Impian kota Melbourne menjadi smart city semakin mendekati kenyataan. Tidak hanya menggandeng penduduk dan startup, pemerintah juga perkuat hubungan dengan negara tetangga demi pertukaran keahlian. Pemerintah mencanangkan visi pada 2021 Melbourne menjadi kota yang berani, inspiratif, dan berkelanjutan.
Dalam kunjungan DailySocial bersama Kedutaan Besar Australia dalam rangka Digital Indonesia Media Visit, kami bertemu dengan beberapa perwakilan Pemerintah Melbourne (disebut City of Melbourne) dan menceritakan berbagai program yang sedang dijalani dan kolaborasi yang akan dilakukan dengan pemerintah Indonesia.
Business Development Officer International & Civil Services Branch, Megan Cockroft, menceritakan dalam mewujudkan visi pemerintah juga membangun koneksi dan kemitraan dengan antar kota internasional dengan fokus di Asia. Praktiknya dengan memfasilitasi pertukaran keahlian antara dua kota, baik dalam hal kelestarian kota, tata kota, biomedis, penelitian, dan ekonomi digital.
Jakarta menjadi salah satu kota yang sudah menjadi Business Partner Cities Network (PBC) buat Melbourne. Bandung pun turut bergabung dengan melibatkan Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Sekarang kami dengan Bandung masih dalam tahap diskusi, proyek mana yang kemungkinan mau dikolaborasikan. Hubungan kami dengan Bandung cukup kuat, seiring Bandung kini juga sedang fokus untuk menjadi smart city,” kata Cockroft, Rabu (28/11).
Secara nasional, hubungan antara Melbourne dengan Indonesia juga cukup kuat di bidang pertukaran pelajar, startup, dan organisasi kepemimpinan.
Gelar kompetisi hackathon
Untuk mewujudkan konsep smart city yang menyeluruh, pemerintah Melbourne membangun divisi tersendiri. Sama halnya dengan penempatan Jakarta Smart City oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.
Dalam Smart City, berisi 45 orang dan terbagi jadi enam tim yakni riset, citylab, sistem informasi geografis, strategi dan open data. Pendekatan open data sebenarnya sudah dimulai sejak November 2014 sebagai bagian dari dimulainya pemerintah mengadopsi kebijakan yang terbuka.
Pemerintah percaya bahwa menyelesaikan isu di lapangan itu bisa diselesaikan lewat komunitas dengan memanfaatkan data yang tersedia. Data bisa diakses oleh siapapun tanpa terkecuali, data tidak terbuka apabila mengenai privasi, keamanan, dan sensitivitas.
“Ada lebih dari 200 datasets tersedia dan bisa diakses lewat open data platform, 32 di antaranya sudah diotomasi dan bisa dibuka lewat API Socrata,” terang Innovation Officer Smart City Office, Emma Forster.
Bila dirinci datasets tersebut berbicara mengenai ketersediaan lahan parkir mobil dan rambu lalu lintas, data pejalan kaki langsung untuk identifikasi jalan setapak, perkembangan properti yang diusulkan atau dibangun, dan sebagainya.
Forster mengungkapkan sejak open data dibuka hingga kini, telah menghimpun lebih dari 30 ribu unique users, 240 ribu page views, 1 juta hits API per bulan, dan tumbuh hingga 86% pada tahun ini.
Agar pemanfaatan open data lebih masif dan relevan dengan kondisi di lapangan, Smart City mengundang komunitas startup atau pelajar untuk berpartisipasi dalam kompetisi hackathon. Ini baru pertama kalinya digelar, sejak menginisiasi konsep open data platform di 2014 lalu.
Dia bercerita, pada hackathon ini pihaknya menantang komunitas untuk menyelesaikan isu terkait disabilitas. Satu dari lima orang Australia termasuk golongan disabilitas, namun 80% di antaranya tidak terlihat seperti orang cacat.
Peserta dapat memanfaatkan seluruh open data platform yang tersedia dan menggabungkannya dengan teknologi yang ada. Di akhir periode kompetisi, pihaknya memutuskan menetapkan Melba (Melbourne’s Smart Asisstant) keluar sebagai pemenang pertama.
Melba menawarkan solusi berbasis AI membantu orang mencari parkir kosong, navigasi kemacetan pejalan kaki, gangguan konstruksi, dan jalan pintas.
Kemitraan dengan Alipay
Program lainnya yang sedang dikerjakan Pemerintah Melbourne adalah kemitraan dengan Alipay untuk opsi pembayaran sumbangan secara non tunai buat seniman jalanan. Proyek percobaan ini sudah dimulai sejak Juli 2018, pergerakannya masih ditinjau sejauh ini oleh tim.
Business Development Officer International & Civic Services Branch, Terry Wu, menerangkan proyek ini dilirik lantaran dari segi ekonomi ada 1,43 juta pengunjung Tiongkok ke Australia pada akhir September 2108. Sebanyak 621,6 ribu di antaranya mendatangi Melbourne.
Turis Tiongkok menghabiskan AUD 2,7 miliar di Victoria, sama dengan 35% dari market share. Selain itu Victoria menampung 34% atau 180 ribu pelajar Tiongkok yang menuntut ilmu di sana.
Mengutip dari riset Nielsen di 2017, disebutkan bahwa 76% turis Tiongkok cenderung memilih opsi pembayaran non tunai saat melancong ke luar negeri. Serta lebih dari 90% turis menggunakan opsi pembayaran dengan smartphone saat bertransaksi.
“Program ngamen ini kami pilih karena merupakan representasi dari Melbourne sebagai kota dengan budaya jalanan yang hidup. Lagi pula dengan semakin trennya budaya non-cash, dikhawatirkan akan berdampak pada pendapatan para seniman jalanan,” ucapnya.
Ada 10 seniman yang terpilih berhak mengikuti proyek trial ini, mereka dibekali kode barcode yang dapat dipindai oleh para pengguna Alipay. Bisa juga menerima opsi pembayaran dengan kartu yang didukung oleh Visa dan MasterCard.
Jika proyek ini sukses, kemungkinan besar menurut Terry akan dibawa ke kota lain seantero Australia. Setiap turis yang memberikan sumbangan akan menerima kode promosi menarik yang bisa ditukar.
“Bagi turis Tiongkok, tentunya ini sesuatu yang menarik. Tapi bagi warga lokal, menjadi hal yang sangat baru karena mereka bisa memberi sumbangan pakai kartu Visa atau MasterCard saja.
Terry menjelaskan pihaknya memilih Alipay sebagai mitra lantaran anak usaha fintech dari Alibaba ini sudah memiliki kantor perwakilan di Melbourne.
Dari segi jumlah merchant yang sudah menerima pembayaran dengan Alipay diprediksi sudah lebih dari 1000 unit.
“Alipay memiliki market share hampir 50% untuk pembayaran non tunai di Melbourne. Jadi itulah alasan kita kenapa lebih memilih Alipay.”
Selain dua program di atas, City of Melbourne memiliki program pelatihan entrepreneur selama enam bulan untuk pelajar dan startup dan digital engagement untuk penduduk Melbourne dalam memberikan masukan, keluhan, dan rencana buat pemerintah.
Digital engagement ini bisa dikatakan mirip seperti aplikasi Qlue yang dipakai Jakarta Smart City dalam menaungi semua feedback penduduk Jakarta.