Modal kerap menjadi kendala utama, tidak hanya untuk mereka yang ingin memulai bisnis, tetapi juga UMKM yang ingin mengembangkan bisnis. Namun, saat ini telah banyak pilihan yang bisa diambil guna mendapatkan modal untuk memulai bisnis. Beberapa pilihan tersebut diantaranya:
Bootstrapping
Sumber modal bootstrapping adalah sumber modal usaha yang berasal dari dana pribadi. Dengan menggunakan tabungan sendiri, Anda bisa memulai bisnis dan mengandalkan laba atau keuntungan bisnis untuk kegiatan operasional lainnya. Tidak hanya bersumber dari tabungan, dana pribadi juga bisa berasal dari penjualan aset pribadi untuk modal bisnis.
Download eBook 65 Sumber Modal Usaha untuk UMKM, Gratis!
Meskipun dana pribadi cenderung terbatas, namun dengan menggunakan sumber dana pribadi Anda memiliki kendali penuh atas bisnis Anda. Anda bisa memusatkan fokus Anda pada pengembangan bisnis saja dan tidak perlu memikirkan cara mengembalikan atau membayar uang modal.
Venture Capital
Venture Capital merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari perorangan maupun korporat yang secara khusus menyediakan modal bagi bisnis rintisan. Individu dalam venture capital mengumpulkan dana mereka untuk mendanai perusahaan rintisan yang membutuhkan modal dalam bentuk investasi.
Untuk mendapatkan modal dari venture capital, Anda perlu melalui beberapa proses penilaian dari venture capital. Salah satu yang perlu dilakukan adalah mengajukan rencana bisnis. Venture capital akan melakukan peninjauan dari rencana bisnis yang diajukan dan memutuskan apakah bisnis Anda layak untuk untuk mendapat pendanaan atau tidak.
Peer-to-peer (P2P)
Peer-to-peer lending adalah lembaga yang memberikan jasa pinjam meminjam melalui platform online. Dalam memilih lembaga p2p, pastikan lembaga tersebut sudah memiliki izin dan diawasi oleh OJK. Platform tersebut akan mempertemukan peminjam dana dengan pemberi pinjaman, kemudian akan dilakukan verifikasi secara mendetail. Beberapa contoh p2p lending yaitu Investree, danamas, dan akseleran.
Angel Investor
Istilah angel investor biasa dilekatkan kepada individu yang biasanya bersedia memberikan pinjaman modal bagi UMKM maupun startup. Mendapatkan angel investor cenderung lebih sulit karena sifatnya yang individu maka Anda memerlukan relasi yang luas. Namun bukan berarti tidak mungkin. Anda bisa mulai memperluas relasi dan mencari angel investor dengan latar belakang minat dan industri yang sama.
Program Pembiayaan UMKM
Pentingnya kontribusi UMKM bagi perekonomian Indonesia membuat pemerintah meluncurkan program bantuan pendanaan bagi UMKM. Dua contoh program yang sudah dijalankan adalah pinjaman KUR dan LPDB.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah program kerjasama pemerintah dengan berbagai perbankan di Indonesia untuk memberikan pembiayaan atau modal usaha kepada UMKM. KUR menjangkau UMKM dengan kebutuhan modal maksimum Rp500 juta, pinjaman modal kerja, dan kredit investasi.
Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) adalah lembaga yang dibentuk oleh Kementerian Koperasi dan UMKM untuk memberikan pinjaman kepada pelaku UMKM dengan bunga yang relatif rendah. Hal itu dilakukan agar UMKM memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar nasional maupun global.
Pinjaman Online
Di era digitalisasi saat ini, proses pinjam meminjam bisa dilakukan dengan lebih mudah secara online. Pelaku UMKM bisa memanfaatkan pinjaman online untuk menambah modal usaha mereka. Kemudahannya ditunjukkan melalui persyaratan dan proses pencairan yang cepat. Namun, jangan hanya tergiur oleh kemudahannya. Anda juga perlu menyiapkan rencana bisnis yang tepat supaya menghindari penunggakan pembayaran. Jika peminjam melakukan penunggakan, maka akan berpengaruh pada skor kredit dan reputasi bisnisnya.
Itulah beberapa sumber modal yang bisa dijadikan pertimbangan bagi UMKM yang ingin menambah modal. Setiap pilihan yang diambil tentu memiliki konsekuensi dan tantangan tersendiri, pastikan Anda telah melakukan analisis dan mempersiapkan rencana bisnis yang mendetail sebelum mengajukan pinjaman.
Pernahkah kamu mendengar istilah crowdfunding? Secara garis besar, crowdfunding merupakan metode untuk mendapatkan modal atau pendanaan secara kolektif.
Saat ini, crowdfunding menjadi tren investasi online yang sedang menjamur di dunia karena berbagai manfaat yang dimilikinya. Bahkan, metodi ini digadang-gadang sebagai metodi yang paling cocok diterapkan di pertumbuhan perekonomian global yang tidak menentu seperti saat ini.
Lantas, apa yang sebenarnya disebut dengan crowdfunding dan mengapa hal ini dianggap menguntungkan? Simak penjelasan selengkapnya dalam artikel ini!
Pengertian Crowdfunding
Secara harfiah, crowdfunding berasal dari kata crowd, yang berarti keramaian atau sejumlah besar orang dan funding yang berarti pengumpulan dana. Oleh sebab itu, crowdfunding sering dikenal sebagai skema pendanaan yang berasal dari sejumlah orang untuk mendanai sebuah proyek.
