Tag Archives: crowde

Startup Agritech Indonesia

Inilah Daftar Startup Agritech Indonesia yang Menjadi Solusi Petani

Startup agritech Indonesia adalah salah satu hal yang harus diketahui banyak orang. Karena bisa menjadi fondasi dasar untuk perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia. Dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik), produksi pertanian Indonesia meningkat 2,59% di kuartal keempat 2021. Maka dari itu, pertanian menjadi sumber yang paling besar perannya untuk menjadi salah satu pilar perekonomian.

Kehadiran startup digital di bidang pertanian (argitech) juga dilihat sebagai sebuah harapan baru untuk membawa industri pertanian Indonesia naik level. Dengan cara menghadirkan mekanisme dan model bisnis baru untuk efisiensi produksi sampai dengan distribusi.

Berikut ini daftar startup pertanian di Indonesia yang layak diketahui:

Agriaku

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) merupakan startup agritech Indonesia yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja, memimpin pendapatan awal oleh Arise, dana kelolaan kolaboratif MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agribisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara itu, Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. kolaborasi mereka dapat menggabungkan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan yang komprehensif kepada agro-UKM dan petani.

Dengan dana segar yang terkumpul, Agriaku berencana untuk meningkatkan jumlah petani dalam jaringannya agar berhasil menembus pasar senilai $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki mimpi untuk menjadi superapp bagi para pemain agri di Indonesia.

Crowde

Crowde adalah startup fintech didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho pada tahun 2015 yang berfokus pada pertanian yang memberdayakan petani Indonesia dengan teknologi dan permodalan. Ribuan petani dan investor di seluruh Indonesia telah mempercayakan Crowde dengan mencapai apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ekosistem keuangan yang mudah untuk petani dapat terhubung dengan investor yang mencari hal menarik dengan petani yang mengharapkan modal untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan membantu komunitas lokal.

Eden Farm

Eden Farm lebih fokus menyajikan produk-produk terbaik dari petani lokal hingga berbagai restoran dan warung makan di Indonesia. Startup yang didirikan pada tahun 2017 oleh David Gunawan ini memiliki tujuan agar bisnis kuliner Indonesia menggunakan bahan-bahan yang berasal dari petani lokal.

Berdasarkan informasi dari situs resminya, Eden Farm merupakan pemasok berbagai jenis sayuran dan bahan makanan seperti sayuran hidroponik, buah, dan bahan kering.

Etanee

Etanee adalah aplikasi e-commerce yang fokus pada produk pangan dan pertanian. Didesain berawal dari memulai petani dan peternak kita yang tidak mendapatkan hak ekonomi secara layak. Padahal merekalah rantai produksi dengan kerja kerasnya menghasilkan produk terbaik yang kita konsumsi.

Selain itu, rantai logistik dan pengiriman yang tidak efisien menjadi penyebab tingginya harga beli konsumen juga menjadi pemicu lahirnya Etanee yang mulai digagas sejak awal tahun 2017. Maka dari itu, Etanee dibuat sebagai solusi untuk petani dan peternak agar memiliki penghasilan yang sesuai dengan meraka.

Herry Nugraha dan Cecep Mochamad Wahyudin mendirikan Etanee pada tahun 2017 ingin berfokus pada pengembangan bisnis pertanian di Indonesia. Mereka mendapatkan dana awal sebesar 7 miliar Rupiah dari East Ventures untuk mengekspansi ke beberapa daerah di Indonesia.

Habibi Garden

Di Indonesia juga ada startup teknologi pertanian yaitu Habibi Garden. Perusahaan startup agritech Indonesia ini memiliki tujuan untuk membangun peradaban melalui pertanian internet of things (IOT). Perusahaan ini memang menghadirkan solusi perawatan tanaman berbasis IoT. Startup ini membantu menyediakan data up-to-date melalui smartphone.

Ada sensor yang digunakan untuk membantu mendapatkan data tersebut. Data yang diberikan misalnya adalah kondisi tanah dan unsur hara pada tanaman. Ini dapat membantu petani mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, dan mencegah gagal panen.

Startup agritech Indonesia yang satu ini didirikan pada tahun 2016 oleh Dian Prayogi Susanto. Pada awal pendiriannya Habibi Garden mendapatkan 8 miliar Rupiah dibantu oleh beberapa Investor pendanaan seri A.

iGrow

Startup bergerak di bidang pertanian yang memungkinkan pelaku usaha untuk bertani tanpa harus turun ke lahan pertanian sendiri untuk menanam. Cukup dengan mendaftar, memilih tanah dan jenis pohon, maka para pelaku usaha dapat menerima uang atas tanah tersebut.

Setelah lahan diolah dan dipanen, hasil pertanian bisa dijual dengan porsi 40% untuk pengguna, 20% untuk mitra pengelola perkebunan (petani), dan 20% untuk iGrow. Perusahaan yang satu ini didirikan pada tahun 2014. Kini iGrow telah diakuisisi dan masuk ke dalam grup LinkAja.

Kedai Sayur

Layanan startup ini lebih fokus pada pendistribusian produk pertanian berupa sayuran kepada konsumen. Dengan sistem mengundang pedagang sayur konvensional untuk menjadi bagian dari Kedai Sayur sebagai Mitra Sayur.

Mitra sayur ini merupakan satu-satunya layanan utama yang dihadirkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya ibu rumah tangga yang ingin berbelanja kebutuhan sayur tanpa perlu ribet, namun tetap memiliki kualitas sayur terbaik.

Startup yang pertama kali digagas pada tahun 2016 oleh Adrian Hernanto ini telah mendapatkan dua putaran pendanaan di tahun 2019, yang keduanya dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan pertama diperoleh pada bulan Mei sebesar $1,3 juta dan pendanaan kedua dilakukan tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Agustus dengan nominal lebih besar yaitu 4 juta dollar AS.

Sayurbox

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox menggunakan konsep bisnis farm-to-table. Konsep ini mendukung konsumen untuk dapat memperoleh berbagai sayuran dan buah segar berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal.

Sayurbox, perusahaan rintisan yang menggabungkan teknologi pangan dan bahan-bahan makanan, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C sebesar $120 juta atau lebih dari Rp. 1,7 triliun.

Tanihub

Startup pertanian lain yang cukup menonjol adalah TaniHub. Startup ini dikenal membangun ekosistem petani mulai dari pembiayaan, penanaman, hingga pemasaran. Dalam aplikasi ini, produk pertanian masuk ke pasar sehingga membebani petani untuk memasarkan produk tersebut.

TaniHub sendiri merupakan aplikasi yang merupakan bagian dari TaniGroup. Di dalam grup, tidak hanya ada TaniHub tetapi juga TaniFund. Juni tahun 2021 lalu Tanihub mendapatkan pendanaan seri B senilai 945 miliar Rupiah dipimpin oleh MDI Ventures.

Itulah beberapa startup agritech Indonesia yang bisa menjadi solusi bagi mereka. Perkembangan teknologi telah memberikan banyak peluang, termasuk di bidang pertanian.

Mandiri Capital Indonesia Channels Follow on Funding to Crowde’s Series B

The CVC backed by Bank Mandiri, Mandiri Capital Indonesia (MCI) channels follow on funding to Crowde’s Series B. Based on the sources, the latest round of this agriculture fintech lending startup also involves Monk’s Hill Ventures.

Another thing, this funding also involves the business unit of Gunung Sewu Group conglomerate, PT Great Giant Pineapple (GGP), which is a subsidiary of Great Giant Foods (GGF). In general note, GGP is the largest pineapple canner producer in the world which has exported more than 15,000 containers to 60 countries.

This funding news has been confirmed by MCI’s CEO, Eddi Danusaputro. “It is true, we are doing follow on series B funding to Crowde,” he said through a short message to DailySocial.id.

According to the data submitted to regulators, the company has raised fresh funds of $9 million or around 127.2 billion Rupiah in the ongoing round.

Previously, MCI had participated by leading Crowde’s pre-series A funding of $1 million or around 14 billion Rupiah in 2019. At the same time, Bank Mandiri also participated as an institutional lenderThrough Crowde amounting to 100 billion Rupiah.

Currently, Crowde has disbursed loans ranging from IDR 8 million to IDR 2 billion with an interest rate of 6%-18%. Crowde also recorded 97.89% TKB90. In addition to Bank Mandiri, Crowde has also collaborated with other institutional lenders, such as Bank BJB, BPR Supra, and Saison Indonesia to strengthen its credit distribution structure.

High potential yet hazardous

In the DSResearch report with Crowde entitled “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, the aquaculture sector is included in the business sector with a fairly high risk. This is due to business development in this sector is hindered by a number of obstacles, such as access to capital, financial literacy, and the ability and knowledge of farmers to cultivate.

Capital distribution in agriculture, forestry, and fishery / DSResearch and Crowde

According to reports, the educational background and low financial literacy of the farmers are one of the inhibiting factors for cultivation. Crowde stated that 78% of active household farmers in Indonesia do not meet bank capital requirements.

In addition, internet penetration among farmers is quite low. Based on BPS data in 2018, only 4.5 million farmers were connected to the internet out of a total of 27 million business players in agriculture.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Seri B Crowde

Mandiri Capital Indonesia Kembali Berpartisipasi dalam Putaran Pendanaan Seri B Crowde

CVC kelolaan Bank Mandiri, Mandiri Capital Indonesia (MCI), kembali berpartisipasi pada putaran pendanaan seri B Crowde. Berdasarkan sumber yang kami peroleh, dalam putaran teranyar startup fintech lending untuk agrikultur tersebut juga melibatkan Monk’s Hill Ventures.

