Tag Archives: DAC

DAC Portabel THX Onyx Diciptakan untuk Para Penikmat Audio Berkualitas Master

Bagi sebagian besar orang, DAC (digital-to-analog converter) bawaan smartphone atau laptop sudah lebih dari cukup. Kebanyakan mungkin malah tidak menyadari bahwa komponen inilah yang bertugas mengonversi sinyal-sinyal digital dari sebuah file audio menjadi output analog yang dapat didengar oleh telinga.

Sebaliknya, kalangan audiophile hampir bisa dipastikan selalu mengandalkan perangkat DAC terpisah, entah yang berukuran besar dan berat, maupun yang sangat portabel dan berwujud seperti adaptor USB ke 3,5 mm. Di kategori DAC portabel ini, salah satu penawaran terbaru yang cukup menarik untuk disoroti datang dari THX.

Dijuluki THX Onyx, wujudnya tergolong low profile dengan warna serba hitam. Sesuai ekspektasi, ia mengemas konektor USB-C dan port 3,5 mm di ujung satunya. Menyambungkan kedua konektor tersebut adalah seutas kabel pendek yang fleksibel, dan bagian konektor USB-nya juga dilengkapi magnet sehingga bisa menempel ke bagian utamanya demi memudahkan penyimpanan.

Selain di smartphone Android, perangkat ini juga bisa digunakan di iPhone dengan bantuan adaptor Lightning ke USB. Ya, memang jauh dari kata ideal karena harus menggunakan dongle demi dongle, tapi setidaknya kompatibilitasnya bisa tetap terjaga. Pada paket penjualan Onyx, THX turut menyertakan adaptor USB-C ke USB-A sehingga laptop yang tidak memiliki port USB-C pun tetap bisa dipasangi Onyx.

Kinerjanya sendiri ditunjang oleh chip DAC ES9281PRO besutan ESS yang ditandemkan dengan amplifier rancangan THX sendiri. Menurut THX, amplifier milik Onyx adalah yang paling perkasa yang pernah mereka buat untuk segmen mobile, dan sangat kapabel untuk menyalurkan daya yang cukup buat headphone kelas audiophile, yang umumnya memiliki impedansi jauh di atas rata-rata.

Format audio yang didukung cukup bervariasi; bukan cuma DSD (Direct Stream Digital), tapi juga MQA (Master Quality Authenticated) seperti yang digunakan oleh Tidal pada layanan paling premiumnya. Di samping logo THX pada perangkat, ada tiga indikator LED untuk menandakan kualitas audio yang sedang diputar (standar, DSD, atau MQA). Selain untuk menikmati musik, Onyx juga cocok untuk kegiatan menonton maupun gaming.

Di Amerika Serikat, THX Onyx saat ini telah dipasarkan dengan harga $200. Harganya lebih mahal $50 daripada DAC portabel besutan Astell & Kern yang diluncurkan belum lama ini, namun perangkat itu tidak mendukung format MQA.

Sumber: Engadget dan THX.

Astell & Kern Luncurkan DAC USB-C, Cocok untuk Smartphone yang Tak Dilengkapi Headphone Jack

Smartphone tanpa headphone jack tentu bukan sesuatu yang mengherankan lagi di tahun 2021 ini, apalagi kalau melihat sebagian besar dari kita yang sudah terbiasa menggunakan TWS. Namun apakah itu berarti headphone non-wireless yang kita miliki harus dimuseumkan begitu saja?

Tentu tidak, karena masih ada yang namanya dongle USB-C (atau Lightning jika Anda menggunakan iPhone). Berkat aksesori ini, kita tetap bisa menyambungkan headphone ke ponsel via konektor 3,5 mm, dan itu juga tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya komponen bernama DAC (digital-to-analog converter) di dalam dongle tersebut.

Kualitas tiap DAC tentu berbeda. Ada yang murah tapi berkualitas standar, ada juga yang mahal tapi dirancang untuk memaksimalkan kapabilitas dari suatu headphone atau earphone kelas high-end. Kalau yang Anda cari adalah tipe DAC yang kedua ini, Anda bisa melirik penawaran terbaru dari Astell & Kern.