Mengutip dari laman Kemenkeu, crowdfunding adalah teknik pendanaan untuk suatu proyek atau unit usaha yang melibatkan masyarakat secara luas. Dalam prosesnya, crowdfunding dikelola oleh sebuah platform berbasis internet agar mudah diakses.
Crowdfunding pertama kali dicetuskan di Amerika Serikat pada tahun 2003 dengan diluncurkannya sebuah situs bernama Artistshare yang bertujuan untuk memudahkan para musisi dalam mencari dana untuk memproduksi sebuah karya. Pada tahun 2014 hingga 2016, crowdfunding menjadi semakin populer dengan platform yang meningkat menjadi 2000 unit dan mampu mencapai pendanaan sekitar 60 miliar dolar Amerika.
Jenis-Jenis Crowdfunding
1. Equity Crowdfunding
Equity crowdfunding (ECF) adalah jenis pendanaan yang menawarkan saham kepada investor. Crowdfunding jenis ini cocok untuk menggalang dana dalam jumlah besar.
Sistemnya, pemilik bisnis akan menawarkan saham perusahaan dengan jumlah target dana dalam kurun waktu tertentu kepada investor pada sebuah platform yang kamu gunakan. Dengan ketentuan pada platform tersebut, seluruh dana akan tercatat sudah mencapai target atau belum.
Nantinya, laba bisnis akan diberikan kembali kepada investor sesuai porsi dana yang telah diberikan.
2. Donation Crowdfunding
Donation crowdfunding adalah jenis crowdfunding yang mengumpulkan dana menggunakan sistem donasi. Umumnya, crowdfunding jenis ini digunakan untuk kepentingan sosial, seperti penggalangan dana untuk bencana, panti sosial, masyarakat tidak mampun dan lain sebagainya.
Apabila crowdfunding jenis ini digunakan untuk keperluan bisnis, maka pastikan terlebih dahulu bahwa bisnismu berkaitan dengan kepentingan orang banyak, agar mereka mau berdonasi untuk membantu bisnismu.
3. Reward Crowdfunding
Reward crowdfunding adalah jenis pendanaan yang menggunakan hadiah untuk menarik para investor. Sekilas, crowdfunding jenis ini memang hampir sama seperti equity crowdfunding.
Perbedaan keduanya adalah pada bentuk keuntungan yang ditawarkan, yakni berupa reward penawaran, seperti potongan harga, keanggotaan eksklusif, layanan uji coba gratis, dan lain sebagainya. Dengan adanya keuntungan-keuntungan tersebut, para investor akan merasa menjadi bagian dari pengembangan awal bisnis.
4. Debt Crowdfunding
Debt crowdfunding adalah jenis crowdfunding yang hampir sama dengan jasa peminjaman uang. Sistemnya adalah dengan melakukan pinjaman uang yang nantinya dapat dikembalikan berupa insentif.
Sekilas, debt crowdfunding hampir mirip dengan P2P (peer-to-peer) Lending. Bedanya, crowdfunding ini memiliki dana yang didapat dari donasi dengan melibatkan pemilik bisnis, pemberi dana dan penyedia platform.
Keuntungan Crowdfunding
Crowdfunding merupakan salah satu metode pengumpulan dana yang paling banyak digunakan oleh perusahaan rintisan atau startup, karena memiliki beberapa keuntungan berikut.
1. Bisnis Menjadi Lebih Cepat Dikenal
Untuk mendapatkan pendanaan, kamu perlu menjelaskan rencana pengembangan bisnismu kepada publik terlebih dahulum. Hal ini tentunya akan membantu bisnismu agar semakin dikenal oleh publik,
Kamu bisa memanfaatkan berbagai platform, seperti website, media sosial, dan media alternatif lainnya untuk menginformasikan kampanye crowdfunding-mu.
2. Memikat Investor Potensial
Crowdfunding juga berguna untuk mempertemukan pemilik bisnis dengan calon investor yang cocok. Oleh sebab itu, kamu bisa melakukan crowdfunding dengan menonjolkan ide bisnismu yang unik, menarik dan memiliki potensi yang menjanjikan.
3. Proses Pengajuan Mudah
Crowdfunding biasanya memiliki proses pengajuan yang mudah karena dapat dilakukan secara online. Dengan begitu, kamu tidak perlu bersusah payah untuk mengunjungi setiap calon investormu satu per satu.
4. Dapat Menentukan Sistem Crowfunding
Kamu juga bisa menentukan sistem crowdfunding untuk bisnismu sendiri. Dalam hal ini, kamu perlu menyesuaikan jenis crowdfunding yang kamu gunakan dengan tujuan bisnismu.
5. Mengurangi Kompetisi
Dengan crowdfunding, kamu juga bisa menghindari kompetisi dengan perusahaan lain yang sudah dianggap ternama. Pasalnya, crowdfunding memungkinkanmu untuk menggalang dana dengan bermodal ide dan potensi bisnis saja.
6. Membangun Basis Konsumen
Crowdfunding juga membantumu dalam membangun basis konsumen. Sebab, melalui kampanye crowdfunding, informasi mengenai bisnismu akan terbuka bagi siapapun, termasuk konsumen potensial.
Nah, itulah penjelasan lengka mengenai crowdfunding. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa crowdfunding merupakan salah satu metode populer yang digunakan untuk melakukan pendanaan.
Startup fintech securities crowdfunding (SCF) Shafiq memprediksi pendanaan efek bersifat utang/sukuk (EBUS) bakal lebih diminati ke depannya. Produk tersebut dinilai lebih menawarkan kenyamanan dari sisi investor karena ada jangka waktu yang bakal dikembalikan usaha kepada mereka.
“Investor lebih merasa nyaman untuk investasi di instrumen yang memiliki jangka waktu. Dan tren lainnya adalah investor juga mulai tertarik untuk berinvestasi di instrumen syariah, terlihat di tahun 2022 produk crowdfunding syariah unggul dibandingkan dengan konvensional,” ucap Co-founder dan CEO Shafiq Kevin Syahrizal kepada DailySocial.id.
Menurut hasil kinerja hingga Oktober 2022, tercatat perusahaan telah menerbitkan 48 penawaran sukuk dan satu penawaran saham. Sebanyak 25 bisnis sudah di-screening perusahaan, adapun total dananya sebesar Rp100 miliar. Angka ini sesuai dengan target yang dicanangkan pada awal tahun.
Sebanyak empat dari 48 penawaran memenuhi standar Sustainable Development Goals (SDG). Satu-satunya penawaran saham di Shafiq juga berhasil memenuhi standar SDG. Perusahaan pun ingin memastikan dapat mencetak lebih banyak standar SDG ke depannya.
“Kami menjadikan pencapaian Rp100 miliar ini sebagai pemacu agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi penerbit seta pemodal. Berbagai masukan serta saran akan menjadi “bahan bakar” untuk Shafiq supaya terus berkembang,” tambahnya.
Atas pencapaiannya tersebut, Kevin optimistis bahwa prospek SCF di Indonesia masih akan didominasi oleh produk EBUS. Menurutnya, produk saham bisa kembali bergairah jika pasar sekunder dapat diadakan lebih rutin lagi, tidak hanya enam bulan sekali. Apabila para penyelenggara SCF yang berizin semakin bertambah, otomatis animo dari para investor untuk bisa berinvestasi di SCF terus meningkat.
Shafiq yang baru resmi beroperasi pada Agustus tahun lalu, saat ini belum menyediakan pasar sekunder. Kevin bilang, saat ini diskusinya masih dalam tahap umum, mengingat pasar sekunder baru dibuka pada kuartal III 2023 mendatang.
“Mayoritas portofolio produk Shafiq adalah sukuk, sedangkan saham saat ini baru satu. Tapi yang bisa kami sampaikan adalah pasar sekunder yang akan dibuat tentu akan mengikuti mekanisme seperti di pasar yang ada di bursa.”
Berdasarkan aturan POJK 57, pasar sekunder dapat menjadi ajang pertukaran saham, investor bisa menjualbelikan saham miliknya. Sebaliknya, menjadi kesempatan kedua bagi investor yang dulu tidak sempat membeli saham tersebut di pasar perdana. Pasar Sekunder hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun.
Didominasi pemodal usia muda
Temuan menarik lainnya yang dibagikan adalah demografi investor Shafiq yang datang dari generasi muda. Diperkirakan menjamurnya tren gelombang “hijrah” dan menginginkan platform investasi syariah yang tidak hanya menjadikannya sebagai jargon semata, namun benar-benar menerapkan syariah sebagai faktor utama dalam bisnis, jadi faktor pemicu di baliknya. Meski tidak dirinci, diklaim Shafiq memiliki ribuan pemodal yang datang dari kalangan tersebut.
“Shafiq menjawab keresahan dan kebutuhan tersebut dengan menghadirkan platform alternatif investasi syariah berupa SCF syariah pertama yang berizin dan diawasi oleh OJK serta DSN-MUI. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi kami untuk memberikan solusi investasi yang memiliki kredibilitas dari sisi business dan technology.”
Untuk permudah akses Shafiq, perusahaan berencana untuk merilis aplikasi Shafiq. Lantaran, sebanyak 95% pengguna mengakses Shafiq melalui perangkat gawai pintarnya. Sementara ini pihaknya masih mengembangkan PWA (Progressive Web App) yang rencananya dapat digunakan pada akhir tahun ini.
“Rencana aplikasi akan dikembangkan dan bisa mulai digunakan paling lambat di kuartal II 2023. Shafiq ingin menjawab permintaan para pengguna dengan menghadirkan aplikasi yang memiliki user experience yang baik serta memberi kepuasan sehingga pengalaman berinvestasi menjadi luar biasa.”
Pihaknya pun berkomitmen untuk menghadirkan para penerbit terbaik, melalui proses uji tuntas yang ketat agar para pemodal bisa merasakan keuntungan dari investasi syariah yang lebih aman dan amanah. Para penerbit bisa menjalankan proyeknya tanpa ada pelanggaran syariat dengan pendanaan melalui Shafiq.
Rencana penggalangan dana juga sedang direncanakan. Kevin bilang, saat ini pihaknya sudah mulai berdiskusi dengan beberapa calon investor strategis. Harapannya kesepakatan ini bisa selesai paling lambat pada kuartal I 2023 mendatang.
Berdasarkan data OJK, total dana terhimpun pada layanan crowdfunding per 19 Agustus 2022 mencapai Rp567,45 miliar. Dana tersebut dimanfaatkan oleh 266 UMKM dengan jumlah pemodal mencapai 120.422. Bila dirinci, pendanaan tersebut terdiri atas, 238 penerbitan saham UMKM konvensional, 4 penerbitan saham UMKM berbasis syariah, 3 obligasi UMKM, dan 57 sukuk UMKM.
“Dari data industri, total penggalangan dana dari penerbitan saham hampir Rp600 miliar, sementara khusus EBUS totalnya hampir Rp100 miliar. Jauh lebih besar dari capaian sepanjang tahun lalu. Jadi kalau dilihat tren tahun ini, ternyata penerbitan sukuk dianggap menarik oleh UMKM, mencerminkan banyak yang berminat meraup permodalan dengan akad syariah,” ucap Wakil Ketua Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Heinrich Vincent seperti dikutip dari Bisnis.com.
Lebih lanjut, jumlah penyelenggara SCF telah mencapai 11 perusahaan, naik dari tahun lalu yang hanya 7 perusahaan. Dibandingkan capaian di tahu lalu, industri crowdfunding telah membantu menerbitkan saham 193 UKM senilai Rp412 miliar, mempertemukan mereka dengan 93.733 pemodal aktif.
International Finance Corporation (IFC) mengajukan usulan investasi ke startup crowdfunding Kitabisa senilai $5 juta atau sebesar Rp74,8 miliar. Dalam laman resmi IFC, status pengajuan investasi ini tercatat masih menunggu persetujuan (pending approval).
“IFC mengusulkan investasi dalam bentuk ekuitas hingga $5 juta di perusahaan melalui pembelian saham preferen,” demikian disampaikan dalam Summary Investment Information (SII). Adapun, projected board date ditargetkan pada 23 Agustus 2021.
Melalui investasi ini, IFC memproyeksikan adanya peningkatan akses layanan asuransi ke segmen yang kurang terlayani di Indonesia. Kitabisa diharapkan dapat masuk ke segmen ini melalui pendekatan direct-to-consumer (D2C) dan digital native lewat produk asuransi syariah berbasis on-demand.
Kitabisa juga diyakini dapat mengatasi hambatan tersebut di Indonesia berkat model bisnis berbasis digital secara end-to-end, pengembangan produk unik dan terjangkau, dan upayanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya produk asuransi.
Sebagai informasi, Kitabisa mengoperasikan layanan donasi dan pengumpulan dana berbasis digital untuk melayani segmen berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara, IFC merupakan konsorsium di bawah naungan World Bank yang telah berinvestasi ke sejumlah startup di Indonesia, yakni eFishery, AnterAja, dan PasarPolis.
Ekspansi bisnis
Dalam SII-nya, Kitabisa tercatat berencana ekspansi bisnis ke layanan syariah dan asuransi. Diketahui sebelumnya Kitabisa sempat mengoperasikan platform crowdinsurance bernama Saling Jaga pada April 2021. Namun, Saling Jaga terpaksa dihentikan operasionalnya pada 31 Agustus 2021 karena terkendala perizinan.
Berdasarkan pemberitaan tahun lalu, Kitabisa sebelumnya telah mendaftarkan Saling Jaga ke regulatory sandbox OJK. Menurut pihak OJK, salah satu concern dari platform ini adalah konsep crowdinsurance Saling Jaga yang melibatkan banyak orang untuk berdonasi gotong royong.
Pada Oktober 2021, Kitabisa melakukan pivot layanan insurtech dengan menyiapkan kanal Kitajaga. Melalui platform ini, masyarakat dapat membeli produk asuransi jiwa melalui aplikasi Kitabisa.
Sejak berdiri di 2013, Kitabisa telah memiliki 6 juta donatur, melakukan 100 ribu penggalangan dana, serta didukung 3000 NGO/yayasan/lembaga dan 250 program CSR/brand/perusahaan. Berdasarkan laporan audit Ernst & Young (EY) di 2020, total jumlah penerimaan donasi di Yayasan Kita Bisa telah mencapai Rp835 miliar.
Alternatif pendanaan untuk UMKM kini terus bertambah dengan kehadiran Udana. Startup securities crowdfunding (SCF) ini berambisi menjadi platform urun dana yang paling dipercaya di Indonesia karena mengusung transparansi penuh dari proses mitigasi hingga listing, sehingga dapat memberikan rasa kepercayaan bagi para investor.
Udana didirikan oleh Eric Wicaksono dan saat ini telah mengantongi izin usaha dari OJK dengan badan hukum PT Dana Rintis Indonesia. Perusahaan disebutkan telah memperoleh pendanaan ekuitas dengan nominal dan investor yang dirahasiakan.
Kepada DailySocial.id, Eric menuturkan ambisinya merintis Udana tak lain karena terbatasnya akses pendanaan bagi UMKM yang terus menjadi isu. Kondisi tersebut berdampak pada sulitnya para pemilik usaha saat ingin mengembangkan bisnisnya ke tahap lanjutan. Karenanya, hanya sedikit UMKM yang bisa naik kelas. Di sisi lain, minat investasi masyarakat sedang meningkat sepanjang pandemi. Masyarakat pun giat mencari alternatif instrumen untuk memperoleh pendapatan pasif melalui jalur investasi.
“Udana hadir untuk memberikan alternatif atau cara baru berinvestasi yang memberi lebih banyak pilihan dan kebebasan bagi pemodal. Kami juga turut hadir sebagai solusi meningkatkan pertumbuhan bisnis UMKM dengan mempertemukan para pebisnis dengan gagasan yang inovatif dengan calon pemodal potensial,” katanya.
Tidak dirinci secara spesifik jenis UMKM yang disasar oleh Udana. Ia hanya menuturkan, diferensiasi yang ditawarkan Udana dibandingkan pemain sejenisnya adalah pihaknya melakukan proses validasi dan kurasi yang ketat sebelum sebuah UMKM listing melalui platformnya. Ditambah, platformnya terbuka terhadap data kinerja bisnis yang dapat dipantau oleh pemodal setiap saat, termasuk saat pembagian dividen dari hasil yang akan mereka dapatkan.
Eric melanjutkan, Udana juga memberikan benefit khusus yang diberikan untuk pebisnis UMKM dan pemodal. Untuk pebisnis, mereka akan mendapat pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan bisnisnya dan akan terus dipantau secara berkala agar dapat meningkatkan kinerja usahanya. Sementara, bagi pemodal akan mendapatkan benefit, seperti membership dan lainnya yang dapat dinikmati dari masing-masing bisnis yang mereka danai.
“Udana ingin memberikan rasa sense of belonging yang membuat pemodal dapat merasakan secara langsung pertumbuhan dari bisnis yang diinvestasikan dan pastinya masih banyak kejutan-kejutan lainnya apabila menjadi salah satu pemodal di Udana.”
Proses kurasi
Dalam proses kurasi dan valuasi bisnis, perusahaan melakukan semua tahapannya dengan ketat, selayaknya yang diterapkan oleh perusahaan modal ventura, tapi dengan sedikit penyesuaian karena objek yang dikurasi adalah UMKM. Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim analis bisnis Udana yang akan melakukan uji tuntas secara ketat (in-depth due diligence) dari aspek bisnis, legal, dan finansial dalam proses pemilihan bisnis.
Setelah bisnis berhasil listing, tim akan memantau perkembangan bisnisnya dan siap membantu pebisnis apabila terjadi penurunan performa atau membutuhkan bantuan lainnya. “Hal ini bertujuan untuk memberikan instrumen investasi yang berkualitas dan berpotensi untuk dapat dikembangkan.”
Diklaim saat ini ada enam penerbit sedang dalam tahap akhir kurasi di Udana yang mayoritas bergerak di industri kuliner. Harapannya pada akhir kuartal kedua seluruh UMKM tersebut ini dapat segera menggelar penggalangan dana. Adapun, untuk target sepanjang tahun ini bidik pendanaan untuk 20 UMKM senilai Rp40 miliar.
Industri urun dana, sambungnya, masih dalam tahap awal di Indonesia, sehingga kondisi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik oleh ekosistem. Oleh karenanya, perusahaan bekerja sama dengan ekosistem untuk menggalakkan edukasi kepada masyarakat terkait risiko investasi yang dapat muncul ketika menaruh dananya di instrumen urun dana, kelebihan, dan kekurangannya. Terlebih, langkah tersebut selaras dengan ambisi Udana yang ingin memosisikan dirinya sebagai platform yang paling dipercaya.
“Harapannya pemodal memiliki pengetahuan dan mengetahui risiko sebelum memutuskan untuk berinvestasi di crowdfunding. Udana memiliki tujuan yang positif, yaitu ingin bersama-sama membangun ekosistem crowdfunding di Indonesia agar dapat menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di Indonesia,” pungkasnya.
Secara industri, OJK mencatat sepanjang 2021, terdapat tujuh platform yang memperoleh izin usaha. Jumlah ini meningkat 75% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya tercatat sebanyak empat Penyelenggara. Pada periode yang sama, jumlah penerbit/pelaku UMKM yang berhasil menghimpun dana melalui SCF juga meningkat 48,84% dari sebelumnya 129 perusahaan menjadi 192 perusahaan di 2021.
Dari sisi Pemodal SCF juga mengalami peningkatan yang signifikan, yakni sebesar 319,56% dari sebelumnya 22.341 pemodal menjadi 93.733 pemodal di 2021. Total dana yang dihimpun juga meningkat sebesar 115,48% dari Rp191,2 miliar menjadi Rp412 miliar.
FundEx meramaikan jajaran pemain securities crowdfunding (SCF) dalam menyediakan alternatif pendanaan untuk UKM, sekaligus alternatif investasi bagi investor ritel. Startup ini telah mengantongi izin usaha dari OJK per 6 September 2021, direncanakan segera meresmikan diri ke publik pada akhir Oktober 2021.
FundEx didirikan pada 2019 oleh Agung Wibowo, Purwanto, dan Tri Mukhlison yang merupakan rekan satu almamater di Universitas Indonesia. Awalnya mereka tergerak untuk membangun ekosistem pendanaan untuk startup, setelah mendapat sosialisasi tentang equity crowdfunding (ECF) dari OJK. Kemudian pada 2020, OJK menyempurnakan aturan ECF menjadi SCF melalui POJK 57, sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yakni POJK 37.
“Dengan diberlakukannya POJK 57 ini, model bisnis FundEx berubah. FundEx tidak hanya dapat menyelenggarakan penawaran efek bersifat ekuitas saja, tetapi juga efek bersifat utang, yaitu obligasi dan sukuk,” ucap Co-founder dan CEO FundEx Agung Wibowo kepada DailySocial.id.
Dia melanjutkan, dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan FundEx adalah mereka lebih spesifik mencari bisnis digital yang kreatif dan inovatif dengan pertumbuhan yang tinggi, bahkan eksponensial. “Berinvestasi pada startup adalah keunggulan yang FundEx miliki, di mana pemain SCF lain tidak mengambil pasar tersebut.”
Melalui FundEx, bisnis bisa mendapatkan pendanaan mulai dari Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Masyarakat sebagai investor ritel akan mendapatkan kepemilikan saham dari bisnis yang berupa startup, sehingga berpeluang memperoleh dividen bahkan capital gain yang bersifat eksponensial.
Sementara bisnis yang berupa UMKM, seperti bisnis indekos, restoran, minimarket, akan mendapatkan dividen sharing secara rutin, setidaknya setahun sekali. Ada pula bisnis yang berupa proyek, yang memungkinkan investor ritel memperoleh pembagian hasil dari profit yang proyek tersebut dapatkan.
Mitigasi risiko
Setiap jenis bisnis memiliki instrumen investasi yang berbeda, ada yang efek bersifat ekuitas (EBE) untuk berinvestasi pada startup dan UMKM. Sementara untuk bisnis yang berjenis proyek, instrumen investasinya berupa obligasi dan sukuk, yang merupakan efek bersifat utang (EBU).
Tiga instrumen investasi yang FundEx tawarkan dapat menjadi alternatif investasi dan melakukan diversifikasi bagi para investor sesuai dengan profil risiko masing-masing. Sesuai dengan dorongan OJK, investor yang memiliki penghasilan kurang dari Rp500 juta/tahun, hanya bisa menginvestasikan 5% dari seluruh penghasilan tahunannya. Sementara, untuk mereka dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta, bisa menginvestasikan antara 5%-10% dari penghasilan tahunannya.
Selain itu bagi sisi bisnis itu sendiri, FundEx juga melakukan langkah mitigasi sebelum suatu bisnis dapat melakukan penggalangan dana. Agung menerangkan, untuk EBU, keamanan lebih terjamin daripada yang bersifat ekuitas karena yang bersifat utang tentunya harus dikembalikan. “Kami harus memastikan bahwa penerbit memiliki kemampuan untuk mengembalikannya.”
Untuk aspek keamanan, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asuransi, serta meminta jaminan. Sementara untuk EBE, umumnya ada yang meminta dividen sharing dan capital gain. Jika ada yang mengarah ke dividen sharing, FundEx akan bermain di property management, jadi harus ada penguasaan aset.
“Baiknya properti yang bisa kami jadikan aset di perusahaan. Jadi misalkan perusahaan tersebut bangkrut, asetnya bisa kami likuidasi dan bisa kita kembalikan lagi ke pemodal.”
Dia melanjutkan, untuk investasi ke startup yang termasuk dalam kategori risiko tinggi, proses kurasinya akan jauh lebih ketat. Oleh karenanya, FundEx akan lebih selektif dan efek jenis ini akan dikeluarkan secara terbatas, sekitar tiga sampai lima startup per tahun.
“Karena kami yakin bahwa startup ini tidak punya banyak aset untuk diagunkan, tidak punya kepemilikan tanah, dan sebagainya. Yang bisa kami andalkan adalah bagaimana prospek mereka ke depan. Selain itu, tim atau founder startup juga akan sangat kami perhatikan. Apakah mereka punya masalah keuangan atau tidak.”
Menurutnya, semua indikator tersebut dapat dipantau melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang telah bekerja sama dengan FundEx. “Dari situ kami bisa lihat apakah startup tersebut punya catatan keuangan yang buruk atau tidak.”
Agung menuturkan, agar dapat mengakomodasi lebih banyak usaha memperoleh alternatif pendanaan di luar perbankan. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendekatan ke penerbit, asosiasi, hingga komunitas-komunitas pengusaha. “Untuk efek bersifat utang, FundEx akan banyak bermain di ranah konstruksi, terutama untuk proyek-proyek yang sudah memiliki jaminan SBK dari pemerintah, yang kami nilai lebih aman dari segi risikonya.”
Mengingat perusahaan baru bisa beroperasi setelah mendapatkan izin, sejauh ini perusahaan sudah menerima aplikasi lebih dari 100 penerbit. Dari jumlah tersebut, ada dua penerbit yang sudah melalui uji kelayakan (due dilligence). “Pada akhir bulan ini [saat grand launching] kami akan luncurkan dua penerbit yang sudah ready to invest,” tutup Agung.
Besarnya minat masyarakat umum untuk melakukan donasi secara online, menjadi salah satu alasan platform Bantoo.id hadir. Kepada DailySocial.id, Co-founder Bantoo.id Ratna Veronica menyebutkan, Indonesia sebagai negara teratas dalam inisiatif untuk memberi (oleh World Giving Index) ditambah dengan kultur gotong-royong yang sudah mendarah daging.
“Namun online giving platform sebagai sociotech masih jauh kalah kuantitas dan perkembangannya dibanding fintech dan tentunya online marketplace,” kata Ratna.
Secara khusus Bantoo.id memadukan donasi barang dan uang. Berbeda dengan platform serupa lainnya, Bantoo.id bukan hanya sekedar crowdfunding platform, namun merupakan crowdgiving. Ke depannya ada beberapa vertical product dan layanan lagi yang akan dikembangkan.
Mereka juga berupaya untuk tidak menjual kesedihan, baik lewat cause campaign, konten cerita campaign, maupun foto. Perusahaan lebih mengedepankan semangat, perjuangan, inspirasi kebaikan dan berita positif. Bantoo.id juga menerapkan 5 tahap verifikasi untuk setiap kampanye yang dijalankan.
“Bantoo.id dapat diakses oleh pengguna di seluruh Indonesia. Untuk penggalang dana sendiri tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan cause penggalangan yang beragam. Pertumbuhan unique visitor kami cukup baik dengan conversion rate to donate yang cukup tinggi. Kami mulai dari nol, dan saat ini ada di angka 200 ribu visitor per bulan,” kata Ratna.
Strategi monetisasi yang dilancarkan pada platform crowdfunding adalah 5% platform fee dari donasi terkumpul dan dikarenakan adanya crowdgiving, monetisasi bertambah dengan persentase margin dari barang donasi yang terjual di Bantoo.id. Campiagner dan mitra cukup beragam.
Diawasi oleh Kemensos dan Kominfo
Saat ini Bantoo.id diawasi oleh Kementrian Sosial dan Kominfo. Disinggung apakah nantinya Bantoo.id akan bertransformasi lebih dari sekadar platform donasi, mereka menegaskan untuk saat ini dan ke depannya akan terus menjadi platform crowdgiving di Indonesia.
Cara unik yang kemudian dilancarkan oleh mereka yaitu menawarkan pilihan donasi bukan hanya uang, namun juga barang, zakat, hingga bagi ilmu. Dengan demikian memberikan pilihan kepada orang banyak untuk melakukan donasi dengan opsi yang lebih luas.
“Saat ini donasi paling banyak adalah donasi dana. Namun dengan menawarkan pilihan seperti #BagiBarang bisa menjembatani mereka secara individu hingga perusahaan yang ingin melancarkan kegiatan CSR memanfaatkan layanan pilihan dari Bantoo.id,” kata Ratna.
Salah satu pemicu pertumbuhan layanan donasi Bantoo.id adalah saat pandemi. Pandemi secara langsung memberikan dampak positif, banyak social cause yang memerlukan bantuan dan dapat dibantu. Secara negatif, walaupun tidak terlalu signifikan adalah berkurangnya nilai donasi (basket size) per user.
Meskipun baru berusia 1 tahun, namun Bantoo.id memiliki beberapa rencana yang ingin dilancarkan. Di tahun ini Bantoo.id fokus pada perkuatan dan pengembangan system internal, automated verification & automated withdrawal system.
“Oleh sebab itu kami secara selektif memilih campaign baru. Ke depannya di tahun ini kami akan menambah 1-2 vertical product/services untuk memperkuat Bantoo.id sebagai Point of Charity (POC),” kata Ratna.
Disinggung apakah Bantoo.id memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Ratna menegaskan belum ada rencana untuk melakukan penggalangan dana hingga saat ini. Namun demikian perusahaan tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang berniat untuk memberikan dana segar kepada perusahaan.
“Kami saat ini belum fokus untuk mencari investor, namun kami sangat terbuka untuk berdiskusi dengan semua yang melihat sociotech dan pengembangan fintech adalah sesuatu yang baik di Indonesia,” tutup Ratna.
Pertumbuhan platform donasi digital
Bukan hanya platform crowdfunding seperti Kitabisa, BenihBaik, hingga crowdgiving seperti Bantoo.id yang saat ini dilirik oleh masyarakat umum, kegiatan donasi online saat ini juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik selama 2 tahun terakhir.
Gojek pun tahun 2019 lalu telah meluncurkan GoGive, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa sebagai mitra eksklusif. Go-Give memungkinkan pengguna untuk berdonasi, zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), dan kalkulator zakat langsung dalam aplikasi Gojek dengan metode pembayaran Go-Pay.
Data yang dirangkum oleh Katadata terungkap, nilai donasi digital rata-rata naik 72% selama pandemi. Studi juga menggambarkan bahwa derma dari generasi Z atau masyarakat usia di bawah 24 tahun meningkat. Jumlah donatur yang menggunakan layanan digital juga naik 9% menjadi 76%. Dibandingkan empat tahun lalu, nilai dan volume donasi melalui platform digital meningkat 13 kali lipat.
Indonesia Millenial Report 2019 mencatat sebanyak 2,7% milenial pernah berdonasi secara online. Laporan hasil riset yang dirilis IDN Research Institute ini menyatakan Dompetdhuafa.com sebagai situs donasi favorit milenial.
Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.
Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.
Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.
DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.
Risiko investasi budidaya
Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.
Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.
Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.
Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.
Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.
Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.
Status
Total Petani Indonesia
Petani Laki-Laki
Petani Perempuan
Tidak Lulus SD
8.247.112
5.679.847 (68,9%)
2.567.265 (31,1%)
Lulus SD
13.994.725
10.638.485 (76%)
3.356.240 (24%)
Lulus SMP
5.400.834
4.255.020 (78,8%)
1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA
4.799.070
3.992.383 (83,2%)
806.687 (16,8%)
Lulus S1
754.814
633.414% (83,9%)
121.400 (16,1%)
Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde
Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.
Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.
Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.
Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.
Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.
Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.
“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.
Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.
“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”
Perlindungan regulator
DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.
Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.
Startup
Status OJK
Angon
Tidak terdaftar
Tanijoy
Tidak terdaftar
Vestifarm
Tidak terdaftar
Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).
Startup
Status OJK
Investor
TKB90
Crowde
Terdaftar
Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse
97,12%
iGrow
Terdaftar
Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures
Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.
Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.
“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.
Kualitas kamera iPhone sudah pasti bakal terus meningkat seiring berjalannya waktu. Yang sulit diubah mungkin adalah dari segi kenyamanan penggunaan, terutama jika dibandingkan dengan ergonomi yang ditawarkan kamera tradisional.
Pengguna bisa saja menggunakan aksesori hand grip, tapi ini jelas menambah ketebalan iPhone secara drastis, yang berarti sederhananya kita mengorbankan portabilitas demi fungsionalitas. Apakah selamanya harus seperti itu? Kalau melihat grip bernama Fjorden berikut ini, semestinya kita bisa menjawab tidak.
Pengembangnya mengklaim Fjorden sebagai grip yang sangat pocketable. Tebalnya cuma 10,7 mm, atau 21 mm jika dipasangkan ke iPhone 12 Pro yang dibalut case. Sebagai perbandingan, charging case milik AirPods juga punya ketebalan 21,3 mm. Jadi kalau Anda bisa menyimpan case AirPods di saku celana jin model skinny, berarti Anda juga bisa menyelipkan iPhone dan Fjorden tanpa kesulitan.
Selain tentunya menghadirkan tonjolan untuk memantapkan genggaman, Fjorden turut menyajikan sejumlah elemen kontrol kamera. Yang pertama adalah tombol shutter dua tahap, yang dapat diklik separuh untuk mengunci fokus, dan diklik penuh untuk mengambil gambar. Di sebelahnya ada kenop customizable, yang bisa diprogram untuk mengatur shutter speed, aperture, ISO, maupun berbagai parameter exposure lainnya.
Ketiga, ada tombol multi-fungsi yang dapat diprogram sesuai kebutuhan, bisa untuk mengaktifkan fitur portrait mode, mengganti antara kamera depan dan belakang, dan lain sebagainya. Terakhir, Fjorden juga memiliki tuas kecil yang dapat digunakan untuk berpindah-pindah dari kamera wide, ultra-wide, dan telephoto.
Fjorden kompatibel dengan aplikasi kamera bawaan iPhone, tapi pengembangnya tentu juga menyediakan aplikasi kameranya sendiri dengan fitur yang lebih lengkap. Alternatifnya, pengguna juga bisa menggunakannya bersama aplikasi ProCamera maupun Obscura. Case milik Fjorden juga kompatibel dengan lensa tambahan besutan Moment.
Namun pengembang Fjorden rupanya belum puas sampai di situ saja. Berpegang pada filosofi desain Bauhaus, pengembangnya juga ingin Fjorden punya fungsi ekstra, yakni sebagai kickstand yang adjustable, baik dalam orientasi portrait maupun landscape. Saat sedang tidak diperlukan, semisal ketika sedang berada di dalam mobil, Fjorden juga bisa dilepas dengan mudah dari case-nya.
Fjorden terhubung ke iPhone via Bluetooth, dan itu berarti pengguna juga bisa memakainya sebagai sebuah remote control selagi sedang tidak terpasang. Fjorden menggunakan baterai kancing standar CR2430, dengan klaim daya tahan hingga 12 bulan. Saat sudah habis, baterainya bisa dilepas dengan mudah untuk diganti dengan yang baru.
Saat ini Fjorden sedang menjalani kampanye crowdfunding di Kickstarter, dengan target pengiriman paling cepat pada bulan Februari 2022. Untuk bundel lengkap yang mencakup case, harganya dipatok paling murah 139 euro, atau kurang lebih sekitar 2,4 jutaan rupiah.
After decided to continue with the registered donors, Saling Jaga crowdinsurance service by Kitabisa is now officially shutdown. Previously, the Investment Alert Task Force (SWI) asked Kitabisa to stop operating the platform as it was yet to obtain license from OJK.
DailySocial tried to confirm on this closure, but the team directed us to the official website which contains information on the closure and the next process for the donors involved.
“The statement said, “Saling Jaga is a mutual cooperation innovation product initiated by KitaBIsa Foundation. The Foundation and its programs, including Saling Jaga, are intended as a donation-based social program under the Money and Goods Collection Law (PUB). Ministry of Social Affairs. However, as an innovation product, we understand and respect the decision of the Financial Services Authority to re-evaluate the form of Saling Jaga licensing. Therefore, after considering various issues, and respecting the OJK’s direction in May 2021, it is with a heavy heart that we decide Saling Jaga to stop the operation. See you in another good will innovation program.”
The website also mentioned the return process for donors to send back the fund to their respective account. This application process will be opened from July 16 to July 31, 2021 and will be distributed on August 16 to 30, 2021. The balance distributed is the remaining balance as of August 16, 2021 (the current balance).
Permission issue
In a previous interview, Kitabisa’s Co-Founder & CEO, Alfatih Timur, revealed to DailySocial that Saling Jaga product has been registered with the OJK regulatory sandbox and currently waiting for further direction from the authorities. This service alone has been introduced to the public since April 2021.
“Kitabisa as a donation crowdfunding platform will still be held under the Money and Goods Raising Permit (PUB) of the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia,” Alfatih said.
Licensing issues became an obstacle which then triggered the closure of Saling Jaga service. Although it has registered with OJK’s regulatory sandbox, the concept, which resembles crowdinsurance and involves many people in the form of mutual cooperation, has gained regulator’s attention.
As of March 2021, Kitabisa noticed that there were more than 650 thousand members who had joined Saling Jaga and had distributed a total donation of Rp. 2 billion to 500 members who were diagnosed with Covid-19 or critically ill.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian