Tag Archives: chat platform

Line Indonesia

OpenChat Mudahkan Pengguna Line Bergabung dalam Grup Tematik

Setelah sebelumnya diumumkan saat acara Line Conference 2019, fitur yang sebelumnya dikenal dengan nama Line Square kini resmi berubah menjadi OpenChat. Pertama kali diluncurkan pada tahun 2017, Line Square merupakan fitur yang menyediakan ruang obrolan bagi pengguna dengan minat dan kesukaan yang sama untuk berinteraksi, meskipun tidak saling memiliki kontak.

Pengguna pun dapat dengan bebas memperluas cakupan komunikasi mereka tanpa perlu memberikan identitas asli dan tetap menjaga privasi dari akun personal mereka. Keunikan lain yang dimiliki Line Square adalah besarnya kapasitas ruang obrolan, setiap ruang obrolan dapat menampung hingga 5000 anggota.

Sementara itu, pada setiap Square, admin dapat menambah ruang obrolan sebanyak yang dibutuhkan. Dalam Line Square terdapat lebih dari seribu ruang obrolan yang dapat dipilih oleh pengguna sesuai dengan preferensi mereka.

OpenChat mengedepankan kemudahan

Konsep baru OpenChat sengaja diadopsi oleh Line menyesuaikan tren dan penggunaan aplikasi chat messenger serupa lainnya. Line juga menghadirkan beberapa teknologi baru di antaranya adalah memudahkan pengguna untuk mengelola perbincangan di lebih dari satu grup. Pengguna juga dengan bebas bisa memilih profil mereka di masing-masing grup tersebut..

Kepada DailySocial perwakilan dari Line Indonesia menyebutkan, perubahaan nama dari Square menjadi OpenChat diharapkan dapat lebih mengedepankan nilai ‘kemudahan’ dan ‘keterbukaan’ dalam berinteraksi antara pengguna yang memiliki minat yang sama. Mengklaim memiliki model bisnis yang berbeda, Line Indonesia mengungkapkan akan mengumumkan hal tersebut dalam waktu dekat.

“Melalui perubahan nama ini, kami tidak hanya ingin memberikan layanan bagi komunitas-komunitas yang sudah ada tetapi juga menyediakan format baru untuk komunitas-komunitas online. Selain itu, fitur privat OpenChat juga tersedia (kode PIN dan Q&A) sehingga bisa menjadi fitur yang unggulan.”

Saat ini di Indonesia OpenChat telah memiliki 21 Kategori dengan lebih dari 450 ribu OpenChat. Selain itu, terdapat juga sejumlah tipe OpenChat yang berbeda untuk setiap topik yang tersedia. Untuk topik yang populer digunakan oleh pengguna OpenChat di Indonesia di antaranya adalah Sekolah, Gim, dan Sosial. OpenChat telah memiliki 21 Kategori dengan lebih dari 450,000 OpenChat. Selain itu, terdapat juga sejumlah tipe OpenChat yang berbeda untuk setiap topik yang tersedia.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Satu Tahun Prism, dari Capaian Bisnis sampai Inovasi Produk

Pengembang layanan chat-to-buy Prism mengumumkan telah mencapai satu tahun pertamanya pasca pivot dari layanan sebelumnya yang dikenal dengan Coral. Salah satu pencapaian yang diinformasikan terkait dengan jumlah merchant yang telah menggunakan layanannya, yakni sudah mencapai lebih dari 50 e-commerce. Beberapa di antaranya termasuk Berrybenka, Amazara, Manulife, Oktagon, Tees, hingga Biznet Gio.

Untuk lebih tahu tentang pembaruan terkini dari Prism, DailySocial menghubungi Co-Founder & CEO Prism Batista Harahap (Tista). Dalam keterangannya Tista turut menyinggung seputar inovasi produk yang menjadi salah satu konsentrasi utama di tahun pertama berjalan. Salah satu yang baru digulirkan ialah fitur Customer Purchase History, memungkinkan merchant untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang para pembelinya.

“Customer Purchase History sangat efektif untuk meningkatkan basket-size melalui up-selling. Untuk merchant yang menggunakan platform e-commerce seperti WooCommerce di WordPress, you get this out of the box. Inovasi di Prism datang dari dalam maupun luar, kami punya kultur yang fanatik terhadap umpan balik,” terang Tista.