Produsen asal Korea Selatan yang dikenal akan lini DAP (digital audio player) portabelnya itu baru saja meluncurkan sebuah DAC mini yang cukup menarik. Sepintas ia kelihatan seperti kebanyakan dongle USB-C ke 3,5 mm yang ada di pasaran, akan tetapi ukurannya sedikit lebih bongsor karena harus mengemas komponen kelas audiophile.

Komponen yang dimaksud adalah sepasang chip DAC Cirrus Logic CS43198 MasterHIFI yang mendukung pemutaran file audio dalam format native PCM 32-bit/384kHz DSD256. Dipadukan dengan desain sirkuit audio dan sejumlah komponen kelistrikan yang sama seperti yang digunakan pada lini DAP Astell & Kern, DAC ini siap dipasangkan bersama headphone atau earphone kelas high-end yang Anda miliki.

Menariknya, meski hanya mengandalkan suplai daya dari perangkat yang terhubung, DAC ini diklaim masih sanggup menenagai headphone berimpedansi tinggi dengan output level 2 Vrms. Konektor USB-C berarti ia dapat digunakan bersama perangkat Android maupun Windows dan macOS. Sayangnya, ia sama sekali tidak kompatibel dengan platform iOS, termasuk iPad Pro generasi terbaru yang dilengkapi port USB-C.

Secara estetika, perangkat bernama lengkap AK USB-C Dual DAC Cable (PEE51) ini sengaja dirancang dengan gaya desain yang serupa seperti lini DAP Astell & Kern. Ukurannya boleh kecil, akan tetapi rangkanya sepenuhnya terbuat dari bahan logam yang premium. Bobotnya sendiri hanya berada di kisaran 25 gram.

Seperti yang bisa ditebak dari produk-produk Astell & Kern, harga DAC ini jauh dari kata murah: $149. Meski begitu, target pasar yang dituju tentu adalah mereka yang selama ini tidak segan mengucurkan ratusan hingga ribuan dolar hanya untuk sebuah headphone. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai bulan Mei mendatang.

Sumber: The Verge dan What Hi-Fi.

Astell & Kern Luncurkan A&futura SE200, Pemutar Musik Portable dengan Dua Jenis DAC yang Berbeda

Dual DAC, Quad DAC, teknologi multi DAC (digital-to-analogue converter) sebenarnya sudah bukan barang baru di industri perangkat audio. Teknologi ini bahkan sempat merambah kategori smartphone berkat LG, meski gaungnya sekarang tergolong mereda karena LG sendiri sudah tidak seagresif dulu.

Yang belum eksis adalah bagaimana dua DAC dari dua pabrikan yang berbeda dapat dijejalkan ke dalam satu perangkat pemutar audio demi memberikan konsumen kontrol penuh atas karakteristik suara perangkat yang digunakannya. Itulah tantangan yang hendak dijegal Astell & Kern selama mengembangkan portable music player (PMP) terbarunya, A&futura SE200.

Pada kenyataannya, audio memang merupakan topik yang sangat subjektif. Apa yang terdengar enak di telinga saya belum tentu enak di telinga Anda, demikian pula sebaliknya. Di saat saya cocok dengan karakteristik suara yang dihasilkan model DAC tertentu, Anda belum tentu cocok dengannya.

Solusinya, kalau menurut A&K, adalah dua model DAC yang berbeda dalam satu perangkat. Satu datang dari AKM (AK4499EQ), satu lagi dari ESS (ES9068AS) dalam konfigurasi ganda. Keduanya tentu dilengkapi unit amplifier-nya masing-masing demi memastikan karakteristik tiap DAC tidak tercampur. Usai memilih DAC yang ingin dipakai, pengguna dapat menambahkan sejumlah filter untuk menerapkan kustomisasi lebih lanjut pada karakteristik suaranya.

Astell & Kern A&futura SE200

A&futura SE200 merupakan penerus langsung dari A&futura SE100 yang dirilis dua tahun silam. Desain fisiknya sepintas mirip, namun kelihatan lebih elegan berkat perpaduan apik antara sudut-sudut yang lancip dengan garis-garis melengkung. Kenop volume khas A&K di sini dibekali lampu LED yang bisa berganti-ganti warna tergantung tipe file audio yang diputar.

Secara teknis, SE200 tidak akan kesulitan memutar file audio Hi-Res 32-bit/384kHz atau DSD256 sekalipun. Ia juga mendukung format MQA, format berkualitas tinggi yang dipakai oleh layanan streaming Tidal pada paket termahalnya (HiFi). File audionya sendiri dapat diputar langsung dari penyimpanan internal perangkat sebesar 256 GB atau lewat kartu microSD (maksimum yang berkapasitas 1 TB).

Pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 5 inci beresolusi 720p. Di samping Wi-Fi, perangkat turut mengemas konektivitas Bluetooth aptX HD, dan baterainya diklaim mampu bertahan sampai 14 jam pemakaian. Satu hal yang cukup menarik, port USB-C miliknya tak hanya berfungsi untuk charging, tapi juga untuk disambungkan ke komputer atau laptop sehingga perangkat bisa difungsikan sebagai DAC eksternal.

Seperti halnya produk Astell & Kern lain maupun perangkat-perangkat di segmen audiophile secara umum, banderol A&futura SE200 tidak murah. Di Amerika Serikat, ia ditawarkan seharga $1.799, atau $100 lebih mahal daripada pendahulunya.

Sumber: The Verge dan Astell & Kern.

Fiio Luncurkan Headphone dan Portable Amplifier Wireless Kelas Hi-Fi

Fiio meluncurkan dua perangkat audio wireless baru yang menarik. Yang pertama adalah headphone Bluetooth bernama Fiio EH3 NC, dan seperti yang sudah bisa ditebak dari namanya, perangkat ini mengemas active noise cancelling (ANC) sebagai salah satu fitur unggulannya.

Fiio bilang sistem ANC yang diusung sekelas dengan yang terdapat pada headphone kelas atas. Kemampuannya mengeliminasi suara luar ini diwujudkan oleh empat buah mikrofon yang bertugas menangkap suara ambient, sebelum akhirnya suara tersebut dibuat sirna oleh chip DSP (digital signal processing) terpisah.

Fiio EH3 NC

Kualitas suaranya sendiri dijamin oleh sepasang driver yang berukuran sedikit lebih besar daripada biasanya (45 mm). Desain driver yang mengandalkan diaphragm dua sisi berlapis titanium ini diyakini mampu menyajikan bass yang menendang. Hal ini turut didukung oleh fakta bahwa EH3 NC telah mengantongi sertifikasi Hi-Res Audio dan Hi-Res Audio Wireless.

Wireless? Ya, Fiio dengan bangga menyebut bahwa headphone noise cancelling pertamanya ini mengemas chip Bluetooth 5.0 unggulan Qualcomm, CSR8675. Codec yang didukung pun beragam, mulai dari aptX, aptX Low Latency, aptX-HD, sampai SBC dan LDAC. Juga mengesankan adalah daya tahan baterainya: hingga 50 jam pemakaian, atau hingga 30 jam kalau ANC-nya terus diaktifkan.

Fiio BTR5

Perangkat yang kedua adalah Fiio BTR5, portable amplifier sekaligus DAC (digital-to-analog converter) yang juga dibekali konektivitas Bluetooth 5.0 dari chip Qualcomm CSR8675 yang sama. Codec yang didukung pun identik, dan perangkat ini mampu memproses file audio dengan resolusi maksimum 24-bit/96kHz meski sedang tersambung via Bluetooth.

Sambungkan sebagai DAC biasa via USB-C, maka resolusi yang didukung bisa mencapai angka 384kHz sekaligus format native DSD. Untuk memantau formatnya, BTR5 mengemas layar OLED kecil yang dapat menampilkan beragam indikator, termasuk indikator baterainya, yang diklaim tahan sampai 9 jam penggunaan.

Di Singapura, kedua perangkat ini sekarang sudah dipasarkan seharga S$329 (Fiio EH3 NC) dan S$179 (Fiio BTR5).

Analogue DAC Siap Maksimalkan Sesi Nostalgia Anda Bersama Console Lawas

Analogue Super Nt dan Analogue Mega Sg, dua perangkat tersebut merupakan reinkarnasi console lawas yang terlahir untuk generasi modern. Keduanya sama-sama masih mengandalkan sistem cartridge seperti perangkat orisinalnya, akan tetapi output grafik pixelated-nya bisa kita nikmati di TV full-HD atau 4K sekalipun.

Namun bagaimana seandainya ada konsumen yang justru ingin menikmati semua itu sesuai aslinya, alias memainkannya di hadapan TV tabung yang beresolusi rendah? Itulah yang menjadi alasan di balik lahirnya Analogue DAC, sebuah digital-to-analog converter yang dirancang untuk menjadi perantara console bikinan Analogue dan TV lawas.

