Berawal dari pengalaman pribadi sebagai anak rantau di Inggris, Crisman Wise merasakan sulitnya menemukan solusi transfer antar negara yang sederhana dan tidak mahal. Dengan niat awal untuk membantu teman, pada bulan Juli 2018 ia membuat sebuah solusi untuk mempermudah transfer ke luar negeri serta menerima uang dalam mata uang lain tanpa biaya tambahan.
Kemudian layanan tersebut diberi nama Transfree (akronim dari transfer free). Dua tahun kemudian, setelah perjalanan berliku untuk mendapat izin dari Bank Indonesia, layanan ini berhasil meraih lisensi per Juli 2020.
“Kami melihat masalah transfer antar negara ini besar dan menjadi kebutuhan banyak orang. Dengan niat awal membantu teman, kita merasa ini adalah sesuatu yang bisa berkembang. Itulah awalnya kita membuat Transfree,” ungkap Founder & CEO Transfree Crisman Wise.
Crisman mengakui, hidup sebagai anak rantau mengharuskannya berurusan dengan transfer uang ke dan dari Indonesia. Untuk mencapai hal itu, ia harus merogoh kocek cukup besar akibat biaya transfer yang cukup tinggi dari platform transfer uang internasional.
Secara model bisnis, layanan yang ditawarkan Transfree tidak jauh berbeda dari kompetitor seperti Transfez, Zendmoney atau TransferWise. Mereka memungkinkan pelanggan mengirim uang ke luar negeri dan mendapatkan pembayaran dalam mata uang lain ke dalam rekening mereka atau rekening penerima. Bedanya, Transfree tidak mematok biaya tambahan untuk layanan ini. Perusahaan mengakui hanya mengambil keuntungan dari selisih kurs.
Target di 2021
Pada awalnya, Transfree memang ditujukan untuk membantu para pelajar asing, terutama di Inggris agar bisa lebih mudah dan murah dalam proses transfer antar negara. Seiring perjalanan, ternyata timnya menemukan bahwa masalah terbesar ada pada para PMI (Pekerja Migran Indonesia). Dalam proses mengirim hasil jerih payah yang mereka dapat di negara orang ke Indonesia mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk biaya tambahan.
Data yang dihimpun dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi atau kiriman devisa dari TKI yang mengadu nasib ke luar negeri sepanjang 2018 mencapai US$10,971 miliar atau setara Rp153,6 triliun. Dari jumlah remitansi yang masuk ini telah menciptakan potensi bisnis yang besar.
Dalam waktu kurang lebih dua tahun, startup ini telah melayani transaksi antara Indonesia, Eropa dan Australia. Sebagian besar pelanggan datang dari relasi, namun tidak sedikit juga yang melalui rekomendasi. Jumlah tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memvalidasi permintaan (demand).
Secara teknis, Transfree belum resmi meluncurkan layanan untuk PMI ini. Hal ini menjadi salah satu target mereka di Q2 2021. Target lainnya datang dari sisi pendanaan, saat ini Transfree masih berstatus bootstrapping. Timnya masih berupaya untuk mendapat tambahan modal demi mewujudkan visi perusahaan membuat proses transfer uang internasional terasa seperti transfer lokal.
“Saat ini kita sedang mengusahakan untuk bisa launching di Q2 tahun ini. Fokus layanan kita masih akan di Asia Tenggara. Untuk target customer dan volume transaksi kita masih belum bisa disclose. Tapi bisa dibilang traksinya cukup baik. Saat ini kita sedang lari kencang agar tidak ketinggalan momentum,” ujar Crisman.
Setelah melalui tahap uji coba sejak awal tahun, akhirnya CIMB Niaga resmi mengantongi izin dari Bank Indonesia untuk memfasilitasi transaksi pembayaran menggunakan WeChat Pay di merchants CIMB Niaga di Indonesia. Kabar ini sekaligus mengukuhkan bank yang berdiri sejak 1955 tersebut sebagai satu-satunya bank BUKU 4 pertama yang dapat melakukan kegiatan terkait.
Dalam keterangan resmi, Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, perusahaan bekerja sama dengan TenPay selaku pemilik aplikasi dompet digital WeChat Pay, PT Arash Digital Rekadana (Arash Digital), dan Swiftpass Global Limited (Shenzen) sebagai system integrator dan technical service provider. Implementasi kerja sama tersebut semakin melengkapi layanan pembayaran digital yang disediakan oleh perusahaan.
“Di tengah keterbatasan dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, kami tetap fokus untuk mengembangkan dan mempersiapkan layanan WeChat Pay. Kami terus melakukan sosialisasi kepada merchant CIMB Niaga serta menambah merchant baru, sehingga pada saat situasi sudah kondusif, semakin banyak mitra Perusahaan yang telah siap dan menerima cara pembayaran baru ini,” kata Lani.
Lebih lanjut, Lani menjelaskan sejalan dengan regulasi BI, implementasi transaksi WeChat Pay di merchant CIMB Niaga menggunakan QRIS pada alat penerima transaksi pembayaran, seperti EDC, static QR, maupun aplikasi yang diunduh di perangkat merchant. Transaksi tersebut dilakukan dalam mata uang Rupiah sesuai jumlah yang telah disepakati pengguna dengan merchant.
Perlu diketahui, WeChat Pay hanya dapat dimiliki oleh pengguna dari Tiongkok dengan sumber dana dari rekening kartu debit dan kartu debit yang diterbitkan di negara asalnya.
Dia menambahkan implementasi kerja sama pembayaran digital WeChat Pay merupakan salah satu upaya untuk memperkuat posisi CIMB Niaga sebagai bank digital terdepan. Perusahaan ingin memberikan fitur yang lengkap bagi para merchant-nya sehingga dapat menerima pembayaran digital yang lebih luas.
Pihaknya akan terus perluas jumlah merchant di berbagai daerah wisata, seperti Bali, Lombok, Manado, Jakarta, dan sejumlah bandara internasional.
Arash Digital dan Wallyt
Sebagai catatan, Arash Digital adalah fasilitator untuk transaksi pembayaran lintas batas, inbound maupun outbound. Perusahaan yang didirikan pada awal tahun lalu ini menjadi mitra eksklusif di Indonesia untuk Swiftpass Global Limited (Wallyt) sebagai integrator sistem lokal dan penyedia layanan teknis. WeChat Pay, Alipay, dan Union Pay adalah beberapa nama yang menjadi mitra strategis dari Wallyt.
DailySocial berusaha menghubungi Lani apakah ada kemungkinan CIMB Niaga akan melanjutkan kerja sama berikutnya dengan mitra eksklusif Wallyt yang lainnya, seperti Alipay. Namun hingga berita ini dinaikkan belum ada konfirmasi yang diberikan.
Wallyt itu sendiri terdaftar di Hong Kong dan berbasis di Shenzhen, adalah bagian dari SwiftPass, perusahaan solusi pembayaran dari Tiongkok. Ekspansi Wallyt tergolong kencang untuk memperluas jangkauan WeChat Pay di Asia Tenggara, di negara-negara yang memiliki tingkat penetrasi kartu kredit yang rendah, dan menjadi destinasi wisatawan Tiongkok.
Wallyt mengintegrasikan kedua pemain besar tersebut ke bank lokal di Filipina, Laos, dan Sri Lanka, sebagai salah satu contohnya. Sejauh ini perusahaan tersebut telah berkolaborasi dengan 100 bank dan jasa keuangan di 50 negara, menawarkan lebih dari 100 ribu brand. Pada tahun lalu, memroses lebih dari $2 miliar transaksi, menghasilkan revenue sebesar $4,34 juta.
Recently, I met one of my colleagues who works in a French cosmetics and personal care product company. His job takes care of the supply chain, including planning for product distribution through retail stores and e-commerce. With a fairly high transaction intensity in the online marketplace, my colleague boasted that he didn’t need a large number of team members. This is because the e-commerce enabler service makes it easier for businesses to manage these needs, even as a whole.
The initial concept of e-commerce enablers was to make it easier for brand principals to enter the online industry. Through a single dashboard, they can manage their product in online marketplace services at once. Also, some startups provide fulfillment solutions. This includes solutions for warehousing, packaging, and logistics. Instead of just being a transaction channel, e-commerce enabler has become an end-to-end solution to the distribution process.
Regarding my colleague’s experience, the digital approach makes it easier for companies to get data of the current trends or transactions, he said, it is very useful for business analysis. For example, to help brand principals present promos for products with low penetration – at this stage, even the enabler partners he worked with, helped formulate their strategies.
My colleague is one of the many (big) brand managers in Indonesia who experience the benefits of the e-commerce enabler service. As we look at the list of clients through sites that provide related platforms, there are quite many big brands that have taken advantage of its services, including FMCG, fashion, and even furniture.
Logistics ecosystem
In a report entitled “Tech Logistics in SEA“, it explains the logistics ecosystem that supports today’s e-commerce business. The services needed are very diverse, especially when it comes to specific challenges in a region. For example in Indonesia, which is geographically an archipelago country, sometimes requires at least 2 modes of transportation used for shipping, for example by land-sea or land-air.
The challenge is then translated by startup players as an opportunity. Some platforms finally launch with more specific services, such as truck or ship logistics vehicle management. With attractive revenue potential, the Indonesian e-commerce giant is starting to try to work on this comprehensive solution independently, for example, what Tokopedia did through its IaaS vision or Shopee through its “Dikelola Shopee” service.
Customer demands also drive the transformation of the e-commerce logistics system. According to a survey conducted by PwC in 2018, it was stated that 51% of consumers prefer same-day delivery for the items they buy. In fact, 74% of consumers are willing to pay more to get this fast delivery process.
In a tier-1 cities, especially the Jabodetabek area, this model has been implemented massively by e-commerce players who work with last-mile delivery service providers. A new challenge arose after talking about shipping in tier-2 and tier-3 cities. The mileage and limited expedition services make the one-day model uneven.
Fulfillment centers placed in strategic areas can accelerate the distribution of deliveries up to one day. Indeed, the development must be fueled with very comprehensive data, to determine the point and also to help the brand principal determine what products will be “entrusted” in these third party warehouses. On the other hand, the logistics management platform is also competing to build a route planning system for logistics vehicles that can work more efficiently.
Business trends
Initially, the online marketplace platform was presented to facilitate customer to customer (C2C) transactions. However, internet penetration has succeeded in significantly increasing e-commerce users in all countries. Like it or not, (big) brands have to rethink their strategies, by trying to take advantage of online distribution channels. The results are effective, even the brand’s presence continues to be increased in the online marketplace.
The research entitled “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” revealed interesting data. 86% of respondents, who are e-commerce merchants, said they sell their wares on more than one channel. Not a few also sell through social media. In the future, 69% of merchants plan to continue increasing their online sales channels to increase their potential. The use of the fulfillment system will be one of the moves to do.
There are many factors to increase the relevance of enablers and fulfillment players. In the same research, merchants have many reasons to entrust these services to third parties. Skills, technology, customer service, and capabilities to manage multi-channels are being delivered most often.
Despite the business practices, these patterns indirectly change the e-commerce order. If C2C was previously identified with purchases from individual merchants or SMEs, now big brands are starting to take part. Even massively surpassed. We haven’t come across a consumer survey that validates this, but at least there are patterns that point to it. For example, there is a special channel in e-commerce dedicated to principal brands (for example LazMall, ShopeeMall, BukaMall, TokoMall) or a feature that makes it easy for users to filter products sold by principal brands.
Around the early era of e-commerce growth, we may have seen a trend of companies flocking to create their own e-commerce. However, if you look at the statistics on his visits, it seems that the online marketplace system tends to be more suitable to be adopted to reach online market share. For stock management and fulfillment, third party solutions are also being pushed up.
Recently, e-commerce enablers have begun to expand their services to the fulfillment system. The latest one is TokoTalk which has just introduced its service. Previously there were Sirclo, GudangAda, Jet Commerce which also strengthened their fulfillment system.
Next step: cross border?
In terms of local, the current enabler and fulfillment system is quite sufficient. However, trade barriers are starting to fade, prompting merchants and brand principals to start doing cross-border commerce or trade across countries. In Southeast Asia, several platforms have tried to facilitate these needs, for example aCommerce, Boxme, Anchanto, Janio, Perpule, and Qxpress.
The potential is quite broad, including by investors. One of them is MDI Ventures which is quite intensive in providing support for Anchanto. Anchanto provides SaaS-based products that make it easier for businesses to manage e-commerce operations. It includes warehouse and inventory management systems. They currently operate in Singapore, India, Malaysia, the Philippines, Australia, South Korea, and Indonesia.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Belum lama ini, saya bertemu salah satu rekan saya yang bekerja di perusahaan produk kosmetik dan perawatan diri asal Prancis. Pekerjaannya mengurus supply-chain, termasuk memikirkan distribusi produk melalui toko ritel dan e-commerce. Dengan intensitas transaksi yang cukup tinggi di online marketplace, rekan saya tadi sesumbar tidak memerlukan anggota tim berjumlah banyak. Pasalnya layanan e-commerce enabler memudahkan bisnisnya untuk mengelola keperluan tersebut, bahkan secara menyeluruh.
Konsep awal e-commerce enabler untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Melalui dasbor tunggal, mereka dapat mengelola kehadiran produknya di beberapa layanan online marketplace sekaligus. Tidak hanya itu, beberapa startup bahkan sampai menyediakan solusi fulfillment. Di dalamnya termasuk solusi pergudangan, pengemasan, hingga logistik. Alih-alih hanya sebagai kanal transaksi, e-commerce enabler telah menjadi solusi end-to-end sampai ke proses distribusi.
Masih soal pengalaman rekan saya di atas, pendekatan digital memudahkan perusahaannya untuk mendapatkan data-data tren transaksi, dikatakan itu sangat bermanfaat untuk analisis bisnis. Misalnya, untuk membantu brand principal menghadirkan promo untuk produk-produk yang belum mencapai target penjualan – di tahap ini pun bahkan mitra enabler yang dipakai rekan saya tersebut turut membantu merumuskan strateginya.
Bisa jadi rekan saya itu hanya satu dari banyak pengelola brand (besar) di Indonesia yang merasakan manfaat layanan e-commerce enabler. Ketika melihat daftar klien lewat situs-situs penyedia platform terkait, memang banyak brand besar yang sudah memanfaatkan layanannya, termasuk FMCG, fesyen, bahkan furnitur.
Ekosistem logistik
Dalam laporan bertajuk “Tech Logistics in SEA” dijelaskan mengenai ekosistem logistik yang mendukung bisnis e-commerce saat ini. Layanan yang dibutuhkan sangat beragam, terlebih jika berbincang tantangan spesifik di suatu wilayah. Contohnya di Indonesia, yang secara geografis adalah negara kepulauan, kadang mengharuskan minimal 2 mode transportasi yang digunakan untuk pengiriman, misalnya darat-laut atau darat-udara.
Tantangan tersebut selanjutnya diterjemahkan pemain startup sebagai kesempatan. Beberapa platform akhirnya meluncur dengan layanan yang lebih spesifik, misalnya manajemen kendaraan logistik truk atau kapal. Dengan potensi pendapatan yang menarik, raksasa e-commerce Indonesia mulai mencoba mengupayakan solusi menyeluruh tersebut secara mandiri, misalnya yang dilakukan Tokopedia lewat visi IaaS-nya atau Shopee lewat layanan “Dikelola Shopee”.
Tuntutan pelanggan juga mendorong transformasi sistem logistik e-commerce. Menurut survei yang dilakukan PwC pada tahun 2018, dikemukakan fakta bahwa 51% konsumen lebih memilih pengiriman di hari yang sama (same day delivery) untuk item-item yang mereka beli. Bahkan 74% konsumen rela membayar lebih untuk mendapatkan proses pengiriman cepat tersebut.
Di kota tier-1, khususnya wilayah Jabodetabek, model tersebut sudah cukup masif diimplementasikan pemain e-commerce yang bekerja sama dengan penyedia jasa last-mile delivery. Tantangan baru muncul setelah berbicara pengiriman di kota tier-2 dan tier-3. Jarak tempuh dan keterbatasan pelayanan ekspedisi membuat model sehari sampai belum merata.
Pusat pemenuhan (fulfillment center) yang ditempatkan di wilayah strategis dapat mengakselerasi pemerataan pengiriman sehari sampai. Pengembangannya tentu harus dibekali dengan data-data yang sangat komprehensif, untuk menentukan titik dan juga membantu brand principal menentukan produk apa yang akan “di titipkan” di gudang-gudang pihak ketiga tersebut. Di sisi lain, platform manajemen logistik juga berlomba membangun sistem route planning kendaraan logistik dapat bekerja lebih efisien.
Tren pebisnis
Awalnya, platform online marketplace dihadirkan untuk memfasilitasi transaksi customer to customer (C2C). Namun penetrasi internet berhasil mendongkrak secara signifikan pengguna e-commerce di seluruh negara. Mau tidak mau, brand (besar) pun harus memikirkan ulang strateginya, dengan mencoba memanfaatkan kanal-kanal distribusi lewat online. Hasilnya efektif, bahkan terus ditingkatkan kehadiran brand tersebut di online marketplace.
Riset bertajuk “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” mengemukakan data-data menarik. 86% respondennya, yang merupakan merchant e-commerce, mengatakan menjual dagangannya di lebih dari satu kanal. Tidak sedikit juga yang menjual melalui media sosial. Di waktu mendatang, 69% merchat berencana terus meningkatkan kanal-kanal penjualan online untuk meningkatkan potensi. Pemanfaatan sistem fulfillment akan menjadi salah satu jurus yang dilakukan.
Banyak faktor yang akan meningkatkan relevansi pemain enabler dan fulfillment. Masih dari riset yang sama, merchant memiliki banyak alasan untuk mempercayakan layanan tersebut ke pihak ketiga. Keahlian, teknologi, layanan pelanggan, dan kapabilitas untuk mengelola multi-kanal menjadi yang paling banyak disampaikan.
Terlepas dari praktik bisnis yang dilakukan, pola-pola tersebut secara tidak langsung mengubah tatanan e-commerce. Jika sebelumnya C2C diidentikkan dengan pembelian ke merchant individu atau UKM, sekarang brand besar pun mulai turut andil. Bahkan secara masif akan melampaui. Kami belum menemukan survei konsumen yang memvalidasi ini, tapi setidaknya sudah ada pola-pola yang mengarah ke sana. Misalnya, adanya kanal khusus di e-commerce yang didedikasikan untuk brand principal (misalnya LazMall, ShopeeMall, BukaMall, TokoMall) atau fitur yang memudahkan pengguna menyaring produk yang dijual brand pincipal.
Sekitar era awal pertumbuhan e-commerce, mungkin kita sempat melihat adanya tren perusahaan yang berbondong-bondong bikin e-commerce mereka sendiri. Namun jika melihat statistik kunjungannya, sepertinya sistem online marketplace cenderung lebih cocok diadopsi untuk menjangkau pangsa pasar online. Untuk pengelolaan stok dan pemenuhan, solusi pihak ketiga juga terus terdorong naik.
Beberapa waktu terakhir, pemain e-commerce enabler mulai perluas layanan mereka ke sistem fulfillment. Yang terbaru ada TokoTalk yang baru mengenalkan layanannya. Sebelumnya ada Sirclo, GudangAda, Jet Commerce yang juga makin menguatkan sistem fulfillment mereka.
Fase selanjutnya: cross-border?
Di tingkat lokal di suatu negara, mungkin sistem enabler dan fulfillment yang ada sekarang sudah mencukupi. Namun sekat-sekat perdagangan yang mulai kabur mendorong merchant maupun brand principal untuk mulai melakukan cross-border commerce atau perdagangan lintas negara. Di Asia Tenggara, beberapa platform sudah mencoba hadir memfasilitasi kebutuhan tersebut, misalnya aCommerce, Boxme, Anchanto, Janio, Perpule, dan Qxpress.
Potensi tersebut dilihat baik, termasuk oleh investor. Salah satunya MDI Ventures yang cukup intensif memberikan dukungan untuk Anchanto. Anchanto menyediakan produk berbasis SaaS yang memudahkan bisnis mengelola operasional e-commerce. Di dalamnya termasuk sistem pengelolaan warehouse dan inventory. Saat ini mereka sudah beroperasi di Singapura, India, Malaysia, Filipina, Australia, Korea Selatan, dan Indonesia.
CEO aCommerce Indonesia, Hadi Kuncoro, telah mundur dari jabatannya dan kini menjadi CEO perusahaan baru bernama Feedr. Perusahaan tersebut juga salah satunya bergerak di bidang logistik dan fulfillment untuk memfasilitasi bisnis dalam hype perdagangan digital saat ini.
Feedr memiliki misi utama untuk menghubungkan pedagang di Indonesia ke kanal distribusi melalui medium digital. Sistem yang disuguhkan mengintegrasikan layanan logistik dan pembayaran sekaligus dalam satu dashboard. Saat ini pihaknya mengklaim telah menjangkau di 9 negara dengan mengintegrasikan lebih dari 24 marketplace di wilayah tersebut.
Dalam menjalankan bisnisnya, Feedr bermitra dengan layanan pembayaran online iPaymu.
Untuk memudahkan bisnis dapat diakses oleh pembeli global, Feedr menyediakan beberapa kanal termasuk Channel Integration untuk membantu bisnis menyiapkan akun di marketplaace global sekaligus mengintegrasikan sistem pembayaran. Disediakan juga Sales Channel untuk operasional bisnis, dari pemrosesan pesanan hingga layanan pelanggan. Ada pula sistem logistik, fulfillment dan pemasaran.
Feedr ingin memberikan solusi end-to-end dengan mengakomodasi sistem pemasaran digital, konversi transaksi dengan COD dan solusi payment gateway dan logistik yang terintegrasi. Untuk merealisasikan misi tersebut, mereka telah menjalin beberapa kemitraan strategis dengan perusahaan logistik dan pembayaran digital.