Tag Archives: CZ

Tokocrypto Binance Layoff

Diakuisisi Binance, Tokocrypto Lakukan Restrukturisasi Menyeluruh

Platform perdagangan aset kripto Tokocrypto kembali mengumumkan perubahan signifikan di dalam organisasi menyusul aksi penambahan kepemilikan oleh Binance selaku pemegang saham mayoritas perusahaan.

Tokocrypto melakukan pemangkasan karyawan (layoff) jilid kedua dengan penyesuaian hingga 58%. Di luar exchange, kegiatan unit usaha lainnya akan ditunda sementara waktu sampai nanti diselaraskan dengan rencana bisnis Tokocrypto di 2023.

Restrukturisasi organisasi

Binance resmi menambah kepemilikan porsi saham secara bertahap hingga hampir 100%. Dalam keterangan resminya, kesepakatan tersebut telah diputuskan kedua belah pihak kala Binance pertama kali menyuntik investasi ke Tokocrypto pada 2020 dengan nominal yang dirahasiakan.

Sebelumnya, CoinDesk Indonesia bilang Binance resmi mencaplok salah satu platform perdagangan aset kripto terbesar di Indonesia tersebut. Namun, Founder Binance Changpeng Zao (CZ) menanggapinya kalau Binance adalah pemegang saham mayoritas di Tokocrypto sejak awal. “[Binance] just injected more cash and increased our shareholding a bit,” tutur CZ lewat cuitannya.

Keputusan ini berdampak terhadap perubahan dan perampingan struktur organisasi agar dapat memenuhi aturan terbaru Bappebti. Alhasil, Founder dan CEO Tokocrypto Pang Xue Kai akan mundur dari posisinya dan menyerahkan bangku kepemimpinan kepada Yudhono Rawis selaku CEO Interim. Kai akan mendukung perusahaan dengan posisi barunya sebagai Dewan Komisaris.

Kemudian, Tokocrypto kembali memangkas jumlah karyawannya agar dapat fokus meningkatkan kinerja dan mengelola biaya operasional dengan situasi pasar yang sedang bergejolak ini. Sebelumnya, Tokocrypto telah melakukan layoff terhadap 45 pegawai dari total 227 karyawan pada September lalu.

“Keputusan ini dilakukan setelah melalui pertimbangan matang. Kami memutuskan bahwa langkah terbaik untuk Tokocrypto ke depan adalah memanfaatkan kemampuan Binance untuk membangun platform perdagangan fisik aset kripto yang berkelanjutan,” ujar Pang Xue Kai dalam keterangan resminya.

Namun, perusahaan memastikan tidak akan ada perubahan nama Tokocrypto, dan kedua perusahaan akan tetap beroperasi secara independen. “Tokocrypto hadir dari gagasan kami lebih dari empat tahun lalu, dan saya sangat bangga melihat setiap pertumbuhan, pencapaian, dan kontribusi yang telah dibuat perusahaan untuk memajukan ekonomi digital Indonesia,” tambah Kai.

Adapun, karyawan yang terdampak akan diberikan hak sesuai dengan aturan pemerintah dan mendapatkan rekomendasi pekerjaan ke perusahaan Web3 atau blockchain lain yang menjadi mitra Tokocrypto. Salah satunya adalah Binance.

CEO Interim Tokocrypto Yudhono Rawis menambahkan, “sangat disayangkan, kami harus melakukan perampingan perusahaan untuk memastikan kami tetap dalam posisi yang baik untuk menghadapi kondisi ekonomi makro yang tidak pasti. Kami menyampaikan permintaan maaf yang tulus kepada karyawan yang terkena dampak.”

Resmi hadir sejak 2018, Tokocrypto tercatat sebagai pedagang aset kripto yang pertama teregulasi di Bappebti. Perusahaan menerima pendanaan dari QCP Capital, perusahaan perdagangan aset digital dan investasi yang berbasis di Singapura. Di 2019, pihaknya meluncurkan Toko Launchpad untuk menjembatani proyek blockchain melalui Initial Exchange Offering (IEO).

Pasar kripto

Langkah ini dinilai akan mendukung pertumbuhan sektor Web3 di Indonesia di mana keduanya akan terus menciptakan lingkungan kripto yang patuh dan bertanggung jawab. Selain itu, Binance akan terus mendukung Tokocrypto untuk menjalin komunikasi erat dengan regulator di Indonesia untuk memastikan seluruh aktivitasnya taat aturan.

Bagi perusahaan, minat masyarakat terhadap investasi digital akan menjadi wadah yang tepat untuk mengadopsi produk/layanan Web3 dan menyediakan tempat uji coba untuk memperluas kemampuan blockchain lebih lanjut di Indonesia.

Berdasarkan laporan terbaru “Indonesia Crypto Outlook 2022” yang dirilis Asosiasi Blockchain Indonesia (A-B-I) dan Indonesia Crypto Network (ICN), pasar kripto telah tumbuh eksponensial sejak enam tahun terakhir. Penetrasi digital memicu pertumbuhan ekosistem blockchain dan kripto di Indonesia.

Saat ini, penetrasi internet mencapai 77% atau sebanyak 271 orang terhubung jaringan. Menariknya, laporan ini mengungkap jumlah investor kripto di Indonesia per Oktober 2022 sebanyak 16,4 juta orang, melampaui investor pasar modal yang sebesar 9,98 juta orang.

Namun, sepanjang periode Januari-Oktober 2022, transaksi kripto di Indonesia merosot hingga 61% atau menjadi Rp279,8 triliun dari periode sama tahun lalu yang menembus angka Rp717,99 triliun.

Mengutip Liputan6.comKetua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO) Teguh Kurniawan Harmanda menilai penurunan volume transaksi kripto di Indonesia terjadi karena efek domino krisis makroekonomi global. Pasar lesu akibat kebijakan moneter Amerika Serikat (AS),

“Guncangan sistem keuangan global bisa memberikan efek cukup besar bagi pasar kripto. Guncangan tersebut adalah situasi makroekonomi yang goyah akibat resesi dan geopolitik yang memanas. Hal ini bisa membuat situasi crypto winter bisa terjadi.” Tuturnya.

Application Information Will Show Up Here
Cryptocurrency di Indonesia

CZ: Daripada Berspekulasi, Mari Berdiskusi Penerapan dan Regulasi Kripto

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Aldi Haryopratomo bertatap muka dan berbincang dengan Founder & CEO Binance Changpeng Zhao (CZ), pada forum dialog resmi B20 yang juga bagian dari perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Rabu (16/11).

Dalam perbincangannya, CZ menyinggung banyak hal terkait industri kripto, dari topik dasar mengenai use case, masa depan, hingga situasi panas yang muncul pasca-pengajuan kebangkrutan bursa kripto global FTX baru-baru ini.

Aldi merangkum beberapa sari penting dari dialognya bersama CZ sebagaimana disampaikan dalam laman Medium pribadinya.

Internet dulu adalah teknologi baru untuk transfer informasi, kripto saat ini adalah teknologi baru untuk transfer nilai

Menurut CZ, sebagian besar masih mengasosiasikan kripto sebagai produk spekulatif yang sekalinya bisa terbang tinggi atau justru runtuh. Namun, [kripto] adalah cara berbeda dan baru untuk mentransfer sebuah nilai.

“Internet hanya lah sebuah teknologi baru untuk mentransfer informasi. Itu saja, hanya layanan data yang berjalan melalui kabel atau udara. Namun, berkat itu, kita dapat membangun seluruh industri. Ekonomi baru. Dunia virtual.”

Kripto punya banyak use case dan peluang model bisnis baru

Jika teknologi [dulu] berkaitan dengan informasi, teknologi baru yang ada saat ini [kripto] berkaitan dengan uang. Dampaknya akan sangat besar. Teknologi, dalam menciptakan bentuk lebih baik dari uang, akan menghasilkan bentuk lebih baik dari industri fintech dan keuangan, yang mana akan menjadi pilar dari setiap sektor lainnya.

[Kripto] menjadi bentuk investasi asing paling direct. Setiap pemimpin yang ia ajak bicara, mau berinvestasi langsung. Namun, kenapa tidak membiarkan pengusaha menggalang dana menggunakan blockchain, seperti ICO dan model lainnya? Ada banyak use case kripto. Saat Covid-19 Delta menyerang tahun lalu, penggalangan dana global berjalan efektif, koin dapat dipindahkan secara instan. Hak cipta pada aset digital NFT juga sudah ada.

“Kita dapat membangun model bisnis baru yang akan mengubah cara melakukan penggalangan dana, pembayaran, dan berinvestasi. Sekarang kita bisa lakukan micropayment, kirim uang lintas negara, NFT, Metaverse. Semua itu akan terjadi, bahkan sudah, seperti penggalangan dana global lewat ICO.”

Namun, pada kasus seperti penggalangan dana untuk tujuan keamanan—meski teknologinya memungkinkan—diregulasi dan diawasi terlalu ketat. Di Amerika Serikat (AS), pemerintahnya menjalankan duck test untuk menentukan suatu hal berjalan aman atau tidak. Umpamanya pada security, jika bersuara atau berjalan seperti bebek, ya berarti aman.

Maka itu, perlu edukasi dan awareness terkait pemanfaatan kripto terlepas dari spekulasi yang disiarkan oleh media arus utama. Dengan begitu, publik dan regulator dapat mempertimbangkan aspek keuntungan dan kerugian.

Pelaku industri dan regulator perlu kerja sama melindungi konsumen

Secara kolektif, CZ menilai industri berperan melindungi konsumen sehingga dapat memproteksi semua orang. Jangan hanya meregulasi pihak yang punya peran saja, tetapi juga yang tidak sepenuhnya tanggung jawab mereka.

Sebagian besar regulator yang telah diajak bicara bilang kekhawatiran terbesar mereka adalah orang akan kehilangan minat karena berspekulasi dengan koin kripto. Robohnya FTX justru malah memvalidasi ketakutan tersebut. Ini menjadi “wake-up call” bagi regulator dan pelaku industri.

Melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini, pihaknya berupaya untuk mengumpulkan para pelaku industri untuk membentuk asosiasi di skala global. “Kita berada di industri baru. Kita melihat beberapa minggu terakhir, banyak hal gila terjadi. Butuh regulasi untuk menjalankan ini dengan cara stabil dan benar.”

Kripto tak berbatas tapi regulasinya terbatas, membuatnya sulit diatur

“Ada semacam kekuatan penyeimbang antara teknologi dan inovasi versus konsep tradisional tentang country border. Jika kamu berpikir tentang perbatasan negara, sebetulnya itu adalah konsep buatan manusia, bukan? Artinya, secara alamiah, perbatasan negara itu tidak pernah ada. Ibaratnya, sekelompok orang setuju bahwa ini batas yang menjadi perbatasan.”

Pada kasus FTX, mereka beroperasi di luar Bahama, tetapi mengambil deposit dari Singapura, AS, Eropa, dll. Artinya, orang dapat memindahkan uangnya ke luar perbatasan negara mereka. Sekarang, [crypto] exchange telah runtuh, pemerintah pasti bakal mencari cari untuk melindungi warganya dari kehancuran di masa depan.

Ia menilai, sebuah framework untuk mengatur cara kripto pada negara-negara G20 diperlukan. Pelaku industri perlu bertanggung jawab dan harus menghadapi upaya regulator dalam menuntut kejelasan.

Memungut pajak kripto rumit, tapi perlu. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

“Dalam dunia kripto, hanya sedikit konsep tentang perbatasan negara. Jika Anda memungut pajak pada perusahaan, transaksi, kantor pusat, tren di negara terkait, ini akan memengaruhi transaksi setempat. Seluruh transaksi akan bergeser ke platform global di mana pajak yang akan dipungut sangat kecil.”

Dengan kata lain, pemerintah harus memberikan lisensi dengan mudah agar dapat memungut pajak pendapatan dengan layak. Ketika memberikan lisensi, pemerintah dapat meminta data. Jika tidak memberikan lisensi, platform bakal mencari cara lain, seperti beroperasi offshore. Sebaiknya, jangan kenakan pajak pada transaksi pengguna, melainkan pada perusahaannya.

CZ juga menyentil tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk memungut pajak pada transaksi kripto. Menurutnya, aturan ini akan menambah gesekan baru yang berpotensi mendorong orang melarikan uangnya ke luar dari Indonesia. Justru itu hal yang ditakuti oleh Central Bank.

Namun di sisi lain, memungut pajak pendapatan membutuhkan kapabilitas yang justru belum dimiliki oleh sebagian besar otoritas pajak. IRS menerapkan rezim pajak global. Warga negara AS membayar pajak penghasilan di mana pun mereka tinggal. Pemerintah telah membangun infrastruktur, kapabilitas, dan alat untuk memantau warganya.

Masalahnya, banyak negara belum memiliki hal tersebut. Ini adalah pilihan sulit bagi regulator pajak.

Uang dan bakat mengalir ke negara yang paling banyak berinovasi

“Ketika kamu melakukan pencarian di Google, mengklik iklan di Twitter, itu dijalankan oleh perusahaan di AS. Tanpa batas. Ketika kamu mengklik iklan, pendapatan itu masuk ke AS atau negara lain, atau bisa jadi, perusahaan lokal tetapi melayani pengguna di seluruh dunia.”

Berbeda dengan dunia blockchain. Di era post-internet, skalanya jauh lebih global. Setiap orang di negaranya perlu mengembangkan talenta, disebut juga sebagai ekonomi Web3. Dengan begitu, mereka dapat melayani skala dunia. Semakin baik suatu negara, semakin baik [warga] negara menjalankannya, dan semakin banyak yang dapat mereka hasilkan.

Sama seperti teknologi baru lain, suatu negara bakal mengadopsi lebih cepat daripada yang lain. Hari ini bisa saja Dubai, tahun depan bisa yang lain. Dengan kata lain, regulasi pada akhirnya akan mengejar inovasi. Memang begitu.

Pertanyaannya, negara mana yang paling cepat beradaptasi untuk memanfaatkan perubahan teknologi secara ‘tektonik’ ini dalam bagaimana kita menggerakkan uang?