Produktivitas konsumen menjadi patokan utama

Berjalan satu tahun dan berhasil melakukan akuisisi pengguna yang cukup banyak bukan hal mudah –beberapa di antaranya pemain yang cukup signifikan di lanskap e-commerce Indonesia. Mengingat layanan serupa (pengelolaan transaksi via fitur chat) sebenarnya sudah banyak, terutama produk dari luar. Tista menjelaskan, bahwa kerja keras dengan tujuan yang terukur menjadi kunci Prism selama ini. Untuk produknya patokan utamanya sangat jelas, meningkatkan produktivitas merchat sehingga meningkatkan coversion rate.

“Termasuk ketika harus menghadapi kendala, sejauh ini kendala yang ada selalu memberikan kami kesempatan untuk berinovasi. Customer Purchase History sendiri adalah fitur yang hadir karena kendala yang dihadapi salah satu merchant kami,” ujar Tista.

Implementasi di lapangan pun bukan tanpa tantangan. Salah satu isu yang sering ditemui ketika merchant tidak menggunakan platform e-commerce standar seperti WooCommerce, Magento, Opencart dan sebagainya (layanan Prism dapat dipasang secara instan di paltform tersebut). Penyelesaiannya dukungan teknis disediakan secara penuh untuk mendampingi proses implementasi.

“Dengan layanan Prism, rata-rata merchant mitra kami mendapatkan peningkatan conversion rate hingga 40 persen,” ungkap Tista.

Tetap berpegang teguh pada visi utama

Mengenai apa yang ingin dicapai dalam milestone tahun berikutnya Tista bercerita tentang visi utama Prism. Yakni ingin membuat pengalaman membeli se-native mungkin. Salah satu yang dilakukan ialah dengan selalu mendengarkan masukan dari para rekanan dan konsumen, serta selalu melakukan eksekusi perbaikan ataupun pembaruan secepat-cepatnya.

“Sebagai sebuah startup, hal yang paling merugikan adalah tidak cukup cepat untuk mempertahankan growth rate bahkan melebihi. Dari sejak pivot menjadi Prism, visi kami tidak berubah, Prism adalah the go-to company for chat commerce,” pungkas Tista.

Sejumlah Rencana Startup Penyedia “In-App Chat” Qiscus Pasca Pivot

Startup penyedia in-app chat Qiscus mengumumkan sejumlah rencananya pasca melakukan pivot pada 2015 lalu. Beberapa di antaranya membidik startup ikonik dengan pangsa pasar yang besar sebagai penggunanya dan menggalang pendanaan baru seri A tahun depan.

Startup yang bergerak di konsultasi online, seperti telemedicine, konsultasi keuangan, hukum, dan pendidikan adalah beberapa yang dibidik Qiscus sebagai pengguna. Segmen tersebut diprediksi memiliki potensi yang besar dan bakal terus berkembang seiring waktu, baik di Asia Tenggara maupun Indonesia.

Untuk target pendanaannya, sejauh ini Qiscus sudah dua kali mendapatkan suntikan dana dari investor. Pada tahap awal sebesar US$100 ribu di akhir 2014. Sedangkan tahap pra-seri A nilai suntikannya dirahasiakan, begitupula dengan investornya.

“Kami menargetkan dapat menggalang pendanaan seri A pada tahun depan,” ucap Co-Founder dan COO Qiscus Muhammad MD Rahim, Rabu (40/8).

Qiscus sendiri sebenarnya sudah berdiri sejak 2013, berkantor pusat di Singapura dan Jakarta, memiliki karyawan sekitar 35 orang. Untuk developer seluruhnya ditempatkan di Yogyakarta. Akan tetapi, fokus yang dihadirkan pada saat itu adalah solusi komunikasi dan kolaborasi tim dengan menghadirkan aplikasi pesan multiplatform untuk klien korporat.

“Kami lakukan pivot karena layanan chat sebenarnya bisa lebih dari apa yang kami tawarkan pada saat itu. Banyak pula masukan dari calon klien yang justru menginspirasi kami untuk mengubah bisnis,” terang CEO dan Co-Founder Qiscus Delta Purna Widyangga.

