KB Financial Group.

Menurut sumber DailySocial.id, putaran yang bernilai $5,5 juta (lebih dari 85,9 miliar Rupiah) ini juga diikuti investor lainnya, seperti Genesia Ventures, Central Capital Ventura, dan MDI Ventures. Dua nama terakhir merupakan investor lama Sinbad yang berpartisipasi dalam putaran sebelumnya. MDI Ventures memimpin putaran tahap awal untuk Sinbad pada awal tahun 2020.

Startup yang dirintis pada 2018 oleh Emilio Wibisono dan Jabert Hachchouch ini bermain di ranah e-commerce B2B yang memiliki misi ingin menyederhanakan rantai pasok di Indonesia, mempermudah pedagang dan pemasok dalam proses pengadaan. Diklaim pemesanan produk melalui Sinbad akan langsung terhubung ke distributor utama dengan tarif terendah yang ada di pasaran.

Kategori produk yang dijual Sinbad mayoritas adalah FMCG, mulai dari makanan, minuman, susu, perawatan tubuh, perlengkapan bayi, dan hewan peliharaan. Seluruh barang ini disuplai oleh brand prinsipal utama.

Perusahaan mengklaim telah memiliki 5 ribu+ total SKU, berasal dari 80 brand. Sinbad disebutkan telah menjangkau lebih dari 150 kota untuk persebaran jaringan toko dan pemasok. Tidak banyak informasi lainnya yang bisa digali mengenai pencapaian Sinbad sejak berdiri hingga sekarang.

Tak hanya kemudahan berbelanja dengan harga kompetitif langsung dari pemasok, Sinbad juga menawarkan kemudahan belanja dengan fitur bayar nanti (paylater). Sebetulnya, solusi yang ditawarkan Sinbad bukanlah barang baru di Indonesia. Perusahaan berkompetisi langsung dengan pemain lainnya, seperti GudangAda, Credibook (CrediMart), Ula, Warung Pintar, GoToko, Dagangan, dan lainnya, untuk permudah pemilik warung berbelanja.

Potensi digitalisasi warung

Solusi untuk warung ini sebetulnya menyelesaikan isu yang sangat mendasar. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Warung berpeluang untuk menjadi medium inklusi keuangan, khususnya lewat layanan digital.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Diestimasi, ekonomi warung informal Indonesia saat ini terdiri dari 168 juta orang yang bertransaksi $252 miliar setiap tahun. Dalam rangka menuju ekonomi digital yang inklusif, maka digitalisasi sangat penting untuk mengatasi masalah inti yang dihadapi oleh warung di lingkungan kecil ini.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. Tulang punggung dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang.

“Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here
Jajaran tim Central Capital Ventura / CCV

Central Capital Ventura Melihat Peluang Besar pada “Embedded Finance”

Corporate Venture Capital (CVC) menjadi salah satu strategi perusahaan untuk tetap relevan di tengah perkembangan teknologi digital saat ini; sekaligus dijadikan kendaraan agar bisa bersinergi dengan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat di Indonesia. Dari beberapa perusahaan yang telah menginisiasi CVC, Bank Central Asia (BCA) menjadi salah satunya melalui PT Central Capital Ventura (CCV).

Sejak berdiri tahun 2017, CCV fokus pada pendanaan tahap awal di vertikal bisnis fintech. Mereka mengemban misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dengan portofolionya. “Saat membangun portofolio, kami melihat peluang pada embedded finance, di mana dapat menyematkan layanan finansial ke sektor logistik, kesehatan, perdagangan, dan banyak lagi. Dengan demikian embedded finance menjadi sektor baru yang kami jajaki,” ujar Investment Associate CCV Eric Hendrickus.

Dikembangkan oleh fintech, konsep embedded finance memungkinkan berbagai layanan konsumer untuk memiliki kapabilitas finansial seperti pembayaran, pinjaman, atau asuransi. Mereka tidak perlu melakukan pengembangan dari nol, cukup mengintegrasikan layanan yang ada ke dalam backend aplikasi.

Seperti diketahui, sektor fintech diregulasi ketat oleh otoritas, dalam proses pengembangan sebuah layanan harus memiliki perizinan dan memenuhi kriteria tertentu. Menggunakan layanan siap pakai dapat menjadi solusi agar para pengembang aplikasi fokus di model bisnis utamanya — di samping mengembangkan solusi fintech membutuhkan investasi yang besar.

