Tag Archives: coworking space

Rata-rata okupansi coworking space hampir 0%, namun aktivitas online justru meningkat dan jadi sumber pendapatan baru

Persiapan Coworking Space Menuju “Normal Baru”

Hampir tiga bulan sejak pemberlakuan karantina mandiri karena pandemi, coworking space adalah salah satu industri yang ikut terkena imbas. Fleksibilitasnya sebagai tempat kerja semua orang sangat memungkinkan terjadinya risiko penularan.

Faye Alund, Presiden Coworking Indonesia, asosiasi yang mewadahi coworking space, menyebut, pihaknya melakukan survei singkat untuk melihat kondisi coworking space di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Survei ini diikuti 30%-40% anggota. Adapun total anggotanya adalah 250 orang yang mewakili sekitar 100 bisnis coworking space.

“Jawabannya adalah okupansi hampir 0% karena banyak yang tutup selama dua sampai tiga bulan. Juni sudah mulai pada buka. Untuk teman-teman yang di luar Jakarta, meski tidak ada PSBB, okupansinya juga ikut turun hampir 0%,” paparnya kepada DailySocial.

Paparan singkat Faye sejalan dengan yang dihadapi Ngalup, pemain dari Malang. Direktur Ngalup.co Andina Paramitha menceritakan, selama tiga bulan belakangan pihaknya beralih ke “survival mode” karena seluruh anggota melakukan WFH. Karena okupansi turun drastis, tim mulai mengurangi satu per satu kebutuhan yang sifatnya “nice to have”.

“Sebelum Covid-19 masuk ke Malang, kami sudah menyiapkan plan untuk bertahan hingga Desember 2020 untuk memutar roda ekonomi. Kami akan push layanan baru dan untuk mengurangi cost tiap bulannya, maka kami melakukan penyesuaian kebutuhan, mulai dari penggunaan listrik, gaji karyawan, hingga katering karyawan,” ujarnya.

Kondisi sedikit berbeda diceritakan Co-Founder dan CEO GoWork Vanessa V. Hendriadi. GoWork tergolong pemain besar dengan total ruang hampir 60 ribu meter persegi yang tersebar di 24 titik di empat kota besar di Indonesia.

Vanessa mengungkapkan, pihaknya mengikuti kebijakan pemerintah dalam hal menutup lokasi karena hal terpenting adalah mengutamakan keselamatan bersama. Hanya saja, ada beberapa lokasi beranggotakan perusahaan yang bergerak di bisnis esensial, sehingga GoWork harus tetap buka.

“Rata-rata okupansi kami masih di atas 70%, memang sedikit menurun dibandingkan sebelum Covid-19 yakni di angka 95%. Namun hal ini kami lihat hanya sementara dan kami sudah siap menghadapi “new normal” dengan semua protokol yang terus kami update,” terang Vanessa.

CoHive juga menutup mayoritas lokasinya selama PSBB berlangsung dan membuka kembali pada 8 Juni 2020, dimulai dari kantor pusatnya, CoHive 101. CEO CoHive Jason Lee menerangkan, pandemi telah membuat perubahan bisnis bagi perusahaan, namun pihaknya mulai optimis menyambut kondisi normal baru.

“Sepanjang PSBB, hunian kantor pribadi kami tetap stabil, maka dari itu tim pengembang telah menyediakan solusi terbaik untuk anggota. Kami percaya membangun hubungan jangka panjang dengan anggota akan memperkuat komunitasnya,” katanya.

Dari sisi bisnis, tim CoHive secara aktif berdiskusi dengan pemilik gedung untuk memberikan opsi dan penyesuaian terkait fleksibilitas biaya sewa untuk para anggota CoHive, terutama startup dan UKM agar runway mereka lebih panjang.

“Sebagai catatan positif, sebagai platform coworking dan komunitas terbesar di Indonesia, kami berharap menjadi salah satu industri pertama yang pulih dan tumbuh lebih kuat dari pemain lain karena kami menyediakan yang dibutuhkan untuk mengaktifkan lagi [aktivitas] dalam normal baru.”

Sumber pendapatan baru

Penerapan PSBB sejalan dengan penyebab mengapa okupansi menurun. Oleh karena itu, pemain harus mencari akal bagaimana memastikan bisnisnya tetap hidup. Faye menegaskan, esensi utama coworking space adalah aktivasi komunitas yang ingin memperluas jejaringnya, sekaligus mengakselerasi serendipity.

Serendipity adalah kebetulan-kebetulan yang menguntungkan dan bisa terjadi kapan saja. Hal ini bisa diciptakan melalui coworking space sebagai melting pot-nya.

Perluasan jejaring diterjemahkan dalam bahasa bisnis dengan menggelar program pelatihan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Kini program ini digelar dalam versi online.

“Pada Maret-April, teman-teman banyak yang buat program versi gratis untuk tes dulu karena ini pindah dari offline ke online, pelajari topiknya, dan sebagainya. Lalu pada Mei terlihat mereka mulai monetisasi dengan membuat kelas berbayar, sudah tahu market butuh apa, meski baru mulai.”

Dari sisi asosiasi, mereka mendorong anggota dengan memberikan akses dan kesempatan untuk para pemain coworking memperluas sumber pendapatan dengan mengikuti program yang digelar di luar negeri. Salah satu acara global khusus pemain coworking space adalah Hack Coworking Berlin 2020.

“Dari situ, kita bisa belajar dari pelaku lain tentang stream-stream [pendapatan baru] apa yang bisa dilakukan selama pandemi. Selain aktivasi program, ada juga cara crowdfunding, menggunakan resource dari member untuk kerja sama dan monetisasi dalam rangka capacity building, dan lainnya yang semuanya dilakukan secara online.”

Para pemain sepakat dengan pernyataan Faye. Vanessa menerangkan, meski banyak lokasi tutup, kesibukan tim GoWork justru bertambah. Selain sibuk menjalin hubungan dengan semua stakeholder (anggota, mitra, dan pemilik gedung) agar tetap survive, mereka melakukan digital activation dengan gencar melalui konten-konten yang diminati dari platform populer.

Diklaim, hampir setiap hari platform GoWork dikunjungi lebih dari 1000 pengunjung yang tune-in ke konten yang dibuat perusahaan. Dia mengaku, strategi seperti ini belum pernah dijajaki perusahaan sebelumnya. “Karena krisis ini, GoWork menemukan kesempatan bisnis baru yang sangat membantu perkembangan komunitas kami dan merupakan komplemen dari bisnis ruang kerja fleksibel kami.”

CoHive juga gencar menggelar program online untuk komunitasnya. Jason memaparkan, pihaknya mengundang kalangan profesional, baik dari individu maupun perwakilan perusahaan dari lintas industri sebagai pembicara.

“Komunitas dan kolaborasi masih merupakan bagian inti dari bisnis kami tetapi dengan fokus pada kesehatan dan keselamatan. Misalnya, kami beradaptasi dengan memindahkan acara/kegiatan sosial secara online. Tentu saja, ke depannya kami akan menggelar lebih banyak kegiatan online.”

Ngalup juga demikian. Mereka membuat program webinar berbayar dan berkolaborasi dengan coworking lain di luar Malang untuk menjangkau lebih banyak audiens. Di samping itu, Ngalup membuat layanan baru, yakni webinar studio. Ngalup menyediakan seluruh kebutuhan webinar, mulai dari kamera, microphone, laptop, background, lisensi Zoom, hingga host apabila dibutuhkan.

“Kami juga sedang mengurus layanan virtual office. Nantinya para korporat bisa menaruh alamat perusahaannya di tempat kami, tanpa harus kerja di Ngalup. Dampaknya belum terlihat signifikan, tapi kami yakin ke depannya akan ada peluang besar untuk layanan ini,” tutur Andin.

Kegiatan offline di Ngalup / Ngalup
Kegiatan offline di Ngalup / Ngalup

Protokol kesehatan

Sebagai tempat berkumpul orang dari berbagai perusahaan, coworking space perlu menerapkan protokol kesehatan dalam menyambut normal baru. Prosedur yang diambil mengikuti instruksi pemerintah, misalnya menyediakan sarana untuk cuci tangan, termogun untuk cek suhu tubuh, memastikan penggunaan masker, dan menyebar hand sanitizer di banyak titik.

“Kursi dan meja di ruangan kami berikan jarak satu meter untuk mencegah terjadinya penyebaran dari lingkungan kantor Ngalup,” terang Andin.

CoHive juga membuat sejumlah tindakan preventif yang perlu dipatuhi komunitasnya, seperti lebih disiplin sanitasi secara berkala di semua lokasi, menganjurkan pertemuan tatap muka hanya bisa dilakukan apabila jumlah peserta di bawah lima orang. Lalu mendorong anggota untuk datang tidak dalam waktu bersamaan agar dapat meminimalisir jumlah orang yang mengantre di lift atau elevator.

“Kami masih dalam proses menyempurnakan pedoman yang lebih rinci mulai minggu ini, sampai seterusnya ketika orang-orang kembali ke kantor. Meskipun ini adalah tambahan biaya bagi kami, namun kesehatan dan keselamatan adalah prioritas kami.”

Adapun GoWork menerapkan verifikasi kesehatan melalui QR Code sebelum masuk ke area kantor. Semua pengunjung diwajibkan melakukan registrasi dengan formulir verifikasi online melalui smartphone. Ketika pengunjung telah terverifikasi dan lolos pengecekan suhu tubuh, tim akan memberikan tanda khusus, berupa stiker penanda untuk dilekatkan di bagian sisi dada kiri.

Vanessa juga membatasi penggunaan beberapa fasilitas, seperti ruang gym, pojok istirahat, pod tidur, bantal bangku, dan peralatan tulis bertama. “Kami menghimbau agar membawa makanan dan minuman mandiri karena pembatasan pemanfaatan kawasan dapur bersih.”

Salah satu protokol kesehatan yang diberlakukan GoWork / GoWork
Salah satu protokol kesehatan yang diberlakukan GoWork / GoWork

Strategi survive dan tren baru

Mengantisipasi kondisi ekonomi yang belum menentu, para pemain sudah menyiapkan jangkar pengaman agar tetap bertahan setidaknya sampai akhir tahun. Strategi yang dilakukan antara pemain skala besar dan yang berskala menengah-kecil tentunya akan berbeda.

Selain mengandalkan layanan baru Andin memastikan pihaknya akan terus mengetatkan post-post pengeluaran bulanannya hingga tutup tahun 2020, mulai dari penggunaan listrik, gaji karyawan, hingga kateringnya.

Secara terpisah, dalam keterangan resmi, GoWork tetap optimis akan pemulihan berkelanjutan industri coworking dalam kurun waktu enam bulan ke depan dengan normal baru. Ekspansi lokasi baru akan dilanjutkan perusahaan, setelah sempat tertunda karena pandemi, di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Lokasi terbaru GoWork terletak di Treasury Tower, SCBD, Jakarta.

“Operator coworking akan merasakan peningkatan angka occupancy dan interest karena banyak perusahaan yang menjadi lebih fleksibel semasa pasca Covid-19. [..] coworking akan menjadi sebuah solusi terjangkau bagi perusahaan-perusahaan yang semakin cermat dan cerdas dalam memanfaatkan modal usaha sehemat-hematnya dengan memilih coworking space,” ucap Co-Founder dan CFO GoWork Richard Lim.

Dari sisi CoHive, Jason mengaku pihaknya menerima kenaikan pertanyaan bisnis secara dramatis dalam dua minggu terakhir karena para pemilik usaha telah menunggu PSBB berakhir. Optimisme tersebut membuat dia percaya permintaan bisnis akan meningkat pada tiga sampai enam bulan mendatang, lebih tinggi dari sebelum Covid-19.

“Mayoritas perusahaan di Indonesia menyewa ruang kantornya dengan harga sewa tetap selama 5-10 tahun, meski sebenarnya kebutuhan ruangan yang dipakai tidak sebesar itu. [..] Kami pikir mereka akan beralih ke penyedia ruang kerja yang fleksibel. Kami melihat pemulihan yang kuat dalam 3-6 bulan ke depan dengan potensi yang lebih besar.”

(dua dari kiri) CEO CoHive Jason Lee saat peresmian lokasi baru CoHive di Sahid Sudirman Residence / CoHive
(dua dari kiri) CEO CoHive Jason Lee saat peresmian lokasi baru CoHive di Sahid Sudirman Residence / CoHive

Faye turut menambahkan optimisme serupa. Dia mengibaratkan pengaruh pandemi ini bagi pemain coworking space merupakan blessing in disguise (berkah terselubung). Ketahanan bisnis tentu akan ditantang bagaimana bisa tetap survive dalam satu tahun.

Covid-19 memang mengambil seluruh value dari fasilitas fisik yang dimiliki coworking space, tapi value yang jauh lebih penting adalah bagaimana memperbesar jejaring, meningkatkan kapabilitas diri lewat program-program yang dibutuhkan. Jadi coworking space itu bukan tempat kerja yang punya fasilitas meja, kursi, dan internet.

“Sehingga ketika masuk new normal, mindset sudah terbentuk, bahwa kerja itu bisa fleksibel, bahwa remote working itu memungkinkan, bahwa KPI itu bukan dari pasang badan tapi dari result. Ini mengubah habit the way of working, dengan pakem-pakem dari coworking space yang kita perkenalkan selama ini.”

Tren berikutnya yang mungkin terjadi saat masa transisi normal baru adalah munculnya coworking space yang berlokasi di pinggiran kota atau perumahan untuk mengakomodasi orang-orang yang ingin tetap bekerja remote tanpa harus datang ke kantor atau bekerja dari rumah.

“Jadi daripada harus commute, coworking space bisa mengakomodasi lingkungan kerja yang lebih profesional, dilengkapi fasilitas dan networking,” tutup Faye.

The Gym, Co-working Space Khusus Esports Resmi Dibuka di Singapura

Perusahaan events services NEO.TM membuka co-working space untuk pelaku esports di Singapura. Dinamai The Gym, satu hal yang menarik dari co-working space ini adalah ia buka 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. The Gym memiliki luas bangunan 7.700 kaki persegi dan terdiri dari tiga lantai. Fasilitas ini dibangun dengan tujuan untuk menjadi tempat latihan bagi para tim esports profesional. Tidak hanya itu, diharapkan, keberadaan The Gym juga akan mendorong kerja sama antara tim esports lokal dengan tim internasional.

“Tahun lalu, esports menjadi bagian dari SEA Games, ini merupakan bukti bahwa esports akan menjadi semakin populer di kawasan Asia,” kata pendiri NEO.TM, Neo Yong Aik, seperti dikutip dari The New Paper. “Esports adalah platform terbaik untuk terhubung dengan generasi muda di kawasan Asia dan di dunia. Namun, walau ada jutaan anak muda yang bermain game di ponsel dan PC mereka, belum ada yang melakukan pendekatan profesional untuk esports.

“Daripada warung internet, kita perlu tempat yang tidak hanya bisa menyediakan tempat untuk latihan dan berkompetisi, tapi juga membantu pemain membentuk kebiasaan yang tepat, yang akan membantu mereka saat mereka mengembangkan karir mereka di esports. Daripada fokus pada aspek gaming saja, kita juga harus memerhatikan aspek lain, seperti nutrisi, kesehatan fisik dan mental. Inilah alasan kami untuk mendirikan The Gym.”

Acara pembukaan The Gym. | Sumber: The Esports Observer
Acara pembukaan The Gym. | Sumber: The Esports Observer

Memang, sekilas, pemain profesional esports “hanya” harus duduk di depan PC atau smartphone dan bermain. Namun, menurut atlet esports profesional, ada kaitan antara performa seorang pemain dengan kebugaran fisik mereka. Selain itu, semakin banyak tim esports profesional yang melihat pentingnya psikolog untuk mendukung pemain profesional mereka.

Di lantai pertama, The Gym menawarkan kawasan layaknya arena yang bisa menampung hingga 150 orang. Tempat ini juga sudah dilengkapi dengan caster booth. Sementara lantai dua dan tiga menyediakan ruangan yang bisa dijadikan tempat untuk latihan, kantor, atau bahkan mengadakan turnamen esports atau melakukan live-streaming.

Memang, industri esports di Singapura mulai menggeliat. Pada Desember 2019, ONE Esports menyelenggarakan Dota 2 World Pro Invitational, mengundang sejumlah tim kelas dunia seperti Team Secret dan Evil Geniuses. Selain itu, berkat dukungan Tencent, Global Esports Federation juga didirikan di Singapura. Setelah membuka The Gym di Singapura, ke depan, mereka berencana untuk membuka fasilitas serupa di kota-kota besar lain, termasuk Jakarta dan kota-kota di Tiongkok.

The Gym juga bekerja sama dengan De Tune, perusahaan broadcast asal Amerika Serikat yang pernah bekerja sama dengan Riot Games dan menyelenggarakan turnamen internasional dari Fortnite dan PUBG. Keduanya akan bekerja sama untuk mengembangkan ekosistem esports di Asia.

Kemitraan pengelola gedung kantor dan perusahaan "coworking space" menjadi kunci bisnis yang berkelanjutan

Membangun Bisnis “Coworking Space” yang Berkelanjutan

Kegagalan WeWork menempatkan dirinya ke bursa saham pada beberapa waktu lalu menjadi bukti, selain masalah good governance, adalah sulitnya mendapatkan keuntungan bersih di bisnis coworking space. Hal ini merupakan dampak kesalahan model bisnis yang digunakan.

WeWork berkembang terlalu cepat sehingga model bisnisnya menjadi tidak berkelanjutan dan hanya mengandalkan suntikan dana investor. Pertumbuhan yang terlalu cepat akan membunuh industri coworking space karena ada grace period yang perlu diperhitungkan.

Bisnis coworking space yang berkelanjutan sebaiknya mampu menemukan klien terlebih dahulu yang menginginkan sebuah area tertentu sebelum membuka tempat baru agar pendapatan sebuah lokasi dapat diprediksi dan menjadi acuan dalam mengembangkan bisnis ke depannya.

Kesalahan yang seringkali dilakukan pemain coworking space adalah menyewa sebuah tempat untuk kembali disewakan sehingga menambah beban finansial setiap bulannya. Oleh karena itu, konsep joint venture atau sharing revenue dengan landlord merupakan sebuah cara alternatif dalam membuka sebuah lokasi coworking space baru.

Saat ini, banyak pelaku coworking space yang telah kehilangan nilai dan fungsinya. Dari penyedia tempat kerja menjadi fokus ke bisnis properti dan melupakan esensi utamanya sebagai wadah utama dalam mendukung perkembangan ekosistem startup.

Idealnya coworking space harus mampu menjadi lebih dari sekedar penyedia ruang kerja, yaitu sebagai one stop solution platform bagi startup untuk berkembang dan sukses. Hal ini yang belum banyak dilakukan oleh pemain coworking space, padahal faktor ini merupakan salah satu daya tarik yang membedakan dengan perkantoran.

Saat ini banyak perkantoran yang mengadopsi suasana “segar” serupa dengan coworking space untuk mendukung produktivitas dan menghilangkan kejenuhan dalam bekerja. Namun hal tersebut tidak dapat menyamai coworking space karena tidak mempunyai elemen networking.

Nilai dan daya tarik coworking space juga terletak pada hubungan antar komunitas yang ada di dalam ekosistemnya dan dapat membuka berbagai peluang berkolaborasi untuk menciptakan sebuah karya. Hal tersebut merupakan nilai yang tidak didapatkan pada ruang perkantoran biasa.

Salah satu keunikan lain yang dapat ditawarkan oleh coworking space adalah koneksi internet yang cepat dan stabil. Meskipun terdengar sepele, banyak orang yang lebih memilih coworking space daripada menyewa ruang perkantoran biasa dengan kualitas koneksi internet yang berbeda jauh di bawah kualitasnya.

Pertimbangan harga juga menjadi salah satu kekuatan coworking space. Karena tergolong lebih murah dibandingkan menyewa ruang perkantoran, mayoritas publik lebih menyukai menyewa per bulan maupun minggu. Berbeda dengan perkantoran yang mengharuskan menyewa lebih dari satu tahun.

Fleksibilitas, networking, tempat yang strategis, dan kenyamanan merupakan faktor utama yang membuat industri coworking space akan bertahan dan tetap diminati di Indonesia. Hanya saja pelaku usaha coworking space harus berhati-hati dalam mengembangkan usahanya dan tidak terlalu ekspansionis agar mempunyai bisnis model yang berkelanjutan.

Yang perlu kita pahami adalah karakteristik startup yang tidak ingin repot memikirkan tempat. Bagi mereka yang penting adalah fokus menjalankan bisnis agar dapat bertahan, namun tetap ingin memiliki kantor di area pusat bisnis untuk menunjang produktivitas maupun membangun kredibilitas.

Industri coworking space di Indonesia akan terus berkembang dan masih mempunyai potensi yang besar. Menurut Asosiasi Coworking Indonesia, sejak 2017 hingga 2019 pertumbuhannya tercatat sekitar 70 persen. Hal tersebut juga didukung pergeseran tren yang dilakukan banyak perusahaan untuk berpindah ke coworking space dan karakteristik generasi milenial yang lebih suka bekerja di lingkungan yang dinamis dan nyaman.

Ke depannya akan banyak pengelola gedung perkantoran yang berkolaborasi dengan coworking space untuk mengikuti permintaan pasar ataupun mengubah model bisnisnya menjadi coworking space. Berdasarkan data Leads Property, hal tersebut juga sudah mulai terjadi saat ini ketika sebagian besar area perkantoran di Jakarta sudah dikelola pelaku coworking space.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Chief Marketing Officer Dreamhub Duan Akelyaman. Dreamhub adalah layanan coworking space yang menyediakan one-solution untuk membantu perusahaan membangun bisnis.

CoHive Partners with Tanrise Property, Launches Business in Surabaya

CoHive partners with PT Tanrise Indonesia (Tanrise Property) launches a new location in Surabaya. Precisely on the west side, Voza Premium Office, 20th floor. The office is designed and prepared for entrepreneurs and all businesses to work while exploring opportunities for collaboration.

The company eyes great potential in Surabaya, especially in the creative economy sector. Quoting from the Statistics Indonesia (BPS), Surabaya has the biggest rate of creative economy players in Indonesia at 6.41% in 2016.

CoHive‘s Founder & CEO, Jason Lee said the company has made a commitment to support ecosystem growth by providing access to the national network.

“In addition to the rapid growth of the creative economy, Surabaya was chosen as the demand of our members who want to expand the business to Surabaya and East Java. Therefore, we’re glad to open a new location in Voza Premium Office, located in a very strategic area towards the rapid economic growth,” he added.

Moreover, Head of Tanrise Property, Belinda Natalia said on the office space demand in the digital era as their motivation to begin the partnership with CoHive to launch the coworking space in Surabaya.

“As one of the pioneers in the coworking space industry in Indonesia, CoHive has witnessed the rapid growth of members’ business and facilitated them with necessary office space. We’re excited to welcome CoHive members in Voza Premium Office,” Belinda said.

CoHive tried to provide access for communities and various businesses, also to answer SME’s needs for flexible and affordable office space. It also comes with easy payment in a well-designed workspace, and full facilities for the members can focus on their activities.

To date, Co-Hive is now available in 34 locations with a total building of 70,000 sqm in 5 different cities, including Jakarta, Bali, Medan, Yogyakarta, and Surabaya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

CoHive Surabaya

Gandeng Tanrise Property, CoHive Resmikan Kehadiran di Surabaya

CoHive bekerja sama dengan PT Tanrise Indonesia (Tanrise Property) meresmikan layanan coworking space baru di Surabaya. Tepatnya di daerah Surabaya Barat, Voza Premium Office, lantai 20. Ruang kerja ini didesain dan disiapkan bagi para pengusaha dan perusahaan untuk bisa bekerja sembari menggali kolaborasi.

Pihak CoHive melihat potensi yang cukup besar ada di Surabaya, khususnya di sektor ekonomi kreatif. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Surabaya mempunyai jumlah pelaku ekonomi kreatif terbesar di Indonesia sebesar 6,41% di tahun 2016.

Founder & CEO CoHive Jason Lee menyatakan bahwa perusahaannya memiliki komitmen untuk terus mendukung pertumbuhan ekosistem dengan menyediakan akses ke jejaring nasional.

“Selain karena pertumbuhan industri ekonomi kreatif yang begitu pesat, kami memilih Surabaya karena banyak member kami yang ingin memperluas bbisnis ke Surabaya dan Jawa Timur. Karena itulah kami sangat senang bisa membuka lokasi baru kami di Voza Premium Office, bertempat di area yang sangat strategis dengan perkembangan ekonomi yang pesat,” imbuh Jason.

Sementara itu, Direktur Utama Tanrise Property Belinda Natalia mengatakan bahwa kebutuhan akan ruang kantor di era digital menjadi motivasi mereka untuk menjalin kerja sama dengan CoHive untuk menghadirkan coworking space di Surabaya.

“Sebagai pionir coworking space di Indonesia, CoHive telah menjadi saksi cepatnya pertumbuhan bisnis para member dan telah memfasilitasi mereka dengan ruang kerja yang dibutuhkan. Kami antusias menyambut member CoHive di Voza Premium Office,” terang Belinda.

CoHive berusaha menyediakan akses terhadap komunitas dan jejaring bisnis sekaligus menjawab kebutuhan UKM akan ruang kerja yang fleksibel dan terjangkau. Termasuk dengan mekanisme pembayaran yang mudah dan kantor yang didesain menarik, lengkap dengan fasilitas sehingga para member bisa fokus pada kegiatan bisnisnya.

Co-Hive sejauh ini sudah hadir di 34 lokasi dengan total gedung mencapai 70.000 meter persegi yang tersebar di lima kota besar, meliputi Jakarta, Bali, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya.

Coworking space dapat didorong melakukan monetisasi dengan memahami kebutuhan anggotanya

Mengulik Bisnis “Coworking Space” Agar Menguntungkan

Coworking space punya korelasi yang kuat dengan perkembangan startup teknologi. Cara bekerja ala startup sepenuhnya ditawarkan oleh coworking space, yakni fleksibilitas, tidak ada sekat cubicle, fasilitas memadai, dan desain yang kekinian. Tren ini “memaksa” korporasi untuk mengubah cara pandang bagaimana bekerja dengan merombak desain kantor yang lebih kekinian sebagai saran branding dan potensi mendukung retensi karyawan.

Hal ini memancing para pemain coworking space bermunculan di Indonesia, tidak hanya dari ranah lokal saja tapi juga mancanegara. Kehadirannya kini sudah tidak terpusat lagi di kota besar, malah sudah masuk kota tier dua. Karena bisnis ini terhitung cukup baru, masih banyak potensi yang bisa digarap.

Menjamurnya pemain di segmen mendorong kehadiran asosiasi coworking space dinamai Coworking Indonesia pada 2016. Ketua Coworking Indonesia Faye Alund menerangkan, saat awal didirikan jumlah anggota asosiasi hanya 45, kini jumlahnya mencapai sekitar 150-an. Bila digabungkan dengan yang belum bergabung, diprediksi jumlahnya mencapai dua kali lipatnya sekitar 300-an pemain.

“Asosiasi itu jadi gandeng tangan, sekadar memberi awareness apa itu coworking. Tahun 2017 bisnis coworking booming karena pemerintah dari berbagai kementerian mulai buat inisiasi, [pemain coworking space] dari 2016 sekitar 75-an, lalu di 2017 jadi 180-an itu [meningkat karena] menanggapi tren tersebut,” terang Faye kepada DailySocial.

Semenjak asosiasi hadir, perlahan para pemain dari luar masuk ke Indonesia. Sebut saja ada WeWork, Block71, JustCo, Spaces, Avenue8, dan masih banyak lagi.

Menurut survei DSResearch tahun lalu, 67% responden familiar dengan coworking space. Sekitar 82% di antaranya menjelaskan istilah tersebut adalah tempat untuk bekerja, sementara 55% lainnya mengategorikannya sebagai tempat kumpul komunitas.

Responden beralasan mereka memilih bekerja di sebuah coworking space karena faktor lokasi (79%), fasilitas (67%), biaya (67%), dan lingkungan (42%). Adapun faktor yang perlu disediakan oleh operator coworking space adalah koneksi internet (75%), meja kerja (66%), ruang meeting (46%), dan F&B (30%).

Secara eksplisit, survei ini memperlihatkan bahwa fungsi coworking space di Indonesia sebatas sebagai tempat kerja.

Menurut Faye, penting untuk paham bagaimana menerjemahkan soft value yang dijual coworking space, seperti community, skill sharing, dan hal-hal non fisik lainnya dan mengubahnya menjadi konten yang bisa dimonetisasi pemilik coworking space.

Bagaimana coworking space dimonetisasi?

Laporan The 2nd Global Coworking Survey (2017) yang dibuat Deskmag menyebut secara rata-rata hanya 40% pemain coworking space dunia yang mencetak untung. Meskipun demikian, disebutkan 72% pemain mencetak untung setelah dua tahun beroperasi.

Disebutkan sumber pendapatan berasal dari penyewaan meja (61%), penyewaan ruang meeting dan tempat event (masing-masing 10%), penjualan F&B (5%), penjualan tiket workshop (5%), dan virtual office service (3%). Menariknya, sepertiga dari responden mengatakan seluruh layanan di atas ini tersedia dalam bentuk paket, tanpa tambahan biaya.

Persebaran Coworking Space di Indonesia / DailySocial
Persebaran Coworking Space di Indonesia / DailySocial

Di Indonesia, para pemain masih mencari-cari formula sebagai bahan evaluasi, sehingga belum ada kisah sukses yang bisa diangkat. Pun, belum ada angka yang diungkap pemain coworking space sebagai data riil.

Menurut Founder dan CEO Wellspaces dan Grupara Ventures Aryo Ariotedjo, sangat lumrah buat semua bisnis di manapun segmennya, pada yang rugi dan untung. Khusus untuk coworking space memang susah dikatakan sebagai bisnis yang menguntungkan.

“Sebab pasar perkantoran juga sedang jatuh dan persaingan harga yang bisa dibilang tidak sehat, terutama dari pemain-pemain besar,” ujar Aryo.

Oleh karenanya, kondisi ini membuat perlunya menghindari sewa ruangan dalam menjalankan bisnis coworking space. Harga properti, khususnya di perkantoran Jakarta, mengalami penurunan harga sewa yang drastis. Hal ini untuk menghindari tersangkut dalam kontrak pengembang dengan harga tinggi, dibandingkan penurunan ke depannya.

Makanya seluruh lokasi coworking space yang dikelola Wellspaces adalah hasil dari kerja sama dengan pengembang. “Kerja sama dengan developer merupakan pilihan yang lebih baik karena ada fleksibilitas terhadap harga sewa pasar yang dirasa akan turun terus.”

Mengambil strategi berbeda, Ngalup yang berlokasi di Malang melakukan kesepakatan sewa properti dengan pengembang karena situasi yang berbeda.

Digital Marketing Strategist Ngalup M Ariq Surya Nugraha menyebut pihaknya melakukan kesepakatan dalam bentuk perjanjian sewa properti dalam kurun waktu tertentu dengan kesepakatan dekorasi ruangan dan tempat di awal kesepakatan. “Ngalup sangat menjaga relasi baik dengan pemilik properti maupun stakeholder kami yang lain.”

Co-Founder dan CEO CoHive Jason Lee mengamini hasil survei Deskmag. Ia memandang masih banyak pemain coworking space yang belum sampai ke tahap unit economics, terlebih industri ini masih baru.

Meskipun demikian, ia mengklaim CoHive sudah sampai tahap itu. Berbagai vertikal bisnis sudah diluncurkan yang arahnya buat memenuhi kebutuhan anggotanya. Selain coworking space, tersedia pula CoLiving (ruang kerja sekaligus tempat tinggal), CoRetail, dan Event Space.

“Ini adalah produk yang menjawab kebutuhan perusahaan dan karyawan saat ini. Kami terus menghasilkan peluang inovatif untuk tumbuh dan menjadi startup yang menguntungkan, di saat yang sama memberikan peluang kepada anggota kami,” tutur Jason.

Sementara menurut Faye, hasil survei Deskmag ini kemungkinan besar juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, persentase tersebut akan semakin turun apabila pemain hanya fokus memperbanyak lokasi dan mempercantik furnitur.

“Baru 40% pemain global sudah cetak untung itu bisa jadi karena fokusnya masih main di [mem]perbanyak lokasi saja, bukan karena segmen bisnisnya yang dari awal susah untuk untung. Kalau pengertiannya masih seperti itu, sampai mereka sadar yang mestinya dilakukan adalah mengisi coworking dengan konten yang dibutuhkan anggota, mereka tidak akan bisa profit,” ujarnya.

Dia berpendapat, bisnis yang sukses di mana pun itu, tidak bisa mengandalkan satu revenue stream saja, artinya harus ada diversifikasi. Vertikal bisnis coworking space itu luas dan bisa dikembangkan tergantung kebutuhan anggotanya, bisa menyentuh unsur hospitality, F&B, atau yang lain.

“Oke, bagus ketika kita berhasil mengumpulkan orang, buat kolaborasi dan segala macamnya, tapi dapat duitnya itu gimana? Itu yang perlu dikulik lagi. Hal inilah yang membuat bisnis coworking space itu jadi vulnerable.”

Melihat strategi monetisasi para pemain

Menjual keanggotaan untuk memanfaatkan fasilitas di coworking space adalah revenue stream utama yang diandalkan. Dalam menentukan perhitungan harga keanggotan, menurut Faye, sudah ada rumus akuntansi yang lumrah dipakai saat berbisnis, yakni melihat Harga Pokok Penjualan (HPP), salah satu komponen dalam laporan laba rugi.

HPP adalah seluruh biaya langsung yang dikeluarkan untuk memperoleh barang atau jasa yang dijual. Dalam menghitung ini, biaya yang diperhitungkan mencakup biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, depresiasi aset, biaya overhead, dan lain sebagainya. Tujuan menghitung HPP adalah mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dalam produksi barang dan jasa.

“Misal mau jual HPP harga keanggotaan Rp100 ribu, dari nilai ini harus ada margin yang sudah diperhitungkan cukup untuk menutup biaya operasional. Bisnis itu selalu punya periode tertentu pasang surut, jadi pastikan bisnis tetap running saat itu terjadi, jangan sampai operasional kalah dengan cashflow.”

Namun jika memosisikan diri sebagai startup, konsep di atas tidak selalu berlaku. Startup akan lebih mementingkan akuisisi pasar dalam kurun waktu yang cepat untuk mengejar pertumbuhan bisnis. Jika ingin menjaga biaya dan mencetak untung, strategi ini jadi kurang tepat.

“Makanya banyak yang fundraising untuk subsidi silang. Bisa jadi jual rugi harga keanggotaannya untuk bisa kejar pertumbuhan lebih tinggi. Kalau sudah stabil baru kulik-kulik lagi model bisnisnya.”

Di Indonesia, harga keanggotaan di tiap coworking space sangat bervariasi. Ambil contoh coworking dengan 33 lokasi di Indonesia, Co-Hive, yang menjual ruang kerja mulai dari Rp50 ribu per hari untuk Daily Pass, Flexi Desk Rp1 juta per bulan, Dedicated Desk Rp2 juta, dan Private Office Rp3 juta.

Jason menjelaskan, monetisasi CoHive didorong ekspansi lokasi dan inovasi produk yang berasal dari permintaan pasar. Mereka tidak hanya menambah lebih banyak produk, seperti CoLiving, CoRetail, dan Event Space, juga ekspansi ke kota baru.

“Kami mulai masuk ke kota-kota baru. Medan, Bali, Yogyakarta, dan segera Surabaya pada bulan Oktober ini. Pendapatan kami berasal dari yang disebutkan di atas, serta melalui komunitas, event, program, dan kegiatan akselerator.”

Salah satu pemain lokal lainnya, Wellspaces juga tidak mau terjebak dengan menjual keanggotaan. Sejak rebrand menjadi Freeware Spaces Group di awal tahun ini, ada sejumlah vertikal bisnis yang diluncurkan.

Bisnis yang ditawarkan termasuk Wellkitchen (co-kitchen & food market), DWeel (co-living house), Wellhouse (co-residences), Movewell (active communities house), Welldefense (self defense & martial arts club), dan Wellsociety (members identity & loyalty rewards).

Dua pemain di atas tergolong sudah besar dan beroperasi sudah cukup lama. Wellspaces sudah hadir sejak 2012, sedangkan CoHive pada 2015.

Dalam skala yang lebih kecil, Ngalup menyediakan penyewaan meja kerja mulai dari Rp50 ribu per tiga jam, untuk acara event Rp350 ribu per jam, dan ruang meeting Rp200 ribu per jamnya. Masing-masing sudah termasuk fasilitas penunjangnya.

Dalam menentukan strategi monetisasi, Ngalup melakukan pendekatan product market fit, tidak jauh dengan apa yang startup biasa lakukan. Ariq menjelaskan coworking space ini tergolong bisnis properti, makanya mereka mempertimbangkan antara properti yang dimiliki dengan pengembangan produk yang dibutuhkan anggota.

“Menyesuaikan dengan visi yang sudah kami tetapkan itu adalah salah satu pertimbangan kami dalam menentukan unique value proposition dari Ngalup itu sendiri.”

Sedangkan bagi Wellspaces, pihaknya tidak melakukan tambahan revenue stream di hal lain.

“Memang business model kami cukup standar dengan menyediakan ruangan saja. Kami tidak banyak melakukan additional revenue seperti menjual kopi,” tambah Aryo.

Jason menambahkan, dari sisi CoHive, seluruh lokasi coworking space yang dikelola adalah hasil kerja sama dengan para pengembang properti dan pemilik gedung. CoHive mengubah aset mereka dengan desain yang indah, mengelola gedung mereka, dan mengumpulkan permintaan ruang kerja.

Salah satu bentuk nyatanya adalah perusahaan menggandeng Keppel Land Indonesia untuk menggarap CoLiving di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat.

Untuk menjaga relasi dengan mereka, CoHive selalu memulai percakapan dengan menanyakan tujuan mereka bermitra dengan coworking space. Apakah mereka mencari aktivasi ruang? Aakah mereka mencari keuntungan? Atau apakah mereka ingin membangun komunitas?.

“Berdasarkan jawaban mereka, kami akan menyesuaikan solusi untuk mereka dan kami selalu memperbaruinya setiap bulan. Karena kami telah menjalin hubungan yang baik dengan banyak pemilik properti, banyak yang menganggap kami sebagai pilihan pertama mereka.”

Tim Ngalup / Ngalup
Tim Ngalup / Ngalup

Sebagai Founder Kumpul, Faye mengaku monetisasi yang dia pilih adalah menjual keanggotaan dan menyewakan ruangan untuk menggelar kegiatan. Di samping itu, dia memperkuat konten dengan membuat berbagai program pengembangan dan melakukan kemitraan dengan akselerator dan inkubator.

“Kekuatan tiap orang itu beda-beda. Kalau saya tidak begitu paham untuk pilih ekspansi lokasi. Jadi lebih banyak bermain di program pengembangan dan partnership, itu lebih sesuai dengan latar belakang saya. Kita lebih fokus bangun jaringan dan kerja bareng existing players.”

Kumpul berdiri sejak 2015, kini tersebar di lima titik di Bali dan Jakarta. Seluruh lokasi Kumpul sepenuhnya hasil kerja sama dengan pengembang properti, tidak ada yang dimiliki sendiri.

Dalam menjaga relasi dengan pemilik properti, dia mengaku tidak ada kekhususan. Semuanya bersifat kesepakatan bisnis saja. Ada perhitungan untung rugi dan bagaimana pembagian keuntungannya.

Menariknya, terjun ke bisnis coworking space, menantang para pendirinya untuk belajar dari awal kembali mengenai pembukuan, menghitung HPP, pajak, diversifikasi revenue, dan sebagainya. Kenyataannya banyak founder startup yang kuat soft skill-nya, tapi pengetahuan tentang administrasinya kurang terasah.

Kulik konten sesuai kebutuhan anggota

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menyediakan menyediakan ruang untuk kerja karena memang disitulah hakikat kehadiran coworking space. Semangat awal yang diusung coworking space adalah mendorong jiwa entrepreneurship.

Ketika itu sudah terbentuk, terjadi snowball effect. Ada perputaran ekonomi meningkat ke berbagai aspek kehidupan. Kualitas hidup masyarakatnya bisa dipastikan ikut meningkat. Hingga ada istilah gelombang tinggi yang menaikkan semua perahu.

“Coworking space itu tentang produktivitas, bagaimana caranya bisa menciptakan impact. Mendorong orang untuk menciptakan bisnis yang menghasilkan impact,” kata Faye.

Workshop yang bersifat skill sharing dibutuhkan anggota / GoWork
Workshop yang bersifat skill sharing dibutuhkan anggota / GoWork

“Tidak masalah target audience yang mau disasar, pekerja kreatif, startup founder, atau lainnya itu semua ujung-ujungnya mengenai dampak ekonomi yang disediakan oleh coworking space sebagai tempat untuk bekerja,” sambungnya.

Dia menerangkan, agar coworking space bisa berpartisipasi dalam tujuan mulia tersebut. Makanya perlu dikulik lagi konten yang ditawarkan untuk masing-masing target audience-nya. Cara mengidetifikasinya adalah selalu mencari solusi dari masalah yang ada, sama seperti memulai bisnis pada umumnya.

Lalu pastikan apakah solusi yang diberikan itu sebatas vitamin atau antibiotik buat komunitas yang mau dituju. Itulah yang akan menentukan orang apakah bakal beli atau tidak.

“Kalau vitamin saja, orang belum tentu beli karena ada banyak substitusi. Ketika bisa menyediakan itu, tiap coworking space pasti punya warna sendiri. Sama seperti coffee shop. Di mana-mana sekarang ada, tapi masing-masing punya segmen sendiri, bukan?”

Dia menganalogikan coworking space tak jauh bedanya dengan studio gym. Mau di mana pun, isi studio gym tidak jauh berbeda dengan kompetitor. Pembedanya terletak di konten program yang mereka jual, menyesuaikan dengan kebutuhan anggotanya, ada kombinasi dengan diet sehat, hanya bentuk otot atau menurunkan berat badan saja.

Hal yang sama juga terjadi di coworking space. Ketika anggota membeli konten yang disediakan, pasti mereka ada harapan ada sesuatu yang bisa didapat setelah program selesai. Entah itu kemampuan berbisnis mereka bisa naik dari level A ke level B dan berikutnya.

“Jadi pemilik harus bisa mengukur konten seperti apa yang dibutuhkan anggota, yang mana program itu bisa diukur kesuksesannya. Sampai akhirnya ada yang gabung dan merasa skill-nya naik setelah gabung.”

Dia melanjutkan, “Sama seperti saat masuk gym, pas keluar dari situ pasti ada ekspektasi dapat sesuatu, badannya jadi lebih bugar atau lainnya. Kalaupun tidak ada perubahan, pemilik gym pasti ingin anggota tetap dapat manfaat. Sebab mereka butuh feedback untuk bisa diceritakan kembali ke orang lain.”

Dari analogi ini, dapat disimpulkan bahwa produk coworking space itu bukan furnitur dan segala fasilitasnya, melainkan konten yang dibutuhkan anggotanya dan bagaimana pemain coworking space bisa menyediakannya. Ketika sebuah coworking space bisa menyediakan itu, otomatis orang akan berdatangan.

Pemahaman ini akhirnya Faye coba terjemahkan untuk bisnisnya sendiri, Kumpul, yang berlokasi di Bali. Ada tiga tipe konten yang dia tawarkan.

Pertama, jaringan atau koneksi. Banyak orang yang menganggap dunia itu kecil ketika terjun di suatu industri. Anggapan ini kurang tepat sebab ketika itu terjadi, artinya kita sedang terjebak di bubble network kita sendiri. Untuk keluar dari situ dan masuk ke bubble network orang lain butuh upaya super ekstra. Tapi tidak perlu jadi selebritas atau orang penting untuk bisa mencapai tahap itu.

Faye menuturkan, hal ini bisa diakomodasi oleh coworking space. Caranya dengan mengadakan networking event. Menghubungkan orang-orang dengan kesamaan ketertarikan dalam satu tempat.

Tidak sekadar butuh kumpul-kumpul. Ada juga orang yang butuh tambahan insight yang tidak pernah diajarkan di sekolah untuk meningkatkan level dan kapabilitasnya dalam berbisnis.

“Bagaimana caranya memasukkan hard skill yang dibutuhkan melalui workshop, buddy system, atau lainnya, sehingga mereka yang tadinya tahu jadi tahu banget.”

Kedua, sebagai katalisator. Ada orang yang merasa bisnisnya sudah lancar, punya cashflow bagus, dan tidak perlu buka jaringan baru. Yang dia butuhkan adalah scale up bisnis agar tumbuh melonjak. Solusi itu bisa didapat lewat coworking space yang di dalamnya berisi orang-orang yang siap untuk terkoneksi dan berkolaborasi satu sama lain.

“Jadi kita seperti melting pot-nya, yang kita lakukan adalah accelerating the serendipity. Kebetulan-kebetulan yang menguntungkan dan bisa terjadi kapan saja. Itu kan random banget, tapi probabilitasnya tidak besar. Di coworking space bisa ciptakan itu.”

Tantangan ke depan dan peran asosiasi

Perjalanan industri coworking space di Indonesia masih panjang. Faye menjelaskan, sejak Coworking Indonesia diresmikan, secara rutin tiap tahunnya menggelar acara kumpul untuk memperbarui informasi tentang industri.

Pada tahun pertama, pembahasannya lebih mengarah sekadar skill sharing terkait bisnis dasar coworking space. Banyak dari pemain yang masih bingung bagaimana monetisasinya. Lalu dari sisi legalitasnya, apa saja yang harus dipersiapkan. Juga mendalami aspek yang perlu ada, seperti komunitas dan kolaborasi.

Kemudian, di tahun kedua lebih meng-highlight ke sisi partnership, seperti apa bentuk konkretnya, dan bagaimana menjadikannya sebagai bisnis. Masuk tahun ke-3, pembahasan makin mendalam, coworking space punya fungsi sebagai platform dan ecosystem builder.

“Jadi basically kita adalah wadah dari semua ekosistem entrepreneurship, startup bisa tumbuh kalau coworking-nya dikuatin dulu.”

Di satu sisi, awareness terkait penetrasi coworking space belum sepenuhnya merata. Ariq memandang solusi yang bisa dilakukan adalah kolaborasi dengan berbagai pihak. “Edukasi terkait model bisnis coworking space menjadi salah satu solusi terbaik yang bisa dilakukan agar effort yang ingin dicapai bisa lebih mudah.”

Jason mengatakan, pasar Indonesia masih butuh edukasi tentang manfaat dari coworking space, seperti layanan yang fleksibel, akses ke jaringan bisnis dan investor yang lebih luas, work life balance, dan lainnya.

“Oleh karena itu, kami terus menghadiri acara kampus dan talkshow publik untuk mendidik pasar tentang konsep modern ini. Kami juga terus membuat acara komunitas untuk mendorong anggota kami menjelajahi komunitas baru.”

Sebagai penutup, Aryo mengibaratkan coworking space sebagai sebuah sekolah. Hasil lulusan atau anggota adalah metrik kesuksesannya.

jd.id virtual market

Gandeng Coworking Space, JD.ID Luncurkan “Virtual Market”

JD.ID kembali meresmikan virtual market, kali ini menggandeng coworking space vOffice Jakarta. Layaknya minimart, mereka menjual beragam produk, mulai dari makanan, minuman hingga perlengkapan kantor. Saat ini sudah bisa diakses dengan konsep ‘smart office’, manfaatkan IoT dengan dukungan pembayaran cashless (melalui QR code scanning).

Sebelumnya virtual market sudah hadir di 13 stasiun kereta api di Jabodetabek. Ada juga yang dikustomisasi untuk brand kecantikan ‘Lunadorri’, hadir di Pacific Place Jakarta. JD.ID X-Mart yang dilengkapi dengan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) juga sudah hadir sebelumnya di PIK Avenue.

Sebagai salah satu perusahaan ritel besar di Asia, JD.com melalui JD.ID ingin fokus menambah channel di berbagai wilayah dan menjalin kemitraan bukan hanya dengan brand namun juga mitra coworking space, pemerintah dan instansi lainnya.

“Fokus kami tidak hanya ingin memanfaatkan teknologi untuk semua namun juga menambah channel di berbagai bisnis yang bisa membantu brand besar untuk meningkatkan penjualan sekaligus mempelajari demografi pembeli mereka memanfaatkan data analytics dari JD.ID,” kata Head of Marketing and Business Development JD.ID Andrew You.

Masih dalam fase awal, kolaborasi JD.ID dengan vOffice saat ini hanya menyediakan jumlah SKU yang terbatas. Nantinya jika sudah ada traksi yang positif, jumlah SKU akan ditambah dan pilihan Pick up Point juga akan diterapkan di vOffice untuk pelanggan yang mau mengambil barang mereka di vOffice.

Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, Service Level Agreement (SLA) yang diterapkan pada layanan JD.ID Virtual di coworking space vOffice ini dapat dilakukan dalam waktu 24 jam setelah melakukan pembayaran. Pembayaran dapat menggunakan transfer bank, kartu kredit hingga Cash on Delivery (COD).

Salah satu pilihan pembayaran yang saat ini tengah didorong pertumbuhannya oleh JD.ID adalah melalui GoPay. Pasca investasi JD.com dengan Gojek beberapa waktu yang lalu, JD.ID mengklaim mengalami pertumbuhan pembayaran menggunakan GoPay, yang saat ini menjadi pembayaran e-wallet default JD.ID. Pembayaran serupa seperti Ovo dan Dana tidak masuk dalam pilihan pembayaran e-wallet JD.ID Virtual Market.

“Saat ini JD.ID masih memiliki kontrak secara long term dengan vOffice, namun tidak menutup kemungkinan kerja sama strategis lainnya akan dijalin JD.ID dengan coworking space lainnya di Jakarta,” kata Andrew.

Rencana JD.ID tambah virtual market

Virtual market yang sudah hadir di beberapa tempat tersebut juga dimanfaatkan oleh JD.ID sebagai salah satu kanal untuk mengumpulkan data. Nantinya bagi brand yang berminat, bisa mendapatkan demografi pembeli sekaligus melihat produk apa saja yang paling digemari. Teknologi ini dipadukan dengan data yang diperoleh JD.ID melalui aplikasi dan platform.

Dalam waktu ke depan virtual market akan ditambah jumlahnya dalam konsep yang berbeda. Salah satunya adalah rencana JD.ID untuk menempatkan teknologi tersebut di kawasan Alam Sutera. Pengembangan juga akan menargetkan area perkantoran dan pusat perbelanjaan.

Salah satu proyek yang saat ini juga tengah dikembangkan oleh JD.ID adalah menempatkan virtual hub di beberapa bandara di Indonesia. Harapannya teknologi tersebut bisa memudahkan turis lokal untuk membeli produk lokal yang kemudian bisa dikirim langsung ke rumah mereka, semua memanfaatkan logistik dari JD.ID.

Untuk investasi virtual market ini, Andrew menegaskan dana yang digelontorkan masih terus berjalan, sesuai dengan komitmen JD.ID untuk mempercepat pertumbuhan bisnis di Indonesia.

“Dengan hadirnya virtual market ini bisa memberikan keuntungan lebih untuk JD.ID, untuk mitra di virtual hub dan tentunya brand yang ingin mempromosikan produk mereka memanfaatkan teknologi milik JD.ID,” tutup Andrew.

Application Information Will Show Up Here
Acara yang diadakan coworking space, khususnya luar Jabodetabek, memberikan kesempatan pelaku startup berkumpul, menimba ilmu, dan berkolaborasi

Peranan Coworking Space untuk Pelaku Startup Luar Jabodetabek

Bisnis coworking space tak hanya sekedar bisnis penyewaan ruang. Kehadirannya sedikit banyak memberikan sumbangsih pada pertumbuhan ekosistem dan komunitas startup. Di beberapa kota di luar Jabodetabek, pengelola coworking mencoba memberikan dampak lebih bagi kotanya melalui serangkaian agenda kegiatan.

Di Indonesia, CoHive adalah salah satu penyedia coworking space yang beroperasi di banyak kota di Indonesia. Selain Jakarta, mereka juga hadir di Medan, Bali, dan Yogyakarta. Bahkan di akhir tahun 2019 ini mereka merencanakan berekspansi ke Surabaya, Bandung, dan Makasar.

Sebagai coworking yang hadir di banyak kota, mereka membawa konsep dan desain yang serupa. CoHive secara spesifik menargetkan pelaku usaha startup dan industri UMKM yang memiliki kebutuhan kantor dalam ukuran lebih kecil dengan mekanisme penyewaan dengan pembayaran yang sederhana. Kendati demikian, mereka menyadari bahwa setiap kota memiliki karakteristik berbeda.

“Kami juga menyadari bahwa karakter pasar di Jakarta dan luar Jakarta tentu memiliki perbedaan. Karenanya, kami bekerja sama dengan partner lokal untuk menjalankan usaha coworking space ini. Contohnya adalah CoHive Clapham yang merupakan hasil merger antara CoHive dengan Clapham Collective di Medan, Sumatera Utara,” jelas Head of Corporate Communication Kartika Octaviana.

Kartika lebih jauh menjelaskan, demi menjalin hubungan baik dan mendukung bisnis para anggota CoHive mereka rutin melibatkan para anggota atau pihak eksternal untuk berpartisipasi. Sedangkan untuk acara publik, mereka memiliki beberapa acara talkshow reguler dengan Jakarta Smart City (free event) yaitu “Ngobrol Jakarta”, CoTalks (paid event). CoLearn (free event – members only), dan lain sebagainya.

“Kami hendak membantu bisnis dan kapasitas profesional para members kami untuk berkembang. Inilah yang menjadi misi kami mengadakan berbagai sesi coaching clinic & professional development. Selain itu juga acara networking yang membantu para members untuk bisa terhubung dengan potensi kerja sama bisnis dan investasi, seperti speed dating with venture capitalist (kerja sama dengan Plug n Play), kompetisi startup internasional (Get In The Ring), kerja sama dengan pemerintah Singapura (ACE Singapura), kerja sama dengan pemerintah Korea Selatan (Center for Creative Economy dan Innovation Daegu),” imbuh Kartika.

Tak jauh berbeda, CoHive Medan (CoHive at Clapham) juga memiliki komitmen untuk menjadi fasilitator ekosistem dengan mengadakan acara yang dibutuhkan pelaku startup di Kota Medan. Tujuannya untuk mendongkrak semangat serta menambah pengetahuan dan informasi di bidang kewirausahaan.

Memosisikan diri sebagai penghubung, CoHive at Clapham selalu mengajurkan para perserta untuk memanfaatkan momen selepas acara untuk berkenalan dengan peserta lain atau membangun jaringan untuk membuka peluang ide-ide baru.

“Kami menjembatani mereka yang ingin belajar banyak mengenai bisnis yang sangat dibutuhkan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini. Di samping itu kami juga memberikan kesempatan untuk mempertemukan pelaku startup dengan investor melalui event-event tertentu yang kami adakan di Clapham,” terang Facility Manager CoHive at Clapham Sri Wahyuni.

Di Medan, CoHive at Clapham menggelar berbegai acara runtin, di antaranya Clapham Conversation, sebuah acara yang diselenggarakan setiap bulan dengan mengundang orang-orang yang berpengalaman dan telah berhasil melewati rintangan dalam membangun bisnisnya sebagai narasumber. Berbagi kisah dan berbagi tips.

Selain itu CoHive at Clapham juga memiliki Startupfest, gelaran festival startup tahunan yang mendatangkan sejumlah pembicara berpengalaman dari beragam latar belakang. Di acara ini pelaku startup di Medan juga diberikan kesempatan untuk bertemu dengan investor untuk mendapat masukan dan wawasan yang mendalam.

Salah satu pelaku startup yang cukup terbantu dengan kehadiran CoHive at Clapham adalah Invita. Startup gagasan Dikent Jingga ini bermarkas di sana. Selain bisnisnya yang memanfaatkan layanan coworking space Dikent sebagai individu pun cukup terbantu baik dari segi pengembangan diri atau membangun jaringan.

“Kehadiran coworking space sangat membantu saya terutama dalam hal networking dan sebagai magnet untuk menarik pemain startup tidak hanya di kota Medan tapi kadang ada pemain startup dari luar Medan juga berkunjung. Juga sebagai sarana event-event startup,” terang Dikent Jingga, Founder Invita.

Dikent mungkin adalah salah satu dari banyak pelaku bisnis startup yang sangat terbantu dengan kehadiran coworking space. Ia tak hanya menemukan tempat tetapi juga kesempatan untuk bertemu dan bertukar pikiran sesama pelaku bisnis startup yang dijumpainya ketika menghadiri acara yang diselenggarakan oleh CoHive at Clapham Medan.

Penggerak Komunitas Startup

Tak jauh beda dengan CoHive at Clapham di kota Medan beberapa pengelola coworking space di kota-kota lainnya juga mengusung semangat yang sama, seperti Ngalup di Malang dan Impala Space di Semarang.

Direktur Ngalup Andina Paramita menjelaskan, ia melihat banyaknya Universitas, Instansi pendidikan dan penggiat industri kreatif menjadikan kota Malang menjadi salah satu kota yang berpotensi menghasilkan karya startup yang inovatif. Hanya saja masih dibutuhkan konsistensi dalam pengembangan dan inkubasi bisnis.

Di Malang, Ngalup menghadirkan beberapa acara/program yang bertujuan merangsang pertumbuhan komunitas dan peningkatan skill kreatif. Beberapa inisiatif yang digagas Ngalup antara lain Community Camp, sebuah ajang berkumpulnya komunitas Malang untuk menjalin networking dan bertukar ide. Acara ini diadakan dengan konsep out door.

Ada pula Community Invite, sebuah acara yang mengundang komunitas secara bergantian untuk tetap menjaga hubungan baik dan membahas kendala-kendala yang dihadapi. Berikutnya Event Collaboration membuka peluang komunitas untuk berkolaborasi dalam menggelar acara seminar/workshop.

Untuk event yang berkaitan dengan startup, coworking yang memiliki Pawoon, Meeber, dan Hadstar sebagai tenant ini, memiliki beberapa program di antaranya TechTalk, MboisTalk, Sinau Sedinoan, Ngalup Heroes (sharing session), dan Speed Dating.

“Dengan potensi yang dimiliki, harapannya kota Malang dapat melahirkan solusi-solusi terbaik untuk berbagai permasalahan yang terjadi di bidang teknologi. dengan begitu kota Malang tetap dapat bersaing dengan kota besar lainnya dalam bidang startup di level nasional maupun internasional,” terang Andina.

Untuk Semarang, pengelola Impala Space (Impala) Gatot Hendra Putra juga berusaha mengambil peran sebagai ecosystem builder untuk startup di Kota Semarang. Impala sendiri telah menginisiasi komunitas startup Semarang yang dinamai dengan SMARTUP. Komunitas ini rutin mengadakan aktivitas seputar dunia startup, bisnis, dan teknologi.

“Kami mengambil posisi sebagai ecosystem builder yang berperan mengkoneksikan banyak stakeholder di bidang ini, dengan bantuan dan sinergi banyak pihak, termasuk komunitas dan universitas, dunia startup digital bukan lagi menjadi hal yang asing didengar di Kota Semarang. Mulai banyak muncul ide-ide baru dari publik di Semarang lewat program-program yang konsisten kami selenggarakan,” jelas Gatot.

Kehadiran coworking space juga dirasa sangat membantu Maulana Bayu Samudro, founder startup asal Semarang, Madhang. Ia mengaku sering memanfaatkan coworking space untuk ngantor atau hanya untuk sekedar nongkrong bersama dengan founder startup lainnya. Ia juga sering menghadiri acara yang diselenggarakan di coworking space, seperti acara pitching dan workshop.

“Sangat senang sekali ketika ada coworking space, karena dulu, sebelum saya mengenal coworking space, sebagai founder saya sulit sekali untuk mencari partner buat sharing. Namun setelah saya tau kalau di kota saya ada coworking space saya setiap minggu menyempatkan waktu kesana buat sekedar sharing dengan founder startup lainnya,” terang Bayu.

Pendanaan Seri B CoHive

CoHive Raih Pendanaan Seri B Lebih dari 192 Miliar Rupiah, Incar Tutup di Angka 285 Miliar Rupiah

Startup operator coworking space CoHive mengumumkan perolehan pendanaan putaran pertama seri B senilai US$13,5 juta (lebih dari Rp192 miliar) yang dipimpin Stonebridge Ventures. Investor lainnya yang turut bergabung di antaranya Kolon Investment, Stassets Investment, pengembang properti lokal, dan investor sebelumnya di Seri A, termasuk H&CK Partners.

Founder dan CEO CoHive Jason Lee menuturkan, pendanaan seri B ini akan ditutup dengan nominal US$20 juta (lebih dari Rp285 miliar). Proses masih berlangsung dan diharapkan akan diumumkan pada akhir tahun ini. Nominal dana tersebut sama persis dengan pendanaan yang berhasil dikantongi perusahaan saat seri A tahun lalu.

Modal tambahan yang didapat sepenuhnya akan dipakai buat ekspansi coworking space di lokasi lainnya, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar. Juga mengembangkan produk barunya yakni CoLiving dan CoRetail. CoHive belum menunjukkan minatnya untuk ekspansi ke luar Indonesia.

“Ada sembilan tambahan lokasi coworking yang siap kami bangun, sehingga total coworking space sampai akhir tahun ini ada di angka 40. Tak menutup kemungkinan, kami mencari lokasi potensial lainnya karena mengikuti demand pengguna,” terangnya, Rabu (19/6).

Secara keseluruhan, CoHive memiliki 31 lokasi di empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Bali; dengan total luas sekitar 65 ribu meter persegi. Jumlah anggota sekitar 9 ribu orang yang menyewa produk ruang kerja selama satu bulan. Adapun jumlah startup yang menyewa mencapai 8 ribu startup.

CoHive sendiri, sebelumnya bernama EV Hive, telah beroperasi sejak 2015 sebagai proyek awal dari East Ventures. Pergerakan bisnis CoHive bisa dikatakan sangat agresif. Di Juni 2018, CoHive baru tersebar di 17 lokasi dengan total luas 30.300 meter persegi dan 3.100 anggota.

Diklaim, CoHive menjadi pemimpin pasar coworking space dengan lokasi terbanyak di Indonesia. Lalu disusul GoWork, Kolega, Union Space, Freeware Space, dan Conclave.

Produk baru CoHive

Dalam kesempatan yang sama, Jason memperkenalkan tiga produk barunya yakni CoLiving, CoRetail, CoHive Event Space, serta peresmian gedung pusat yang dinamai CoHive 101 di Mega Kuningan, Jakarta. CoLiving adalah ruang kerja sekaligus tempat tinggal. Lokasi pertamanya ada di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat yang dibangun bersama Keppel Land Indonesia.

Di sana, CoLiving menyediakan 64 ruangan dengan luas total 2.800 meter persegi. Jason mengklaim lantai pertama CoLiving, telah resmi beroperasi di Mei 2019. Tingkat okupansinya telah mencapai 90%. Untuk lantai dua, bakal diresmikan pada September mendatang.

Adapun, CoRetail diperuntukkan buat pengusaha ritel yang fleksibel dengan harga terjangkau dan menjual produknya di komunitas startup seperti CoHive. Konsep ritel yang diusung mulai dari toko pop up sementara, toko permanen, dan kantin.

Produk tersebut baru tersedia di lantai dasar CoHive 101. Beberapa tenant yang sudah memanfaatkan adalah Go-Food Festival, Fore Coffee, Pepenero Bakery, Bukalapak, dan lainnya.

“CoRetail memudahkan penjual untuk berjualan tanpa harus pusing bayar biaya sewa yang menyusahkan dan komitmen pembayaran di muka. Beda halnya ketika mereka mau buka toko di pusat perbelanjaan, mereka harus komitmen sewa antara 3-5 tahun dan bayar di muka sampai 12 bulan.”

Jason melanjutkan, produk teranyar yang terakhir yakni CoHive Event Space, diarahkan untuk membantu anggotanya dan mitra bisnis untuk mengadakan pertemuan dan acara perusahaan. Berbekal cabang coworking yang banyak, menjadi peluang perusahaan untuk memaksimalkan fungsi ruangan.

Kantor pusat CoHive 101 ikut diresmikan pada waktu yang berbarengan. Kantor ini berkapasitas 2.700 orang, berisi coworking, private office, CoRetail, event space, kantin, dan lainnya. Diklaim saat ini tingkat okupansinya mencapai 75%.

“CoHive menyediakan opsi build to order untuk startup yang ingin bergabung namun sudah memiliki ratusan karyawan. Cermati dan Tanihub mendatangi kami untuk ikut gabung karena mereka melihat unsur kolaborasi yang kami tawarkan,” pungkas Jason.

Partners with WeWork and Softbank Telecom China, Alibaba Cloud Is to Help Business Expansion in China

Starts from the previous collaboration, Alibaba Cloud, WeWork and Softbank Telecom China, form a strategic partnership to help more companies and startups from various countries to expand business in China. This program is to complete the “China Gateway” project first initiated by Alibaba Cloud.

Through the launch of this strategic partnership, either WeWork, or Softbank, can support business from SME to corporate using Alicloud technology and infrastructure, WeWork office space and network community, also business consulting with Softbank Telecom China.

At the Alibaba Cloud Summit in Singapore some times ago, Alibaba Group’s Vice President and Alibaba Cloud Intelligence’s General Manager of Strategy & Marketing, Lancelot Guo confirmed, this program aims to empower global companies in creating and expanding business opportunity amidst the growing market in China.

“This is the first time there is an opportunity for business players focusing on the Chinese market to take advantage of local talents, vertical experience, and innovation from the three most visionary companies in the world in one package. Together we make a commitment to support global companies to connect with customers in China,” he said.

For interested businessmen, the registration is available on the website, and the online consulting session is open. If the preparation has completed and the product’s ready, with a relevant target market, the next step can be accessed directly in China.

In addition to the regulars, those in this program can also get special offers, such as technology training, marketing, discount for Alibaba Cloud products and services, including business registration, travel booking on WeWork Service Store.

Support all businesses and global companies

Being mentioned about the ideal company or startup to attract China’s population, Guo said there’s no specific category for those in using this program’s facilities. All businesses ready and confident enough to expand to China are welcome.

WeWork selected as Alibaba Cloud’s partner is considered a benefit for startups and the company. They’ve been operated in China since 2016 and currently, they have some branches all around the country. It’s claimed that they know better on what culture and approach to apply should you plan to develop business in China.

“The partnership is very significant for WeWork because we’ve been through so much in building and scaling up the business in China. We started in 2016 and have to adopt a local approach to run business in the unique market,” WeWork Asia’s Vice Chairman, Christian Lee said.

The regulation and relation issues related to the regulator should also be noticed by those who want to expand to China. Therefore, if necessary, Aircloud also offer consulting session and specific information regarding legal terms and regulation to obey should you plan to expand business to China.

“Using Alibaba Cloud’s innovative technology and Alibaba ecosystem’s support, we should capable to solve the problem faced by multinational companies to enter and develop in China, support them to discover various opportunities in the market and stand competitive,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian