Ada sebuah “curhatan” menarik yang kami temukan di situs tanya-jawab Quora dari seorang co-founder yang menceritakan kasus internal di startup yang didirikan, yakni berkaitan dengan pembagian ekuitas. Startup tersebut terdiri dari dua orang co-founder, anggap saja si A (co-founder yang menuliskan cerita di Quora) dan si B (rekannya). Si B menginginkan membagi ekuitas 65:35, yakni 65 persen untuk si B dan sisanya untuk si A. Lantaran merasa mendirikan startup dari nol secara bersama-sama, si A merasa ini tidak adil.
Namun dari yang diceritakan si A, ada beberapa hal yang menjadikan si B tetap ambisius untuk memiliki ekuitas mayoritas. Pertama karena si B adalah seorang PhD (S3), sedangkan si A adalah seorang MSc (S2). Dari sisi pendidikan si B merasa lebih berpengalaman, oleh karenanya peran di startup si B menjadi CEO dan si A menjadi CTO. Yang kedua, si B berperan dalam mengembangkan bisnis dan kemitraan, sementara si A fokus pada pengembangan produk –bisa dikatakan bahwa produk yang ada sepenuhnya diprogram oleh si A, tapi yang menjual si B.
Si B beralasan, karena ia memiliki pendidikan yang lebih tinggi –keduanya sama-sama teknis—maka sebenarnya dia bisa melakukan apa yang si A lakukan. Dalih lainnya, berkat jaringannya yang kuat, si B dapat meyakinkan investor untuk menggulirkan dananya. Di titik ini, si A menyadari bahwa si B melakukan apa yang tidak ia bisa lakukan sebagai seorang engineer. Namun di sisi lain, apa yang ia kerjakan untuk produk seharusnya berimbang dengan hasil kemitraan yang selama ini didapat.
Dari cerita awal tersebut, diskusi pun dimulai. Ada beragam tanggapan, sehingga dapat ditarik beberapa pembelajaran dari kejadian tersebut.
Mendirikan startup adalah sebuah komitmen
Banyak yang menyayangkan kejadian ini, pasalnya terkait ekuitas sebenarnya menjadi sebuah diskusi “alami” yang sudah dibicarakan sejak awal –atau setidaknya sejak monetisasi bisnis mulai terlihat arahnya. Memang tidak ada prinsip khusus yang bisa diterapkan, karena kepemilikan bersifat sangat personal antar co-founder. Akan tetapi ketika startup sudah di titik “penggalangan dana” atau “revenue”, maka pembagian yang disepakati harus menjadi agenda awal untuk dijadikan komitmen bersama.
“Ekuitas sederhananya didasarkan pada yang telah dilakukan, bukan apa yang ingin dilakukan ke depan,” tulis seorang mengomentari.
Bisa jadi seperti itu, namun ada sebuah nilai yang kadang tidak bisa dihilangkan, yakni bersifat psikologis. Itu sangat berkaitan dengan bagaimana membangun spirit di dalam bisnis. Sangat tersirat, namun cukup berpengaruh, terlebih orang-orang tersebut menjadi penggerak penting dalam tubuh bisnis. Sebut saja si B menerima keputusan si A apa adanya, konsekuensinya ia tidak bahagia. Namun sebut saja si B menolak, bisa saja si A akhirnya memilih menemukan orang lain, startup pun retak.
Co-Founder dijalin dari sebuah kerpercayaan
Kasus yang ada di atas juga dapat diartikan sebagai dampak dari ketidakpercayaan. Si B merasa dirinya mengerjakan lebih dari si A, sementara si A cukup ragu dengan apa yang sudah dilakukan untuk meyakinkan dirinya bahwa seharusnya berhak mendapatkan nilai ekuitas lebih. Namun dapat dilihat, bahwa si A dan si B mengerjakan sesuatu dari aliran berbeda, bisnis dan pengembangan. Ada dua kemungkinan, si A yang kurang percaya diri, si B yang tidak percaya penuh dengan si A, atau si B yang terlalu percaya diri. Sayangnya memiliki startup adalah sebuah harmoni antar co-founder.
“Percakapan ini terlambat, sudah jelas apa yang Anda lakukan harusnya mendapatkan pembagian 50/50, atau setidaknya jika sudah mulai berbicara dengan investor, bisa jadi 25/25, sisanya untuk putaran investasi,” tulis seorang lainnya dalam diskusi.
Sekali lagi, memilih co-founder adalah sebuah intrik personal. Oleh karenanya mungkin sering mendengar, bahwa seorang pendiri startup kesulitan untuk menemukan rekanan yang tepat untuk dijadikan co-founder. Umumnya selain memiliki pemahaman teknis tentang bidang bisnis yang berbeda –misal teknologi dan bisnis—hubungan co-founder lebih dari itu, karena ini tentang kepercayaan satu sama lain, dan bagaimana masing-masing dapat menghargai satu sama lain dengan peran yang berbeda.
Pencapaian bisnis harus selalu bisa terukur
Tidak bisa dimungkiri juga, kadang secara aktual kontribusi antar co-founder memang berbeda. Bisa jadi si A dan si B memang demikian, bahwa si B mengerjakan lebih banyak. Dari sini dapat dijadikan pembelajaran bahwa setiap pencapaian harus bisa diukur, karena pada dasarnya walaupun yang dikerjakan berbeda, tapi ada capaian yang dapat dinilai. Misalnya terkait produk, bisa dicocokkan dengan roadmap yang sudah didefinisikan, atau didasarkan pada analisis performa sistem. Sedangkan dari bisnis, bisa juga diukur dari ROI (Return of Investment) yang berhasil dikembalikan.
Dengan adanya capaian yang lebih terukur, akan lebih mudah penyelesaiannya jika terjadi debat tentang kepemilikan. Angka-angka tersebut setidaknya bisa menjadi justifikasi yang lebih absah untuk mendasari keputusan berdasarkan kinerja masing-masing co-founder. Terlepas dari itu semua, semangat membangun startup seharusnya ditanam sejak awal untuk menuai hasil sukses bersama untuk para pendirinya.