Menariknya, pendanaan ini juga melibatkan unit bisnis dari anak perusahaan konglomerasi Gunung Sewu Group, yakni PT Great Giant Pineapple (GGP) yang merupakan anak usaha Great Giant Foods (GGF). Sedikit informasi, GGP merupakan produsen pengalengan nanas terbesar di dunia yang telah mengekspor lebih dari 15.000 kontainer ke 60 negara.

Kabar pendanaan ini telah dikonfirmasi oleh CEO MCI Eddi Danusaputro. “Betul, kami melakukan following funding seri B ke Crowde,” ungkapnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.id.

Menurut data yang disubmisi ke regulator, dalam putaran yang masih berlangsung tersebut, perusahaan telah mengumpulkan dana segar senilai $9 juta atau sekitar 127,2 miliar Rupiah.

Sebelumnya, MCI telah berpartisipasi dengan memimpin pendanaan pra-seri A Crowde sebesar $1 juta atau sekitar 14 miliar Rupiah di 2019. Pada kesempatan sama, saat itu Bank Mandiri juga berpartisipasi sebagai lender institusi untuk penyaluran kredit lewat Crowde sebesar 100 miliar Rupiah.

Saat ini Crowde telah menyalurkan pinjaman mulai dari Rp8 juta hingga Rp2 miliar dengan tingkat bunga 6%-18%. Crowde juga mencatat TKB90 sebesar 97,89%. Selain Bank Mandiri, Crowde juga telah berkolaborasi dengan lender institusi lain, yakni Bank BJB, BPR Supra, dan Saison Indonesia untuk memperkuat struktur penyaluran kreditnya.

Potensi besar, tetapi berisiko

Dalam laporan DSResearch bersama Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, sektor budidaya termasuk dalam sektor usaha yang berisiko cukup tinggi. Pasalnya, pengembangan usaha di sektor ini terhalang oleh sejumlah kendala, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Menurut laporan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Crowde menyebut bahwa 78% petani rumah tangga yang aktif di Indonesia tidak memenuhi persyaratan permodalan bank.

Selain itu, penetrasi internet di kalangan petani juga masih rendah. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta petani yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Indonesia Agritech Report 2021

Laporan Perkembangan Agritech di Indonesia 2021

Pertanian menjadi salah satu sektor penting yang menyokong perekonomian nasional di Indonesia. Di tengah pertumbuhan industrinya, diyakini masih menyimpan banyak peluang yang dapat dieksplorasi — baik dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas ataupun penemuan berbagai peluang baru. Tak terkecuali ketika berbicara tentang teknologi, dalam satu dekade terakhir terminologi agritech (agriculture-technology) menjadi populer di tengah perbincangan inovasi teknologi dan startup digital.

Jika ditelisik lebih lanjut, keberadaan agritech memiliki misi untuk mendemokratisasi berbagai proses bisnis yang ada dalam ekosistem pertanian. Kehadiran teknologi didesain menghasilkan efektivitas dan efisiensi, sehingga memberikan keluaran yang lebih baik. Ini sekaligus membuka peluang bagi para inovator di Indonesia, termasuk kawula muda yang bersemangat mengembangkan bisnis lewat startup. Karena pada kenyataannya, masih banyak isu dan tantangan spesifik yang dapat dibenahi bersama, termasuk dengan digitalisasi.

Dalam rangka melihat sejauh mana agritech memberikan dampak positif di Indonesia, CROWDE dan DSInnovate merilis sebuah laporan riset bertajuk “Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia”. Ada lima fokus pembahasan yang dirangkum dalam publikasi ini, meliputi:

  • Lanskap pertanian di Indonesia
  • Tantangan dalam industri pertanian
  • Inovasi yang mendorong pertumbuhan industri pertanian
  • Masa depan pertanian dalam impact investment
  • Studi kasus agritech di Indonesia

Banyak temuan menarik yang terungkap dalam laporan, salah satunya mengenai poin-poin penting yang layak disorot oleh inovator yang ingin memberikan solusi untuk memajukan industri pertanian. Mulai dari peningkatan produktivitas hasil tani, akses ke pinjaman modal produktif untuk para petani, penanganan regenerasi sumber daya manusia, pembenahan rantai pasokan produk pertanian, infrastruktur, dan regulasi.

Disampaikan juga tentang studi kasus, bagaimana impact investment diterapkan untuk membantu masalah permodalan petani. Termasuk bagaimana model pembiayaan tersebut memberikan risiko yang lebih minim untuk pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, turut disampaikan berbagai data tentang pertumbuhan industri — termasuk sebaran lahan produktivitas pertanian, dan tantangan spesifik yang dihadapi oleh stakeholder di ekosistem.

Untuk pembahasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia.

Disclosure: Laporan ini didukung oleh CROWDE, sebuah startup platform pembiayaan produktif yang mengkhususkan diri di sektor pertanian. Melalui pendekatan impact investment, selain memberikan dan modal, CROWDE juga memberikan bimbingan budidaya oleh ahli kepada mitra petani untuk memastikan hasil olahan lahan yang maksimal.

Indonesia’s Agritech to Develop Progressively

One of the things that is quite encouraging in the development of Indonesia’s digital economy is the creation of solutions to various problems in various sectors, as well as creating new opportunities that can actually impact many people. Online motorcycle taxis, food delivery merchants, and the transformation of stalls to digital are some of them.

What has not been widely heard is how the agritech industry has grown in Indonesia. The story has not yet reached the surface. Actually, several names have focused on this sector, TaniHub, SayurBox, KedaiSayur, iGrow, Crowde, Etanee, EdenFarm, Freshbox, and other names are a series of startups trying to transform the agritech industry in Indonesia with their own solutions.

Over the past few years they have tried to validate the idea as well as educate the market that there are technological solutions that can solve existing conventional problems, such as farmer loans, low prices, and the distribution of their crops.

In 2020, since entering the pandemic period, several names in this sector have started to show significant growth. Especially those who focus on delivering their produce directly to customers. This potential also makes KedaiSayur a pivot and focus on order delivery services for food ingredients. Sayurbox, Etanee, EdenFarm, and Freshbox also compactly stated that there was a growth in retail customers during the pandemic.

Meanwhile, in terms of capital services, Crowde shared stories with DailySocial at the beginning of the pandemic, their operational businesses were also affected. This condition is due to the large number of POs with their horeka businesses that have to be canceled due to force majeure as well as travel restrictions from one area to another.

Many parties are surprised by the various new policies and gray plans, for example, such as many investors who have not dared to make capital again after repayments or new policies to limit the types of businesses they capitalize.

“We have also made adjustments to the system so that capital will still have relevant risk mitigation during this pandemic, such as credit insurance options for capital, diversification offtakers for the absorption of crop yields, to options for purchasing crops in tonnage. To simplify the capital distribution assistance system, we We also work more with local men as farmers consultants and field agents, “said Crowde Head of Impact Investment Afifa Urfani.

Crowde’s performance during the pandemic is quite promising. In the period March to August they claim to continue to distribute funds up to more than Rp. 60 billion. This figure is higher than normal conditions, considering that the peak planting period is from September to October each year. The funds are channeled to more than 18,000 farmers and more than 300 small and micro businesses in the agricultural sector.

“During the pandemic, we continued to cooperate with> 10 institutional investors who were not afraid to channel their capital even in pandemic conditions with uncertainty over credit. agricultural capital, “said Afifa.

Supply chain and farmer’s capital loan

If you look further about the problems that technology startups are solving in the agritech sector, it will focus on two things of the supply chain or distribution and also farmer capital loans. For the supply chain, these startups will usually go directly to the area to meet with farmers or farmer groups and work together to accommodate their crops.

Then the crops will be accommodated in a kind of processing center to be sorted and packaged before being passed on to customers. With a short distribution chain like this, the quality of vegetables and fruit will be better maintained, prices will remain competitive, and customers will have an interesting shopping experience.

Meanwhile, for agricultural capital loans, the outline of the process is that farmers open projects on the platform provided, complete with information on the crops they will plant with the amount of profit offered. Then the owner of the capital will choose the project and finance it.

Of these two fundamental problems, there is one thing that makes it a positive impact on farmers. All of them are competing to make farmers harvest maximally and with quality. The goal is to produce the best quality for their respective services. Quality fruit or vegetables in abundance, or good yields for those who invest. This synergy is expected to be able to elevate farmers to a better, more measurable, and more documented level.

Agritech in other countries

China as a country with fast technology adoption in the past decade has made transformation in the agritech sector a national priority. They launched a development plan and digitization of the agricultural sector from 2019 to 2025. Cutting-edge technologies such as AI robots for sensor-based automation and monitoring, blockchain, supply chain, and 5G networks are expected to create solutions in the agricultural sector. From a report published last March, investment in Chinese e-Grocery grew 25% from 2018. Touching the $ 2.1 billion mark.

Meanwhile in India, the supply chain is also a challenge for the agritech industry. Linking farmers directly to customers appears to be an important homework of agritech in many countries.

A report, titled Agritech – toward transforming Indian Agriculture issued by EY in August, stated that the potential supply chain for the Indian market reached $ 12 billion, while for financial services it reached $ 4.1 billion. These two sectors provide space for startup players to grow and at the same time contribute to national agriculture.

Future potential

Indonesia is an agrarian country where every year there is news about farmers who have failed crops or farmers whose harvest prices have plummeted. When talking about potential, clearly empowering farmer groups to reduce these risks is one of the most important.

Furthermore, in a more mature stage of IoT-specific sensor technology, predictions based on data typical of big data and machine learning can take farmers to the next level. Determine which planting period and variants are the most profitable to reduce the risk of crop failure.

Indonesia is on its way. The investment obtained by companies in the agritech sector is expected to be able to provide solutions for a better future for Indonesian farmers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Indonesia dan negara-negara Asia lainnya menghadapi permasalahan serupa dalam mengelola industri agritech

Industri Agritech di Indonesia yang Terus Bertumbuh

Salah satu yang cukup membanggakan dalam perkembangan ekonomi digital Indonesia adalah terciptanya solusi atas berbagai masalah di berbagai sektor, sekaligus memunculkan peluang baru yang ternyata bisa berdampak bagi banyak orang. Ojek online, merchant pesan antar makanan, dan transformasi warung ke arah digital adalah beberapa di antaranya.

Yang belum terdengar luas gaungnya adalah bagaimana pertumbuhan industri agritech di Indonesia. Ceritanya belum banyak sampai ke permukaan. Sebenarnya beberapa nama sudah memfokuskan diri di sektor ini, TaniHub, SayurBox, KedaiSayur, iGrow, Crowde, Etanee, EdenFarm, Freshbox, dan nama-nama lainnya adalah sederet startup yang mencoba mentransformasikan industri agritech di Indonesia dengan solusinya masing-masing.

Selama beberapa tahun terakhir mereka mencoba menvalidasi ide sekaligus mengedukasi pasar bahwa ada solusi teknologi yang bisa memecahkan permasalahan konvensional yang ada, seperti pinjaman petani, harga yang murah, hingga distribusi hasil panennya.

Di tahun 2020, sejak memasuki masa pandemi beberapa nama di sektor ini mulai menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Terutama mereka yang fokus pada layanan pengiriman hasil panen langsung ke pelanggan. Potensi ini juga yang membuat KedaiSayur pivot dan fokus pada layanan pesan antar bahan makanan. Sayurbox, Etanee, EdenFarm, dan Freshbox juga kompak menyebutkan ada pertumbuhan pelanggan ritel di masa pandemi.

Sementara itu, dari sisi layanan pemodalan, Crowde membagikan cerita kepada DailySocial di awal masa pandemi bisnis operasional mereka ikut terdampak. Kondisi tersebut disebabkan karena banyaknya PO dengan bisnis horeka yang terpaksa dibatalkan denga alasan force majeure juga disebabkan adanya travel restriction dari satu daerah ke daerah lain.

Banyak pihak yang terkejut dengan berbagai kebijakan baru dan rencana yang abu-abu, contohnya seperti banyak pemodal yang belum berani melakukan pemodalan kembali setelah repayment atau kebijakan baru untuk membatasi jenis usaha yang dimodali.

“Penyesuaian dari sistem juga kami lakukan agar permodalan tetap mempunyai mitigasi risiko yang relevan selama pandemi ini berjalan, seperti opsi asuransi kredit dalam permodalan, diversifikasi offtaker untuk penyerapan hasil panen, hingga opsi pembelian hasil panen dalam tonase. Untuk mempermudah sistem pendampingan penyaluran modal, kami juga lebih banyak bekerja sama dengan putra daerah sebagai farmers consultant dan field agent,” terang Head of Impact Investment Crowde Afifa Urfani.

Performa Crowde di masa pandemi terbilang cukup menjanjikan. Di periode Maret hingga Agustus mereka mengklaim terus menyalurkan dana hingga mencapai lebih dari Rp60 Miliar. Angka ini lebih banyak jika dibandingkan kondisi normal, mengingat puncak masa tanam berada di bulan September hingga Oktober tiap tahunnya. Dana tersebut tersalurkan untuk lebih dari 18.000 petani dan lebih dari 300 usaha kecil dan mikro yang berada di sektor pertanian.

“Selama pandemi pula, kami terus bekerja sama dengan >10 pemodal institusi yang tak gentar menyalurkan modal walau dalam kondisi pandemi dengan ketidakpastian nasib kredit. Shout out kepada 2 di antaranya, yaitu Bank BJB dan Bank Mandiri, yang justru terus terbuka terhadap banyak penyesuaian dalam permodalan pertanian,” terang Afifa.

Rantai pasokan dan pinjaman modal petani

Jika melihat lebih jauh tentang masalah yang sedang diselesaikan startup teknologi di bidang agritech, akan mengerucut pada dua hal rantai pasokan atau distribusi dan juga pinjaman modal petani. Untuk rantai pasokan, startup-startup ini biasanya akan terjun langsung ke daerah untuk menemui petani atau kelompok tani dan menjalin kerja sama untuk menampung hasil panen mereka.

Kemudian hasil panen akan ditampung di semacam sentra pengolahan untuk disortir dan dikemas sebelum akhirnya diteruskan ke pelanggan. Dengan rantai distribusi yang pendek seperti ini kualitas sayur dan buah akan lebih terjaga, harga akan tetap bersaing, dan pelanggan akan mendapatkan pengalaman berbelanja yang menarik.

Sementara untuk pinjaman pemodalan pertanian, garis besar prosesnya adalah petani membuka proyek di platform yang disediakan, lengkap dengan informasi tanaman yang akan mereka tanam dengan jumlah keuntungan yang ditawarkan. Selanjutnya pemilik modal akan memilih proyek dan mendanainya.

Dari dua permasalahan mendasar tersebut, ada satu hal yang membuatnya bisa berdampak positif kepada petani. Semuanya berlomba-lomba untuk membuat petani panen dengan maksimal dan berkualitas. Tujuannya untuk menghasilkan kualitas terbaik bagi layanan mereka masing-masing. Buah atau sayuran berkualitas dengan jumlah yang melimpah, atau hasil yang baik untuk mereka yang menanamkan modal. Sinergi ini yang diharapkan mampu menggangkat petani ke level yang lebih baik, lebih terukur, dan lebih terdokumentasi.

Agritech di negara lainnya

Tiongkok sebagai negara dengan adopsi teknologi yang kencang dalam satu dekade belakangan sudah menjadikan transformasi di sektor agritech sebagai prioritas nasional. Mereka meluncurkan rencana pengembangan dan digitalisasi sektor pertanian mulai dari tahun 2019 hingga 2025. Teknologi mutakhir seperti robot AI untuk otomatisasi dan pemantauan berbasis sensor, blockchain, rantai pasokan, hingga jaringan 5G diharapkan bisa menciptakan solusi di sektor pertanian. Dari sebuah laporan yang terbitkan Maret silam, investasi di e-Grocery Tiongkok tumbuh 25% dari tahun 2018. Menyentuh angka $2,1 miliar.

Sementara di India, rantai pasokan atau supply chain juga menjadi tantangan tersendiri untuk industri agritech. Menghubungkan langsung para petani dengan para pelanggan tampaknya menjadi pekerjaan rumah penting agritech di banyak negara.

Sebuah laporan, bertajuk Agritech – toward transforming Indian Agriculture yang dikeluarkan EY pada Agustus silam, menyebutkan potensi supply chain untuk pasar India mencapai $12 miliar, sedangkan untuk financial service mencapai $4.1 miliar. Dua sektor ini menyediakan ruang untuk pemain startup untuk tumbuh sekaligus memberikan sumbangsih kepada pertanian nasional.

Potensi selanjutnya

Indonesia adalah negara agraria di mana setiap tahunnya ada saja kabar mengenai petani yang gagal panen atau petani yang harga hasil panennya anjlok. Jika berbicara mengenai potensi, jelas pemberdayaan kelompok tani untuk mengurangi risiko-risiko tersebut adalah satu yang terpenting.

Selanjutnya, di tahap yang lebih matang teknologi sensor khas IoT, prediksi berdasarkan data khas big data dan machine learning bisa membawa petani masuk ke level selanjutnya. Menentukan masa tanam dan varian apa yang paling menguntungkan untuk mengurangi risiko gagal panen efektivitas masa tanam.

Indonesia sedang menuju ke arah sana. Investasi yang didapatkan perusahaan di sektor agritech diharapkan mampu menghadirkan solusi demi masa depan petani Indonesia yang lebih baik.

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perlahan tapi pasti, investasi berdampak ("impact investment") kian tumbuh di Indonesia

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.

How These Early-Stage Startups Can Survive Despite Pandemic

There are many reasons why startups in the early stages have so many difficulties. Obstacles in finding the right talent, building solid team communication, product exploration, also penetration on the target market.

During this pandemic, these obstacles converge to several more fundamentals. Maintaining cash flow and seeking new funding to secure business continuity are two of them.

We spoke with three startups in the early phase (seed) to find out tips and strategies for dealing with this pandemic. They generally don’t have the flexibility of a more mature startup. However, it is not impossible. They have taken various initiatives to survive this abnormal situation.

Focus not only to a single market

It still remains the memory of the early months when the pandemic hit so many businesses until some are collapsed. The sectors most affected, such as hospitality, restaurants, import-export logistics, transportation, experienced the hardest hit. Large-scale social restrictions (PSBB) to reduce the level of transmission of the outbreak forced the sector to hold back for a while.

Stoqo is one of the victims. The discontinuity of thousands of restaurants and shopping centers caused their income to drop significantly. Stoqo announced shutdown in April.

Startup Izy.ai, which business is closely related to hospitality, learned from this situation. The CEO, Gerry Mangentang does not want the startup he founded to have the same fate.

Izy started its operation in 2018, relies on the sustainability of hotels and accommodations. Its platform helps hotels and accommodations digitize services and increase guests. Gerry realized that his party could not continue to rely solely on the hospitality business. Moreover, the local situation indicates that the pandemic will last longer.

“We have to pivot into another direction and must not depend only on accommodations. We have plans to enter the residential and retail [markets],” Gerry said.

Izy’s core business actually lies in fulfilling the digitization of hotel services through a subscription model. Services such as ordering food in the hotel, room service, laundry, and others. With the same principle, they are trying to open new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

“We are an on-demand platform, with this retail we can be considered light e-commerce, but for malls and retail. The focus will be on Jakarta, Bandung, and Bali,” Gerry added.

Efficiency and other initiatives

If Izy decided to pivot in order to survive this crisis, Crowde and Doogether prefer efficiency strategy.

Crowde’s Head of Impact Investment, Afifa Urfani admitted, at the beginning of the pandemic, her team experienced a strong impact in order to survive until public acceptance of its products. Therefore, Afifa thought Crowde is more selective with every step of the way.

“We chose to slow down, to speed up later,” she said.

Crowde carefully calculates the costs in and out of the company, tightens expenses, and changes the company’ss culture to do all its activities digitally. This method is the compensation that Crowde chose, therefore the acquisition and maintenance process of their capital project continues.

Crowde’s core business is actually capital risk control in the agricultural sector. Since the pandemic began, Afifa said the company has made several initiatives to adjust to the situation. One of these initiatives is to link market access with tonnage purchases.

“What is different is that in the past we focused on the hospitality business (hotels, restaurants, cafes/catering), now we are open to multi-layer market potential,” she added.

Doogether has similar strategies. The wellness platform fronted by Fauzan Gani admits Doogether has made many adjustments to expenses.

From an initiative aspect, Doogether focuses on enriching its service features. One of them is by launching a live streaming-based class to be ordered through the application. This strategic step was taken to target people who now exercise more at home.

“In addition, we also add a verification feature for our partners who have opened their facilities and comply with the SOP from the government,” Doogether’s CEO, Fauzan Gani said.

New funding is still an option

Extending the runway is the focus of all startups in these situations. Apart from previous strategies, funding is a clearly available option. However, funding is not an easy choice because it involves many other factors.

Fauzan said that the obstacle to raising a new funding round is the unstable economic situation in Indonesia. He thought, the availability of vaccines is hope for getting out of the pandemic crisis and the adoption of the community for the industry they are in.

Fauzan admitted that his team had no plans to raise new funds. He believes the Doogether runway is still sufficient to survive the pandemic crisis since they have succeeded in getting extension funding from its investors.

“However, as a startup, we must always be ready for a new round of funding,” he said.

Afifah has quite similar answer. Attracting investors for new funding is clearly more challenging. That’s why deploying Series A funding is the second priority. Crowde’s first priority, she mentioned, is to optimize the scheme and business model in order to finance operational expenses, even though the profits they earned were thin.

We strongly believe that the runway is still long enough to survive the company, Crowde is determined to get through this crisis with their own business.

“Certainly our choice is to run a healthy business in order to ensure investment possibilities,” Afifa said.

Meanwhile, Izy is racing against time. The recent seed funding gave them a one-year runway. With hospitality and accommodation conditions still far from normal, their pivot plan will play a big role in the company’s future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup di fase awal punya banyak tantangan, terlebih mereka di sektor yang terdampak kuat oleh pandemi. Tiga startup berbagi pandangan untuk menghadapinya.

Bagaimana Beberapa Startup Fase Awal Ini Bertahan dari Pandemi

Ada banyak alasan mengapa startup di tahap awal punya banyak kesulitan. Kendala mencari talenta yang tepat, membangun komunikasi tim yang solid, eksplorasi produk, hingga menembus pasar yang dituju.

Di masa pandemi ini, kendala tersebut mengerucut ke beberapa hal yang lebih fundamental. Menjaga cash flow dan mencari pendanaan baru untuk mengamankan keberlangsungan bisnis adalah dua di antaranya.

Kami berbicara dengan tiga startup di fase awal (seed) untuk mengetahui bagaimana kiat dan strategi mereka menghadapi pandemi ini. Pada umumnya mereka tidak punya fleksibilitas seluas startup di fase yang lebih matang. Namun bukan berarti tanpa harapan. Berbagai inisiatif mereka lakukan agar selamat dari situasi tidak normal ini.

Tidak terpaku ke satu pasar

Masih lekat di ingatan bagaimana di bulan-bulan awal pandemi menghantam begitu banyak bisnis runtuh. Sektor yang paling terpengaruh seperti hospitality, restoran, logistik ekspor impor, transportasi, jelas kena imbas paling keras. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan tingkat penularan wabah memaksa sektor tadi gigit jari untuk sementara waktu.

Stoqo adalah salah satu korbannya. Tutupnya ribuan restoran, rumah makan, dan pusat perbelanjaan menyebabkan turunnya pendapatan mereka turun drastis. Stoqo mengumumkan berhenti beroperasi pada April lalu.

Startup Izy.ai, yang bisnisnya bersinggungan erat dengan hospitality, belajar dari keadaan tersebut. CEO Gerry Mangentang tidak ingin startup yang ia dirikan bernasib serupa.

Izy yang mulai beroperasi pada 2018 menggantungkan bisnisnya pada keberlangsungan hotel dan akomodasi. Platform-nya membantu hotel dan akomodasi dalam mendigitalisasi layanan dan meningkatkan konsumsi tamu. Gerry sadar pihaknya tak bisa terus-menerus hanya bersandar pada bisnis hospitality. Terlebih situasi di dalam negeri mengindikasikan pandemi masih akan berlangsung lebih lama.

“Kita harus pivot ke arah lain dan tidak boleh bergantung ke hotel saja. Kita ada rencana masuk ke [market] residensial dan ritel,” ujar Gerry.

Fokus bisnis Izy sejatinya terletak pada pemenuhan digitalisasi layanan hotel lewat model berlangganan. Layanan itu seperti pemesanan makanan di dalam hotel, room service, binatu, dan lainnya. Dengan prinsip yang sama, mereka berupaya membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

“Kita ini platform on demand, kalau dengan ritel ini kita bisa dianggap light e-commerce-lah, tapi untuk mall dan ritel. Fokusnya akan ada di Jakarta, Bandung dan Bali,” ujar Gerry.

Efisiensi dan inisiatif lainnya

Jika Izy memilih pivot sebagai jalan untuk terus bertahan dari masa paceklik ini, Crowde dan Doogether lebih memilih jalan efisiensi.

Head of Impact Investment Crowde Afifa Urfani mengakui, di awal pandemi pihaknya mengalami dampak yang kuat dalam kekuatan untuk bertahan sampai penerimaan publik terhadap produknya. Itu sebabnya, menurut Afifa, Crowde lebih berhitung dalam setiap langkahnya.

“Kami memilih untuk slowing down, to speed up kemudian,” tutur Afifa.

Crowde menghitung baik-baik biaya keluar-masuk dari perusahaan, mengetatkan pengeluaran, hingga mengubah kultur perusahaan untuk melakukan segala kegiatannya secara digital. Cara tersebut merupakan kompensasi yang dipilih Crowde agar proses akuisisi dan maintenance proyek permodalan mereka tetap berjalan.

Bisnis inti Crowde sejatinya berporos pada pengendalian risiko permodalan di sektor pertanian. Sejak pandemi berlangsung, menurut Afifa, perusahaan membuat sejumlah inisiatif untuk menyesuaikan keadaan. Inisiatif tersebut salah satunya menghubungkan akses pasar dengan pembelian tonase.

“Yang berbeda hanyalah jika dulu fokus terhadap bisnis horeka (hotel, restoran, kafe/katering), kalau sekarang kami terbuka dengan potensi pasar multi-layer,” terang Afifa.

Doogether punya kiat tak jauh berbeda. Platform wellness yang digawangi Fauzan Gani ini mengakui Doogether melakukan banyak penyesuaian untuk pengeluaran.

Dari aspek inisiatif, Doogether fokus memperkaya fitur layanan mereka. Salah satunya dengan meluncurkan kelas berbasis live streaming yang dapat dipesan melalui aplikasi. Langkah strategis ini diambil untuk menyasar masyarakat yang kini lebih banyak berolahraga di dalam rumah.

“Selain itu pun kita menambahkan fitur verifikasi untuk para mitra kami yang sudah membuka fasilitas mereka dan mematuhi SOP dari pemerintah,” jelas CEO Fauzan Gani.

Pendanaan baru tetap jadi opsi

Memperpanjang napas menjadi fokus semua startup di situasi seperti ini. Di luar yang telah dilakukan tadi, pendanaan jelas jadi opsi yang tersedia untuk mereka. Namun pendanaan bukan pilihan mudah karena melibatkan lebih banyak faktor.

Fauzan berpendapat, kendala untuk menggelar babak pendanaan baru adalah situasi ekonomi Indonesia yang belum stabil. Ketersediaan vaksin sebagai harapan keluar dari krisis pandemi serta adopsi masyarakat terhadap industri yang mereka geluti menurutnya adalah faktor penentu.

Fauzan mengakui pihaknya belum ada rencana menggalang dana baru. Ia yakin runway Doogether masih cukup untuk selamat dari krisis pandemi semenjak mereka berhasil mendapatkan extension funding dari para investornya.

“Namun sebagai startup kita harus selalu siap melakukan babak baru pendanaan,” ungkapnya.

Afifah memiliki pendapat yang sama. Menarik minat investor untuk pendanaan baru jelas lebih menantang. Itu sebabnya menggelar pendanaan Seri A jadi proritas kedua. Prioritas pertama Crowde, menurutnya, adalah mengoptimalkan skema dan model bisnis agar bisa membiayai pengeluaran operasional, meski profit yang mereka peroleh tipis.

Dengan keyakinan runway dari pendanaan sebelumnya masih kuat menopang keberlangsungan perusahaan, Crowde bertekad melalui situasi krisis ini dengan bisnis mereka sendiri.

“Pastinya pilihan kami adalah menjalankan bisnis yang sehat agar bisa meyakinkan kemungkinan investasi,” pungkas Afifa.

Sementara itu Izy sedang berpacu dengan waktu. Pendanaan awal yang diperoleh belum lama ini membuat mereka memiliki runway hingga setahun ke depan. Dengan kondisi perhotelan dan akomodasi yang masih jauh dari normal, rencana pivot mereka akan berperan besar untuk masa depan perusahaan.