Saat ini layanan yang dihadirkan Qiscus adalah membantu perusahaan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk memvirtualkan bisnis dan berekspansi melampaui batas fisik. Produk yang dihadirkan adalah platform chat yang mendukung Artificial Intelligence SDK (software development kit), teknologi suara, dan video.

Untuk sementara, Qiscus baru menyediakan tiga layanan turunan, yaitu customers engagement, manajemen alur kerja & komunikasi tim, dan konsultasi jarak jauh.

Sedangkan untuk layanan AI, Qiscus tengah mempersiapkan kerja sama dengan Kata.ai dan penyedia mesin AI lainnya agar perusahaan klien dapat menggunakan teknologi chatbot dalam Qiscus chat.

“Posisinya kami tidak mengembangkan chatbot, tapi bekerja sama dengan pihak lain. Kami hanya fokus menyediakan mesin yang menjadikan chatbot jadi bisa diandalkan saat mengakses Qiscus chat,” kata Delta.

Investasi in-app chat yang mahal

Dengan pivot, Qiscus memiliki keleluasaan untuk mendalami lebih jauh pangsa pasar layanan chat secara B2B. Pasalnya, Indonesia tergolong negara pengunduh aplikasi Android terbesar kelima di dunia tahun lalu.

Kendati menjadi pengunduh terbesar, banyak aplikasi yang rentan hanya dipakai untuk rentang waktu singkat karena dianggap tidak bisa berinteraksi dengan pengguna. Maka dari itu, solusi yang umumnya dihadirkan pemilik aplikasi adalah menghadirkan fitur in-app real time communications (RTC) demi meningkatkan interaksi.

Hanya saja untuk menghadirkan layanan tersebut butuh investasi dan sumber daya manusia yang harganya tidak murah. Ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap layanan chat messanging cukup tinggi, lantaran sudah cukup familiar dengan aplikasi dengan layanan serupa bertebaran di dunia maya.

Qiscus membuat perhitungan kasar mengenai investasi yang harus dikucurkan sebuah startup yang ingin mengembangkan layanan chat messanging dalam aplikasinya, diperkirakan antara US$35 ribu sampai US$390 ribu.

“Daripada merekrut developer untuk membuat in-app chat, biasanya kami arahkan agar perusahaan memfokuskan developer untuk mengembangkan fitur andalan yang ingin ditambahkan dalam in-app chat nantinya,” ucap CTO Qiscus Evan Purnama.

Pemain pionir di Indonesia

Pihak Qiscus mengklaim dirinya sebagai perusahaan pionir yang menyediakan layanan in-app chat secara B2B di Indonesia. Delta justru menilai kompetitor terbesarnya adalah pemain asing yang menawarkan jasanya untuk perusahaan lokal.

Pemain asing masih dinilai memiliki kompetensi yang lebih mapan. Akan tetapi, mereka memiliki tantangan tersendiri yakni pada masalah kompatibilitas dan fleksibilitas yang mempersulit alokasi sumber daya calon klien.

“Sementara kami paham dengan kondisi pasar Indonesia dan teknologi kami dinilai lebih stabil, kompatibel, dan fleksibel. Sehingga dapat mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Beberapa perusahaan startup lokal yang sudah menjadi pengguna Qiscus adalah Halodoc, Ruangguru, Doku, dan Telkom Indonesia. Di luar Indonesia, ada beberapa startup berasal dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Afrika Selatan yang pernah menjadi pengguna.

WhatsApp: Aplikasi “Chatting” untuk Brand Anda

Pasti Anda sudah tidak asing dengan aplikasi chatting yang satu ini. Ya, benar. WhatsApp, sejak kehadirannya aplikasi ini mendapat sambutan baik dari para pengguna smartphone di seluruh dunia. Secara global tercatat pengguna aktif WhatsApp bulanannya sudah mencapai satu miliar pengguna. Menurut data yang dihimpun survei Nielsen, terdapat 57% konsumen smartphone di Indonesia yang memilih mengunduh aplikasi WhatsApp untuk mendukung aktivitas komunikasi mereka.

