Untuk kali yang kedua, ajang The Game Awards tahun ini harus kembali digelar secara virtual. Namun ketimbang sebatas menyajikan live stream biasa, Geoff Keighley selaku sang penggagas acara sudah menyiapkan rencana yang cukup ambisius dalam bentuk sebuah metaverse.
jadi selain menonton acaranya pada tanggal 9 Desember, mulai pukul 07.00 WIB, kita juga bisa terjun ke dalam metaverse yang diciptakan secara khusus buat The Game Awards. Metaverse ini hidup di dalam Axial Tilt, semacam dunia interaktif yang dibangun di atas platform bernama Core.
Interaktif adalah kata kuncinya. Mereka yang mempunyai perangkat Windows 10 dapat mengunduh Core langsung dari situs resminya atau via Epic Games Store, dan dari situ mereka bisa mengakses Axial Tilt untuk langsung dibawa menuju ke metaverse hub milik The Game Awards.
Acara akan dibuka dengan sesi karpet merah, dan ditutup dengan sesi afterparty bersama seorang DJ tamu spesial. Selama acara berlangsung, pengunjung metaverse The Game Awards dapat memprediksi secara live para pemenang di berbagai kategori untuk mendapatkan hadiah in-game dalam ekosistem Core. Sebelum, selagi, dan sesudah acara, pengunjung juga dibebaskan bermain-main dengan koleksi mini game yang tersedia di Axial Tilt.
“Saya selalu mencari cara baru yang menarik untuk membawa The Game Awards ke audiens baru,” terang Geoff seperti dikutip VentureBeat. “Munculnya platform metaverse anyar seperti Core, dan pengalaman sosial yang dihadirkannya pada live event, menciptakan peluang luar biasa untuk memberi penggemar cara baru yang interaktif untuk menikmati pertunjukan. Dan mengingat ini adalah pertunjukan tentang hiburan interaktif, jadinya sangat cocok,” imbuhnya.
Kepada IGN, Geoff mengakui bahwa yang disuguhkan tahun ini belum sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai metaverse, dan ini juga baru versi pertama dari visi yang ingin ia realisasikan ke depannya. Dengan kata lain, ke depannya The Game Awards bakal menyajikan lebih banyak program, mulai dari yang sesimpel sesi talk show bersama kalangan developer, sampai yang lebih ambisius seperti mencoba langsung versi demo dari game yang trailer-nya ditampilkan di acara.
Pada akhir bulan Maret lalu, ASUS memperkenalkan tiga laptop ZenBook Classic terbaru yaitu ZenBook Duo 14 (UX482), ZenBook 14 (UX435EG), dan ZenBook 14 Ultralight (UX435EAL). Ketiganya merupakan laptop premium ASUS yang memiliki bodi ringkas, namun menawarkan performa powerful yang dirancang untuk menunjang produktivitas lewat multitasking.
DailySocial Gadget telah kedatangan ZenBook 14 (UX435EG) yang membawa keistimewaan berupa ScreenPad 2.0, touchpad sekaligus berfungsi sebagai monitor sekunder seukuran layar smartphone. Sebagai pengguna ZenBook 13 (UX334) yang merupakan pendahulunya, mari mulai dengan membahas peningkatan apa saja yang dibawa oleh penerusnya. Berikut review ASUS ZenBook 14 (UX435EG) selengkapnya.
Apa yang Baru?
Sebagai bagian dari lini ZenBook Classic, ZenBook 14 (UX435EG) merupakan base model dari jajaran laptop premium ASUS ZenBook dan masuk dalam kategori thin and light. Dirancang sebagai laptop serba bisa untuk semua kalangan, mulai dari pelajar hingga profesional.
Jadi, tak seperti trio laptop ZenBook yang dirilis pada bulan Februari lalu, meliputi ZenBook S (UX393), ZenBook Flip S (UX371), dan ZenBook Flip 13 (UX363). ZenBook 14 (UX435EG) tidak mengantongi sertifikasi Intel EVO Platform dan belum mengadopsi panel AMOLED. Ada tiga varian yang tersedia di Indonesia, detailnya sebagai berikut:
Bila dibandingkan dengan ZenBook Classic 13/14/15 generasi sebelumnya, ZenBook 14 (UX435EG) tidak mengalami perubahan yang besar dan masih hadir dengan ScreenPad versi 2.0. Meski begitu, ASUS telah memperbarui ScreenPad dengan antarmuka yang lebih intuitif seperti smartphone sehingga lebih mudah digunakan.
ScreenPad 2.0 merupakan pusat kontrol untuk berbagai fitur di dalamnya dan telah terintegrasi dengan berbagai aplikasi seperti Microsoft Office. Layar kedua tersebut menggunakan panel IPS-level beresolusi FHD+ (2160×1080 piksel). Fitur-fiturnya meliputi task group, handwriting, quick key, slide xpert, doc expert, sheet xpert, dan lainnya.
Sementara, layar utamanya berukuran 14 inci dengan aspek rasio klasik 16:9. Menggunakan panel IPS dengan resolusi FHD (1920×1080 piksel) yang dikemas dalam desain NanoEdge Display dan memiliki screen-to-body ratio sekitar 91%.
Layarnya mampu menghasilkan warna hingga 100% pada color space sRGB, sehingga ideal untuk kegiatan content creation. Ditambah tingkat kecerahan maksimum 300 nits, mendukung fitur touchscreen untuk varian tertinggi, serta telah mengantongi sertifikasi Low Blue Light dan Anti-Flicker dari TÜV Rheinland dengan cahaya biru yang lebih rendah sehingga layar laptop yang tidak mudah membuat mata lelah.
Desain Elegan
Dari segi desain, ZenBook 14 (UX435EG) menganut gaya penampilan baru, tampil lebih simpel namun tetap elegan dalam warna Pine Grey. Cover depannya memiliki pola ikonik Concentric Circle dengan Spun Metal Finish, mirip seperti yang ditemukan pada ZenBook Flip 13 (UX363) dan ZenBook 14 (UX425) yang sudah pernah saya review.
Kunci dari pengalaman menyenangkan yang ditawarkan oleh ZenBook 14 (UX435EG) salah satunya berkat ukuran bodi yang ringkas. Dimensinya 319x199mm dengan ketebalan di angka 16,9mm dan bobotnya cukup ringan 1,29kg, sangat praktis saat dibawa bepergian.
Tak lupa, ZenBook 14 (UX435EG) memiliki engsel ErgoLift Design yang membuat bodi utama laptop terangkat saat dibuka sehingga memberi posisi mengetik yang lebih nyaman. Seperti rangkaian laptop ZenBook yang lain, perangkat ini juga telah mengantongi sertifikasi lolos uji ketahanan berstandar militer AS (MIL-STD 810H).
Sayangnya, keyboard yang digunakan belum mengadopsi desain edge-to-edge. Namun ASUS melindunginya dengan BacGuard, perawatan antibakteri baru yang membantu mengurangi penyebaran bakteri berbahaya melalui kontak. ASUS BacGuard diterapkan pada area keyboard model Lilac Mist dan telah terbukti secara ilmiah dapat menghambat pertumbuhan bakteri hingga lebih dari 99% selama 24 jam, membantu menjaga permukaan laptop tetap bersih.
Fitur WFH dan WFA
Sebagai laptop ZenBook model 2021, ASUS membekali ZenBook 14 (UX435EG) dengan fitur produktivitas untuk menunjang WFH maupun WFA. Termasuk peningkatan kualitas webcam dengan array microphone yang didukung oleh teknologi AI Noise-Cancelling untuk mikrofon dan speaker yang dapat mengurangi kebisingan latar belakang guna membantu memperlancar komunikasi saat meeting virtual.
Kamera infra merah depan (IR) tersebut memiliki lensa 4 elemen dan dapat mengenali wajah pengguna dalam hitungan detik, untuk login dengan praktis dengan Windows Hello bahkan di lingkungan yang gelap. Namun mengingat kondisi pandemi, saat bekerja di luar rumah maka sebaiknya jangan melepas masker menggunakan kata sandi atau PIN untuk masuk.
ZenBook 14 (UX435EG) dibekali dengan konektivitas yang sangat lengkap. Di samping port Thunderbolt 4 berkecepatan tinggi yang menggunakan USB Type-C, masih terdapat USB Type-A dan HDMI, dua port modern yang masih banyak digunakan hingga saat ini. Bersama Intel WiFi 6 Gig+ (802.11ax) dan Bluetooth 5.0 (Dual band) untuk konektivitas nirkabelnya.
Pada bagian kanan terdapat satu port USB 3.2 Gen 1 Type-A, 3,5mm combo audio jack, dan microSD card reader. Sedangkan di sisi kirinya ada satu port HDMI 2.0b dan dua port Thunderbolt 4 yang mendukung display dan teknologi USB Power Delivery. Thunderbolt 4 memiliki kecepatan maksimum mencapai 40 Gbps dan mendukung dua monitor 4K atau satu monitor 8K. Pengisian dayanya pun melalui port USB Type-C dan memungkinkan menggunakan power bank.
Hardware & Performa
Laptop bersistem operasi Windows 10 Home dengan aplikasi Office Home & Student 2019 pre-installed ini telah ditenagai prosesor Intel Core generasi ke-11 Tiger Lake. Unit ZenBook 14 (UX435EG) yang saya review merupakan varian tertinggi dengan Intel Core i7-1165G7 yang memiliki konfigurasi 4 core dan 8 thread, thermal design power 28 Watt, cache 12MB, dan memiliki boost clock dari 2,8GHz menjadi hingga 3,9GHz.
Kemampuan olah grafisnya juga lebih bertenaga, berkat integrated graphics Intel Iris Xe dan ditambah discrete graphics NVIDIA GeForce MX450. Selain itu, performanya disokong RAM sebesar 16GB LPDDR4X dan storage SSD berkapasitas 1TB M.2 NVMe PCIe 3.0.
Meski tidak mengantongi sertifikasi Intel EVO Platform, pengalaman pengguna premium yang gesit dan responsif tetap berhasil disodorkan dengan sangat baik oleh ZenBook 14 (UX435EG). Masa pakai baterainya juga panjang, dengan kapasitas 63W membuatnya dapat bertahan hingga 12 jam.
Berbagai aplikasi dapat dijalankan dengan lancar dan saya juga melakukan edit video review ZenBook 14 (UX435EG) menggunakan laptop ini. Pada resolusi 1080p, eksekusi footage 1080p berjalan dengan baik tetapi masih ada jeda yang mengganggu ketika memproses video 4K.
Verdict
Dari perspektif pengguna ZenBook 13 (UX334), ZenBook 14 (UX435EG) berfokus pada penyempurnaan pengalaman klasik dengan layar sekunder yang dirancang untuk multitasking. Kini dengan prosesor Intel Core generasi ke-11 Tiger Lake, konektivitas lebih cepat dengan Thunderbolt 4, dan juga dilengkapi beberapa fitur WFH baru.
Kebutuhan saya terhadap laptop cukup kompleks, termasuk pembuatan konten dan tuntutan kerja mobile. Di sisi lain, kondisi bekerja dari rumah juga penuh tantangan, terkadang ada acara keluarga dan urusan yang harus ditangani. Namun berkat ukuran portabel ZenBook 14 (UX435EG) dan performa yang mumpuni, saya dapat dengan mudah membawanya kemana-mana dan memungkinkan saya bekerja di manapun dan kapanpun.
Sepertinya sudah biasa bagi ASUS untuk menghadirkan desain dan teknologi baru pada laptop buatannya. Setelah sebelumnya sudah mengeluarkan Touchpad yang menggunakan layar berukuran kecil, kali ini mereka mengeluarkan layar yang lebih besar lagi. Layar tersebut dinamakan ScreenPad Plus dan ditempatkan di atas keyboard-nya.
Perhelatan yang diadakan pada tanggal 11 Desember 2019 lalu yang bertempat di Dian Ballroom hotel Raffles Jakarta menandakan bahwa perusahaan asal Taiwan ini resmi membawa ASUS Zenbook Duo dan ASUS Zenbook Pro Duo ke Indonesia. Dengan teknologi ini, pengguna tidak lagi harus bersusah payah membawa dua buah monitor ke mana saja. Apalagi pada saat membuat sebuah konten, satu layar saja tidak pernah cukup.
ScreenPad Plus pada dasarnya merupakan layar kedua dengan ukuran setengah dari layar utama. Dengan kata lain ukuran resolusi ScreenPad Plus di ZenBook Pro Duo UX581 dan ZenBook Duo UX481 juga sama seperti layar utamanya. ScreenPad Plus di ZenBook Pro Duo UX581 dan ZenBook Duo UX481 juga memakai panel yang sama dengan layar utamanya.
Kedua laptop ini ditenagai oleh prosesor Intel terbaru, yaitu prosesor 10th Gen Intel Core untuk ZenBook Duo UX481 dan prosesor 9th Gen Intel Core untuk ZenBook Pro Duo UX581. Pilihan RAM yang ada juga sampai 32 GB serta SSD NVMe sampai 1 TB.
Prosesor yang digunakan pada UX581 merupakan prosesor 8 inti 16 threads Core i9 9980HK Core atau prosesor 6 inti 12 threads i7 9750H yang saat ini masih digadang terkencang untuk digunakan di laptop. Selain itu, ASUS juga memasangkan kartu grafis GeForce RTX 2060 yang membuat kinerjanya lebih kencang lagi. Dengan layar 15,6 inci OLED yang memiliki color space DCI-P3 sebesar 100% dan sRGB sebesar 133% ini, resolusinya dapat mencapai 4K. Hal yang sama pun diraih oleh ScreenPad Plus-nya.
Prosesor yang digunakan pada UX481 adalah prosesor 4 inti 8 threads Core i7 10510U atau prosesor 4 inti 8 threads Intel Core i5 10210U. Namun, pada versi non Pro ini, kartu grafis yang bisa menjadi pilihan adalah NVIDIA GeForce MX250. RAM yang terpasang adalah 8 GB untuk Core i5 dan 16 GB untuk Core i7. Layar yang digunakan berukuran 14 inci dengan resolusi 1080p dan menggunakan jenis IPS.
ASUS menjual Zenbook Pro Duo dengan harga Rp. 55.999.000 untuk Core i9 dan Rp. 45.999.000 untuk yang Core i7. Sedangkan Zenbook Duo dijual dengan harga Rp. 16.299.000 sampai Rp. 23.999.000, tergantung dari prosesor dan grafis yang dipilih.
Tanpa Palm Rest?
Saat mencobanya pada acara peluncuran, ada satu hal yang membuat saya cukup kurang menikmati dalam menggunakan laptop ini. Saya terbiasa mengetik dengan merebahkan telapak tangan saya pada bagian palm rest. Pada saat mencoba Zenbook UX581, mengetik terasa kurang nyaman karena ujung telapak tangan saya ada pada meja.
Ternyata pada paket penjualannya, ASUS menyertakan palm rest tambahan. Hal tersebut setidaknya hadir pada UX581. Namun, palm rest tambahan yang ada terasa cukup lebar, sehingga pengguna membutuhkan meja yang lebih besar. Pengguna pun juga harus melakukan penyesuaian, yang saya pikir tidak akan lama, untuk membiasakan diri menggunakan keyboard tanpa sandaran telapak tangan ini.
Untuk ScreenPad Plus yang ada, sepertinya memang membuat pengoperasian Windows 10 yang sudah terpasang lebih baik lagi. Sayang memang, versi UX481 yang saya coba ternyata tidak memiliki layar sentuh, sehingga hanya ScreenPad nya saja yang bisa disentuh.
Oh iya, untuk membedakan secara fisik mana yang UX581 dan mana yang UX481, kalian bisa melihatnya pada touchpad yang dimiliki. UX581 tidak memiliki tombol klik kiri dan kanan pada touchpad-nya. Sedangkan UX481 menghadirkan kedua tombol tersebut.
Perusahaan motherboard asal Taiwan, ECS, kembali meluncurkan lini komputer mini mereka yang diberi nama Liva. Pada akhir tahun 2018 ini, ada tiga buah komputer yang diperlihatkan. Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2018 lalu bertempat di Hotel Akmani Jakarta.
Dua jenis PC yang diperkenalkan bernama Liva One Plus dan Liva Z2. Liva One Plus merupakan PC mungil yang menggunakan prosesor desktop Intel generasi ke 8. Uniknya, prosesor pada PC ini bisa diganti, sehingga memungkinkan untuk melakukan upgrade.
Liva One Plus menggunakan memori DDR4 SoDIMM dengan dua slot dan mendukung hingga 32 GB. Ruang penyimpanan yang didukung memiliki dimensi 2.5 inci sehingga bisa digunakan untuk SSD. Komputer ini juga memiliki sebuah slot M.2 untuk SSD. Karena menggunakan CPU Intel generasi ke 8, Liva One Plus mendukung resolusi 4K.
Jenis kedua adalah Liva Z2 series yang terdiri dari dua varian. Liva Z2V merupakan varian yang memiliki konektor D-SUB pada bagian belakangnya. Namun untuk varian Liva Z2, HDMI-nya sudah menggunakan versi 2.0.
Liva Z2 menggunakan prosesor Intel Atom dengan arsitektur paling baru, Gemini Lake. Pilihan prosesor ada pada Intel Pentium N5000 atau Celeron N4000. Kedua komputer ini hanya memakan daya 6 watt saja, sehingga sangat cocok untuk digunakan sebagai Home Theater PC atau HTPC.
Ketiga komputer sudah dilengkapi dengan sistem operasi Windows 10. Selain itu, dukungan untuk port USB-C juga telah tersedia pada bagian belakangnya.
Liva menjual PC One Plus dengan harga Rp. 3.500.000. Untuk Liva Z2 Series dijual dengan harga Rp. 2.900.000. Ketiga PC pun juga sudah bisa dibeli langsung pada distributor dan toko komputer yang ada di Jakarta.
Mencoba PC
Sayang memang, pada saat acara berlangsung, ruangan cukup penuh sehingga tidak bisa terlalu lama untuk mencoba PC yang ada. Untungnya, kami bisa mencoba semua komputer yang ada.
Liva Z2 yang menggunakan prosesor Celeron N4000 pun kami coba. Sesuai dengan arsitekturnya, kami memang menemukan beberapa kali lag saat membuka browser Edge dengan tab yang banyak. Hal ini memang lumrah terjadi pada komputer dengan prosesor Atom. Akan tetapi, saat menggunakannya, komputer ini cukup responsif.
Untuk Liva One Plus memang terasa sangat responsif. Pembukaan banyak tab pada browser juga tidak terasa lag. Tentu saja, karena menggunakan prosesor Intel Core generasi ke 8, membuat komputer tersebut kencang.
Bobot kedua komputer juga ringan sehingga mudah untuk dibawa kemana saja. Dengan harga yang ada, membuat komputer ini cukup terjangkau saat dijadikan alat bekerja pada perkantoran atau untuk sebuah HTPC.
Kecuali pada model berdesain rugged ataupun desktop replacement eksperimental, produsen laptop saat ini berlomba-lomba untuk membuat produknya lebih tipis, ringan, mampu bekerja lebih lama, tanpa kompromi pada performa. Dan kita tahu, penggunaan komposisi hardware dan pemilihan prosesor punya andil besar dalam mencapai target itu.
Setelah eskstensinya sempat diketahui lewat codename, Intel akhirnya resmi mengumumkan keluarga prosesor Core generasi kedelapan baru, yakni seri U (Whiskey Lake) dan seri Y (Amber Lake). Intel meracik mereka sebagai penerus produk prosesor mobile sebelumnya, namun seri U serta Y sejak awal dispesialisasikan untuk perangkat-perangkat convertible (2-in-1), serta memperoleh optimalisasi pada aspek konektivitas dan konsumsi daya.
Produktivitas tampaknya menjadi perhatian utama Intel dalam peracikan Core U-series dan Y-series. Prosesor seri U generasi kedelapan membawa konektivitas Gigabit Wi-Fi ke laptop mainstream ataupun ultra-thin, menjanjikan kecepatan koneksi sampai 12 kali dibanding sistem dengan Core i5-4200U 1×1 BGN, serta menyajikan performa dua kali lipat dari PC desktop berusia lima tahun.
Dengan U-series baru, laptop ramping Anda tak akan kesulitan menangani kegiatan olah data dan kreasi konten ringan serta ideal digunakan buat menjelajahi internet. Menurut Intel, lompatan kinerja itu ‘dapat membantu pengguna lebih fokus dalam beraktivitas, memudahkan mereka berkarya dan tersambung; baik dari rumah, kantor ataupun saat bepergian’. Lalu jika Anda adalah seorang kreator, Anda bisa membagikan video 4K ataupun 360 derajat 6,5 kali lebih cepat dari ketika memakai PC berprosesor i5-4200U.
Faktor hiburan tentu tidak dilupakan. Prosesor mobile anyar itu mempersilakan pengguna mengunduh video atau konten apapun dalam waktu super-singkat. Whiskey Lake menjamin pengalaman streaming video dan bermain game yang mulus, kabarnya siap menjalankan permainan-permainan online populer semisal World of Warcraft: Battle for Azeroth dan World of Tanks.
Core Y-series 8th-Gen sendiri menghidangkan opsi konektivitas super-cepat, baik Wi-Fi maupun LTE. Ia sangat ideal untuk dibenamkan pada notebook-notebook dengan desain tipis, karena selain membuat performanya meningkat jauh (jika dikomparasi dengan i7-7Y75), pemakaian daya juga lebih irit.
Selain itu, Intel memperluas kemampuan interaksi di Core seri U maupun Y. PC-PC yang mereka otaki kabarnya siap mendukung ‘layanan suara’ berbeda, lalu mendapatkan penyempurnaan pada sistem input sentuh ataupun melalui stylus.
Intel belum secara resmi mengabarkan laptop-laptop apa saja yang akan menggunakan prosesor baru mereka ini, tapi berdasarkan informasi langsung yang saya peroleh, beberapa produk bersenjata Whiskey Lake akan diungkap di IFA Berlin 2018.
Revolusi besar tengah terjadi di industri game. Terobosan para raksasa di ranah hardware dan grafis memungkinkan terhidangnya virtual reality untuk konsumen biasa serta membuka gerbang ke era 4K gaming. Alhasil, consolecurrent-gen menua lebih cepat, ‘memaksa’ produsen seperti Sony dan Microsoft me-refresh perangkat mereka dengan versi baru.
Keadaan seperti ini sendiri hampir tidak pernah menjadi masalah di PC karena penggunanya bisa mudah meng-upgrade hardware ketika diperlukan. Hal tersebut berperan sebagai kelebihan sekaligus kekurangan: PC kurang bersahabat buat user awam yang menginginkan produk ringkas, dan itulah keunggulan home console. Dan buat skenario yang kini menghadang PlayStation dan Xbox, penciptanya dapat mencari solusi dari sebuah produk milik Razer.
Diperkenalkan bersamaan dengan penyingkapan Razer Blade Stealth, Razer Core ialah solusi pintar atas terbatasnya hardware sebuah device. Penyajiannya sangat simpel, ia hadir berupa docking berisi kartu grafis discrete. Jika ingin menikmati konten VR atau permainan di resolusi tinggi, gamer cukup menyambungkan Core ke laptop via kabel Thunderbolt 3. Melalui cara ini, Razer dapat menjaga penampilan Blade Stealth tetap ringan serta ramping.
Pendekatan tersebut sebetulnya bukanlah sesuatu yang istimewa dan bisa segera diadopsi console maker, sehingga mereka tidak perlu mengganti seluruh sistem. Kabar baiknya lagi, Sony dan Microsoft bahkan tidak perlu repot-repot membuat modul ala Core, tinggal tambahkan saja kompatibilitas ke Razer Core karena teknologi pendukungnya tidaklah eksklusif – Core tercipta berkat bantuan dari Intel (Thunderbolt), Microsoft, Nvidia serta AMD.
“Menurut saya konsep modular sebuah PC – menyuguhkannya dalam wujud tipis serta ringan ditambah performa desktop – dapat jadi jalan keluar,” kata Systems Product Market Manager Razer Travis Furst pada Digital Trends. Ia juga menyampaikan, gagasan modular sudah banyak diimplementasikan ke berbagai hal, contohnya seperti saat kita mengganti knalpot mobil.
Tentu saja ide console modular menyimpan banyak rintangan, seperti yang dijelaskan analis dari Wedbush Securities, Michael Pachter. Seandainya modul cuma dibeli oleh sebagian orang, maka akan tercipta standar grafis berbeda dan itu menimbulkan masalah baru; misalnya membingungkan konsumen, membatasi pasar, dan membuatnya tidak populer di kalangan developer.
Sekarang saja, banyak gamer merasa kesal dengan kedatangan New PS4, Xbox One S, dan PS4 Pro serta Scorpio; sebab akan memicu kebingungan dan menyebabkan console generasi pertama jadi ketinggalan zaman.
Tak hanya user, developer juga tidak begitu gembira ketika tahu harus mengembangkan game untuk dua spesifikasi hardware berbeda. Tapi suka atau tidak, ide upgradable atau modular merupakan satu dari sedikit cara menjaga console agar tidak lekang oleh waktu.
Indonesia adalah pasar menantang bagi produsen IT. Di satu sisi, tingginya jumlah penduduk menyimpan potensi besar, tapi di sisi lain, muncul pertanyaan soal apakah produk yang ditawarkan benar-benar diinginkan konsumen. Namun bagi ECS, Indonesia ialah tempat spesial. Buktinya, di tahun 2015 ini mereka telah melangsungkan dua kali event peluncuran.
Produsen dari Taipei itu menjelaskan, peracikan mini PC baru mereka didorong semangat untuk mengubah pandangan orang terhadap komputer personal. Dan pada tanggal 25 November 2015, Elitegroup Computer Systems resmi membawa tiga komputer baru di keluarga Liva, dipimpin oleh model X2. Liva tergolong istimewa. Umumnya, device diperkenankan ‘masuk’ dalam golongan mini PC jika memiliki volume kurang dari lima liter. Sedangkan volume Liva hanya berkisar antara 0,4 sampai 1 liter.
Dua mini PC lain yang menemani X2 adalah Core dan One. X2 merupakan penerus langsung dari model Liva X, diperkenalkan pada bulan April silam. Variasi penampilan tak cuma diambil sebagai ‘bumbu desain’. Pada dasarnya, ketiga device disiapkan buat kategori konsumen berbeda. Bahkan dari penerangan marketing manager May Chuang, ECS seakan-akan membangi produk berdasarkan jenis kelamin target konsumen.
Apa maksudnya? Anda akan paham begitu melihat wujud Liva X2. ECS telah membuang jauh-jauh kesan konservatif sang pendahulu. Sekilas, X2 lebih mirip kotak sabun antik ketimbang mini PC, dengan dimensi 156x83x51mm. Unit demo di acara itu didominasi warna putih, ditambah frame perak membingkai sisi samping teratas, lalu logo Liva ditempatkan dalam cekungan oval. Kesan feminin sangat kental di sana (di Taiwan, ECS sempat menawarkan paket bundel X2 bersama body lotion).
ECS terlihat sangat mengutamakan desain walaupun sebetulnya, X2 ialah model entry-level. Kabar baiknya, ia dijamin tidak akan kalah saing dengan mini PC kompetitor. Produsen membenamkan system-on-chip Intel Brasswell, dipadu RAM 2/4GB dan penyimpanan eMMC 32/64GB – bisa diekspansi via kartu microSD. X2 sengaja diramu untuk mendukung bermacam-macam fungsi, dari mulai olah data di rumah, sekolah dan kantor; sampai pusat hiburan multimedia di ruang keluarga.
X2 memang distingtif, namun buat saya, Liva Core-lah yang memiliki rancangan terbaik – mengusung unsur industrial dan bumbu futuristis. Saat aktif, LED di logo Liva akan menyala, dan Anda bisa langsung melihat struktur heatsink via lapisan transparan di atas. Material logam kelabu membalut sisi samping Core, sangat serasi ketika dikombinasikan dengan warna hitam. Dimensinya lebih kecil lagi dari X2, yaitu 136x84x38mm.
Nama Core sendiri diambil dari pemanfaatan SoC Intel Core M (SY10C). Susunan hardware Liva Core lebih canggih dari X2, meliputi RAM 4GB, penyimpanan SSD M.2 120GB, dan konektivitas lebih luas: Gigabit Ethernet, empat USB 3.0, dua HDMI, dan tentu saja ada Wi-Fi (802.11ac) dan Bluetooth 4.0. Core (dan juga X2) mengusung struktur tanpa fan, membuat keduanya bekerja dengan hening, dan dilengkapi oleh port USB fast charging (5V/2,2A) – sembari dipakai, mereka dapat digunakan mengisi ulang baterai smartphone.
Liva One menduduki posisi teratas di keluarga mini PC Elitegroup. Tapi sayangnya ECS tampak mengorbankan aspek rancangan. Wujudnya kalah menarik dibanding X2 dan Core, berbentuk balok pipih berukuran 173x176x33mm. Namun kekurangan pada desain dibayarkan lewat keleluasaan konektivitas. ECS membekalinya dengan HDMI, D-sub, DisplayPort, LAN, 4 buah port USB 3.0 dan satu port USB Type-C.
Ketika model X2 masih menggunakan SoC, One selangkah mendekati PC kelas desktop. Motherboard mini-ITX berperan menjadi dasarnya, dan sistem turut ditenagai chip Intel Core (menopang hingga i7), RAM sampai 16GB, penyimpanan berbasis hard drive 2,5-inci dan slot ekspansi SSD maksimal 1TB. Komposisi hardware dengan konektivitas itu memperluas fleksibilitas pemakaian: sebagai PC biasa, medium streaming konten digital, atau embedded system.
Khususnya buat X2 dan Core, Elitegroup sudah mendapatkan ide strategi dalam memasarkannya di sini. Rencananya, ECS akan mengadakan kampanye ke institusi-institusi pendidikan lokal di tahun depan, mencoba berbagi wawasan mengenai apa saja keuntungan yang diberikan oleh produk mini PC mereka.
Liva X2 dijajakan antara Rp 3 juta hingga Rp 3,6 juta, tergantung dari jumlah memori dan kehadiran OS Windows (7/8.1/10). Harga Liva Core cukup tinggi, mencapai Rp 8 juta, dan ECS masih enggan memberi tahu harga Liva One.
Terdapat sebuah dogma keliru yang dipegang oleh mayoritas konsumen mobile device: jumlah core banyak artinya lebih baik. Dalam acara Intel Cook Off bertema The Power of Ingredients, sang produsen semikonduktor terbesar di Bumi itu mencoba mematahkan anggapan tersebut dengan mengajak para tamu untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa, yaitu memasak. Continue reading Intel: Banyaknya Core Prosesor di Tablet Anda Tak Menentukan Kualitas Performanya→