Tag Archives: cinema

Sony-Venice-2-8

Sony Umumkan Kamera Sinema Venice 2, Dukung Perekaman Video 8,6K & Sensornya Dapat Ditukar

Sony telah mengumumkan kamera sinema digital flagship terbarunya, Venice 2. Penerus dari Venice generasi pertama yang dirilis tahun 2017 ini mampu merekam video 8,6K dalam mode full frame dan mendukung dynamic range hingga 16 stop.

Sejumlah pembaruan pun diusung oleh Venice 2, seperti form factor yang lebih ringkas sehingga lebih ditangani ketika menggunakan gimbal dan didukung dua opsi sensor berbeda. Termasuk sensor full frame 8,6K baru beresolusi 50MP dengan dynamic range 16 stop atau dapat menggunakan sensor full frame 6K 24,8MP dari Venice original yang menawarkan dynamic range 15 stop dan mampu menghasilkan refresh rate lebih tinggi.

Untuk menukar modul sensor gambar, memang belum sepraktis seperti mengganti lensa, Anda masih membutuhkan bantuan beberapa alat sederhana. Setelah mengganti sensor, kamera tidak membutuhkan pembaruan firmware atau penginstalan ulang, segera setelah sensor baru dipasang, kamera langsung siap digunakan.

Selain itu, Venice 2 juga mewarisi beberapa fitur populer dari Venice original. Mencakup dukungan color science yang sama, dual base ISO 800 dan 3200, serta ND filter bawaan 8 stop. Juga kemampuan untuk merekam footage dalam berbagai resolusi dan rasio crop berbeda, termasuk 4K anamorphic dalam mode full-frame, 4K Super35. dan banyak lagi.

Sony juga menghadirkan rangkaian peningkatan berdasarkan umpam balik dari para penggunanya, yakni opsi perekaman internal untuk X-OCN, Apple 4K ProRes 444, dan Apple 4K ProRes 422 HQ. Berikut mode perekaman maksimum saat merekam dengan sensor 8,6K baru pada Venice 2.

  • 8.6K | 3:2 | 30FPS | Full Frame
  • 8.2K | 17:9 | 60FPS | Full Frame
  • 5.8K | 6.5 Anamorphic | 48FPS | Super35
  • 5.8K | 17:9 | 90FPS | Super35

Untuk menyimpan hasil video, Venice 2 menggunakan kartu memori AXS baru dari Sony yang dapat mentransfer data hingga 6,6 Gbps – lebih dari cukup untuk perekaman 8K 60 fps. Saat ini, Sony belum mengungkap detail harga dari Venice 2, namun rencananya Venice 2 dengan sensor 8.6K baru akan dikirim pada Februari 2022, sedangkan versi 6K akan dikirim pada Maret 2022.

Sumber: DPreview

Sony Umumkan Kamera Cinema FX3, dengan Bodi Kecil dan Lebih Terjangkau

Sony A7S III merupakan kamera mirrorless lini Alpha dari Sony yang paling kapabel untuk produksi video. Di atasnya, Sony masih punya lini kamera video Cinema yang meliputi Sony FX6, FX9, dan Venice. Baru-baru ini Sony mengumumkan satu lagi kamera Cinema yang sangat menarik bagi filmmaker dan content creator.

Adalah Sony FX3, posisi kamera ini berada di antara A7S III dan FX6, harganya jauh lebih terjangkau dari FX6 dan beda tipis dari A7S. Berbeda dengan para saudaranya yang memiliki desain kotak, FX3 punya bodi ringkas seperti lini kamera Alpha.

Sekilas desain Sony FX3 terlihat mirip seperti Sigma FP terutama bagian atas, bentuknya kotak persegi panjang. Namun membawa grip cukup besar, tanpa jendela bidik, dan punya LCD 3 inci 1,33 juta dot dengan mekanisme vari-angle.

Selain itu, atribut di tubuhnya sangat ramai. Total ada enam tombol yang bisa disesuaikan, tiga di atas, dua di belakang di samping LCD, dan satu di depan dekat dudukan Sony E-mount. Juga sudah memiliki enam sekrup tipe 1/4-20 UNC, tiga di atas, serta masing-masing satu di sisi kanan, kiri, dan bawah. Artinya kita tidak perlu lagi pakai cage dan praktis bisa memasang berbagai aksesori secara langsung.

Bicara bagian dalam dan kemampuannya, Sony FX3 membawa banyak sekali fitur dari Sony A7S III. Termasuk sensor full frame BSI-CMOS 12MP yang sama dengan prosesor gambar BIONZ XR. Kamera ini juga memiliki IBIS dan dapat merekam video UHD 4K 60p dengan seluruh penampang sensornya dan 4K 120fps dengan sedikit crop.

Pengaturan opsi bitrate, frame rate, dan format video yang ditawarkan juga identik dengan A7S III. Termasuk kemampuan mengambil gambar 10-bit 4:2:2 dalam format XAVC HS (H.265) atau XAVC S (H.264) secara internal. Juga mendukung output RAW 16-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

Sebagai informasi, di Indonesia Sony A7S III body only dibanderol Rp50.999.000 dan Rp92.999.000 untuk Sony FX6. Sementara, Sony FX3 dijual dengan harga US$3899 atau sekitar Rp54,8 jutaan dan rencananya akan tersedia secara global pada bulan Maret mendatang.

Sumber: DPreview

Blackmagic Design Mengumumkan Pocket Cinema Camera 6K Pro

Blackmagic Design telah mengumumkan kamera terbaru lini Pocket Cinema Camera, bernama Pocket Cinema Camera 6K Pro (BMPCC6KP). Kamera cinema ini mengusung sensor Super 35mm dengan dudukan lensa Canon EF mount.

Salah satu peningkatan besar dibanding generasi sebelumnya ialah layar sentuh LCD 5 inci beresolusi 1920×1080 pikselnya kini memiliki mekanisme tilting dan mendukung tingkat kecerahan 1.500 nit. Ukuran layar yang cukup besar dan cerah, serta bisa dimiringkan tentu sangat membatu videografer untuk mendapatkan bidikan rendah maupun tinggi tanpa harus bergantung pada monitor eksternal.

Blackmagic 3

Bila layar masih kurang, Blackmagic juga merilis aksesori viewfinder eksternal baru yang dapat terhubung lewat hotshoe dan Pro Grip yang dapat menampung dua baterai. Aksesori EVF tersebut menggunakan panel OLED 3,68 juta titik, dapat dimiringkan 70 derajat secara vertikal, dan dilengkapi dengan empat bentuk eyepiece yang dapat dicopot pasang.

Peningkatan lainnya, Pocket Cinema Camera 6K Pro memiliki ND filter IR bawaan 2, 4, dan 6 stop yang digerakkan oleh motor. Untuk meningkatkan masa pakai baterai, Blackmagic beralih dari baterai Canon LP-E6 menggunakan Sony NP-F570 yang juga banyak digunakan pada aksesori di industri video.

Blackmagic mengatakan kamera ini sudah mengadopsi color science generasi ke-5 yang pertama kali hadir pada kamera Blackmagic Design URSA Mini Pro 12K. Dalam beberapa bulan, pengguna Pocket Cinema Camera 4K dan 6K juga akan mendapatkannya lewat pembaruan firmware. Kemampuan perekam videonya sebagai berikut:

  • 6144 x 3456 (6K) up to 50 fps
  • 6144 x 2560 (6K 2.4:1) up to 60 fps
  • 5744 x 3024 (5.7K 17:9) up to 60 fps
  • 4096 x 2160 (4K DCI) up to 60 fps
  • 3840 x 2160 (Ultra HD) up to 60 fps
  • 3728 x 3104 (3.7K 6:5 anamorphic) up to 60 fps
  • 2868 x 1512 (2.8K 17:9) up to 120 fps
  • 1920 x 1080 (HD) up to 120 fps

Fitur lainnya termasuk dual slot SD UHS-II dan CFast 2.0, USB-C media disk recording, dan sepasang mini XLR audio input. Harga Blackmagic Design Pocket Cinema Camera 6K Pro dibanderol US$2.495 (sekitar Rp35 jutaan), aksesori EVF eksternal US$495 (Rp6,9 jutaan), dan Pro Grip berharga US$145 (Rp2 jutaan).

Sumber: DPreview

Sony Umumkan Kamera Full Frame Cinema Line Profesional FX6

Sony telah meluncurkan kamera Cinema Line profesional terbarunya yang dirancang untuk filmmaker dan content creator, Sony FX6. Kamera ini mengemas sensor full-frame backside-illuminated CMOS Exmor R beresolusi 10,2 MP dengan prosesor gambar Bionz XR yang pertama kali digunakan pada Sony A7S III.