Analogue DAC

Sesuai namanya, Analogue DAC berfungsi untuk mengubah sinyal digital yang berasal dari sambungan HDMI milik Super Nt atau Mega SG tadi menjadi sinyal analog, sehingga yang diterima oleh TV pada akhirnya adalah sinyal analog. Perangkat ini memanfaatkan HD15 (VGA) dan RCA stereo sebagai sambungan output video dan audionya.

Output video yang didukung sendiri bukan sekadar RGB, tapi juga component, S-video, dan composite, demi menjamin kompatibilitasnya dengan berbagai display kuno yang masih mengandalkan teknologi CRT (cathode-ray tube).

Kalau Anda sudah punya Super Nt atau Mega Sg, dan kebetulan masih memiliki simpanan TV tabung yang fungsional, Analogue DAC siap menyuguhkan sesi nostalgia yang lebih maksimal lagi. Perangkat ini sekarang sudah dipasarkan seharga $80.

Sumber: VentureBeat.

V-MODA Luncurkan Kabel Lightning untuk Pengguna iPhone yang Benci Adaptor Headphone

April lalu, Master & Dynamic meluncurkan kabel Lightning dan USB-C untuk pengguna headphone yang ponselnya tak lagi dilengkapi jack 3,5 mm. Kabel tersebut jauh dari kata murah, apalagi jika dibandingkan dengan adaptor 3,5 mm yang banyak beredar di pasaran. Kendati demikian, menggunakannya masih jauh lebih praktis ketimbang harus mengandalkan adaptor alias dongle.

Namun $69 belum seberapa jika dibandingkan dengan kabel serupa keluaran V-MODA. Kabel dengan konektor Lightning dan 3,5 mm di ujung satunya ini dibanderol $101, setara dengan kabel sejenis dari Shure. Bedanya, kabel milik V-MODA ini kompatibel dengan mayoritas headphone yang memang bisa dilepas-pasang kabelnya.

V-MODA SpeakEasy Lightning Cable

Mengapa harus sedemikian mahal? Selain karena fisiknya yang diklaim tangguh, kabel sepanjang 1,3 meter ini mengusung DAC (digital-to-analog converter) 24-bit beserta headphone amp berdaya 31 mW. Singkat cerita, kabel ini semestinya bisa lebih memaksimalkan kapabilitas headphone yang digunakan daripada adaptor 3,5 mm keluaran Apple sendiri.

Seperti keluaran Master & Dynamic, kabel milik V-MODA ini juga dilengkapi mikrofon dan remote tiga tombol yang bisa dipakai untuk mengontrol jalannya musik atau memanggil Siri. Sebagai pemanis, V-MODA menyertakan garansi setahun untuk kabel ini, dan setelahnya, konsumen akan diberi potongan harga 50% seandainya kabelnya rusak dan perlu diganti baru.

Sumber: The Verge.

SteelSeries Arctis Pro dan GameDAC Tawarkan Solusi Lengkap Ber-gaming Dengan Audio Hi-Res

Baik buat sekadar mendengarkan musik atau sebagai alat menikmati konten multimedia hingga gaming, Anda tak akan kekurangan pilihan headphone premium. Tentu saja selain headset, sejumlah aspek lain perlu terpenuhi agar audio terhidang maksimal, misal dukungan format suara beresolusi tinggi hingga DAC mumpuni. Tapi tak semua produk menyediakan satu solusi lengkap.

Inilah alasan mengapa SteelSeries menawarkan Arctis Pro + GameDAC untuk para gamer. Arctis Pro + GameDAC diklaim sebagai sistem audio bersertifikasi high resolution pertama di dunia, merupakan bundel berisi headphone Arctis Pro dan unit digital-to-analog converter kelas audiophile berteknologi ESS Sabre. Kombinasi keduanya menjanjikan output suara murni serta bertenaga, dihantarkan dari PC atau PlayStation 4 ke telinga Anda.

