Tag Archives: cross reality

HTC Tunjukkan Visi Mereka Akan Extended Reality Lewat Headset Project Proton

HTC menyingkap tiga varian baru Vive Cosmos. Dalam kesempatan yang sama, mereka juga mengungkap visinya akan VR headset generasi mendatang. Gambar di atas adalah Project Proton, prototipe XR glasses yang tengah HTC kembangkan.

XR? Ya, cross reality atau extended reality tampaknya bakal menjadi fokus HTC kali ini. Jadi selain menyajikan realitas buatan (virtual), perangkat juga dirancang untuk menyuguhkan realitas tertambah (augmented). Sepasang lingkaran di depan itu adalah kamera, tapi belum jelas apakah gunanya untuk mewujudkan inside-out tracking (VR) atau sebagai passthrough view (AR).

HTC Project Proton

Bentuk Proton juga sangat berbeda dari keluarga besar Vive. Wujudnya mengingatkan saya pada Magic Leap dan Panasonic VR Glasses. Pada kenyataannya, HTC memang merancang Proton supaya lebih terasa seperti kacamata ketimbang headset.

Sejauh ini Proton terdiri dari dua model yang berbeda. Model yang pertama adalah yang bertipe all-in-one, dengan semua unit pemrosesan yang diposisikan ke bagian belakang strap. Dengan demikian, bagian depannya bisa jadi lebih ramping, namun distribusi bobotnya tetap seimbang berkat modul belakangnya.

HTC Project Proton

Model yang kedua malah lebih mirip lagi dengan kacamata biasa, sebab sepasang tangkainya tidak sampai mengitari seluruh kepala. Berhubung tidak punya unit pemrosesan sendiri, model ini harus mengandalkan bantuan perangkat lain, seperti smartphone misalnya. Juga absen di sini adalah sepasang headphone seperti yang terpasang pada strap model yang pertama.

Berhubung Proton masih berstatus eksperimental, HTC belum membeberkan banyak detail. Namun buat yang penasaran apa rahasia di balik wujud ringkasnya, HTC bakal menjawab “microdisplay“. Kekurangan microdisplay sejauh ini adalah viewing angle yang lebih sempit, dan kendala yang sama juga bisa kita jumpai pada prototipe Panasonic VR Glasses itu tadi, yang sendirinya mengandalkan panel micro OLED.

Sumber: Engadget dan Input.

HTC Perkenalkan 3 Varian Baru Headset VR Vive Cosmos

Dirilis di bulan Oktober 2019, Vive Cosmos merupakan pembaruan dari versi orisinal head-mounted display HTC. Perangkat ini menawarkan resolusi lebih tinggi dan menjanjikan efek screen-door yang minimal. Beberapa aspek di sana memang tidak berubah, misalnya pemanfaatan refresh rate 90Hz dan sudut pandang 110-derajat. Keunikan lain Cosmos dibanding Vive standar adalah, headset tak memerlukan base station agar bisa bekerja.

Minggu ini, HTC memperkenalkan tiga varian baru Vive Cosmos, terdiri dari Play, XR dan Elite. Pengembangan tiga model anyar ini merupakan upaya mengekspansi konsep Cosmos yang difokuskan pada fleksibilitas pemakaian. Mereka semua mengusung konsep modular, memungkinkan pengguna melepas bagian faceplate (pelat di sisi depan), membubuhkan adaptor wireless, serta membuka kesempatan untuk melakukan upgrade di masa depan.

CEO HTC Yves Maître menjelaskan bahwa mereka sengaja menyediakan pilihan-pilihan ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen berbeda – dari mulai pengguna awam yang mulai tertarik dengan VR hingga user kelas bisnis. Apapun versi yang dipilih, tidak ada kompromi terhadap kemampuan headset dalam menyajikan konten, kenyamanan, serta build quality. Menariknya lagi, Vive Cosmos baru tak hanya difokuskan pada VR, tetapi juga cross reality (XR) secara umum.

Cosmos 1

Play ialah model entry-level, opsi paling terjangkau di antara empat tipe Vive Cosmos. Headset dilengkapi empat kamera untuk menunjang sistem pelacakan inside-out (Cosmos standar punya enam kamera), kembali mengusung desain flip-up (jadi mudah dikenakan sendiri), dan memanfaatkan panel LCD jenis baru dengan pixel yang lebih padat serta menyuguhkan resolusi total 2880x1700p. Setup layar ini diterapkan ke seluruh versi Cosmos.

Cosmos XR

Elite ialah headset Cosmos paling high-end – tampaknya disiapkan buat menyaingi Valve Index. Varian ini dibundel secara lengkap: ditunjang External Tracking Faceplate, dua unit SteamVR base station dan sepasang Vive controller. Ia juga mendukung Vive Tracker serta Wireless Adapter sehingga pengalaman menikmati konten VR tak lagi terikat di satu tempat. HTC menyampaikan, Cosmos Elite dirancang untuk menangani game-game yang menuntut keakuratan seperti Pistol Whip dan Superhot.

Sedikit berbeda dari saudara-saudaranya, perancangan Cosmos XR lebih diarahkan ke segmen mixed reality, ala Microsoft HoloLens. Berbekal dua kamera pass-through, XR bisa berperan jadi perangkat VR dengan field-of-view 100-derajat serta mampu mengintegrasikan konten virtual dan dunia nyata (via Vive Sync). XR rencananya akan mulai didistribusikan di kuartal dua 2020 sebagai developer kit. HTC berjanji buat menyingkap detail lebih jauh mengenai XR di ajang GDC tahun ini.

Di antara tiga headset baru tersebut, Cosmos Elite dijadwalkan buat meluncur lebih dulu di triwulan pertama 2020, dijajakan seharga US$ 900. External Tracking Faceplate akan dijual secara terpisah mulai kuartal kedua nanti, dibanderol US$ 200. Aksesori ini kompatibel dengan Vive Cosmos (US$ 700) serta Cosmos Play.

Via Eurogamer.

Google Glass Enterprise Edition 2 Diumumkan, Dipersenjatai Qualcomm Snapdragon XR1

Google Glass disingkap di tengah tingginya imajinasi dan harapan terhadap teknologi cross reality. Mulai tersedia secara terbatas di 2013, Glass adalah head-mounted display AR yang dikemas dalam wujud kaca mata, disiapkan sebagai perangkat komputasi wearable. Pengoperasiannya didukung oleh internet, mempersilakan kita untuk mengakses segala fungsinya lewat perintah suara.

Sayangnya hanya butuh sedikit waktu bagi Glass untuk menuai kritik. Kehadirannya membuat khalayak cemas terhadap privasi serta bisa membuka celah keamanan. Perangkat ini dapat melakukan perekaman, dan orang khawatir gerak-geriknya dipantau tanpa sepengetahuan mereka. Beberapa negara juga melarang pemakaian Glass saat berkendara karena berdampak buruk pada konsentrasi dan meningkatkan resiko keselamatan – baik bagi diri pengguna maupun orang lain.

Produksi model purwarupa Glass akhirnya dihentikan di bulan Januari 2015 dan kembali berkiprah sebagai perangkat segmen enterprise di tahun 2017. Dan kira-kira dua tahun selepasnya, sang raksasa internet mengumumkan versi anyar bertajuk Google Glass Enterprise Edition 2 yang mengusung sejumlah pembaruan. Seperti sebelumnya, perangkat ini diarahkan ke segmen bisnis dan tidak dijual langsung ke konsumen.

Satu hal menarik dari Glass Enterprise Edition 2 ialah, ia disuguhkan sebagai anggota keluarga produk Google, bukan lagi bagian dari Alphabet X. Secara dasar, tak ada banyak hal yang berubah dari perangkat wearable ini. Wujudnya tetap mirip kacamata baca, dengan modul menonjol ke depan di dekat lensa kanan serta satu modul lagi di bagian tangkai.

Modifikasi lebih banyak bisa ditemukan di dalam. Platform Qualcomm Snapdragon XR1 dipilih sebagai basis dari Glass Enterprise Edition 2. Di sana tersimpan CPU multi-core yang lebih cepat serta engine kecerdasan buatan. Kombinasi dari semua itu memastikan perangkat mengonsumsi daya lebih hemat, bekerja dengan performa lebih tinggi, serta menyimpan kemampuan machine learning yang lebih pintar.

Google Glass Enterprise Edition 2 1

Produsen juga memperbarui mutu dan kinerja kamera yang tetap dititikberatkan pada kapabilitas streaming video lewat perspektif orang pertama dan fitur kolaborasi. Selain itu, Google menambahkan port USB type-C yang mendukung fungsi fast charging serta tak lupa meningkatkan daya tahan baterainya. Spesifikasi lengkapnya bisa Anda lihat di sini.

Glass Enterprise Edition 2 dijajakan seharga US$ 1.000. Google menjelaskan secara singkat bagaimana perangkat wearable ini bisa membantu para profesional di beragam bidang industri, dari mulai logistik, manufaktur hingga tim di lapangan. Dengannya, pekerja dapat melihat instruksi, mengirimkan video atau foto inspeksi hingga mengakses checklist suatu tugas – semuanya secara hands-free.

Via The Verge.

Valve Merumahkan 13 Karyawan di Divisi VR-nya, Ada Apa?

Nama Valve tidak bisa dilepaskan dari industri gaming. Mereka sukses mengembangkan sejumlah permainan paling legendaris dan menjadi perusahaan penyedia platform distribusi digital terbesar di dunia. Namun hal yang tak banyak orang sadari adalah, Valve juga ialah salah satu pionir di ranah virtual reality konsumen lewat pengembangan SteamVR serta sejumlah sistem pendukungnya yang digunakan oleh HTC Vive.

Minggu ini, ada kabar kurang menggembirakan dari perusahaan yang didirikan oleh Gabe Newell dan Mike Harrington itu. Semuanya berawal dari posting pengguna Reddit bernama 2flock berisi pesan seorang karyawan Valve, menyebutkan bahwa perusahaan telah merumahkan 13 staf dari tim hardware. Ia juga menuliskan rasa penasarannya soal ‘berapa lama lagi bagi sisanya mendapatkan perlakuan seperti Jerry’. Kemungkinan besar, ia mengacu pada Jeri Ellsworth, desainer hardware veteran yang dipecat pada tahun 2013 karena Valve ingin fokus ke VR ketimbang AR.

Dan di hari Kamis kemarin, Valve akhirnya memberikan keterangan resmi pada The Verge dan membenarkan telah melepas sejumlah pegawai penuh waktunya per bulan Februari 2019. Mereka menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan keputusan ‘yang disayangkan’, tetapi tidak mengisyaratkan adanya perubahan pada bisnis perusahaan. Doug Lombardi selaku vice president of marketing Valve bilang, “Kami berterima kasih pada kontribusi mereka dan mengucapkan semoga beruntung di perjalanan mereka berikutnya.”

Satu dari 13 mantan staf yang terkena dampak dari pemberhentian tersebut ialah Nat Brown. Lewat Twitter-nya, ia mengonfirmasi sudah tak lagi bekerja untuk Valve terhitung tanggal 7 Februari. Brown bergabung bersama Valve pada bulan September 2015 dan di sana ia bekerja sebagai anggota dari tim teknisi virtual reality.

Tentu saja kini pertanyaannya adalah, apa yang sebetulnya terjadi pada Valve? Apakah ini murni merupakan keputusan bisnis atau menandakan langkah mundurnya perusahaan dari segmen VR? Mungkin saja tidak, mengingat tahun lalu mereka telah mulai memasarkan periferal kendali Knuckles generasi kedua serta dilaporkan tengah merancang headset baru serta game VR prekuel Half-Life.

Untuk sekarang, Valve tidak lagi vokal dalam pengembangan Vive dan mengopernya pada HTC. Lalu kita tak lagi pernah mendengar update soal perangkat ber-platform SteamVR lain, contohnya head-mounted display LG yang disingkap di Game Developers Conference 2017. Di tengah menurunnya pertumbuhan pasar cross reality, satu perusahaan terpaksa mem-PHK karyawannya, bahkan ada pula yang tutup dan menjual asetnya.

Sumber tambahan: Variety.

VR Tambah Subur, Diujungtombaki PlayStation VR dan Oculus

Ujian sesungguhnya bagi virtual dan augmented reality telah dimulai, ketika makin banyak orang mencobanya dan mitos yang dahulu hinggap pada perangkat cross reality memudar. Signifikansinya dibanding platform hiburan mainstream memang tidak begitu besar, namun VR dan AR sepertinya sudah menemukan pasarnya sendiri dan tumbuh dengan sehat.

Di minggu ini, IDC melaporkan bahwa pasar VR dan AR menunjukkan kenaikan year-over-year sebesar 9,4 persen per kuartal tiga 2018 kemarin. Data tersebut merupakan kabar gembira bagi para pemain di bidang ini, karena distribusi produk virtual reality sempat menurun empat triwulan berturut-turut. Buat sekarang, head-mounted display virtual reality menguasai 97 persen produk AR dan VR, dan menunjukkan kenaikan 8,2 persen dari periode yang sama tahun lalu – mencapai 1,9 juta unit.

Berdasarkan data IDC, peningkatan ini diujungtombaki oleh dua brand lewat pendekatan produk berbeda. Di segmen VR tethered/berkabel, PlayStation VR dan Oculus terlihat mendominasi, masing-masing berhasil menyumbangkan angka pengapalan 463 ribu dan 300 ribu unit dalam setahun. Di posisi ketiga, HTC membuntuti dengan 230 ribu headset. Itu berarti, untuk pertama kalinya distribusi HMD VR berkabel melampaui 1 juta unit.

Segmen HMD standalone meroket 428,6 persen, dan kini menguasai 20,6 persen pasar VR. Dua brand terlihat menonjol di sana: Oculus Go dan Xiaomi Mi VR. Pada dasarnya, mereka merupakan produk yang sama, tapi punya nama dipasarkan ke wilayah berbeda. Ketika dijumlahkan, angka pengapalan keduanya mendekati 250 ribu unit – membuatnya jadi perangkat standalone paling populer.

Meski Sony boleh dibilang berada di posisi pertama, Facebook-lah yang sukses memasarkan produk virtual reality paling banyak jika ditakar dari total varian tethered maupun standalone. Tanpa menyertakan Xiaomi Mi VR, distribusi headset Oculus menyentuh 491 ribu unit. Itu berarti, brand punya Facebook itu mengamankan 25,9 persen pasar VR.

Namun ada berita buruk di tengah kabar baik ini: kepopuleran headset-headset tanpa layar seperti Samsung Galaxy Gear VR terus merosot. Penurunannya sangat signifikan, yaitu 58,6 persen, disebabkan oleh ketersediaan yang berkurang dan habisnya program diskon. Hal tersebut diperparah oleh tidak kompatibelnya smartphone Samsung terbaru dengan Gear VR.

Pertumbuhan augmented reality juga tidak buruk. Lenovo mengamankan posisi pertama dengan keberhasilan mereka mengapalkan 23 ribu unit headset dalam setahun. Mayoritas dari produk tersebut adalah HMD Star Wars Jedi Challenge yang ditargetkan pada end-user. Tanpa menyertakan model ini, nama-nama seperti Epzon dan Vuzix menyumbang peningkatan sebesar 1,1 persen.