Tag Archives: CoLearn

Beda Nasib Startup Edtech Usai Pandemi

Penggunaan edtech pada sistem pendidikan nasional, secara umum, merupakan bentuk adaptasi terhadap disrupsi dan bentuk dorongan supaya sistem pendidikan menjadi lebih resilien.

“Kita perlu mengambil pelajaran dari pembelajaran jarak jauh dan menerapkannya ke sistem pendidikan formal. Pandemi sudah menunjukkan sistem pendidikan kita begitu rentan dan perlu ada bentuk adaptasi,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Latasha Safira mengutip dari situs CIPS.

Dari hasil survei yang dilakukan CIPS pada 2021 menunjukkan bahwa guru menggunakan berbagai produk dan layanan edtech seperti Sistem Manajemen Pembelajaran (misalnya EdModo dan Canvas) dan platform interaktif (misalnya Kahoot dan Menimeter) untuk memfasilitasi pembelajaran jarak jauh selama 18 bulan terakhir.

Para investor merespons tingginya adopsi edtech selama pandemi melalui suntikan pendanaan untuk startup di Indonesia. Berikut data yang dikutip dari Tech in Asia:

  1. 2019 menjadi tahun dengan total nilai pendanaan terbesar senilai $166,42 juta untuk enam kesepakatan investasi selama delapan tahun terakhir;
  2. 2020 terjadi kenaikan kesepakatan tertinggi dengan total 18 kesepakatan, tapi secara nominal turun menjadi $77,05 juta;
  3. 2021 terjadi penurunan kesepakatan dan nominal investasi, menjadi 11 kesepakatan yang bernilai $11,35 juta;
  4. 2022 terdapat kenaikan kesepakatan dan nominal investasi, menjadi 14 kesepakatan yang bernilai $18 juta.

Bagaimana dengan tahun ini? Menurut data yang dikompilasi DailySocial.id, tercatat hanya empat startup edtech yang mengumumkan pendanaan sepanjang 2023.

Startup Pendanaan Waktu
Cakap Seri C1 (undisclosed) April 2023
Rakamin Tahap awal (undisclosed) Mei 2023
Lister Tahap awal (undisclosed) Juni 2023
SoLeLands Tahap awal (undisclosed) Juli 2023

Tren penurunan investasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, ambil contoh di India yang sama-sama memiliki populasi yang besar. Berdasarkan data dari Trackr, pendanaan di sektor edtech menurun menjadi $2,43 miliar pada 2022, dengan hanya 159 kesepakatan dibandingkan dengan 319 kesepakatan pada 2021 yang bernilai $4,7 miliar dan 222 kesepakatan pada 2020.

Menurut statistik yang diperoleh CNBC-TV18.com, sebanyak 7.000-9.000 karyawan terkena imbas PHK di perusahaan edtech India sepanjang tahun lalu. Byju, Unacademy, Vedantu adalah beberapa startup edtech yang mengambil langkah tersebut. Ketiganya merupakan startup edtech yang bermain di segmen K-12.

Apa yang terjadi di India juga terjadi di Indonesia. Dua pemain besar di segmen K-12 harus merelakan ribuan karyawannya di PHK sejak tahun lalu. Ruangguru memangkas ratusan karyawan, sementara Zenius memangkas sekitar 800 orang.

Edu SEA 50 Market Map 2023 / HolonIQ

Bagaimana edtech K-12 bertahan

Baik Ruangguru maupun Zenius tidak merespons bagaimana strategi mereka pasca efisiensi besar-besaran. Tidak banyak pula informasi terbaru yang diumumkan belakangan ini. Berikut rangkumannya:

  1. Pada Juli 2023, Ruangguru mengumumkan kelanjutan ekspansi lokasi bimbingan belajar offline Brain Academy. Sejak diperkenalkan di 2019, diklaim ada lebih dari 200 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi keuangan perusahaan juga membaik, setelah melakukan banyak efisiensi di berbagai sisi. Dipaparkan pada 2021, Ruangguru telah mengantongi laba sebesar Rp55 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat rugi Rp18,6 miliar.
  1. Pada Juni 2023, Zenius mengumumkan audit menyeluruh terhadap 264 cabang Primagama demi memastikan setiap cabang punya standar dan kualitas yang sama mencakup semua aspek bisnis. Dari hasil dari audit, sebagian kecil cabang tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Cabang-cabang ini diberikan waktu untuk melakukan perbaikan, namun beberapa di antaranya tidak dapat memenuhi perbaikan yang diminta dalam batas waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, Zenius memutuskan untuk mengakhiri kerja sama dengan cabang-cabang tersebut. Di sisi lain, sebagian besar cabang juga memutuskan untuk mengakhiri kerja sama secara sukarela karena perbedaan visi dengan Zenius. Perusahaan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin berinvestasi di dunia pendidikan dengan menjadi pemegang lisensi New Primagama melalui sistem waralaba.

Di sini terlihat bahwa keduanya punya kesamaan strategi, yakni memperkuat bimbel offline-nya sebagai area fokus setelah kondisi berangsur-angsur normal dan menerapkan konsep blended learning. Lalu apakah bimbel online masih memiliki prospek positif?

Hanya fokus di bimbel online

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial.id menghubungi dua co-founder CoLearn, yakni Abhay Saboo (CEO) dan Marc Irawan (COO). Startup ini baru berdiri pada Agustus 2020 dengan fitur awal yang memungkinkan siswa untuk menanyakan lebih dari 5 juta pertanyaan terkait matematika, fisika, dan kimia per bulannya.

Semua pertanyaan mereka terjawab oleh Tanya, sebuah teknologi artificial intelligence (AI) buatan CoLearn. Dalam sebuah survei, 80% murid melihat peningkatan nilai setelah menggunakan CoLearn. Dengan cepat, CoLearn menjangkau 3,5 juta murid menggunakan fitur tersebut.

Fitur Tanya sekarang jadi pelengkap layanan di CoLearn. Perusahaan hanya mengoptimasi ranking kata pencarian di mesin pencari Google dan YouTube agar muncul di laman teratas. Langkah ini diambil dalam rangka menyesuaikan pola kebiasaan orang Indonesia yang mencari segala informasi lewat mesin pencari Google.

Tidak hanya bantu murid mengerjakan PR dengan cepat, CoLearn meluncurkan bimbel online yang terfokus pada tiga mata pelajaran dari kelas 5 sampai 12. Setiap kelasnya berlangsung selama satu jam melalui situs atau aplikasi.

Sumber: CoLearn

“Fokus CoLearn bukan di fitur Tanya, tapi bimbel online. Buat kami karena relatif pemain baru, kami beda karena mulainya saat Covid-19. Jadi tidak terlalu terlihat ekspektasinya dari sebelum dan saat Covid-19,” kata Abhay.

Walau tidak dirinci spesifik dengan angka, Abhay mengaku penerimaan bimbel online di CoLearn diterima dengan baik dan mendapat respons positif, terutama pasca CoLearn membuat kebijakan baru pada Juli 2023. Di antaranya, menawarkan harga baru sebesar Rp95 ribu yang dapat dibayarkan per bulan dan jaminan uang kembali 100%.

“Sebelumnya bayar per semester, sekarang jadi per bulan. Garansi uang kembali ini di bulan pertama setelah anak enggak cocok, [karena] ada beberapa orang tua yang persepsi negatif atau positif [sama layanan baru] jadi bisa coba dulu. Kita tawarkan harga merakyat, tidak harus jutaan karena kita pede (percaya diri) dengan produk [bimbel online] kami,” tambah Marc.

Pengguna terbesar dari bimbel online ini adalah pelajar kelas 5-9, lalu sisanya diisi oleh pelajar SMA. Sedari awal, CoLearn tidak didesain untuk mempersiapkan ujian akhir, melainkan membangun fundamental lewat pengajaran tentang konsep dasar suatu permasalahan.

Langkah ini sejalan dengan misi besar perusahaan yang ingin membantu Indonesia meningkatkan peringkat di PISA (Programme for International Student Assessment), sebuah tolok ukur kualitas pendidikan di suatu negara. Dalam survei di 2018, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara. Nilai matematika berada di peringkat ke-72 dari 78 negara. Sedangkan nilai sains berada di peringkat ke-70. Angka ini cenderung stagnan sejak 15 tahun terakhir.

Abhay menuturkan pihaknya optimistis dengan prospek bimbel online tetap hijau ke depannya, bahkan menargetkan dapat segera cetak profit pada akhir 2024 mendatang. Ambisi tersebut akan dijalankan dengan strategi yang tepat, hanya berfokus pada penyempurnaan bimbel online agar semakin diminati.

“Perusahaan yang enggak fokus melakukan banyak hal akan makan biaya untuk coba-coba. Sementara untuk dapat laba, perlu pelanggan yang kembali. Untuk itu harus melakukan sesuatu dengan sangat-sangat baik dan dibutuhkan fokus untuk terus memperbaikinya. Kita mau fokus untuk menjadi sangat bagus dalam satu hal saja [bimbel online],” ujar dia.

Marc menambahkan, masuk ke area bimbel offline itu sendiri diharuskan punya kemampuan yang kuat di bidangnya karena tantangannya berbeda jauh dengan bimbel offline. Ada standarisasi kontrol yang ketat, untuk perawatan gedung, keamanan, struktur kelas, sikap staff, waktu kedatangan guru, dan banyak hal kecil lainnya yang penting untuk selalu dijaga.

“Kami fokus di [bimbel] online karena ingin meningkatkan kualitas guru. Kalau offline, guru di sini terbatas karena masalah geografi, tapi dengan online kita bisa memutuskan itu. Kami percaya sebuah service edukasi itu bertumpu pada kualitas guru, kalau tidak ada batasan akan jauh lebih baik.”

Non-K-12

Cakap dan PINTAR adalah dua pemain edtech non-K-12 yang tumbuh subur hingga sekarang. Keduanya sama-sama bermain di segmen pengembangan kursus keterampilan dengan target individu dan korporasi berbasis online.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-founder dan CEO Cakap Tomy Yunus mengungkapkan per kuartal III 2023, Cakap mampu menjaga tren pertumbuhan positif dengan kenaikan jumlah pengguna dan pendapatan lebih dari 100% secara year-on-year, serta membukukan EBITDA positif.

Sumber: Cakap

Sebanyak 50% dari total pendapatan Cakap berasal dari pilar bisnis Bahasa, lalu sisanya dari pilar Business dan Upskill (kelas vokasi dan keterampilan, seperti hospitality, perkantoran, dan kewirausahaan). Sepanjang semester I 2023, kursus bahasa Inggris masih menjadi kontributor terbesar. Para penggunanya berasal dari usia produktif, sekitar 20-29 tahun yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Lampung.

“Demand terhadap edukasi terus berkembang, tercermin dari performa Cakap yang terus bertumbuh dengan adanya inovasi yang relevan dengan minat market, baik selama dan sesudah pandemi Covid-19,” kata Tomy.

Selama pandemi, Cakap lebih mengedepankan kemudahan akses pendidikan dan kenyamanan belajar secara online lewat Cakap Upskill. Setelah pandemi, perusahaan beradaptasi untuk menerapkan metode blended learning. Hal inilah yang melatarbelakangi kehadiran Cakap Kids Academy untuk siswa usia 4-12 tahun pada tahun ini.

Di samping itu, perusahaan mengembangkan solusi pendidikan yang hyperlocal dan relevan dari segi kebutuhan industri di tiap wilayah, didukung pula dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja, Cakap lebih tanggap dengan situasi di industri. Misalnya, kembali menggeliatnya industri pariwisata, Cakap memberikan kelas bahasa asing untuk menunjangnya.

“Selain menyediakan sertifikat untuk semua kursus, Cakap juga mengembangkan bisnis unit berupa career hub, yang bisa menjadi solusi pencari kerja dan perusahaan dalam menemukan talenta yang tepat.”

Co-founder dan CEO PINTAR Ray Pulungan menyampaikan, dari sebelum dan sesudah pandemi, PINTAR melakukan sejumlah penyesuaian bisnis. Sebelum pandemi, PINTAR fokus menawarkan layanan OPM (Online Program Management) untuk perguruan tinggi swasta dengan semangat membuka akses kuliah secara terjangkau. Hingga awal 2020, sebanyak 15 kampus telah bekerja sama dan menyelenggarakan lebih dari 20 program perkuliahan online dan blended learning.

“Memasuki tahun 2020, ketika pandemi terjadi, dunia kerja mengalami perubahan drastis. [..] Kami merespons perubahan ini dengan menyajikan solusi berupa penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan berbasis online [..] untuk reskilling. Pada periode pandemi, lebih dari 1 juta orang telah menerima manfaat pelatihan keterampilan melalui PINTAR,” ujar Ray.

Dia melanjutkan, “Saat ini, PINTAR berkembang sebagai platform pengembangan tenaga kerja (workforce development platform), [..] kerja sama dengan perusahaan untuk mengadakan pelatihan dan rekrutmen untuk pekerja, pemasok, dan komunitas lokal –termasuk kelompok yang rentan dan kurang terwakili.”

Berdasarkan kontribusi bisnis, PINTAR memiliki empat pilar produk: PINTAR Skills (pelatihan keterampilan), PINTAR Degrees (pendidikan tinggi), PINTAR Enterprise (pembelajaran dan pengembangan karyawan), serta PINTAR Opportunity (penempatan individu ke pasar kerja dan pembukaan akses pasar bagi pemilik UMKM).

Kombinasi dari empat segmen ini memungkinkan perusahaan untuk melayani kebutuhan pelatihan dan pengembangan yang beragam, baik untuk organisasi maupun individu. Diklaim sebagian besar bisnisnya kini berfokus pada pasar B2B, dengan kontribusi sekitar 70% dari total bisnis perusahaan.

Sumber: PINTAR

Ray menyampaikan tantangan utama yang dialami oleh pemain seperti PINTAR adalah bagaimana menstimulasi motivasi intrinsik individu untuk belajar dan berkembang. Rendahnya motivasi ini disebabkan oleh dua hal: 1) kurangnya pemahaman di kalangan peserta mengenai keuntungan yang bakal diperoleh setelah ikut pelatihan, 2) hal yang telah dipelajari dalam pelatihan belum tentu bisa diterapkan secara optimal dalam dunia kerja.

“Ketidaksesuaian ini semakin mengurangi persepsi masyarakat tentang pentingnya pelatihan keterampilan,” tambahnya.

Tommy menambahkan, walau tantangan besar, pangsa pasar dunia pendidikan di negara ini amatlah besar. Peluangnya banyak, ada vertikal-vertikal baru yang dapat dikembangkan. Hal tersebut akan dilakukan oleh Cakap sesuai dengan expertise-nya.

“Setiap ekspansi yang kami lakukan wajib memberikan kontribusi positif bagi perusahaan, sehingga dapat dipertahankan dan dan bahkan bisa dengan cepat menghentikan usaha-usaha yang kurang efisien sedini mungkin.”

Kedua perusahaan ini tergabung sebagai mitra pemerintah untuk Program Kartu Prakerja. Tommy menuturkan sudah empat tahun perusahaan bergabung jadi mitra pemerintah, dampak yang terasa adalah pengguna memperoleh keterampilan baru yang dapat diaplikasikan ke pekerjaan existing, atau menciptakan pekerjaan baru. Tidak disebutkan kontribusi bisnis ini terhadap total bisnis Cakap.

Sementara itu, Ray menyampaikan, kontribusi Program Prakerja untuk total bisnis PINTAR sekitar di bawah 10%. Walau tidak dominan, peran program ini tetap esensial karena mendukung upaya pemerintah dalam reskilling angkatan kerja secara masif. “Efek positifnya, terlihat pada segmen masyarakat yang marginal dan kurang terwakili. Dalam laporan tahunan, 44% penerima manfaat berasal dari 40% rumah tangga termiskin di Indonesia,” ujarnya.

Dia melanjutkan, “Walaupun di masa depan program ini mungkin akan mengalami perubahan karena roda inovasi akan terus berputar, tetapi fungsi utamanya diperkirakan akan tetap sama, yaitu sebagai katalis pemberdayaan dan pengembangan keterampilan angkatan kerja di Indonesia.”

CoLearn Obtains Additional Funding Worth of 244 Billion Rupiah

The CoLearn edtech startup received additional funding on its series A round worth of $17 million or equivalent to 244 billion Rupiah. It brings the company’s total fundraising round to $27 million. The series A funding was first announced in April 2021 and was valued at $10 million.

The additional round was led by TNB Aura [previous investor], KTBN Venture, and PT Binus Investama Indonesia. There are also previous investors, including AC Ventures, Leo Capital, January Capital, Alpha Wave Incubation, and Surge.

CoLearn’s Co-founder & CEO, Abhay Saboo has confirmed the news. He said that CoLearn became the first edtech platform to receive investment from Surge and Binus (Binus Group from Binus University).

Based on our data and observation, CoLearn’s current valuation has reached $100 million — therefore, CoLearn has listed as one of the centaur startups.

Abhey is not the sole army, CoLearn was also co-founded by Marc Irawan and Sandeep Devaram. Since the app launched in August 2020, they currently claim to have 3.5 million students.

One of its main features is allowing students to ask for solutions in answering questions of a subject (homework) — an average of 5 million questions are uploaded per month. There is an AI technology embedded in the system to automate the solution discovery process.

CoLearn also provides educational content services packaged in on-demand videos and live online class sessions which will be delivered interactively by experienced tutors. It also has a training program for teachers. The company targets to train up to 200 teachers in the next 2 years, especially in the STEM field.

Pandemic accelerating edtech business

It was revealed in the DSResearch: Edtech Report 2020, that the edtech startup, although not as fast as other landscapes like fintech, are starting to gain investor’s attention; It has been proven with several startups succeeded in obtaining funding, including Ruangguru which valuation already exceed $100 million.

The increasingly mature market share has made some global edtech players put Indonesia on the list of expansion destinations.

Apart from CoLearn and Ruangguru, other edtech platforms that have experienced positive growth and have received funding in the last three years are Zenius, Pahamify, Hacktiv8, Gredu, Arkademi, and HarukaEdu.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Lanjutan CoLearn

CoLearn Kantongi Pendanaan Lanjutan Senilai 244 Miliar Rupiah

Startup edtech CoLearn mendapatkan pendanaan tambahan untuk putaran seri A senilai $17 juta atau setara 244 miliar Rupiah. Perolehan ini membuat total dana yang berhasil dikumpulkan perusahaan dalam putaran tersebut mencapai $27 juta. Pendanaan seri A mereka pertama kali diumumkan pada April 2021 lalu senilai $10 juta.

Putaran tambahan ini dipimpin oleh TNB Aura [investor sebelumnya], KTBN Venture, dan PT Binus Investama Indonesia. Turut terlibat juga jajaran investor sebelumnya termasuk AC Ventures, Leo Capital, January Capital, Alpha Wave Incubation, dan Surge.

Terkait kabar investasi tambahan ini, Co-founder & CEO CoLearn Abhay Saboo telah memberikan konfirmasi. Ditambahkan olehnya, CoLearn menjadi platform edtech pertama yang menerima investasi dari Surge serta diinvestasi oleh Binus (Binus Group dari Binus University).

Dari data yang kami peroleh, saat ini kisaran valuasi CoLearn telah mencapai $100 juta — sehingga CoLearn telah masuk ke jajaran startup centaur.

Selain Abhey, CoLearn turut didirikan oleh Marc Irawan dan Sandeep Devaram. Sejak aplikasi diluncurkan pada Agustus 2020, saat ini mereka mengklaim telah memiliki 3,5 juta siswa.

Salah satu fitur andalan mereka adalah memungkinkan siswa untuk menanyakan solusi dalam menjawab soal di suatu pelajaran (dalam mengerjakan PR) — rata-rata per bulan ada sekitar 5 juta pertanyaan yang diunggah. Dalam sistem disematkan teknologi AI sehingga mengautomasi proses penemuan solusi.

CoLearn juga memiliki layanan konten pendidikan yang di kemas dalam video on-demand dan sesi kelas live online yang dibawakan secara interaktif oleh tutor berpengalaman. Selain itu juga memiliki program pelatihan untuk guru. Targetnya, dalam 2 tahun ke depan mereka ingin bisa melatih 200 guru terutama di bidang STEM.

Pandemi akselerasi edtech

Dalam laporan DSResearch: Edtech Report 2020 terungkap, kendati belum sekencang lanskap lain, misalnya fintech, startup pendidikan juga mulai mendapatkan perhatian pemodal; terbukti beberapa startup berhasil memperoleh pendanaan, satu di antaranya yakni Ruangguru bahkan mencapai valuasi di atas $100 juta.

Pangsa pasar yang makin matang membuat beberapa pemain edtech dari luar negeri turut menjadikan Indonesia sebagai tujuan ekspansi.

Selain CoLearn dan Ruangguru, platform edtech lainnya yang mengalami pertumbuhan positif dan telah mendapatkan pendanaan dalam waktu tiga tahun terakhir adalah Zenius, Pahamify, Hacktiv8, Gredu, Arkademi, dan HarukaEdu.

Application Information Will Show Up Here
AI untuk Pendidikan

Mendongkrak Peringkat PISA dengan Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan

Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) terus dioptimalkan di berbagai bidang untuk memberikan kemudahan masyarakat dalam melakukan aktivitas tertentu. Tak terkecuali di bidang pendidikan, setumpuk permasalahan masih menjadi PR bersama di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Terlebih saat ini pandemi yang memaksa setiap siswa untuk secara mandiri melakukan kegiatan pembelajaran dari rumah – dipaksa mengadopsi teknologi pembelajaran untuk mengejar kompetensi yang dicanangkan dalam kurikulum.

Terkait dengan AI di dunia pendidikan, DailySocial berkesempatan untuk melakukan diskusi dengan Co-Founder & CEO CoLearn Abhay Saboo dan Founder & CEO Blox.ai Ashwini Asokan. CoLearn adalah startup edtech di Indonesia yang memfokuskan layanan untuk membantu siswa K-12 mendapatkan konten dan layanan pembelajaran khususnya di bidang matematika dan fisika. Sementara Blox.ai adalah startup berbasis PaaS yang memungkinkan setiap perusahaan untuk mengembangkan kapabilitas AI-nya secara native.

Baik CoLearn maupun Blox.ai adalah portofolio dari Sequoia Capital India.

Diawali dari visi

Mengawali perbincangan, Abhay mengatakan bahwa visinya dengan CoLearn sangat jelas, yakni membantu Indonesia meningkatkan peringkat di PISA. Seperti diketahui Programme for International Student Assessment (PISA) adalah salah satu tolok ukur kualitas pendidikan di suatu negara. Riset ini mengambil sampel siswa-siswi dari berbagai negara untuk mengukur kualitas.

Per survei tahun 2018, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Cenderung stagnan sejak 15 tahun terakhir.

Lewat inovasinya, CoLearn saat ini memiliki dua produk utama. Pertama fitur “Tanya” yang diberdayakan dengan teknologi AI. Membantu siswa menemukan solusi ketika menemui kesulitan pengerjaan soal matematika atau fisika. Siswa cukup mengambil foto soal yang dikerjakan dari aplikasi, kemudian sistem akan memberikan konten video rekomendasi yang relevan untuk membantu mengerjakan soal tersebut.

Fitur kedua adalah kegiatan pembelajaran eksklusif lewat Live Tutoring, untuk membantu siswa memahami konsep pembelajaran bersama mentor berpengalaman. Di sini Abhay mengaku menerapkan standardisasi yang cukup ketat, khususnya dari sisi tutor dan penyampaian materi, untuk memastikan setiap siswa mendapati keluaran hasil pembelajaran (learning outcomes) paling optimal.

Demikian juga dengan Ashwini, di masa yang mengharuskan banyak orang untuk beralih ke edtech ini menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi inovator untuk menghasilkan pendekatan teknologi yang paling relevan. Penerapan AI yang ideal dalam pendidikan pun seharusnya bisa menjadikan teknologi tidak hanya mendigitalkan pendidikan, namun benar-benar memberikan dampak efisiensi dan personalisasi.

Pada akhirnya pendidikan harus selalu dua arah, proses belajar dan mengajar. Ashwini menyebutkan proses pengajaran (training) ini yang harusnya bisa lebih dioptimalkan dengan AI dalam sebuah platform edtech. Karena, cara atau metodologi dalam penyampaian materi akan berkorelasi erat dengan kualitas hasil pembelajaran tersebut. Dan yang paling penting, AI harus bisa menghadirkan pengalaman yang unik bagi setiap siswa, memfasilitasi kebutuhan pembelajaran dan tingkat pemahaman masing-masing.

Permasalahan di Indonesia

Sekilas, layanan CoLearn sebenarnya sama seperti dengan yang disediakan oleh pemain edtech lain. Menurut Abhay, proposisi nilai yang coba dihadirkan startupnya adalah para kualitas materi. Fokus pada pembelajaran di bidang tertentu menjadikan CoLearn dapat memberikan konsentrasi lebih banyak dalam memberikan pengajaran tentang konsep dasar suatu permasalahan – alih-alih hanya membantu setiap siswa menjawab soal.

Ia bercerita, mengambil studi kasus tentang kegiatan bimbel, kultur di Tiongkok atau India program pelajaran tambahan di luar kelas formal tersebut difokuskan untuk menajamkan pemahaman konsep dari mata pelajaran yang didapat di sekolah. Sementara ketika melihat di Indonesia, tidak sedikit orang tua yang membawa anaknya ke bimbel untuk mendapatkan bantuan dalam mengerjakan PR yang didapat dari sekolah atau persiapan ujian. Hal ini yang coba difasilitasi dengan lebih instan lewat AI di fitur Tanya.

Mendefinisikan permasalahan ini dianggap penting bagi CoLearn, karena pada dasarnya setiap startup edtech akan memiliki pendekatan yang serupa – kaitannya dengan model bisnis dan cara-caranya untuk bertahan. Bagi Abhay, ia tidak menginginkan untuk menjadi solusi untuk semua bidang studi, maka memutuskan fokus pada bidang-bidang tertentu saja yang dianggap bisa meningkatkan peringkat PISA Indonesia secara global.

Sebanyak 4 juta siswa sejak 4 bulan beroperasi dianggap menjadi respons yang baik dari pasar, tentang bagaimana konsep pembelajaran yang lebih personal dengan AI dan live tutoring yang lebih mengajarkan konsep bisa diterima di Indonesia.

Peran AI

Ashwini menyampaikan, banyak skenario AI yang dapat diciptakan untuk menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik. Terkait kolaborasinya dengan CoLearn ia menceritakan, di fitur Latihan Soal hasil pembelajaran akan dianalisis untuk menyoroti aspek kelemahan siswa dalam materi bahasan tertentu, untuk selanjutnya sistem dapat memberikan rekomendasi pembelajaran yang lebih relevan sesuai apa yang sebenarnya dibutuhkan. Termasuk di fitur Live Tutoring yang disediakan, ketika ada interaksi tanya-jawab, sistem AI dapat diimplementasikan untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan unik setiap peserta didik.

Pembelajaran yang lebih personal pada akhirnya akan menjadi aspek penting dalam pelaksanaan pendidikan berbasis teknologi. Di saat banyak siswa sudah mulai lelah dengan kelas Zoom atau materi video on-demand, cara paling efektif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengajaran adalah dengan mengidentifikasi setiap masalah unik yang dimiliki masing-masing pelajar. Menghasilkan learning journey yang baik dapat menjadi prioritas para pemain edtech untuk bisa benar-benar menyelesaikan isu pendidikan di Indonesia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

CoLearn Announces 143 Billion Rupiah Series A Funding, Heating up Local Edtech Competition

CoLearn edtech announced series A funding worth of $10 million or equivalent to 143 billion Rupiah. This investment round involved some investors, including Alpha Wave Incubation, GSV Ventures – as well as venture capitalists in their initial funding round, namely Surge (Sequoia Capital India) and AC Ventures. The company plans to use this fresh fund to develop products, technology and marketing.

“Despite having the fourth largest education ecosystem in the world with 50 million students, 3 million teachers and about half a million schools; the quality of education in Indonesia has remained far below its true potential for decades. A passion to motivate students and ensure them to be succeed in the global world is what drives us all at CoLearn,” CoLearn’s Co-Founder & CEO, Abhay Saboo said.

Abhay continued, “Many Indonesians do not realize that education is a means to improve the country’s economic strength. Parents have not connected the two points. However, it slowly changes. Our mission is to accelerate this change by improving the quality of education.”

Apart from Abhey, CoLearn was also founded by Marc Irawan and Sandeep Devaram. Since the application launching in August 2020, they currently claim to have 3.5 million students. In its debut, CoLearn was supported by several seed investors [apart from those already mentioned above], including Leo Capital, TNB Aura, S7V, January Capital, Alpha JWC Venutres, Taurus Ventures, Alter Global, and Mahanusa Capital.

One of its main features is to allow students asking for solutions in answering questions in a certain lesson (doing homework) – around 5 million questions in average are uploaded per month. There’s an AI technology embedded in the system, therefore, it automates the process of finding solutions.

CoLearn also provides educational content services packaged in on-demand video and live online class sessions, interactively delivered by experienced tutors. It also has a training program for teachers. They have target to train 200 teachers, especially in the STEM field in the next 2 years.

Other edtech startups offer similar services, for example, Ruangguru has a “Roboguru” feature, combining Photo Search and User Generated Content capabilities to help students do homework independently at home. In terms of learning, besides Ruangguru, there are other platform providers such as Zenius and Quipper competing in the field.

The edtech sector has been stepping up the game due to the pandemic. Educational activities are getting online, making edtech services an option to guide school from home activities. Investors can see this as a first step to get serious about working on this business landscape. During Q1 2020 there were at least 3 funding targeting the edtech business –  there were 10 transactions throughout 2020.

GSV Ventures, CoLearn’s investor, specializes in educational technology. In his remarks, Deborah Quazzo as Managing Partner said, “The opportunity to build successful learning solutions for the fourth largest country in the world is enormous. The best businesses are created when entrepreneurs take big and important problems and solve them. CoLearn is doing that thing.”

Until now, Ruangguru has become the edtech startup with the largest valuation in Indonesia. Our internal data says that they have reached the final stage of the unicorn aspiring (valuation is close to $1 billion). Earlier this week, they announced $55 million funding as a follow-on round of the series C.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Startup Edtech CoLearn

CoLearn Umumkan Pendanaan Seri A 143 Miliar Rupiah, Ramaikan Persaingan Edtech Lokal

Startup edtech CoLearn mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah. Putaran investasi ini diikuti sejumlah investor, di antaranya Alpha Wave Incubation, GSV Ventures — juga pemodal ventura di putaran pendanaan awal mereka yakni Surge (Sequoia Capital India) dan AC Ventures. Perusahaan berencana untuk menggunakan dana segar ini untuk mengembangkan produk, teknologi, dan pemasaran.

“Meskipun memiliki ekosistem pendidikan terbesar keempat di dunia dengan 50 juta murid, 3 juta guru, dan sekitar setengah juta sekolah; selama beberapa dekade kualitas pendidikan di Indonesia tetap jauh di bawah potensi yang sebenarnya. Semangat untuk memotivasi murid dan memastikan mereka bisa sukses di dunia yang kian mengglobal adalah hal yang menggerakkan kami semua di CoLearn,” ujar Co-Founder & CEO CoLearn Abhay Saboo.

Abhay melanjutkan, “Orang Indonesia banyak yang belum sadar bahwa pendidikan adalah sarana untuk memperbaiki kekuatan ekonomi negara. Orang tua belum menyambungkan kedua titik itu. Tapi sekarang, perlahan-lahan sudah ada perubahan. Misi kami adalah mempercepat perubahan itu dengan meningkatkan kualitas pendidikan.”

Selain Abhey, CoLearn turut didirikan oleh  Marc Irawan dan Sandeep Devaram. Sejak aplikasi diluncurkan pada Agustus 2020, saat ini mereka mengklaim telah memiliki 3,5 juta siswa. Dalam debut awalnya, CoLearn juga didukung beberapa investor seed [selain yang sudah disebut di atas], termasuk Leo Capital, TNB Aura, S7V, January Capital, Alpha JWC Venutres, Taurus Ventures, Alter Global, dan Mahanusa Capital.

Salah satu fitur andalan mereka adalah memungkinkan siswa untuk menanyakan solusi dalam menjawab soal di suatu pelajaran (dalam mengerjakan PR) — rata-rata per bulan ada sekitar 5 juta pertanyaan yang diunggah. Dalam sistem disematkan teknologi AI sehingga mengautomasi proses penemuan solusi.

CoLearn juga memiliki layanan konten pendidikan yang di kemas dalam video on-demand dan sesi kelas live online yang dibawakan secara interaktif oleh tutor berpengalaman. Selain itu juga memiliki program pelatihan untuk guru. Targetnya, dalam 2 tahun ke depan mereka ingin bisa melatih 200 guru terutama di bidang STEM.

Layanan serupa juga ditawarkan startup edtech lain, misalnya untuk membantu menjawab soal pelajaran, Ruangguru memiliki fitur “Roboguru” menggabungkan kapabilitas Photo Search dan User Generated Content membantu siswa mengerjakan PR secara mandiri di rumah. Sementara untuk konten pembelajaran, selain Ruangguru juga memiliki layanan yang sama, ada penyedia platform lain seperti Zenius dan Quipper juga bermain di sana.

Sektor edtech cukup terakselerasi akibat pandemi. Aktivitas pendidikan berbondong-bondong menuju online, membuat layanan edtech dijadikan pilihan untuk menemani kegiatan school from home. Investor melihat ini sebagai langkah permulaan untuk makin serius menggarap lanskap bisnis ini. Sepanjang Q1 2020 ada setidaknya 3 pendanaan yang menyasar bisnis edtech — sepanjang tahun 2020 ada 10 transaksi.

GSV Ventures, salah satu investor CoLearn, memiliki spesialisasi di bidang teknologi pendidikan. Dalam sambutannya, Deborah Quazzo selaku Managing Partner mengatakan, “Peluang untuk membangun solusi belajar yang sukses untuk negara keempat terbesar di dunia sangat besar. Bisnis-bisnis yang terbaik tercipta ketika para pengusaha mengambil masalah yang besar dan penting, lalu menyelesaikannya. CoLearn sedang melakukan hal itu.”

Hingga saat ini Ruangguru menjadi startup edtech dengan valuasi terbesar di Indonesia. Data internal kami menyebutkan, bahwa mereka telah mencapai aspiring unicorn tahap akhir (valuasi mendekati $1 miliar). Awal Minggu ini mereka baru umumkan perolehan dana $55 juta yang merupakan lanjutan dari seri C yang digalang perusahaan.

Application Information Will Show Up Here