Sensor ini menawarkan dynamic range 15+ stop dan memiliki ISO maksimum 409.600 yang memungkinkan pengambilan gambar di kondisi cahaya sangat rendah. Sony juga menambahkan look profile S-Cinetone untuk fleksibilitas pasca produksi, yang terinspirasi oleh kolorimetri Venice dan juga ditemukan di kamera cinema FX9.

Untuk kemampuan perekamannya, FX6 sanggup merekam video dalam format XAVC All Intra 4:2:2 10-bit pada resolusi DCI 4K (4096×2160 piksel) hingga 60fps, QFHD 4K (3840×2160 piksel) hingga 120fps, dan FHD (1920×1080 piksel) hingga 240p. Serta dalam format XAVC Long GOP 4:2:0 8-bit pada resolusi QFHD 4K (3840×2160 piksel) hingga 120fps dan 4:2:2 10-bit FHD (1920×1080 piksel) hingga 240p.

Bila menggunakan port 12G-SDI onboard, kamera ini dapat menghasilkan rekaman video Raw 16-bit SDI 4K 60fps. Footage yang dihasilkan disimpan ke salah satu atau kedua slot kartu CFexpress Type A, yang juga kompatibel dengan kartu SD UHS-II. Perlu dicatat, perekaman di atas 100fps akan memerlukan penggunaan kartu CFExpress Type A.

FX6 menggunakan sistem Fast Hybrid AF 627 titik yang sama seperti yang ditemukan di FX9 dan kamera mirrorless Sony Alpha, termasuk advanced Face Detection dan Real-time Eye AF. FX6 juga memiliki internal electronic variable ND filter, yang dapat disesuaikan secara manual.

Bodi FX6 dibuat dari sasis magnesium alloy dengan dimensi 116x153x114 mm dan berat 890 gram. Menggunakan dukukan lensa Sony E-mount yang kompatibel dengan lebih dari 50 lensa native dan memiliki LCD viewfinder 3.5 inci yang dapat dipasang ke berbagai lokasi pada bodi berkat desain modularnya.

Kamera cinema full-frame Sony FX6 ini akan tersedia mulai bulan Desember dan dibanderol dengan harga US$6.000 untuk body only dan US$7.200 dengan lensa kit FE 24-105mm F4 G Sony. Sony juga merilis lensa FE C 16-35mm T3.1 G baru pada bulan Desember yang akan dijual seharga US$5.500.

Sumber: DPreview

Laowa-OOOM-25-100mm-T2.9

Laowa OOOM 25-100mm T2.9 Adalah Lensa Zoom Cinema Pertama Venus Optics

Venus Optics mengumumkan ketersediaan lensa zoom cinema pertamanya, Laowa OOOM 25-100mm T2.9. OOOM ini singkatan dari “Out of our minds” dan dibanderol dengan harga US$5000 atau sekitar Rp74 juta dengan dudukan Sony E-mount atau Canon EF-mount.

Laowa OOOM 25-100mm T2.9 ini memiliki aperture konstan dan mencakup sensor berukuran Super 35+. Artinya lensa dipastikan kompatibel dengan kamera cinema kelas atas seperti 8K Red Helium dan Arri Alexa Mini.

Karena dirancang dari awal untuk kebutuhan sinematografi, lensa ini pun menjanjikan focus breathing yang sangat rendah. Guna memberikan solusi lengkap bagi para filmmaker. Spesifikasinya Laowa OOOM 25-100mm T2.9 sebagai berikut:

  • 9 bilah aperture blade
  • Kompabilitas dengan format Super 35+
  • Kontruksinya terdiri dari 20 elemen dalam 16 grup
  • minimum focus 60cm
  • Ukuran filter 95mm
  • Dimensi 102x240mm dan berat 2.5kg
  • Tersedia untuk mount Sony/Arri/Canon

Laowa menjanjikan akan memproduksi teleconverter 1.4x dalam tiga bulan ke depan yang akan memperpanjang focal length dari 25-100mm menjadi 35-140mm. Kemudian pada bulan Oktober mendatang, akan tersedia adaptor anamorphic 1.33x sehingga memberikan bidang pandang super lebar dengan rasio 2.35:1.

Sumber: Digitalcameraworld

Aplikasi rating dan box offline film bioskop Cinepoint mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasikan dari Ideosource Entertainment

Terima Pendanaan, Aplikasi Rating Film Bioskop Cinepoint Segera Perluas ke Platform OTT

Aplikasi rating dan box office film bioskop Cinepoint mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan dari Ideosource Entertainment. Dana segar tersebut digunakan untuk mengembangkan fitur-fitur yang secara langsung membantu industri perfilman Indonesia, bisa terintegrasi dengan platform lain, dan perluas rating untuk konten di dalam platform OTT.

Ideosource Entertainment sebelumnya juga berinvestasi untuk pendanaan GoPlay, platform OTT milik Gojek. Baik Cinepoint dan GoPlay adalah bentuk komitmen dari Ideosource untuk membangun ekosistem perfilman di Indonesia yang lebih baik.

Cinepoint adalah aplikasi rating dan box office yang tayang di bioskop Indonesia, baik lokal maupun internasional. Rating diukur melalui exit polling yang diisi oleh penonton setelah selesai menonton dan diverifikasi secara real-time. Data box office selalu diperbarui secara rutin, dilengkapi dengan grafik mingguan maupun data historis dan infografik.

Sejatinya aplikasi ini sudah hadir sejak tahun lalu di bawah pengembang Inspira PRJ. Adapun sosok di balik aplikasi Cinepoint adalah akun Twitter @bicaraboxoffice yang kerap memberikan informasi jumlah penonton film yang tengah tayang di bioskop.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Cinepoint Sigit Prabowo menjelaskan, Cinepoint berbeda dengan layanan lainnya yang lebih condong ke arah review film. Cinepoint memosisikan diri sebagai pemberi rating film berdasarkan angka, tanpa review. Angka lebih bersifat absolut dan benar-benar menggambarkan penilaian dari penonton.

Menurutnya, metode seperti ini sudah familiar dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Akan tetapi, penilaian diambil secara manual lewat secarik kertas yang diisi penonton setelah keluar dari bioskop. Cinepoint mendigitalkan proses tersebut untuk dibawa masuk ke Indonesia.

“Dengan digital, industri bisa mendapat gambaran jauh lebih luas, persebaran penonton, bisa memprediksi selera berdasarkan lokasi, dan lain sebagainya. Kita seperti big data analytics tapi khusus film,” ucapnya, Kamis (25/6).

Untuk memberikan rating, pengguna akan diminta memasukkan lokasi bioskop disertai scan tiket. Lalu memasukkan nama film yang ditonton, jam, dan nomor kursi bioskop. Penonton dapat menilai film dari skala 1-10.

Perlu dicatat, pemberian rating ini disarankan setelah selesai menonton atau tidak jauh dari lokasi bioskop. Setiap rating yang diberikan, pengguna akan mendapat poin.

Ketertarikan Sigit di dunia film dan analitik akhirnya menginspirasi untuk mengembangkan Cinepoint agar lebih serius dan terstruktur agar memberikan dampak positif untuk industri film. Sejak pertama kali dirilis hingga kini, dia menyebut Cinepoint telah mengantongi 40 ribu pengguna.

Salah satu fitur yang akan dikembangkan adalah rating untuk film yang tayang di platform OTT. Kata Sigit, pandemi membuat konsumsi konten film di platform OTT melesat, akhirnya mendorong tim untuk mengembangkan fitur tersebut.

Pendanaan dari Ideosource

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disebarkan kemarin (24/6), CEO Ideosource Entertainment Andi Boediman menerangkan pihaknya sangat peduli terhadap perkembangan industri film. Namun, tidak bisa disangkal kalau pandemi berdampak luas terhadap industri film, ribuan pekerja film pun banyak yang terdampak secara ekonomi.

“Oleh karena itu, Ideosource Entertainment melalui Cinepoint melakukan sinergi dengan GoPlay untuk membantu pekerja film,” kata Andi.

Karena Cinepoint kini sudah masuk dalam portofolio Ideosource Entertainment, bersama GoPlay, kini kedua perusahaan saling bersinergi. Di dalam aplikasi Cinepoint akan tersedia voucher GoPlay yang dapat dibeli. Pengguna akan mendapatkan reward cashback setiap pembelian paket berlangganan.

Application Information Will Show Up Here

 

Canon Umumkan EOS C3OO Mark III, Bisa Rekam Video 4K 120fps

Canon telah mengumumkan Super 35mm cinema camera terbaru mereka. Adalah Canon C300 Mark III dengan sensor baru Dual Gain Output (DGO) dan desain modular berdasarkan kerangka yang sama yang diadopsi Canon C500 Mark II.

Lewat penggunaan struktur body yang sama, artinya semua aksesori yang dirancang untuk Canon C500 Mark II juga dapat bekerja pada Canon C300 Mark III. Kamera ini menggunakan EF mount, tapi juga mendukung penggunaan PL mount dengan kit opsional untuk memasang lensa EF cinema.

Canon EOS C300 Mark III 3

Jantung dari Canon EOS C300 Mark III adalah sensor baru Super 35mm DGO yang ditenagai oleh prosesor DIGIC DV7. Sistem DGO ini memungkinkan sensor untuk menangkap hingga 16 stop dynamic range dengan memecah setiap piksel menjadi dua dioda yang secara bersamaan menangkap dua gambar pada level gain yang berbeda.

Kedua dioda dalam setiap piksel ini juga digunakan untuk mendukung phase-detection pada sistem Dual Pixel CMOS AF Canon yang sekarang akan bekerja hingga 120 fps. Selain itu, kamera ini juga mendukung format Cinema RAW Light yang pertama kali diumumkan pada Canon EOS C200. Keuntungan dari format ini adalah ukuran filenya 1/5 lebih kecil dibandingkan format Cinema RAW standar.

Soal kemampuannya, Canon EOS C300 Mark III ini sanggup merekam video 4K DCI/UHD hingga 120fps, serta 2K hingga 180fps dengan perekaman 4:2:2 10-bit XF-AVC. Canon juga menyertakan dukungan Canon Log 2 dan Log 3, output 12G-SDI melalui kabel BNC tunggal, timecode I/O, dan dua slot kartu CFexpress.

Tanpa grip, desain modularnya memiliki lebar 183mm dan tinggi 149mm dengan bobot sekitar 1750 gram. Canon mengatakan kamera ini akan ‘tersedia nanti pada tahun 2020’ dengan perkiraan harga retail US$10.999. Kamera tersebut akan dilengkapi dengan 13 aksesori termasuk LCD monitor 4,3 inci, grip GR-V1, baterai BP-A60, battery charger, dan lainnya.

Sumber: DPreview

Cinema 21 Hadirkan Aplikasi Mobile Resmi untuk Platform iOS

Jaringan bioskop terbesar di Indonesia Cinema 21 ternyata diam-diam telah merilis aplikasi resmi untuk platform iOS. Dirilis di App Store per akhir bulan Desember lalu, ini adalah aplikasi mobile resmi kedua setelah tahun lalu mengeluarkan aplikasi untuk Windows Phone 8. Kelebihan aplikasi untuk iOS adalah fitur pembelian tiket langsung via mobile untuk bioskop-bioskop yang sudah mengadopsi skema MTIX.

Continue reading Cinema 21 Hadirkan Aplikasi Mobile Resmi untuk Platform iOS

[Manic Monday] Melihat Taktik Teknologi Di Balik Film 3D

Selama beberapa tahun ini, film 3D sudah cukup sering tayang di berbagai belahan dunia; bahkan film-film action dan blockbuster sudah hampir pasti ada versi 3Dnya untuk dinikmati penonton. Harga tiket nonton sebuah film 3D sangat bervariasi, tergantung tiap negara, tapi biasanya lebih mahal dari film yang ditayangkan dengan cara biasa (2D). Dan meski ada perbedaan harga ini, minat menonton film 3D, paling tidak di daerah urban, cukup tinggi, setidaknya terlihat dari animo masyarakat menikmati film 3D, bahkan untuk tiket semahal IMAX 3D sekalipun.

Continue reading [Manic Monday] Melihat Taktik Teknologi Di Balik Film 3D

[Manic Monday] Studying The Technology Tacticts Behind 3D Movies

During the past few years, 3D movies have experienced a resurgence all over the world; almost all action blockbuster movies have a 3D version for the audience. The price of 3D movie tickets varies depending on country, but is generally more expensive than traditional 2D movies. In spite of this price difference, interest in watching 3D movies, especially in urban areas, is quite high, at least if seen from the amount of people willing to buy tickets for the costly IMAX 3D.
Continue reading [Manic Monday] Studying The Technology Tacticts Behind 3D Movies