Tag Archives: cheating

Kenapa Gamers Nge-Cheat? Apa Dampaknya?

Dari tahun ke tahun, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi esports terus naik. Karena itu, tidak heran jika kecurangan dianggap sebagai masalah serius. Saat ini, bahkan telah ada Esports Integrity Commission (ESIC), yang bertujuan untuk memastikan integritas dari dunia esports. Namun, orang-orang yang menggunakan cheats atau berbuat curang dalam game tidak terbatas pada pemain profesional. Tidak sedikit gamers amatir atau bahkan gamers kasual yang juga berbuat curang. Hal ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gamers berbuat curang saat bermain?

Kecurangan Tidak Terbatas oleh Gender

Kebanyakan riset tentang cheating di dunia game fokus pada laki-laki. Hal ini menyebabkan munculnya asumsi bahwa laki-laki lebih sering berbuat curang dalam game daripada perempuan. Namun, studi tentang para pemain Whyville — game edukasi yang ditujukan untuk anak-anak berumur delapan tahun ke atas — menunjukkan bahwa asumsi itu salah. Whyville yang diluncurkan pada 1999. Kebanyakan pemain dari game itu adalah anak dan remaja perempuan di rentang umur 8-13 tahun. Dan ternyata, ada banyak pemain dari game tersebut yang berbuat curang.

“Ketika saya dengar bahwa Whyville dibuat untuk remaja perempuan, saya bertanya pada sang developer: apakah hal itu berarti mereka tidak perlu khawatir tentang masalah cheating,” kata Mia Consalvo, Professor di bidang Game Studies and Design dan Communication Studies di Concordia University, Kanada, seperti dikutip dari BBC. Namun, ternyata, walau 68% pemain dari Whyville adalah anak dan remaja perempuan berumur 8-13 tahun, game itu dipenuhi dengan orang-orang yang berbuat curang.

Dalam Whyville, para pemain akan mendapatkan clams — mata uang virtual yang digunakan dalam game — jika mereka berhasil memecahkan puzzles tentang sains atau matematika. Clams yang didapatkan oleh pemain bisa digunakan untuk mengubah avatar pemain. Misalnya, mengubah tampilan wajah atau potongan rambut avatar. Selain itu, clams juga bisa digunakan untuk membeli item tertentu. Setelah mendesain avatar sesuai dengan selera mereka, para pemain bisa menjual desain avatar tersebut dengan harga yang mereka tentukan sendiri.

Whyville adalah game edukasi untuk anak dan remaja. | Sumber: PC Mag

Menurut Yasmin Kafai, Professor of Learning di University of Pennsylvania, AS dan Deborah Fields dari Utah State University, AS, kecurangan yang dilakukan oleh pemain Whyville beragam. Sama seperti game lain, game itu juga punya cheat codes dan walkthrough guides yang bisa pemain gunakan. Selain menggunakan cheat codes, kecurangan lain yang pemain lakukan adalah dengan membuat akun kedua atau bahkan meretas akun pemain lain agar mereka bisa mendapatkan clams.

Menariknya, Consalvo juga menemukan metode cheating yang jarang digunakan di game lain, yaitu manipulasi harga pasar. Untuk melakukan itu, para pemain akan bersekongkol dan menggunakan fitur chat untuk mengklaim betapa langkanya desain avatar yang mereka jual. Terkadang, mereka menyebarkan rumor bahwa desain avatar yang mereka tawarkan sedang dicari oleh banyak orang. Harapannya, hal ini akan membuat calon konsumen rela untuk mengeluarkan clams lebih banyak. Consalvo menyebut fenomena ini sebagai “arbitrase sosial”, yaitu ketika sekelompok orang berusaha untuk memanipulasi pasar menggunakan kemampuan sosial mereka.

“Hal ini sangat mengejutkan, kan?” kata Consalvo, ketika dia membahas tentang cara kreatif yang digunakan pemain untuk mendapatkan clams. “Anda tidak akan bisa tahu siapa yang melakukan apa di dalam game. Dan karena itulah, sesuatu yang baru dan menarik akan selalu terjadi.”

Kenapa Kita Bermain Curang?

Sekarang, game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Seiring dengan semakin meningkatnya popularitas game, semakin banyak pula orang yang menjadi gamers. Alhasil, gamers kini juga bisa mendapatkan label “cool. Consalvo menyebut konsep ini sebagai “gaming capital“. Jadi, seseorang bisa menjadi populer di komunitas, jika dia bisa sukses dalam game. Dan tentu saja, dia akan ingin bisa mempertahankan kepopuleran mereka itu.

“Jika Anda sangat serius menekuni game tertentu, Anda akan mendapatkan informasi yang tidak diketahui pemain lain… Dan informasi itu bisa Anda bagikan dengan pemain lain,” kata Consalvo. “Hal seperti ini bisa disebut sebagai ‘cultural capital‘.”

Seseorang bisa menjadi populer di komunitas karena keahlian dalam bermain game. | Sumber: Pexels

Hanya saja, biasanya seorang gamer yang berhasil menjadi populer di komunitas akan ingin mempertahankan status itu meski dia harus berbuat curang. Satu hal yang menarik, pemain yang berbuat curang biasanya adalah pemain yang justru punya performa cukup baik dalam game dan bukannya orang-orang yang sama sekali gagal dalam game. Hal ini mengimplikasikan, seseorang akan lebih termotivasi untuk berbuat curang demi mempertahankan apa yang dia miliki daripada untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah dia raih.

Keputusan seseorang untuk berbuat curang demi mempertahankan statusnya tidak hanya terjadi di dunia game, tapi juga di bidang lain, seperti akademi. Kerry Ritchie melakukan penelitian tentang bagaimana cara untuk memperbaiki kualitas pengajaran di University of Guelph, Ontario, Kanada. Dari penelitian itu, dia menemukan, sebagian besar murid yang berbuat curang adalah murid yang memiliki nilai yang bagus. Sebanyak 60% orang yang berbuat curang mendapatkan nilai 80/100 atau lebiih. Memang, berbuat curang dalam game dan berbuat curang di sekolah adalah hal yang berbeda. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, ada kesamaan pada alasan seseorang berbuat curang.

Selain keingingan untuk mempertahankan status, ada faktor lain yang bisa mendorong seorang gamer untuk berbuat curang. Pertemanan adalah salah satu faktor tersebut. Gamer yang punya teman yang juga berbuat curang punya kemungkinan lebih besar untuk berbuat curang. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, perilaku seseorang biasanya dipengaruhi oleh perilaku teman-temannya. Kedua, karena biasanya, manusia cenderung mencari teman dengan pemikiran yang serupa.

Dampak Bermain Curang

Tentu saja, berbuat curang akan memberikan dampak tersendiri, khusunya dalam game multiplayer online. Salah satu dampak buruk yang muncul, menurut Kafai dan Fields, adalah rusaknya pengalaman bermain dari korban. Tidak tertutup kemungkinan, korban penipuan akan berhenti bermain sama sekali.

Kafai dan Fields lalu menceritakan kisah Zoe, pemain berumur 12 tahun yang menjadi korban penipuan di Whyville. Satu hari setelah dia ditipu, dia  balik menipu pemain lain untuk pertama kalinya. Namun, dua minggu kemudian, dia berhenti bermain Whyville. Tampaknya, dia tidak lagi menikmati pengalaman bermain game tersebut karena penipuan.

Kafai dan Fields menjelaskan, penipuan yang tidak memanfaatkan desain game sebagai loophole dan ditujukan ke pemain lain, jenis penipuan tersebut bisa punya kaitan dengan cyberbullying. Sementara itu, tingginya tingkat penipuan yang terjadi di Whyville menunjukkan, anak dan remaja harus diajarkan tentang konsekuensi dari tindakan yang mereka ambil. Dengan begitu, mereka bisa tahu dampak yang terjadi ketika mereka memutuskan untuk menipu pemain lain.

Menjadi korban kecurangan bisa membuat seseorang berbuat curang. | Sumber: Research Gate

Berbuat curang akan memberikan dampak yang berbeda, tergantung pada apakah pemain bermain game single-player atau multiplayer. Dalam game single-player, menggunakan kode cheats justru bisa membuat pemain lebih menikmati sebuah game. Satu hal yang pasti, meskipun pemain berbuat curang dalam game single-player, tidak ada pemain lain yang dirugikan. Lain halnya dengan kecurangan dalam game multiplayer. Ketika seseorang menggunakan cheat dalam game single-player, hal ini bahkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis mereka.

Consalvo menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa menggunakan cheats dalam game single-player justru bisa membuat para pemain merasa puas. Alasan pertama: terkadang, desain game tidak sempurna. Kesalahan dalam desain game bisa menyebabkan pemain terjebak di satu tempat dalam game. Dan terjebak di satu titik tanpa bisa melanjutkan game bukanlah hal yang menyenangkan. Consalvo mengungkap, hal ini menjadi alasan utama mengapa seorang gamer menggunakan kode cheat.

Lalu, Consalvo membandingkan bermain game dengan membaca buku. Ketika membaca buku, pembaca bisa melakukan skimming atau bahkan melewati bagian yang dianggap membosankan. Jadi, pembaca tidak akan kehilangan minat di tengah jalan ketika mereka sampai di bagian yang membosankan. Sayangnya, hal yang sama tidak bisa dilakukan di game. Kebanyakan game didesain sedemikian rupa sehingga untuk bisa memainkan level berikutnya, pemain harus menyelesaikan level yang sedang dia mainkan. Karena itulah, ada kalanya, menggunakan cheats di game single-player justru bisa membuat pemain merasa puas.

Sumber header: Pexels

Activision Blokir Permanen Lebih dari 50 Ribu Cheater Call of Duty: Warzone

Cheat atau cara curang sudah jadi bagian dari video game dari sejak medium hiburan ini diperkenalkan ke publik puluhan tahun lalu. Beberapa permainan memang terlalu sulit untuk sebagian orang, dan penggunaan cheat di mode single-player adalah suatu hal yang bisa diterima. Namun tentu saja cheat diharamkan di multiplayer, terutama ketika ia memberi keuntungan dan keunggulan pada sejumlah oknum di atas pemain lain.

Bagi developer game online, memerangi para cheater ialah sebuah perjuangan yang tak ada habisnya. Ada begitu banyak sistem anti-cheat diciptakan dan diimplementasikan. Beberapa studio juga memberanikan diri untuk mengambil langkah ekstrem dengan resiko kehilangan jumlah pemain secara signifikan. Salah satunya adalah melalui pemblokiran permanen, seperti yang belum lama dilakukan oleh Activision terhadap lebih dari 50 ribu cheater di Call of Duty: Warzone.

Lewat blognya, sang publisher dengan tegas menyampaikan bahwa Call of Duty: Warzone bukanlah tempat bagi cheater dan tidak ada toleransi untuk mereka. Memastikan semuanya bermain adil ialah prioritas utama Activision dan merupakan sebuah aspek yang betul-betul diperhatikan. Meski demikian, sudah pasti Activision tak mau mengungkap metodenya secara gamblang, sebagai upaya buat terus mengejutkan para cheater.

Ada dua pihak yang jadi musuh utama Activision: para pemain curang serta penyedia jasa cheat (umumnya ditawarkan sebagai layanan premium). Dalam membungkam mereka, publisher dan developer mengimplementasikan sejumlah strategi, terutama lewat penyempurnaan sistem keamanan serta pengawasan secara terus menerus.

Activision menugaskan tim keamanan buat bekerja tanpa henti dalam menginvestigasi data serta mengidentifikasi potensi-potensi pelanggaran. Tim ini akan mengulas semua metode hack dan cheat yang dapat mereka temukan, seperti penggunaan aimbot (memungkinkan orang membidik lawan secara otomatis), wallhack (memberi kemampuan untuk melihat atau berjalan menembus tembok), dan lain-lain.

Selain itu, Activision juga terus berusaha menyempurnakan sejumlah sistem in-game demi mempermudah pemain melaporkan dugaan tindak kecurangan, misalnya dengan menyederhanakan user interface. Segala laporan tersebut selanjutnya segera dianalisa dan disaring berdasarkan data. Setelah investigasi selesai, tim akan bergerak cepat buat menjatuhkan pemblokiran pada pelaku pelanggaran.

Activision turut berjanji untuk terus memberi update terkait jumlah cheater yang berhasil diblokir.

“Tidak ada tempat buat para cheater di sini,” tutur Activision sembari menutup pengumuman mereka. “Kami menyadari bahwa tidak ada solusi tunggal dalam memerangi praktek cheating. Ini merupakan usaha yang mesti dilakukan setiap hari, 24 jam selama seminggu penuh. Tapi yakinlah, kami berkomitmen buat menjaga agar pengalaman bermain tetap menyenangkan dan adil bagi semua orang.”

Teruskan Perang Melawan Cheater Apex Legends, Respawn Tak Ragu Blokir ID Hardware

Cheat sudah ada sejak video game dihidangkan ke publik. Umumnya cheat tersaji lewat dua cara: digarap oleh pihak ketiga atau ditanam di permainan karena sejatinya merupakan bagian dari perkakas developer. Di judul-judul single-player, pemakaian cheat tidak pernah jadi masalah. Tapi ia merupakan musuh utama pemain dalam game-game multiplayer bertema kompetitif.

Sejak Apex Legends pertama kali dirilis, Respawn Entertainment terus berjuang mengatasi praktek cheating. Kurang lebih sebulan setelah permainan battle royale populer itu tersedia, developer berhasil menjaring lebih dari 350 ribu cheater. Dan kali ini, tim pengembang diketahui telah mengambil langkah lebih agresif dalam memeranginya. Mereka yang kerap bermain curang menyampaikan bahwa Apex Legends telah melakukan pemblokiran terhadap hardware.

Lewat forum ResetEra serta Reddit, para cheater Apex Legends di PC mengakui bagaimana mereka tidak bisa lagi mengakses permainan, meskipun telah menciptakan akun baru. Ternyata, situasi ini disebabkan oleh implementasi sistem pembekuan identitas hardware. Metode ini sangat sulit diakali, bahkan lewat sejumlah trik ataupun dengan mengubah alamat IP karena HWID adalah deretan angka dan huruf yang digunakan sebagai ciri-ciri unik komputer personal.

Seseorang sempat bilang bahwa mengganti kartu grafis atau RAM dapat mengubah identitas hardware PC, namun pengguna lain berpendapat ada kemungkinan teknologi anti-cheat tersebut mampu mendeteksi kombinasi beberapa komponen berbeda. Begitu ampuhnya metode baru ini, hingga satu cheater yang terkenal akan reputasi buruknya berkali-kali terblokir setelah mencoba memamerkan kemampuannya mengelabui sistem anti-cheat Respawn via Twitch.

Teorinya, cara paling efektif agar mereka yang gemar bermain curang bisa menikmati Apex Legends lagi adalah dengan membeli satu set PC baru. Memang tidak ada hal yang lebih manis bagi gamer dari menyaksikan tangisan para cheater:

“Sayangnya, saya telah diblokir. Saya tidak tahu bagaimana mereka melakukannya. Saya tidak menggunakan cheat dalam waktu tiga empat hari. Ini semua hanya buang-buang uang. Saya menyalahkan diri sendiri,” kata seorang pengguna software hack.

Rekannya kemudian menanggapi, “Saya bahkan tidak bisa bermain dengan akun baru. Tiap kali membuat, akun tersebut diblokir.”

Apex 1

Pertanyaannya kini ialah, apakah sistem blokir identitas hardware ini diaplikasikan secara merata dan konsisten?

Saya harap iya, dan memang sudah saatnya Respawn memberikan hukuman berat bagi para pelanggar. Mereka tidak perlu cemas sistem anti-cheat tersebut mengurangi jumlah pemain, karena individu-individu yang betul-betul peduli terhadap Apex Legends tidak akan berpikir untuk menggunakan metode-metode ilegal ketika bermain.

Via PC Gamer.

Respawn Jaring 355 Ribu Cheater Apex Legends, Fitur Pelaporan Praktis Segera Hadir

Apex Legends tampaknya tidak berhenti membuat kita terpana. Dalam periode hanya sebulan setelah dirlis, game shooter battle royale itu sukses menyentuh batasan 50 juta pemain. Pertumbuhan ini melampaui rekor Fortnite yang membutuhkan beberapa bulan untuk menghimpun 45 juta gamer. Namun dengan pesatnya perkembangan komunitas, meningkat pula usaha-usaha ilegal dari sejumlah oknum agar mereka bisa unggul di tiap match.

Kabar baiknya, tim Respawn Entertainment sudah mengantisipasi hal ini. Lewat Reddit, tim mengabarkan keberhasilannya memblokir lebih dari 355 ribu cheater Apex Legends di PC berbekal Easy Anti-Cheat. Developer mengabarkan bahwa layanan tersebut terbukti efektif menanggulangi upaya-upaya bermain curang, namun Respawn juga menyadari, mengatasi cheater adalah sebuah ‘perang tanpa henti’ dan berjanji untuk terus waspada.

Respawn menjelaskan bagaimana mereka sangat serius dalam membasmi praktek cheating demi menjaga kesehatan ekosistem game. Developer tentu tidak mau mengumbar seperti apa metode yang telah dan akan diimplementasikan untuk mengejutkan para cheater, tetapi ada tiga poin yang saat ini Respawn lakukan:

  1. Berkolaborasi bersama para ahli, baik di dalam ataupun di luar ruang lingkup Electronic Arts. Banyak hal baru bisa dipelajari lewat kerja sama dengan tim lain.
  2. Menambah jumlah tim anti-cheat sehingga ke depannya ada lebih banyak sumber daya buat menangkis metode-metode bermain curang.
  3. Membubuhkan fitur pelaporan in-game di Apex Legends versi PC, sehingga pemain bisa lebih mudah mengadukan gamer-gamer mencurigakan.

Fitur report merupakan salah satu fungsi paling krusial di game multiplayer kompetitif, dan ketidakhadirannya di Apex Legends memang sedikit membingungkan. ‘Report‘ sudah menjadi fitur native di Titanfall 1 dan 2 yang dijajakan sebagai game berbayar, meskipun kondisi ini tidak menghentikan sejumlah oknum untuk mencoba bermain curang. Tak mengherankan jika praktek cheating jadi lebih masif di game free-to-play.

Selain cheating, tim mengabarkan tengah mencari jalan keluar terhadap aktivitas spamming yang dilakukan sejumlah pemain. Mereka biasanya melakukan spamming di sesi pemilihan karakter, kemudian segera keluar dari pertandingan dan memutuskan koneksi. Sekali lagi, Respawn tak mau mengungkap strategi yang mereka ambil, dan solusinya kemungkinan tidak diluncurkan dalam waktu satu dua minggu.

Respawn juga mengakui ada sejumlah kendala teknis yang perlu ditangani. Mereka sedang menggodok patch baru untuk mengatasi crash serta mendongkrak performa permainan di PC. Developer masih berdiskusi soal penambahan fitur reconnect, tetapi mereka melihat bahwa kehadiran fungsi ini membuka peluang eksploitasi. Lagi pula, timnya saat ini tengah fokus buat meningkatkan kestabilan permainan.

Minggu Lalu, Valve Menjaring Hampir 90 Ribu Cheater di Steam

Bagi developer game, penanggulangan masalah cheating adalah perang tanpa akhir. Metode yang digunakan para oknum semakin canggih dan bervariasi. Sebagai tanggapannya, metode anti-cheat yang digunakan para penyedia platform juga kian tegas. Blizzard misalnya. Jika tertangkap basah bermain curang di game mereka, akun Battle.net kita akan diblokir secara permanen.

Valve juga sudah mengimplementasikan sistem Valve Anti-Cheat (biasa disingkat VAC) di Steam sejak tahun 2002. Developer tidak pernah mengungkap cara kerja VAC secara rinci agar para cheater tidak bisa mengakalinya, namun sepertinya Valve belakangan telah mengambil langkah agresif dalam menanggulangi praktek kecurangan di sana. Minggu lalu, developer dikabarkan berhasil menjaring hampir 90 ribu akun Steam bermasalah. Angka ini merupakan rekor terbesar Valve.

Langkah pemblokiran besar-besaran diketahui dimulai pada hari Selasa tanggal 17 Juli silam. Saat itu, VAC menyegel lebih dari 60 ribu akun di platform distribusi digitalnya. Tapi pembersihan tidak berhenti sampai di sana. Di hari Rabu pagi, sistem anti-cheat kembali membekukan tidak kurang dari 28.411 akun. Momentum pemblokiran akhirnya menurun di akhir minggu lalu. Saat artikel ini ditulis, VAC baru menutup satu akun terduga cheating di tanggal 23 Juli.

Belum bisa dipastikan apa yang memicu pembekuan akun secara masif tersebut. Kita boleh menduga, Valve Anti-Cheat berhasil mengidentifikasi metode eksploitasi yang sebelumnya tidak diketahui. VAC awalnya diterapkan di permainan-permainan punya Valve, namun sekarang ada banyak judul third-party turut mengusungnya. Kurang lebih 300 game mendukung VAC, dan jika Anda diblokir di satu judul, Anda akan kesulitan mengakses permainan lainnya.

Game-game populer Steam yang memanfaatkan VAC meliputi Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, seri Call of Duty hingga Ark: Survival. Jika Anda banyak menghabiskan waktu menikmati judul-judul ini, ada peluang cukup besar Anda sempat berhadapan dengan cheater.

Sebagai orang yang tidak pernah berpikir untuk bermain game dengan curang, saya sangat mengapresiasi langkah tegas Valve tersebut. Beberapa tahun silam, pengguna Steam sempat mengeluhkan gerak lambat Valve mengatasi cheater. Meski sedikit terlambat, dan para oknum sudah lama menjalankan aksinya, setidaknya perusahaan betul-betul berkomitmen buat tidak mentolerir cheating.

Tentu saja pemblokiran besar-besaran ini bukanlah akhir dari upaya cheating para oknum yang terjaring. Mereka masih bisa membuka akun baru. Tapi setidaknya, langkah cheater jadi lebih sulit karena mereka harus menggunakan alamat email lain, menyambungkan akun ke nomor telepon berbeda, dan membeli game dari nol.

Via Games Industry & PCGamesN.