Hipotesis investasi

Turut disampaikan, hingga saat ini dana kelolaan (fund) di CCV hanya berasal dari induk perusahaan [99,9%+ sahamnya dimiliki BCA, sianya BCA Finance]. Berdasarkan laporan keuangan per 2020 yang disampaikan pada April 2021 lalu, secara kumulatif mereka telah menggelontorkan investasi Rp157,7 miliar kepada 17 startup. Teranyar di tahun ini, CCV berpartisipasi dalam putaran pendanaan startup pengembang platform e-KYC Verihubs dan layanan transfer Oy! Indonesia.

Kemudian untuk kriteria yang ditetapkan dalam memutuskan untuk investasi, selain potensi sinergi dengan perusahaan induk, CCV biasanya melihat beberapa variabel. “Kami selalu berhati-hati setiap kali kami melakukan investasi. Ada banyak variabel yang harus diperhatikan, tetapi yang utama adalah: pendiri yang hebat, model bisnis yang sehat & berkelanjutan, pertumbuhan, dan pasar yang besar,” imbuh Eric.

Jika melihat jajaran portofolio CCV, memang tidak semua murni bermain di ranah fintech. Sebut saja pengembang game Agate, startup B2B supply chain Sinbad, platform biometrik Element, dan beberapa lainnya. Eric pun menjelaskan, “Meskipun perusahaan yang Anda sebutkan mungkin bukan startup fintech murni, mereka dapat berperan dalam mendukung layanan keuangan. Misalnya biometrik untuk KYC, gamifikasi untuk pelanggan perbankan, dan lain-lain. Selain itu, kami menyukai mereka sebagai bisnis dan melihat peluang kerja sama dengan BCA.”

Di masa pandemi, ia mengatakan tidak banyak yang berubah dari hipotesis investasi CCV. Bedanya, kini mereka berusaha mencari startup dan sektor mana yang akan menjadi pemenang pasar setelah pandemi. Sepanjang 2021, CCV telah berinvestasi ke 4 startup baru dan melakukan beberapa investasi lanjutan ke portofolio sebelumnya.

“Bahkan sebelum pandemi, kami sudah sangat berhati-hati dalam melakukan investasi […] Dengan adanya pandemi, kami tetap berpegang pada kriteria yang sama, menekankan pada model bisnis yang berkelanjutan,” jelas Eric.

Pandangan mengenai ekosistem startup

Ekosistem startup Indonesia yang ada saat ini dinilai CCV berhasil membuktikan ketangguhannya. Sejak 2017 berkecimpung, mereka melihat tren pertumbuhan eksponensial. Banyak model bisnis baru muncul, memecahkan berbagai permasalahan spesifik di masyarakat. Dalam rentang 5 sampai 10 tahun ke depan, CCV cukup optimis, pertumbuhan yang ada tidak akan melambat. Karena faktanya, pandemi justru mempercepat digitalisasi dan mendorong kemunculan startup baru.

“Kami telah melihat banyak pendiri generasi kedua dan mantan karyawan unicorn memulai perusahaan mereka sendiri. Dari perspektif investor, kami juga melihat investor global semakin tertarik pada startup Indonesia. Selain itu, seiring dengan semakin matangnya ekosistem, ada jalan ‘exit’ melalui M&A serta IPO,” jelas Eric.

“Tren pertumbuhan ini jelas merupakan pertanda baik bagi ekosistem startup Indonesia karena kami bercita-cita menjadi hub teknologi global,” tutupnya.

Selain berinvestasi, CCV juga aktif membantu induk perusahaannya melakukan program edukasi dan akselerasi startup melalui SYNRGY. Verihubs sendiri, yang baru diinvestasi oleh CCV juga merupakan jebolan dari program tersebut. Di luar itu, mereka juga terus meningkatkan proposisi nilainya sebagai CVC, dengan membuka jaringan, menghubungkan dan akses ke ekosistem yang dimiliki BCA untuk para portofolionya.

Saat ini, selain CCV, di Indonesia juga ada beberapa CVC lainnya. Berikut daftarnya:

Verihubs Secures 39.9 Billion Rupiah Seed Funding, to Release Credit Scoring Service

The E-KYC service startup Verihubs announced $2.8 million (approximately 39.9 billion Rupiah) seed funding round led by Insignia Venture Partners with participation from Central Capital Ventures (CCV) and Armand Ventures. The company plans to expand into regional markets, as well as develop new products, one of which is credit scoring.

Participated also in this round a series of local startup angel investors, including Budi Handoko (Shipper’s Co-Founder), Jefriyanto and Ricky Winata (Payfazz’ Co-Founder), Rohit Mulani (Gotrade’s Co-Founder), Chinmay Chauhan (Bukuwarung’s Co-Founder), and Pramodh Rai (Modalku’s ex-Chief Product Officer).

Previously, in the 2019’s pre-seed, Payfazz’ Co-founder, Hendra Kwik and Xfers’ Co-founder, Tianwei Liu participated in this stage along with Indigo Creative Nation.

Quoting from TechCrunch, a series of angel investors were previously Verihubs’ users. Together with Payfazz, Verihubs opens the opportunity for customers to deposit money with local agents to use for online payments, and BukuWarung, to access transaction data.

The two examples above are Verihubs solutions for the unbanked segment. Meanwhile, the company also serves the segment of users who already have a bank account. The CCV entrance as Verihubs’ investor ranks opens the possibility of implementing e-KYC verification, especially for users with bank accounts, as they can partner with BCA to access customer data.

Currently, 46 companies have used Verihubs’ service, most of which are in the financial sector. The number of users is targeted to be doubled to 100 companies, because Verihubs technology can also be used for e-commerce companies, marketplace rentals, and hospitality. One of Verihubs users came from hospitality, they used the platform to simplify the room check-in process.

Verihubs’ Co-founder & CEO, Rick Firnando said, before Verihubs, many of its clients still doing manual customer verification, which takes between one to two weeks. Verihubs serves as an all-in-one verification solution to only five seconds, using AI-based identity authentication technology and APIs that enable companies to continuously verify returning customers via SMS, WhatsApp or speed dial.

“Because developer has difficulty to do integration with multiple vendors, Verihubs allows clients to do KYC, offer phone number verification using WhatsApp or SMS, and also verify customer financial data,” Rick said.

When users log into the app using Verihubs for the first time, they will be asked to take a selfie and then upload a photo of their government-issued photo ID. Verihubs AI technology compares the two photos to see if they match, and cross-references the ID with a telecom operator’s credit score and Indonesian government database, including criminal records.

The company applies a transaction fee-based business model, the client will pay according to the number of successful verifications.

Rick continued, the company is building a credit scoring system based on transaction data and account balances. In addition, it plans to expand into regional markets, such as Vietnam and the Philippines.

“For the ID verification system, we found that Verihubs already has a product-market fit in Indonesia, however, we want to expand it to new products. We consolidate financial data from multiple sources, not only for banks, but also for the unbanked population. And we are also exploring potential expansion into new markets, such as the Philippines and Vietnam.”

This startup has just graduated from summer batch of Y Combinator 2021, this funding is claimed to be YC’s first AI startup from Indonesia.

Verihubs was founded in 2019 in Jakarta by Rick Firnando with more than 9 years of experience in the B2B industry, and Williem, an AI researcher with a PhD in computer vision from Inha University, South Korea.

Market competition

In Indonesia, there are already several services targeting similar segments such as ASLI RI. In collaboration with LoginID, a Silicon Valley company, ASLI RI launched AsliLoginID, a Biometric-Authentication as a Service (BaaS) platform with FIDO2 certification. The certification is one of today’s most stringent security standards, internationally recognized and is compatible with various types of computing device operating systems.

In addition, one of the service development startups based on artificial intelligence Nodeflux also has a business line that focuses on developing solutions to simplify the eKYC process, Identifai. Nodeflux alone is one of the partners of the Directorate General of Civil Registration as a joint platform provider to provide the best performance in data utilization without security risks.

Regarding the SaaS industry landscape that specifically develops API-based verification solutions, Rick also said that in terms of education, the target market for this service already has a good understanding of the importance of verification solutions. “As the fintech industry and other digital-based companies grow, this solution will be increasingly needed and developed,” he said.

According to ReportLinker, the global software as a service (SaaS) market is expected to grow from $225.6 billion in 2020 to $272.49 billion in 2021 at a compound annual growth rate (CAGR) of 20.8%. The market is expected to reach $436.9 billion by 2025 at a CAGR of 12.5%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Awal Verihubs e-KYC

Verihubs Kantongi Pendanaan Tahap Awal 39,9 Miliar Rupiah, Segera Rilis Layanan Skoring Kredit

Startup pengembang layanan e-KYC Verihubs mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal sebesar $2,8 juta (sekitar 39,9 miliar Rupiah) yang dipimpin Insignia Venture Partners dengan partisipasi dari Central Capital Ventura (CCV) dan Armand Ventures. Perusahaan berencana ekspansi ke pasar regional, serta mengembangkan produk baru, salah satunya skoring kredit.

Putaran ini juga diikuti oleh sejumlah angel investor startup lokal. Di antaranya, Budi Handoko (co-founder Shipper), Jefriyanto dan Ricky Winata (co-founder Payfazz), Rohit Mulani (co-founder Gotrade), Chinmay Chauhan (founder Bukuwarung), dan Pramodh Rai (eks-Chief Product Officer Modalku).

Sebelumnya, dalam putaran pra-tahap awal di 2019 kemarin, Co-founder Payfazz Hendra Kwik dan Co-founder Xfers Tianwei Liu turut serta dalam tahap ini selain Indigo Creative Nation.

Mengutip dari TechCrunch, sejumlah angel investor ini sebelumnya adalah pengguna layanan Verihubs. Bersama Payfazz, Verihubs membuka kesempatan bagi pelanggan menyetor uang dengan agen lokal untuk digunakan untuk pembayaran online, dan BukuWarung, untuk mengakses data transaksi.

Kedua contoh di atas adalah solusi Verihubs untuk segmen unbanked. Sementara itu, perusahaan juga melayani segmen pengguna yang sudah memiliki rekening bank. Masuknya CCV sebagai jajaran investor Verihubs, membuka kemungkinan implementasi verifikasi e-KYC terutama bagi pengguna yang memiliki rekening bank, karena dapat bermitra dengan BCA untuk mengakses data nasabahnya.

Terhitung, saat ini ada 46 perusahaan yang telah menjadi pengguna Verihubs, sebagian besar bergerak di bidang keuangan. Ditargetkan jumlah pengguna akan dilipatgandakan menjadi 100 perusahaan, lantaran teknologi Verihubs juga dapat digunakan untuk perusahaan e-commerce, rental marketplace, dan hospitality. Salah satu pengguna Verihubs datang dari perhotelan, mereka menggunakan platform tersebut untuk permudah proses check-in kamar.

Co-founder & CEO Verihubs Rick Firnando mengatakan, sebelum mengadopsi Verihubs banyak kliennya yang masih memverifikasi pelanggan secara manual yang membutuhkan waktu antara satu hingga dua minggu. Verihubs berfungsi sebagai solusi verifikasi secara menyeluruh menjadi lima detik, menggunakan teknologi autentikasi identitas berbasis AI dan API yang memungkinkan perusahaan terus memverifikasi pelanggan yang kembali melalui SMS, WhatsApp, atau panggilan kilat.

“Karena integrasi dengan banyak vendor itu sulit dilakukan oleh developer, itulah mengapa Verihubs memungkinkan klien untuk melakukan KYC, menawarkan verifikasi nomor telepon menggunakan WhatsApp atau SMS, dan juga memverifikasi data keuangan pelanggan,” ujar Rick.

Saat pengguna masuk ke aplikasi yang menggunakan Verihubs untuk pertama kalinya, mereka akan diminta untuk mengambil foto selfie dan kemudian mengunggah foto tanda pengenal berfoto yang dikeluarkan pemerintah. Teknologi AI Verihubs membandingkan kedua foto untuk melihat apakah mereka cocok, dan melakukan referensi silang ID dengan skor kredit operator telekomunikasi dan database pemerintah Indonesia, termasuk catatan kriminal.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan.

Rick melanjutkan, perusahaan sedang membangun sistem skoring credit berdasarkan data-data transaksi dan saldo akun. Selain itu, berencana untuk memperluas ke pasar regional, seperti Vietnam dan Filipina.

“Untuk sistem verifikasi ID, kami menemukan bahwa Verihubs sudah ada product-market fit di Indonesia, tetapi kami ingin memperluas ke produk baru. Kami mengkonsolidasikan data keuangan dari berbagai sumber, tidak hanya untuk bank, tetapi juga populasi yang tidak memiliki rekening bank. Dan kami juga menjajaki ekspansi ke pasar baru, seperti Filipina dan Vietnam.”

Startup ini baru saja selesai ambil bagian dalam batch musim panas Y Combinator 2021, pendanaan ini diklaim sebagai startup AI pertama dari Indonesia yang didukung YC.

Verihubs didirikan pada 2019 di Jakarta oleh Rick Firnando yang memiliki pengalaman lebih dari 9 tahun di industri B2B, dan Williem, peneliti AI yang memegang gelar PhD dalam bidang computer vision dari Universitas Inha Korea Selatan.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” pungkasnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Pendanaan Oy!

Oy! Konfirmasi Pendanaan Seri A Senilai 427 Miliar Rupiah dan Statusnya sebagai Centaur

Hari ini (23/9), Oy! resmi mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $30 juta atau setara 427 Miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia dengan keterlibatan MDI Ventures, Pavilion Capital, AC Venture, CCV, Wavemaker, PT SAT, Saison Capital Pte. Ltd., dan Orion Advisors.

Sebelumnya, pertama kali kami mengabarkan tentang perolehan pendanaan ini pada Juli 2021 lalu. Kala itu pihak terkait masih enggan memberikan komentar lebih lanjut.

Rencananya, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi bisnis dan memperkuat infrastruktur layanan keuangannya di Indonesia. Beberapa investor sebelumnya seperti Temasek dan Alternate Ventures juga terus berkontribusi dalam membantu operasional bisnis perusahaan.

Didirikan pada tahun 2018, Oy! memosisikan dirinya sebagai aplikasi solusi finansial. Tidak hanya transfer gratis, mereka juga melengkapi layanan dengan fitur-fitur pembayaran yang telah terhubung dengan kartu debit. Saat ini Oy! Indonesia sudah bekerja sama dengan 80 bank dan telah memiliki lisensi dari Bank Indonesia untuk kegiatan transaksi ini.

Founder & CEO Oy! Indonesia Jesayas Ferdinandus mengungkapkan, “Kami saat ini sedang menikmati pertumbuhan yang luar biasa dengan total valuasi lebih dari $100 juta atau setara dengan Rp. 1,4 triliun, ini menempatkan Oy! Indonesia sebagai startup yang sukses menyandang predikat centaur.”

Dalam wawancara bersama media lokal di acara Fintech Week bulan Juni lalu, Jesayas juga berbagi informasi terkait pertumbuhan volume transaksi Oy! yang mencapai 20-30% setiap bulannya. Hal ini bermula sejak masa PSBB yang pertama hingga saat ini seiring pulihnya daya beli masyarakat Indonesia.

Sementara kegiatan offline sudah mulai kembali normal, pihaknya juga menyebutkan tengah menyiapkan layanan sharing service yang bisa digunakan semua perusahaan fintech untuk menjangkau konsumen secara offline. Inovasi ini disebut sebagai hasil kolaborasi bersama beberapa bank dan Bank Indonesia. Hal ini ditengarai karena 70-80% pengguna Oy! adalah korporasi yang membutuhkan infrastruktur transaksi baik online maupun offline.

Jesayas juga menyebutkan bahwa pertumbuhan yang tengah dialami ini harus didukung dengan komitmen untuk mewujudkan visi Oy! Indonesia sebagai penyedia infrastruktur agregator sistem pembayaran terbaik dan terlengkap di Indonesia.

Melalui transformasi dan ekspansi yang berkelanjutan, Oy! Indonesia berencana untuk terus memperkuat layanannya sebagai sistem pembayaran yang memfasilitasi semua transaksi keuangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari individu hingga kebutuhan bisnis di antara beberapa institusi, seperti bank umum, bank digital, p2p lending, e-money, dan perusahaan fintech lainnya.

Solusi sistem pembayaran digital di Indonesia

Solusi sistem pembayaran digital terbukti bisa menjadi pilar utama bagi kelanjutan bisnis selama pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan dari terus meningkatnya transaksi menggunakan uang elektronik di Indonesia yang mencapai Rp24,8 Triliun per Agustus 2021. Selain itu, Bank Indonesia juga mencatat nilai transaksi digital banking sebanyak Rp3.468,4 triliun atau tumbuh sebanyak 61,80%.

Pesatnya perkembangan digital kian mengubah kebiasaan konsumen dalam bertransaksi. Mereka lebih rasional terhadap harga. Mencari layanan yang memberikan harga yang murah, proses mudah, termasuk layanan transfer uang antar rekening. Hal ini telah membuka peluang bisnis yang besar bagi penyedia jasa transfer.

Terkait solusi sistem pembayaran, Partner SoftBank Ventures Asia, Cindy Jin mengungkapkan, “Kami berpikir bahwa solusi sistem pembayaran tidak hanya merupakan peluang pasar yang besar tetapi juga dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, kami menghargai apa yang telah dibangun oleh Oy! Indonesia, yaitu membangun infrastruktur keuangan di berbagai metode pembayaran baik online dan offline.”

Dalam sektor ini, persaingan ketat terjadi antara Oy! dan Flip. Sementara Flip dan Oy! berlomba-lomba menyediakan solusi yang lebih efisien, beberapa layanan dompet digital seperti DANA, LinkAja atau Ovo juga menyediakan opsi transfer tanpa atau dengan biaya admin yang lebih kecil.

Application Information Will Show Up Here

Cermati Scores Series C Funding Led by MDI Ventures; It’s Now a Holding Company

Financial product aggregator startup Cermati announced an undisclosed series C funding led by MDI Ventures, through the Centauri Fund. Also participated in this round the previous investors which led the series B round in 2018, Djarum Group through Central Capital Ventura (CCV).

The fresh funds is said to be used to develop products and technology, recruit new talents, and provide new services with the embedded fintech strategy. Along with MDI Ventures, CFG will synergize with the Telkom Group network to develop financial products.

In today’s official statement (5/5), MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja expressed his enthusiasm for the synergy between Cermati and Telkom in developing products that can provide financial access to 150 million telecommunication network users and hundreds of fintech uses throughout Telkom’s network. “This hold the potential to play an important role in accelerating Indonesia’s financial inclusion,” Donald said.

On this occasion, also introducing Cermati as a holding company named Cermati Fintech Group (CFG) which oversees a number of business verticals, Cermati.com (financial product aggregator), Cermati Protect (insurtech), and Indodana (fintech lending). CFG leverages big data and AI technology to serve the underserved in Indonesia by developing microfinance and insurance products.

Separately reached by DailySocial, Cermati’s Co-Founder & CEO, Andhy Koesnandar explained, CFG is the company’s vehicle to accelerate financial inclusion in Indonesia. He believes that by using technology and working with large ecosystem partners, he can reach more underbanked people and get acquainted with financial products which previously not engaged with banking and insurance institutions.

“Since 2018 we have started to develop the micro insurance and micro finance business to be able to reach a wider Indonesian community,” he said.

Cermati’s flagship product is a financial product aggregator that has been operating since 2015. Andhy said the product has successfully enriched Cermati’s experience in developing digital onboarding products for banking partners, insurance and other financial institutions, through the components of API, Fraud Detection, Credit Scoring, and e- KYC which has become the standard in banking. “This experience provides capital for us to continue to develop new business lines at CFG.”

Amid the pandemic, without any specific details, Cermati has captured the public’s enthusiasm for digital financial services, which also increased as many people migrated to digital services for all activities, including their financial needs.

In terms of insurtech, Cermati Protect has now collaborated with more than 30 insurance company partners. The insurance products also vary, ranging from health insurance, vehicles and also micro insurance products that are distributed through big e-commerce players such as Shopee, Bukalapak, Blibli, Tiket and so on.

“Particularly for this micro product, we are working with our partners to build products that are suitable for the context of transactions with low prices starting from Rp1,000 to help people benefit from insurance at very affordable prices.”

Meanwhile, Indodana has distributed BNPL (Buy Now Pay Later) products to various e-commerce players. One of them is through the Djarum Group, Tiket.com and Blibli. Indodana is more focused on targeting consumers without access to credit card. Both Cermati Protect and Indodana are registered and licensed by the OJK.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
MDI Ventures Pimpin Pendanaan Seri C Untuk Cermati, Kini Jadi Perusahaan Holding / Cermati

Cermati Bukukan Pendanaan Seri C Dipimpin MDI Ventures; Kini Jadi Perusahaan Holding

Startup agregator produk finansial Cermati mengumumkan perolehan pendanaan seri C dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin oleh MDI Ventures, melalui Centauri Fund. Putaran ini juga diikuti oleh investor sebelumnya, yakni Djarum Group melalui Central Capital Ventura (CCV) yang memimpin putaran seri B pada 2018.

Disebutkan dana segar akan dimanfaatkan untuk mengembangkan produk dan teknologi, merekrut talenta baru, serta penambahan layanan baru dengan strategi embedded fintech. Bersama dengan MDI Ventures, CFG akan bersinergi dengan jaringan Telkom Group untuk mengembangkan produk-produk finansial.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (5/5), CEO MDI Ventures Donald Wihardja menyampaikan antusiasmenya terhadap sinergi antara Cermati dengan Telkom dalam mengembangkan produk yang dapat memberikan akses finansial kepada 150 juta pengguna jaringan telekomunikasi dan ratusan penggunaan fintech di seluruh jaringan Telkom. “Hal ini berpotensi memainkan peran penting dalam mempercepat inklusi keuangan Indonesia,” kata Donald.

Dalam kesempatan ini sekaligus memperkenalkan Cermati sebagai perusahaan holding bernama Cermati Fintech Group (CFG) yang membawahi sejumlah vertikal bisnis, yakni Cermati.com (agregator produk finansial), Cermati Protect (insurtech), dan Indodana (fintech lending). CFG memanfaatkan big data dan teknologi AI untuk melayani masyarakat Indonesia yang kurang terlayani dengan mengembangkan produk pembiayaan mikro dan asuransi.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Co-Founder & CEO Cermati Andhy Koesnandar menjelaskan, CFG menjadi kendaraan perusahaan untuk mempercepat inklusi keuangan di Indonesia. Ia percaya dengan menggunakan teknologi dan bekerja sama dengan partner ekosistem besar, bisa menjangkau lebih banyak masyarakat underbanked berkenalan dengan produk keuangan yang sebelumnya belum tersentuh oleh lembaga perbankan dan asuransi.

“Sejak tahun 2018 kami sudah mulai untuk mengembangkan bisnis micro insurance dan micro finance untuk bisa menjangkau masyarakat Indonesia dengan lebih luas lagi,” ucapnya.

Produk flagship Cermati adalah agregator produk finansial yang sudah berjalan sejak 2015. Andhy menuturkan produk tersebut berhasil memperkaya pengalaman Cermati dalam mengembangkan produk digital onboarding untuk mitra perbankan, asuransi dan juga lembaga keuangan lainnya, melalui komponen API, Fraud Detection, Credit Scoring, dan e-KYC yang menjadi standar di perbankan. “Pengalaman tersebut memberikan modal buat kami untuk terus mengembangkan lini bisnis baru di CFG.”

Adapun sepanjang pandemi, meski tidak dirinci secara spesifik, Cermati menangkap antusiasme masyarakat terhadap layanan keuangan digital sepanjang pandemi turut meningkat karena banyak yang migrasi ke layanan digital untuk seluruh kegiatannya, termasuk untuk kebutuhan finansial mereka.

Adapun untuk insurtech Cermati Protect kini telah bekerja sama dengan lebih dari 30 mitra perusahaan asuransi. Produk asuransinya juga beragam, mulai dari asuransi kesehatan, kendaraan dan juga produk asuransi mikro yang didistribusikan lewat pemain e-commerce besar seperti Shopee, Bukalapak, Blibli, Tiket dan sebagainya.

“Khusus untuk produk mikro ini, kami bekerja sama dengan mitra kami untuk membangun produk yang sesuai dengan konteks transaksi dengan harga murah mulai dari Rp1.000 yang bisa membantu masyarakat untuk mendapat benefit dari asuransi dengan harga yang sangat terjangkau.”

Sementara, Indodana sudah mendistribusikan produk BNPL (Buy Now Pay Later) ke berbagai pemain e-commerce. Salah satunya melalui Djarum Group, yakni Tiket.com dan Blibli. Indodana lebih fokus pada menyasar konsumen yang belum memiliki akses kartu kredit. Baik Cermati Protect dan Indodana telah terdaftar dan mendapat izin lisensi dari OJK.

Application Information Will Show Up Here