SteelSeries Arctis Pro + GameDAC 1

Arctis Pro merupakan penerus lineup Arctis yang diperkenalkan pada bulan Oktober 2016 silam. Headset mengusung penampilan hampir serupa pendahulunya, dengan ear cup over-ear lonjong plus pencahayaan LED RGB membingkai area ujung housing speaker. Headband-nya mengadopsi konstruksi Siberia V2, terdiri dari dua bagian – struktur keras di luar dan strap lentur buat mencengkeram kepala. Kemudian, lengan microphone lenturnya juga dapat dimasukkan ke dalam housing.

SteelSeries Arctis Pro + GameDAC 3

Arctis Pro juga menjadi headphone pertama bersenjata DTS Headphone:X versi kedua, yakni sebuah teknologi yang memungkinkan tersajinya suara secara tiga dimensi tanpa memerlukan setup home theater multi-speaker. Sebagai jantungnya, SteelSeries memanfaatkan driver neodymium 40mm, kabarnya mampu mereproduksi suara hingga frekuensi 40.000Hz, hampir dua kali lipat kapabilitas headset gaming lain di 22.000Hz.

SteelSeries Arctis Pro + GameDAC 2

GameDAC-nya berada terpisah dari headphone, dengan wujud seperti kaplet raksasa berwarna hitam. Alat ini dibekali kenop pengaturan volume, beberapa port dan tombol, serta layar OLED – memungkinkan pengguna mengintip info terkait output, mengaktifkan mode Hi-Res dan mengutak-atik equalizer. Di dalam, GameDAC menyimpan chip DAC ESS Sabre 9018 Reference untuk menghasilkan audio 96kHz/24-bit dengan dynamic range 121-desibel.

SteelSeries Arctis Pro + GameDAC 4

SteelSeries Arctis Pro + GameDAC siap mendukung dua platform, yaitu PC dan PlayStation 4. Alternatifnya, SteelSeries turut menawarkan headset Arctis Pro tanpa GameDAC yang kompatibel ke sistem game seperti Xbox One, Switch dan Mobile; serta Arctis Pro Wireless yang bisa tersambung tanpa kabel.

Harga ketiga produk anyar SteelSeries ini memang cukup premium:

  • Arctis Pro + GameDAC: US$ 250
  • Arctis Pro: US$ 180
  • Arctis Pro Wireless: US$ 330

Walaupun kita berada di zaman serba nirkabel, saya jelas lebih memfavoritkan bundel Arctis Pro + GameDAC dibanding versi wireless, karena buat saya, kualitas audio jauh lebih krusial dibanding portabilitas.

Sennheiser GSX 1000 Adalah Amplifier Khusus untuk Gaming

Bukan rahasia apabila Sennheiser dicintai kalangan audiophile, tapi di saat yang sama mereka juga menawarkan sejumlah gaming headset berkualitas. Selain headset, pabrikan asal Jerman itu rupanya juga memiliki amplifier yang diciptakan khusus untuk gaming.

Dinamai Sennheiser GSX 1000, ia merupakan sebuah amplifier USB eksternal yang menjanjikan pengalaman audio virtual surround 7.1. Kehadiran berbagai preset, mulai dari Cinematic Gaming sampai Esport, memastikan ia dapat memenuhi beragam kebutuhan konsumen.

Sennheiser GSX 1000

Audio dalam game tidak harus yang kedengaran paling nyata, terutama ketika berhadapan dengan game kompetitif. Menggunakan preset Esport di game bertipe shooter misalnya, pengguna dapat mengetahui dari mana sumber suara tembakan berasal, sehingga pada akhirnya bisa bereaksi dengan lebih sigap.

Meski fokusnya pada gaming, GSX 1000 masih cukup ideal untuk sesi menikmati musik berkat DAC (digital to analog converter) terintegrasinya. Yang unik dari GSX 1000 adalah premis desain binaural, yang berarti suara untuk setiap channel stereo akan diolah secara terpisah.

Sennheiser GSX 1000

Secara desain, GSX 1000 tampak cukup atraktif sekaligus fungsional. Tepat di tengahnya merupakan layar LED berbekal panel sentuh kapasitif yang akan menyala ketika tangan pengguna mendekat, dan cincin aluminium yang mengitarinya merupakan kenop volume.

GSX 1000 memiliki tiga macam input: speaker, headphone dan mikrofon, lalu di sisi kanannya ada sebuah kenop kecil untuk mengatur volume mikrofon tersebut. Ia menyambung ke PC atau Mac via USB.