Maka tidak heran jika banyak brand yang berlomba-lomba menggunakan fasilitas ini untuk menggaet konsumer. Sebenarnya apa dan bagaimana Anda dapat memaksimalkan penggunaan WhatsApp untuk bisnis Anda? Simak ulasannya berikut ini.

WhatsApp for Millenials

Sebuah studi dari Pew Research Center menunjukkan bahwa 42 persen pengguna aktif WhatsApp adalah kaum millennials yang memiliki rentang usia 19 – 29 tahun. Komunikasi secara intens antara audiens dengan brand sangat dibutuhkan oleh kaum millennials. Oleh karenanya mereka memilih WhatsApp untuk dapat melakukan obrolan yang lebih privat terkait brand yang akan dipilihnya. Terbukti pada survei Nielsen mengatakan 67 persen pengguna WhatsApp berharap bisa melakukan komunikasi lebih banyak dengan brand selama dua tahun ke depan.

Bagi brand, WhatsApp bisa digunakan untuk meng-engage konsumennya dalam jangka waktu panjang sebab WhatsApp memiliki fitur grup chat yang dapat menampung 256 konsumen setia Anda. Sebanyak itu pula Anda bisa menyebarkan broadcast message seperti layaknya email marketing kepada konsumen Anda.

Dengan begitu jangan lupa untuk mencantumkan kontak WhatsApp pada media promosi yang brand Anda pilih. Feedback dapat Anda langsung rasakan jika Anda mampu mengemas konten dengan kreatif.

WhatsApp Status

Baru-baru ini WhatsApp menambahkan fitur barunya yaitu berupa WhatsApp Status. Lagi-lagi kemunculan disambut baik oleh para penggunanya, terlebih yang memanfaatkan WhatsApp sebagai alat bantu bisnis. Mengapa fitur ini sangat berguna? Ya, layaknya di media sosial, pada WhatsApp status Anda juga dapat mengetahui berapa banyak audiens yang melihat/membuka status Anda. Jika Anda secara official menggunakan WhatsApp untuk brand, status pada WhatsApp bisa Anda buat sekreatif mungkin agar dapat me-engage audiens dengan brand.

Saat ini WhatsApp status bisa menampilkan video dengan durasi 45 detik. Bukankah ini waktu yang cukup untuk mempertajam awareness sebuah brand. Konten berupa tulisan, gambar, bahkan GIF bisa Anda sertakan dalam WhatsApp Status. Semakin Anda mampu membangkitkan curiosity, audiens secara tidak sadar akan terkoneksi langsung dengan brand.

Kampanye di WhatsApp

Tidak hanya mampu mengakomodasi percakapan langsung antara audiens dengan brand, WhatsApp juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengaplikasikan sebuah campaign. Karakter WhatsApp yang mengedepankan personalisasi diharapkan sebuah brand mampu menciptakan campaign yang dapat mencerminkan aspek pribadi dari target audiens-nya. Sehingga audiens Anda lebih merasa spesial.

Contohnya adalah brand mayonaise Hellmann, yang mengajak audiens dengan memasukkan nomer telepon di laman website mereka agar dapat langsung terhubung dengan para chef yang dapat membantu mengolah bahan makanan yang audiens miliiki di rumah dengan menggunakan mayonaise Hellmann. Para chef juga dapat menunjukkan foto atau video cara mengolah bahan-bahan tersebut. Hasilnya, 13.000 audiens menghabiskan rata-rata 65 menit untuk dapat berinteraksi dengan brand tersebut dan 99,5 persen audiens merasa puas dengan layanan tersebut.

Sebuah brand juga dapat menggunakan WhatsApp sebagai layanan konsumen dan terlebih untuk piranti survei. Orang Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 6,2 menit per hari untuk menggunakan WhatsApp. Bahkan untuk semakin mengakomodir pengguna setianya, WhatsApp juga telah mengeluarkan aplikasi khusus untuk bisnis, “WhatsApp for Business”. Aplikasi ini untuk pertama kalinya diuji coba di India.

Nah apakah Anda tertarik mencoba menggunakan WhatsApp untuk pemasaran brand Anda?


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX