Tag Archives: credit risk

P2P Lending Indonesia Saat Covid-19

Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.