Secara keseluruhan, Sennheiser GSX 1000 terkesan sebagai solusi yang lebih praktis ketimbang sebuah sound card. Namun kepraktisan itu pastinya harus ditebus dengan harga yang lebih mahal, tepatnya $230.

Sumber: VentureBeat.

[Review] Astell&Kern AK70, Digital Audio Player Portable Fenomenal Pemuas Dahaga Audiophile

Kehadiran perangkat bergerak mengubah cara kita menikmati hiburan digital, dan kepopularitasannya turut menggerus produk-produk dedicated seperti music player. Tapi ada dampak positif dari hal itu: konsumen kini lebih mudah memilih dan produsen semakin serius menggarapnya. Di tahun 2013, Irivier asal Korea Selatan mulai masuk ke segmen ini, memperkenalkan brand Astell&Kern.

Setelah melakukan debutnya dengan media player AK100, Astell&Kern terus memperluas deretan produk audionya ke ranah in-ear monitor, headphone, CD player sampai network audio system. Di tahun ini, Astell&Kern merilis AK70, dijanjikan sebagai digital audio player hi-res canggih yang bisa Anda miliki diharga masuk akal. Klaim ini tampaknya punya landasan cukup kuat, buktinya, banyak audiophile menyukai Astell&Kern AK70.

AK70 7

Meski musik sudah jadi hal wajib untuk menemani saya dalam beraktivitas sehari-hari, perlu Anda tahu bahwa saya bukanlah individu bertelinga emas. Terlepas dari itu, Orion Kreatif Elektronik selaku distributor produk Astell&Kern di indonesia sangat dermawan memberi saya kesempatan menguji kecanggihan music player portable ini di era ‘paska-iPod’. Betulkah ia secanggih kata orang? Silakan simak ulasannya.

Design

Dari sisi penampilan, AK70 memanfaatkan arahan desain khas perangkat media Astell&Kern sebelumnya. Wujudnya non-ergonomis, memiliki tubuh balok dengan penempatan panel dan tombol asimetris. AK70 memiliki layar sentuh 3,3-inci di depan; tiga tombol navigasi (prev, pause, next) dan slot kartu microSD di sisi kiri; tombol power/screen-off, port output 3,5mm dan 2,55mm di atas; kenop pengaturan volume di kanan; dan port microUSB untuk charging dan transfer file di bawah.

AK70 9

AK70 mempunyai dimensi 60,3×96,8×13-milimeter dan bobot 132-gram. Case-nya memanfaatkan material aluminium, ada lapisan plastik transparan berpola di bagian punggung, lalu layar dibingkai oleh area berwarna hitam.

Ukuran AK70 sengaja diminimalisir agar music player ini bisa mudah dibawa-bawa, dan seperti sewaktu menggunakan iPod classic, saya lebih nyaman menyimpan AK70 di kantong celana ketimbang jaket/baju. Beratnya lebih ringan dari asumsi saya, namun bagian tepi yang menyudut dan tajam berpotensi merusak celana Anda, terutama jika ukurannya ketat.

AK70 14

AK70 11

Walaupun begitu, saya menyukai arahan desain konservatif dan industrial tersebut. Secara tidak langsung, AK70 mempresentasikan dirinya sebagai perangkat pencinta musik serius, bukan sekedar produk lifestyle biasa. Kemudian, warna hijau-biru ‘Misty Mint’ di sana memberi kesan playful.

AK70 3

AK70 2

Interface, content & navigation

Astell&Kern AK70 beroperasi di atas versi modifikasi platform Google Android. Tentu saja tak seperti smartphone, UI-nya jauh lebih sederhana agar pemakaiannya sederhana. Resolusi 800x480p di layar sentuh TFT cukup lapang dalam memberikan Anda keleluasan navigasi. Tombol-tombol di sana cukup besar buat mengakomodasi semua ukuran jari. Dan layaknya perangkat Android, segala fungsi dan fiturnya (DAC, Bluetooth, sampai mengatur kecerahan) bisa diakses cukup dengan menarik dashboard.

AK70 1

Produsen juga tidak melupakan pernak-pernik kecil yang berportensi memengaruhi kenyamanan pemakaian. Contohnya saat fungsi shuffle diaktifkan, AK70 tetap mengingat tampilan terakhir yang Anda buka, sehingga Anda dapat melanjutkan browsing musik dari lokasi tersebut.

AK70 10

Saya menyukai sensasi dari resistansi kenop volume. Dengannya, pengaturan bisa dilakukan saat layar tidak aktif. Kendalanya ialah, menyelipkan AK70 ke kantong berpeluang mengubah volume secara tidak sengaja.

AK70 17

AK70 13

Features & connectivity

Salah satu selling point terbesar AK70 adalah chip DAC Cirrus Logic, menyajikan performa suara di atas level smartphone. Menariknya, Anda bisa menyambungkan media player ini ke DAC eksternal melalui port USB – mem-bypass DAC internalnya. Anda juga dapat menghubungkan AK70 ke PC dan mengaktifkan mode DAC, mendongkrak kinerja output audionya. Dan bukan itu saja, tersedia mode Line Out yang dapat mengubah device jadi jembatan antara PC dengan speaker.

AK70 8

DAC Cirrus Logic mendukung audio 24-bit/192KHz PCM, lebih tinggi dari kualitas maksimal iPhone di ‘level CD’, yakni 16-bit/44.1kHz.

AK70 6

Sentuhan fitur audiophile lain terdapat pada jack audio 2,5mm, memungkinkan Anda memasang balanced headphone untuk memperoleh kontras volume yang lebih tinggi. Jika sudah memilikinya, Anda sangat disarankan memanfaatkannya. Untuk sambungan Bluetooth, AK70 telah ditopang aptX, namun selama uji coba ini, saya menggunakan earphone/headphone kabel standar. Kemudian terdapat pula Wi-Fi demi mengakomodasi update software.

Performance & using experience

Jangan remehkan tubuh kecil AK70, music player ini sanggup menghidangkan output membahana – mampu menangani file terkompresi seperti MP3 (16-bit/44,1KHz.) secara optimal tapi performa sesungguhnya baru terasa ketika ia menyajikan musik-musik beresolusi tinggi (24-bit/192KHz atau DSD 2,8MHz, beberapa sampel-nya sudah dibundel di dalam).

Unit review ini sudah diisi lagu-lagu hi-res, beberapa contohnya ialah Tears in Heaven-nya Ayako Hosakawa, Storms Are on the Ocean oleh Amber Rubarth, This Year’s Kisses-nya Ella Fitzgerald atau Nightingale oleh Norah Jones. Karakteristik suaranya adalah energik, jernih serta dinamis, dan sanggup mensimulasi ruang.

AK70 4

AK70 sangat andal menangani berbagai genre lagu, dari mulai rock seperti Mastodon (Asleep In the Deep) dan One OK Rock (Mighty Long Fall) sampai rentetan kreasi Fourplay. Suara Benjamin Burnley di Ashes of Eden terdengar penuh, lalu gebukan drum Ben Thatcher dari Royal Blood di Out of the Black terasa lengkap dan bertekstur. Ada ruang antara gitar elektrik, shaker dan vokal tanpa mengorbankan keutuhan ritmenya. Mid-range-nya lapang sehingga lirik tidak termakan oleh ramainya suara instrumen.

AK70 17

Media player ini membuat banyak lagu yang sudah sering saya dengar kembali menyegarkan, entah apakah itu playlist Michael Bublé ataupun Metallica. Awalnya hanya sekedar untuk menguji performa AK70, mendengarkan lagu-lagu lawas David Bowie – khususnya Starman, Ziggy Stardust dan Moonage Daydream – kini jadi ritual saya sebelum tidur.

Astell&Kern AK70 dibekali baterai 2.200mAh, dan dengan mematikan sambungan wireless, digital audio player tersebut dapat menyuguhkan playback berdurasi 12 sampai 13 jam. Sewaktu di-charge, AK70 tetap bisa beroperasi, tapi dengan begitu temperatur jadi naik dan saya ragu apakah hal ini diperbolehkan atau tidak.

AK70 12

Untuk edit dan transfer file, AK70 tidak membutuhkan software khusus. Itu berarti, penyajiannya tidak ‘semewah’ iDevice dengan iTunes-nya, namun saya menyukai kesederhanaan ini. Saat tersambung ke PC, AK70 akan terbaca sebagai device eksternal biasa, dan selanjutnya Anda tinggal melakukan drag-and-drop file audio. Kemudian buat belanja lagu, tinggal aktifkan Wi-Fi lalu buka menu Store.

AK70 15

Satu hal lagi: AK70 dilengkapi penyimpanan internal 64GB, cukup besar, tapi seandainya belum puas, Anda bisa menambahkan kartu microSD maksimal sebesar 256GB.

Verdict

Untuk sebuah music player kelas audiophile, Astell&Kern AK70 dijajakan di harga yang logis. Ia mengasikkan sewaktu digunakan bahkan saat sekedar dibawa-bawa. Memang ada alternatif lebih murah dalam menikmati audio beresolusi tinggi, namun daya tahan baterai dan luasnya flash memory memastikan AK70 unggul dibanding produk rival, misalnya Sony NW-A10. Jika kualitas musik merupakan hal utama bagi Anda, maka Anda tidak perlu melirik ke mana-mana lagi.

Kekurangannya? Seperti yang sempat saya bahas, penggunaan kenop buat pengaturan volume punya efek samping sewaktu Anda mengantongi AK70. Lalu, AK70 juga belum dibekali dukungan layanan streaming musik.

Tentu anggapan ‘ekonomis’ bagi kalangan audiophile cukup berbeda dari khalayak awam. Segala kecanggihan Astell&Kern AK70 harus Anda bayarkan di harga yang cenderung tinggi buat sebagian orang. Di Indonesia, AK70 ditawarkan seharga Rp 9 juta.

Salah satu situs ecommerce di Indonesia memajang perangkat ini di etalase mereka, Anda bisa melihatnya lewat tautan ini.

Oppo HA-2SE Ubah Smartphone Jadi Pemutar Musik Berkualitas, Bahkan yang Tak Punya Jack Headphone Sekalipun

Mungkin tidak banyak orang yang tahu, tapi Oppo sebenarnya merupakan produsen perangkat audio yang cukup dipandang di kalangan audiophile lewat produk seperti headphone berjenis planar magnetic maupun headphone amplifier berwujud ringkas nan sangat andal. Dan reputasi ini terus dipertahankan dengan perangkat terbarunya yang bernama Oppo HA-2SE.

HA-2SE merupakan kelanjutan dari HA-2, sebuah kombinasi headphone amplifier dan DAC (digital-to-analog converter) berwujud ringkas yang menuai pujian dari banyak reviewer perangkat audio. Desain HA-2SE tidak banyak berubah, masih solid dan elegan seperti sebelumnya.

Sepintas HA-2SE kelihatan seperti versi bongsor iPhone 4 yang dibalut oleh material kulit premium. Pada kenyataannya, bodi aluminiumnya tergolong tipis di angka 12 mm, dan bobotnya hanya berkisar 175 gram saja.

Oppo HA-2SE menerima input dari smartphone lewat USB, menjadikannya ideal untuk yang tidak dilengkapi jack headphone / Oppo
Oppo HA-2SE menerima input dari smartphone lewat USB, menjadikannya ideal untuk yang tidak dilengkapi jack headphone / Oppo

Perubahan signifikan ada di dalamnya, dimana Oppo telah menyematkan chip DAC terbaru buatan ESS Technology, sanggup mengolah format audio lossless beresolusi tinggi, baik PCM 384 kHz/32-bit maupun DSD256. Tidak ketinggalan juga sebuah amplifier Class AB yang memiliki rasio signal-to-noise lebih baik ketimbang milik pendahulunya.

Pada dasarnya, Oppo HA2-SE punya misi untuk menyulap smartphone atau laptop menjadi pemutar musik dengan kualitas suara terbaik, terutama untuk pengguna yang memiliki headphone kelas atas. HA2-SE siap mengakomodasi variasi impedansi dari 16 ohm sampai 300 ohm, jadi sederhananya earphone murah maupun headphone berharga selangit pun bisa merasakan pengaruh positif HA2-SE.

HA2-SE menerima input dari smartphone lewat sambungan USB. Hal ini menjadikannya sangat ideal untuk iPhone 7 yang tak dilengkapi jack headphone. Lebih menarik lagi, HA2-SE juga akan berperan sebagai power bank selagi digunakan; baterai 3.000 mAh-nya bisa diisi ulang dalam waktu 30 menit saja.

Oppo HA2-SE dibanderol seharga $299. Perangkat ini memang bukan untuk semua orang, melainkan mereka yang punya koleksi file audio lossless dan hendak memaksimalkan potensi headphone kesayangannya.

Sumber: The Verge.