Tag Archives: computer vision

Penggunaan masker selama masa pandemi bisa membentuk masa depan teknologi pengenal wajah. Berbagai cara ditempuh untuk melawan surveilans berlebih.

Hubungan Erat Pandemi dan Masa Depan Teknologi Pengenal Wajah

Merebaknya corona virus disease 2019 (Covid-19) menuntut perubahan perilaku masyarakat di aspek kesehatan. Salah satunya yang paling sederhana dan juga paling penting adalah penggunaan masker ketika berada di luar rumah.

Masker adalah kebutuhan utama umat manusia selama pandemi saat ini. Tentu saja di mana-mana masih ada saja orang yang abai soal ini. Seperti yang disampaikan World Health Organization (WHO), keberadaan masker begitu esensial sehingga mereka merekomendasikan semua orang memakainya. Rekomendasi itu berubah dari sebelumnya hanya untuk tenaga kesehatan dan pasien saja.

Penggunaan masker yang masif saat ini ternyata berimbas terhadap perkembangan teknologi, khususnya teknologi pengenal wajah. Maklum, penggunaan masker ini artinya pekerjaan rumah baru bagi perusahaan visual artificial intelligence yang harus menciptakan pembaruan untuk mengenali wajah di balik masker.

Masker tak lagi masalah

Masker ternyata bukan masalah rumit untuk ditembus oleh perusahaan produsen visual artificial intelligence. Sebagai perusahaan di negara dengan populasi kamera pengawas terbanyak di seluruh dunia, Hanwang menemukan teknologi untuk menembus masker sepertinya bukan perkara sulit bagi mereka.

Hanwang adalah salah satu perusahaan pencipta teknologi pengenal wajah terkemuka di Tiongkok. Program pengenal wajah mereka dapat mengidentifikasi wajah tanpa masker hingga 99,5%. Pada pertengahan Maret lalu Hanwang mengungkap mereka sudah bisa mengenali wajah di balik masker. Akurasinya pun tidak main-main–hingga 95%. Lebih canggih lagi, teknologi ini bisa terhubung dengan sensor temperatur agar sistem bisa mengidentifikasi sehat atau tidaknya seseorang.

Algoritma teknologi pengenal wajah biasanya bekerja dengan memindai dan mengumpukan sejumlah data points dari wajah seseorang. Bagian-bagian krusial wajah yang dapat dikenali itu ada di jarak antarmata serta struktur hidung dan dagu. Tutupi bagian itu, maka algoritma akan sulit mengidentifikasi wajah.

Teknologi Hanwang terhubung dengan foto dari 1,2 miliar orang dari pangkalan data kepolisian Tiongkok. Sistem mereka dengan menebak seperti apa wajah seseorang yang ada di pangkalan data jika menggunakan masker. Teknologi Hanwang ini memang masih terus berkembang, tapi perusahaan percaya diri permintaan produk mereka ini akan datang dari seluruh dunia menyusul situasi pandemi.

Hanwang tentu bukan satu-satunya yang punya kemampuan tersebut. Ada Facewatch asal Inggris yang mengklaim punya teknologi serupa. Ada juga SAFR yang berasal dari Amerika Serikat. Namun sejauh ini sepertinya hanya Hanwang teknologinya sudah digunakan di publik. Produk Hanwang dikabarkan dipakai oleh otoritas Hong Kong untuk mengidentifikasi peserta aksi protes di sana.

Berlomba untuk mengelabui

Meningkatnya kecerdasan visual AI dalam memindai wajah orang-orang bermasker tentu membawa manfaat di situasi pandemi seperti sekarang. Contoh paling mudah adalah untuk mengawasi dan melacak keberadaan orang-orang yang berpotensi terjangkit virus.

Namun kemajuan teknologi ini jelas punya efek samping bagi pemegang kekuasaan. Perlu diingat dalam situasi pandemi ini, selalu ada peluang bagi negara otoritarian melebarkan cengkeramannya terhadap hak-hak sipil.  Human Rights Watch sudah mencatat hal itu sudah terjadi di Tiongkok, Thailand, Turki, Kamboja, Venezuela, dan Mesir.

Potensi yang tak diinginkan itu bisa terjadi dari teknologi pengenal wajah yang memakai masker tadi. Bayangkan potensi di sebuah negara dengan aparatus yang represif menghadapi aksi protes. Dengan teknologi semacam ini, mereka dapat dengan mudah melakukan profiling peserta aksi protes yang sudah mengikuti aturan berlaku. Di tangan kekuasaan yang represif, masker dapat dianggap salah satu penghalang untuk menjinakkan gelombang perlawanan.

Itu sebabnya berbagai pihak memutar akal untuk mengalahkan kepintaran visual AI tadi. Dari sejumlah perlawanan terhadap bentuk surveilans berlebih itu ada perempuan bernama Kate Rose. Rose punya latar belakang cukup unik yakni analis keamanan siber sekaligus desainer fesyen. Kombinasi keduanya memungkinkan Rose mendirikan Adversarial Fashion, lini busana anti-surveilans.

Adversarial Fashion punya banyak produk untuk membantu pelanggannya terhindar dari kamera pengawas. Mereka punya masker dengan pola khusus untuk menangkis kamera pengenal wajah hingga kaos dengan gambar pelat nomor kendaraan untuk mengelabui kamera pemindai pelat nomor.

“Hak-hak privasi harus lebih ditegakkan, dalam hal melindungi hak Anda atas data yang dikumpulkan tentang Anda yang memerlukan surat perintah,” kata Rose.

Rose hanya salah satu yang punya inisiatif tersebut. Jika Rose memadukan pengetahuannya di bidang fesyen untuk membuat penangkal kamera pengenal wajah, beberapa yang lain menggunakan riasan. Ada teknik riasan yang mencegah kamera melihat wajah dan ada juga riasan yang justru memperbanyak wajah.

Namun teknik riasan ini tak akan berdaya di sistem pengenalan wajah berbasis sinar inframerah seperti yang dipakai di iPhone. Itu sebabnya muncul teknik lain berbentuk topi LED. Topi ini bisa memproyeksikan sinar inframerah untuk mengacaukan algoritme pengenal wajah.

Para inovator teknologi pengenal wajah pun tak akan tinggal diam melihat beragam teknik anti-surveilans di atas. Mereka akan menganggapnya sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan sebagaimana Hanwang menaklukkan masker. Maka bukan mustahil, wabah Covid-19 ini justru akan mempercepat inovasi-inovasi tingkat lanjut dari teknologi pengenal wajah.

NIST Welcomes Nodeflux, the One Indonesian Based Tech-Developer for Face Recognition

This September, the National Institution of Standards and Technology (NIST) has welcomed the quality of an algorithm made by an Indonesian based AI tech company, Nodeflux. They put Nodeflux in the 25th position from a total of 90 AI tech companies competing in the Face Recognition Vendor Test (FRVT), with those from China and Russia in the same category.

NIST is a standardize institution and science & technology laboratory under the US Trading Department. It was to create a greater battle in tech development worldwide. One of the programs is FRVT as the fine benchmark of face recognition based on its algorithm.

“NIST benchmark is very helpful for vendors using face recognition to gain an assessment of its technology. Nodeflux, in the 25th place for the Wild 1E-4 dataset category worldwide, is making us very proud for bringing the Indonesian’ tech development to the global competition,” Nodeflux‘ Co-Founder and CEO, Meidy Fitranto said.

The assessment has three categories, Visa, Mugshot, and Wild Dataset by evaluating the identification performance through scenarios, ethnics, gender, and ages. The dataset testing works on some scenarios on field, such as territorial borders, ID access, and city safety.

Face recognition was done with a comparison concept between input and reference images consist of two types, 1:1 (one to one),  comparison of 1 input image with 1 reference image and 1:N (one to many), comparison of 1 input image with various images of all sides.

“In order to get into the Wild 1E-4 dataset category for the 1:1 type, our engineers are passing through the FRTV trial program assessment. In competition with AI giants from China and US is one challenge. We keep running trial to get the most accurate performance, up to this position. Furthermore, there will be improvements for the current technology,” Nodeflux’ Co-Founder and CTO, Faris Rahman.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Nodeflux berada di posisi 25 dari 90 perusahaan teknologi AI dunia yang turut serta dalam Face Recognition Vendor Test (FRVT)

NIST Apresiasi Nodeflux, Satu-satunya Pengembang Teknologi Pengenalan Wajah Asal Indonesia

National Institute of Standards and Technology (NIST) bulan September ini mengapresiasi kualitas algoritma pemrograman startup AI asal Indonesia. Startup tersebut adalah Nodeflux, perusahaan teknologi asal Indonesia yang fokus pada pengembangan AI. NIST menempatkan Nodeflux di posisi 25 dari 90 perusahaan teknologi AI yang bersaing dalam penilaian Face Recognition Vendor Test (FRVT), bersaing dengan perusahaan teknologi dari Tiongkok dan Rusia di kategori yang sama.

NIST merupakan lembaga standarisasi dan laboratorium bidang sains dan teknik yang berada di bawah Departemen Perdagangan Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menciptakan kompetisi unggul dalam pengembangan teknologi di seluruh dunia. Salah satu program yang ada di sana adalah FRVT yang dijadikan tolak ukur kecanggihan teknologi pengenalan wajah berdasarkan algoritma pemrograman yang dipunyai perusahaan teknologi AI.

“Benchmark NIST sangat membantu para vendor yang memanfaatkan teknologi face recognition untuk mendapatkan penilaian dari kualitas teknologi yang dimiliki. Dengan peringkat ke-25 yang diraih Nodefluk untuk kategori Wild 1E-4 dataset di antara vendor dari seluruh dunia, kami sangat bangga terhadap perestasi ini untuk membawa pengembangan teknologi asli Indonesia ke dalam kompetisi global,” terang Co-Founder dan CEO Nodeflux Meidy Fitranto.

Penilaian FRVT memiliki tiga kategori penilaian, yakni Visa, Mugshot, dan Wild Dataset dengan mengevaluasi kinerja identifikasi melalui berbagai skenario, etnik, gender, dan umur. Pengujian dataset tersebut berguna untuk beberapa skenario di lapangan, misalnya untuk pengawasan perbatasan wilayah, akses ID, dan keamanan perkotaan.

Metode face recognition dilakukan dengan konsep pembanding antara wajah input dengan wajah referensi yang terbagi mejadi dua jenis, yakni 1:1 (one to one), perbandingan 1 image input dengan 1 image reference dan 1:N (one to many), perbanding 1 image input dengan beragam image dari tiap sisi.

“Untuk menempati posisi kategori Wild 1E-4 dateset ini untuk jenis 1:1, tim engineering kami berusaha melewati proses penilaian program uji FRTV. Berkompetisi dengan perusahaan raksasa AI di Cina dan US, misalnya memang menjadi tantangan. Kami terus melakukan uji coba berkelanjutan untuk mendapatkan performa akurasi terbaik, hingga menempati posisi ini. Ke depannya, tentu akan ada peningkatan berkelanjutan untuk teknologi yang dirancang,” terang Co-Founder dan CTO Nodeflux Faris Rahman.

Tesla Buat Sendiri Chip AI untuk Sistem Kemudi Otomatisnya

Selain memelopori tren mobil elektrik, Tesla juga bisa dibilang terdepan soal sistem kemudi otomatis alias self-driving. Kombinasi software bikinannya, platform supercomputer Nvidia dan sederet sensor pada mobil pada akhirnya melahirkan sistem Autopilot yang begitu canggih.

Namun kemitraan Tesla dengan Nvidia kemungkinan bakal berakhir tahun depan. Penyebabnya adalah niat Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri, yang sejauh ini dikenal secara internal dengan sebutan Hardware 3. Kabar ini disampaikan oleh CEO Elon Musk pada laporan finansial terbaru Tesla.

Anggap saja Nvidia Drive itu Qualcomm Snapdragon, nah keputusan Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri di sini mirip seperti langkah Apple membuat chipset-nya sendiri untuk iPhone. Alhasil, kendali atas perangkat bisa lebih maksimal, demikian pula untuk performanya.

Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla
Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla

Memangnya seberapa besar dampaknya pada performa? Menurut Elon, kalau software computer vision Tesla yang ditenagai hardware Nvidia bisa mengatasi sekitar 200 frame per detik, maka angkanya bisa naik menjadi 2.000 frame per detik menggunakan chip buatan mereka sendiri.

Ini dikarenakan chip-nya memiliki akses yang lebih dalam lagi ke sistem secara keseluruhan. Kalau dengan chip Nvidia, kalkulasi datanya tidak bisa dilakukan langsung di hardware, melainkan harus melalui mode emulasi, sehingga pada akhirnya kinerjanya tidak bisa benar-benar maksimal.

Di samping itu, seumpama ke depannya perlu dilakukan perbaikan atau penambahan fitur baru, Tesla jadi tidak perlu menunggu Nvidia. Mereka bisa langsung bertindak dan menyempurnakan apa yang kurang. Lebih penting lagi, Elon juga bilang bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk menggarap chip sendiri ini kurang lebih sama seperti yang dibutuhkan untuk meng-outsource dari Nvidia.

Tesla Roadster 2 / Tesla
Tesla Roadster 2 / Tesla

Pertanyaan selanjutnya, apakah chip AI buatan sendiri ini hanya akan tersedia di mobil-mobil baru Tesla ke depannya, macam Roadster 2 dan Model Y? Ternyata tidak. Model S, Model X dan Model 3 juga bakal kebagian jatah melalui program hardware upgrade yang akan dijalankan tahun depan.

Bukankah sulit melepas komputer dalam mobil lalu menggantinya dengan yang baru? Ya, tapi Tesla rupanya sudah memikirkannya sejak awal, dan Elon memastikan bahwa proses penggantiannya mudah, sekaligus menjaga kompatibilitas sistem dengan yang baru.

Tesla masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa mereka tidak sekadar membual. Sebelumnya, mereka selalu dicecar akibat produksi Model 3 yang lambat, dan yang hingga kini belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen yang telah memesan. Semoga saja itu tidak terulang pada rencana ini tahun depan.

Sumber: TechCrunch.

Alibaba dan Guess Demonstrasikan Kemudahan Berbelanja Busana di Toko Retail Masa Depan

Tidak bisa dipungkiri, Alibaba merupakan salah satu yang terdepan dalam mengimplementasikan konsep toko retail masa depan. Raksasa teknologi asal Tiongkok tersebut begitu gencar mempromosikan dan mendemonstrasikan visinya yang bertajuk “New Retail”, dan kolaborasi terbaru mereka bersama brand fashion Guess tidak luput dari konsep tersebut.

Keduanya membuka sebuah toko konsep bernama FashionAI guna mendemonstrasikan kemudahan berbelanja busana di masa depan, yang ditunjang oleh infrastruktur berbasis artificial intelligence. Di dalam toko yang hanya dibuka selama beberapa hari itu, tersembunyi beragam inovasi teknologi yang sangat menarik.

Alibaba FashionAI Concept Store

Yang paling utama adalah kehadiran cermin pintar di sejumlah sudut toko, berfungsi untuk menyuguhkan rekomendasi produk berdasarkan pakaian yang konsumen ambil, sehingga konsumen bisa mendapat gambaran berbagai gaya busana yang cocok. Dalam implementasinya, Alibaba juga memanfaatkan teknologi computer vision dan RFID (radio-frequency identification).

Dari situ konsumen bisa menuju ke ruang ganti untuk mencoba sejumlah pakaian yang hendak dibelinya, akan tetapi mereka tidak perlu membawa apa-apa. Cukup pilih pakaian yang diinginkan dan tambahkan ke keranjang belanja virtual melalui cermin pintar itu tadi, maka pegawai toko akan mengantarkannya ke ruang ganti.

Alibaba FashionAI Concept Store

Di dalam ruang ganti, konsumen akan kembali disambut oleh sebuah cermin pintar, tapi kali ini tentu saja tanpa ada satu pun kamera. Di situ fungsinya adalah untuk memilih varian warna atau ukuran lain dari pakaian yang dijajal, dan sesaat setelahnya pegawai toko lagi-lagi akan mengantar varian lain sesuai permintaan konsumen.

Bagaimanapun juga, membeli pakaian tetap lebih enak di toko fisik ketimbang online. Inisiatif Alibaba ini sejatinya punya potensi untuk menyelamatkan bisnis retail fashion yang belakangan sering diberitakan terus merosot seiring bertambah banyaknya toko dari berbagai brand yang ditutup.

Sumber: Engadget dan Alizila.

Drone Canggih Skydio R1 Kini Dapat Mengikuti Pergerakan Mobil dengan Sendirinya

Terlepas dari banderol harganya yang kelewat mahal, Skydio R1 merupakan drone yang begitu mengesankan berkat kemampuannya mengudara dan bermanuver selagi mengabadikan video tanpa input secara konstan dari pengguna. Cukup tentukan apa yang hendak direkam, maka R1 bakal mengerjakan tugasnya tanpa ragu-ragu.

Sampai sejauh ini, apa yang bisa R1 rekam menggunakan kamera 4K-nya baru terbatas pada subjek manusia saja. Namun mengingat fondasi utama R1 adalah AI (artificial intelligence) dan software, Skydio selaku pengembangnya dapat dengan mudah menambahkan kemampuan-kemampuan baru lewat sebuah update.

Tanpa harus menunggu lama, Skydio pun baru saja merilis update yang menghadirkan fitur bernama Car Follow pada R1. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan R1 untuk mengikuti dan mengabadikan pergerakan kita di atas kendaraan roda empat. Tentunya semua ini R1 lakukan sembari menghindari rintangan yang menghadang di rutenya.

Skydio R1 Car Follow

Skydio bilang bahwa fitur ini ideal digunakan ketika kita sedang memacu mobil di medan off-road, bermain-main di sirkuit rally, atau sekadar menyusuri lapangan golf dengan golf cart. Satu-satunya batasan yang ada adalah jangan manfaatkan fitur ini di jalanan terbuka, melainkan hanya di lokasi-lokasi tertutup saja.

Selain Car Follow, masih ada tiga mode sinematik baru yang dijuluki Car Tripod, Quarter Follow dan Quarter Lead. Skydio pun tidak lupa mengoptimalkan sistem prediksi R1 agar kemampuannya menghindari rintangan bisa jadi lebih baik lagi. Terakhir, aplikasi pendampingnya sekarang dapat menunjukkan persis di mana drone bakal mendarat.

Sumber: Engadget dan Skydio.

Qualcomm Kembangkan Chipset Khusus untuk Perangkat IoT yang Mengemas Kamera

Kalau Anda melihat perkembangan perangkat smart home terkini, kamera rupanya memegang peranan penting di mayoritas perangkat. Entah itu vacuum cleaner atau oven, hampir semuanya mengandalkan kamera agar bisa menerapkan fitur-fitur pintarnya, dan saya sama sekali belum menyinggung soal kamera pengawas, yang terus bertambah canggih berkat integrasi AI.

Guna menggenjot perkembangan perangkat-perangkat ini ke depannya, Qualcomm telah menyiapkan lini chipset khusus yang mereka namai Vision Intelligence Platform. Qualcomm bilang bahwa SoC (system-on-chip) yang tergabung dalam lini ini dibuat secara spesifik untuk ekosistem IoT (Internet of Things), bukan sebatas chipset Snapdragon yang dimodifikasi.

Sejauh ini sudah ada dua model chip yang Qualcomm tawarkan kepada produsen: QCS605 dan QCS603. Keduanya sama-sama mengandalkan fabrikasi 10 nm, serta dibekali integrasi teknologi computer vision maupun pengolahan machine learning secara lokal, alias tidak bergantung pada jaringan cloud.

Kendati demikian, ini bukan berarti perangkat yang menggunakan chip ini jadi tidak memerlukan koneksi internet. Qualcomm bilang bahwa chipset-nya sendiri yang akan menentukan kapan harus meminta bantuan cloud, dan kapan harus memroses informasinya secara mandiri, sehingga pada akhirnya perangkat bisa memiliki kinerja yang lebih cepat.

Qualcomm Vision Intelligence Platform

Qualcomm memberikan contoh skenario sebuah kamera pengawas yang ditenagai salah satu dari chipset ini. Kamera tersebut dapat membedakan antatraseorang anak yang terkunci di luar dari seorang pencuri, lalu bertindak sesuai kondisi; kalau yang dideteksi adalah anak sang pemilik rumah, maka kamera bakal menginstruksikan perangkat smart lock untuk membukakan pintu, tapi kalau ternyata yang didedeteksi maling, kamera bakal membunyikan alarm.

Qualcomm sendiri melihat potensi chipset ini pada perangkat seperti kamera pengawas, kamera 360 derajat, robot maupun action cam, mengingat chipset mendukung perekaman dalam resolusi 4K. Qualcomm juga sudah menyiapkan referensi desain kamera 360 derajat berbasis chipset QCS605, sedangkan yang berbasis QCS603 bakal menyusul dalam bentuk referensi desain kamera pengawas kelas komersial.

Sumber: Qualcomm.

Pencipta Unreal Engine Pamerkan Teknologi Live Motion Capture

Dewasa ini, motion capture sudah menjadi teknik yang umum diterapkan di industri perfilman. Memanfaatkan teknik ini, aktor dapat berakting seperti biasa, namun pada hasil akhirnya, penampilannya bisa diubah sepenuhnya dengan CGI (computer-generated imagery).

Tidak sedikit karakter film populer yang terlahir dari teknik motion capture. Salah satu yang paling tenar mungkin adalah Gollum di seri Lord of the Rings, yang diperankan oleh aktor ahli motion capture, Andy Serkis, yang juga merupakan pemeran Caesar di seri Planet of the Apes dan Supreme Leader Snoke di dua film terbaru Star Wars.

Motion capture melibatkan proses yang amat kompleks. Sederhananya, aktor akan berakting selagi mengenakan pakaian yang dipasangi sederet sensor. Yang direkam sejatinya adalah pergerakan sang aktor (lengkap sampai ke perubahan ekspresi wajahnya), sebelum akhirnya diganti dengan CGI dalam tahap pascaproduksi.

Bisa dibayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memroses suatu adegan yang diambil menggunakan teknik motion capture. Namun dalam beberapa tahun ke depan, kondisinya bakal berubah drastis, terutama berkat inovasi terbaru hasil kolaborasi antara beberapa nama besar di industri gaming: Epic Games, Tencent, Vicon, Cubic Motion dan 3Lateral.

Proyek yang mereka kerjakan diberi nama Siren. Dipamerkan di GDC 2018, Siren pada dasarnya merupakan suatu karakter virtual yang diciptakan dengan teknik motion capture, hanya saja prosesnya berlangsung secara instan, alias real-time. Setiap kali sang aktor menggerakkan tangan atau sebatas mengedipkan matanya, karakternya juga akan tampak melakukan hal yang sama persis.

Karakternya sendiri di-render menggunakan Unreal Engine 4 (buatan Epic Games) secara real-time dalam kecepatan 60 fps, sehingga semuanya tampak mulus, dengan jeda nyaris tak terlihat. Unreal Engine 4 juga memungkinkan tingkat detail yang menakjubkan pada karakter virtual-nya (coba lihat bulu matanya), yang dimodel berdasarkan aktris berdarah Tiongkok, Bingjie Jiang.

Teknologi di balik Siren sejatinya sudah dikembangkan sejak lama, dan sempat digunakan pada lakon utama game indie fenomenal Hellblade. Selain Unreal Engine 4, komponen yang membentuk Siren mencakup teknologi computer vision rancangan Cubic Motion, yang sanggup membaca lebih dari 200 bagian wajah dalam kecepatan 90 fps, lalu memetakan datanya ke sang karakter virtual secara otomatis dan real-time.

Melengkapi kontribusi Cubic Motion adalah teknologi facial rigging besutan 3Lateral, sedangkan pergerakan tubuh sang karakternya sendiri berasal dari sistem motion capture rancangan Vicon. Semua komponen ini bekerja bersama-sama menciptakan animasi yang begitu realistis, dan yang terpenting, tanpa melalui proses pascaproduksi yang kompleks.

Teknologi live motion capture ini nantinya bakal ditawarkan ke industri perfilman sekaligus gaming. Meski belum ada jadwal resmi yang diungkap, petinggi Cubic Motion, Andy Wood, sempat bilang bahwa teknologi ini bakal tersedia secara universal di tahun 2020 mendatang.

Potensi penerapan teknologi ini jelas amat luas, tapi di saat yang sama juga bisa disalahgunakan. Yang paling meresahkan, seperti yang dibayangkan Engadget, mungkin adalah ketika teknologi ini dipakai untuk menciptakan berita bohong (hoax), di mana beredar video sosok terkenal yang mengatakan hal yang tidak semestinya, meski padahal sosok tersebut merupakan rekreasi digital memanfaatkan teknologi ini.

Setidaknya dalam waktu dekat ini, membedakan orang asli dan karakter virtual-nya masih gampang, tapi coba bayangkan kalau nanti Unreal Engine 5 dirilis, dan hasil render-nya bahkan lebih mendekati lagi dengan aslinya. Bukan berarti kita harus bersikap pesimis terhadap inovasi seperti ini, tapi setidaknya kita harus siap mengantisipasi potensi penyalahgunaan yang ada di masa yang akan datang.

Sumber: VentureBeat dan Engadget.

ARCore Lahirkan Deretan Aplikasi Augmented Reality yang Menarik untuk Android

ARCore baru dirilis sebulan yang lalu, akan tetapi developer sudah dengan cepat membuahkan hasil. Google mencoba menyoroti beberapa yang sangat menarik perhatian, tapi yang terpenting, deretan aplikasi augmented reality ini tidak terbatas pada kategori gaming saja.

My Tamagotchi Forever

Di segmen gaming sendiri ada tiga yang bisa dibilang penuh intrik. Yang pertama adalah keluaran Bandai Namco ini, di mana pemain diajak untuk bermain Tamagotchi, tapi dengan imbuhan elemen city building. Membangun kota virtual-nya (dinamai Tamatown), tentu saja berlangsung dalam tampilan augmented reality – bisa di atas meja makan atau di mana saja ada permukaan datar.

Tamatown ini tentunya juga bisa dieksplorasi. Anda bahkan bisa mengajak Tamagotchi peliharaan untuk bermain petak umpet di kota virtual itu.

Walking Dead Our World

Walking Dead Our World

Walking Dead dalam bentuk game bukanlah barang baru, akan tetapi sebelum ini Anda mungkin tidak membayangkan bakal menghadang serangan zombie di gang belakang rumah. Augmented reality siap mewujudkan fantasi liar itu, dan yang lebih menarik, game ini rupanya juga memanfaatkan API Google Maps.

TendAR

TendAR

Sepintas terkesan aneh, akan tetapi karakter utama dalam game ini, yakni seekor ikan bernama Guppy, rupanya bisa merespon terhadap ekspresi wajah orang-orang di sekitarnya. Guppy bahkan harus bertahan hidup dengan mencaplok emosi seseorang, tapi hati-hati, karakteristiknya akan berubah sesuai dengan yang dimakan.

Masih kedengaran aneh? Tidak apa-apa, yang pasti game ini tergolong canggih dari sisi teknis karena mengombinasikan ARCore dengan API Google Cloud, yang berjasa menyuplai Guppy dengan teknologi computer vision dan object recognition.

Ikea Place

Ikea Place

Beralih ke kategori shopping & home, aplikasi AR Ikea yang sebelumnya sudah cukup lama hadir di iOS akhirnya mendarat juga di Android. Bagi yang tidak tahu, aplikasi ini memungkinkan kita untuk menempatkan beragam perabot virtual di dalam rumah demi memberikan gambaran yang lebih jelas tanpa harus berkunjung ke toko fisiknya.

Aplikasi ini sangat berguna untuk melihat dimensi suatu furniture, semisal lemari atau meja, lalu memastikan apakah barangnya cukup atau tidak di dalam kamar kita. Ikea bilang saat ini sudah ada lebih dari 3.200 produk dalam Ikea Place.

eBay

Kreasi eBay ini menurut saya adalah yang paling inovatif sekaligus berpengaruh signifikan. Memanfaatkan mode AR, para pedagang di eBay dapat memastikan ukuran kardus pengiriman untuk setiap produk yang hendak mereka kirim ke pembeli. Tidak ada lagi ceritanya membayar lebih mahal untuk kardus yang terlalu besar hanya karena takut kardus yang berukuran lebih kecil tidak cukup untuk barang dagangannya.

Just a Line

Terakhir, di segmen kreativitas, Google memamerkan aplikasi buatannya sendiri yang dinamai Just a Line. Aplikasi ini simpel tapi cukup seru. Anda dipersilakan mencorat-coret di medium AR, lalu kreasi Anda bisa dijadikan bintang dalam sebuah video pendek.

Tidak Punya Controller, Drone Skydio R1 Benar-Benar Bisa Terbang dan Merekam Secara Otomatis

Mundurnya GoPro dari bisnis drone adalah bukti kebesaran DJI dalam industri tersebut. Saya yakin di luar sana ada banyak startup drone yang menyerah sebelum berperang setelah melihat kondisinya dalam setahun belakangan, tapi tidak untuk startup bernama Skydio berikut ini.

Didirikan pada tahun 2014 oleh tiga jenius jebolan MIT, dari awal Skydio sudah punya visi yang cukup ambisius. Mereka ingin menciptakan drone yang benar-benar bisa bermanuver selagi merekam video dengan sendirinya. Setelah berkutat dengan computer vision, artificial intelligence dan berbagai teknologi lainnya selama kurang lebih empat tahun, Skydio akhirnya punya satu produk yang siap dipasarkan.

Skydio R1 / Skydio

Produk tersebut adalah sebuah quadcopter bernama Skydio R1. Drone kecil ini benar-benar mengedepankan aspek pengoperasian otonom, sampai-sampai Skydio sengaja tidak merancang unit controller untuknya. Cukup dengan beberapa sentuhan pada aplikasi smartphone-nya, R1 siap mengudara dengan sendirinya sampai secepat 40 km/jam, tanpa ada input secara konstan dari pengguna.

Aplikasi ponsel itu dibutuhkan untuk menentukan mode penerbangan dan perekaman yang diinginkan pengguna, serta untuk memilih subjek yang hendak direkam dan memantau hasil rekamannya secara live. Setelahnya, R1 dapat bermanuver dengan sendirinya, menghindari berbagai rintangan yang ada selagi mengunci fokus kameranya pada subjek yang telah dipilih.

Skydio R1

Rahasianya terletak pada total 13 kamera yang ditanam di seluruh sisi R1. Informasi yang dikumpulkan kemudian diolah oleh chip Nvidia Jetson TX1, yang memang dikembangkan secara khusus untuk memaksimalkan kinerja computer vision dan machine learning. Sebagai pelengkap, Skydio membubuhkan algoritma untuk mengenali beragam objek seperti manusia, pohon atau mobil, termasuk memperhatikan detail kecil seperti warna baju.

Selama mengudara, R1 akan terus memetakan lingkungan di sekitarnya dalam wujud 3D secara real-time. Segudang informasi yang diolah juga dimanfaatkan untuk memprediksi tindakan drone selama empat detik ke depan, dan semua ini berlangsung secara konstan selama sekitar 16 menit, sebelum akhirnya baterai R1 perlu di-charge kembali.

R1 dilengkapi kamera yang dapat merekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan sudut pandang seluas 150 derajat. Kamera tersebut duduk di atas gimbal 2-axis, dan semua hasil rekamannya akan disimpan di dalam storage internal sebesar 64 GB. Sasisnya sendiri terbuat dari perpaduan aluminium dan serat karbon, dengan bobot tak lebih dari 1 kilogram.

Skydio R1

Sejauh ini apa yang ditawarkan Skydio terdengar menarik, akan tetapi yang mungkin bakal menjadi masalah adalah perihal harga jualnya. Meski masih dalam jumlah terbatas, Skydio R1 saat ini sudah dipasarkan seharga $2.499. Sebagai perbandingan, DJI Phantom 4 Pro dan Inspire 2 masing-masing memiliki banderol $1.499 dan $2.999.

Kedua drone DJI tersebut mengemas kamera yang lebih superior, serta juga dilengkapi kemampuan mendeteksi rintangan dan kendali otomatis, meski tidak sekompleks yang Skydio tawarkan, dan masih harus dikendalikan dengan controller yang cukup rumit. Tidak cuma itu, keduanya juga lebih gesit dan bisa mengudara jauh lebih lama.

Selisih $500 dari Inspire 2 adalah harga yang kelewat mahal untuk Skydio R1, akan tetapi ini dikarenakan teknologinya masih baru, bukan semata Skydio ingin mencari untung besar. Mereka berharap ke depannya bisa menghadirkan teknologi otonom sekelas R1 pada produk yang lebih terjangkau, kurang lebih sama seperti “Master Plan” yang berhasil dieksekusi Tesla.

Sumber: The Verge dan Skydio.