Tag Archives: Dailysocial

Artikel populer DailySocial.id sepanjang tahun 2021

Analisis Pendanaan, Merger GoTo, Bank Digital, NFT, dan Artikel Populer Lain Sepanjang 2021

Salah satu tujuan DailySocial.id adalah menghadirkan wawasan mendalam seputar industri kepada ekosistem kewirausahaan digital di Indonesia. Sepanjang tahun 2021 –masih di tengah suasana pandemi Covid-19—ekosistem startup masih memperlihatkan dinamika yang menarik untuk diikuti. Unicorn baru, konsep bisnis baru yang menjadi populer, hingga aksi-aksi penting perusahaan turut andil di dalamnya.

Berikut ini kami rangkum sejumlah artikel populer di DailySocial.id sepanjang 2021. Daftar ini merupakan sajikan spesial, karena berisi ulasan/analisis mendalam seputar topik tertentu yang tengah banyak diperbincangkan oleh pemain industri.

Analisis Pendanaan

Data pendanaan selalu menjadi komoditas berita menarik dalam media bisnis dan startup teknologi. Kami memberikan rangkuman tren pendanaan setiap kuartal untuk melihat bagaimana sektor-sektor tertentu dalam industri mendapatkan perhatian dari para investor.

Banyak temuan menarik yang diungkapkan, sepanjang Q3 2021 ini pendanaan lanjutan (seri A dan di atasnya) mulai banyak mendominasi di ekosistem startup Indonesia, baik dari sisi nominal yang dibukukan ataupun jumlah transaksi.

Selengkapnya simak artikel-artikel berikut ini:

Bank digital mulai bersinar

Bisnis bank digital juga menjadi topik yang sangat hangat diperbincangkan sepanjang tahun 2021. Kehadiran model bisnis baru dalam perbankan tersebut digadang-gadang akan menjadi masa depan yang tengah dibentuk oleh pemain industri. Yang tak kalah menarik, banyak perusahaan digital turut andil di dalamnya, baik secara aktif dalam proses pengembangan maupun menjadi penyokong dana.

Untuk memahami perspektif industri bank digital, tahun lalu kami melakukan wawancara dengan sejumlah pemain bank digital yang sudah meramaikan industri. Konteksnya untuk mendalami, visi seperti apa yang akan mereka realisasikan dengan model bisnis tersebut. Berikut ini daftar artikelnya:

Selain itu, terdapat ulasan yang menyoroti tentang bagaimana sinergi mutualisme antara startup dan bank digital dapat berdampak pada peningkatan indeks inklusi keuangan di Indonesia. Di sini pembaca dibawa untuk memahami beberapa startup digital yang berinvestasi ke bank digital, seperti Gojek berinvestasi ke Bank Jago, Akulaku ke Bank Neo Commerce, dan Sea Group ke BKE. Selengkapnya di artikel berikut ini: Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan.

Dengan sudut pandang berbeda, editor DailySocial.id juga menyelami hiruk-pikuk kehadiran bank digital, mencoba satu per satu layanan yang sudah meluncur dan memberikan opini terkait impresi awal terhadap aplikasi tersebut. Hingga pada akhirnya disimpulkan bahwa bank digital itu saat ini baru sekadar nice to have, belum benar-benar menyajikan gebrakan yang signifikan hingga menjadi sesuatu yang mendesak untuk dimiliki. Simak cerita pengalaman tersebut melalui artikel ini: Bank Digital Masih Sekadar “Nice to Have”.

Merger GoTo

Dua startup lokal paling fenomenal (dibaca: terbesar dari sisi valuasi) memutuskan untuk merger. Gabungan antara unit bisnis Gojek dan Tokopedia digadang-gadang akan mampu menghasilkan nilai ekonomi yang sangat besar, mengingat keduanya memiliki basis pelanggan dan mitra yang sangat luas. Dalam artikel berjudul “Mendalami Potensi Integrasi Goto, Hasil Merger Gojek dan Tokopedia”, kami mencoba melihat dari sudut pandang lain, yakni potensi kolaborasi antarfitur yang mungkin saling melengkapi – atau saling bertabrakan karena keduanya memiliki unit yang sama.

Secara khusus kami membedah ekosistem layanan di masing-masing platform untuk mengetahui sejauh mana inovasi produk yang telah berhasil mereka telurkan. Di dalamnya termasuk integrasi-integrasi yang telah dilakukan bersama mitra strategisnya. Contohnya untuk studi kasus Gojek digambarkan dalam bagan berikut ini.

Di artikel tersebut di atas, kami juga mengulas dari sudut Tokopedia. Dengan memahami unit-unit produk dan bisnis yang dimiliki, beserta afiliasinya, diharapkan pembaca bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana roadmap produk GoTo ke depannya. Termasuk mendalami aspek-aspek apa saja yang akan menjadi kekuatan utama mereka atas gabungan dua kekuatan yang berbeda tersebut.

Model bisnis baru

Ekosistem startup syarat dengan inovasi layanan yang terus berkembang. Setiap tahun selalu ada model-model baru yang coba ditawarkan oleh para pemain. Salah satu yang cukup mendapatkan perhatian adalah Open Finance, konsep tersebut memungkinkan sebuah layanan fintech disematkan ke dalam berbagai jenis aplikasi digital. Tidak hanya itu, Open Finance dianggap menghilangkan berbagai friksi yang masih menjadi halangan dalam pengembangan ekosistem keuangan digital, misalnya dengan menghadirkan mekanisme skoring kredit yang lebih komprehensif. Ulasan tentang Open Finance kami tulis di sini: Mengenal Ragam Konsep “Open Finance” di Dunia Digital.

Selain Open Finance, NFT juga menjadi satu hal yang cukup menghebohkan menjelang akhir tahun. Selain kreator lokal yang mulai meramaikan ekosistemnya, mulai ada beberapa startup yang coba mengakomodasi kebutuhan di sisi bisnis. Pemahaman tentang NFT dan bagaimana cara konsep tersebut bekerja menjadi banyak dicari. Kami pun secara khusus berbincang dengan beberapa pakar untuk menyimpulkan tentang konsep NFT dan bagaimana potensi yang dapat diberikan untuk ekosistem lokal dalam artikel: Memahami Non-Fungible Token (NFT), Mempercepat Adopsi di Indonesia.

Wawancara eksklusif

Tahun 2021, DailySocial.id juga melakukan wawancara eksklusif dengan banyak pelaku industri. Beberapa di antaranya berhasil mendapatkan perhatian dari pembaca. Berikut ini daftar artikel wawancara paling populer sepanjang tahun lalu:

Kami terus berkomitmen untuk terus menghadirkan artikel-artikel berkualitas yang bermanfaat untuk pelaku industri. Untuk berbagai artikel pilihan lain yang sudah terbit dan yang akan datang dapat Anda nikmati melalui kanal DS Premium: https://dailysocial.id/premium-content.

DSLaunchpad Ultra 2021

DSLaunchpad Kembali Dibuka, Program Inkubator untuk Early Stage dan Pre-Startup Founder (UPDATE)

*Update: periode pendaftaran program inkbator diperpanjang sampai 20 Juni 2021

DailySocial.id kembali menyelenggarakan program inkubator “DSLaunchpad ULTRA 2021”. Berisi rangkaian program intensif selama 4 minggu yang sepenuhnya digelar online. Founder berkesempatan untuk terhubung dengan mentor berpengalaman, guna membantu mematangkan ide dan model bisnis yang tengah dikembangkan.

DSLaunchpad ditujukan untuk dua kategori founder. Pertama adalah “pre-startup founder”, yakni mereka yang sudah memiliki ide dan tim untuk merealisasikannya ke dalam sebuah produk namun masih menemui kendala, termasuk cara-cara untuk memulainya. Kedua, untuk “early-stage founder”, yakni mereka yang sudah mulai mengeksekusi ide bisnisnya, namun masih kesulitan dalam mendapatkan traksi, menjalankan modal bisnis, atau pemasarannya.

Materi yang diajarkan pun sangat komprehensif, mulai dari aspek produk, bisnis, strategi, pemasaran, ekspansi, kolaborasi, hingga investasi. Tak ayal jika penyelenggara menghadirkan mentor-mentor dari berbagai kalangan dan latar belakang. Bentuk aktivitasnya pun beragam, mulai dari one-on-one bersama mentor, beragam sesi webinar, hingga demo day.

Adapun daftar mentor yang akan dihadirkan di antaranya:

  • CEO Bukalapak, Rachmat Kaimuddin
  • CEO Wahyoo, Peter Shearer
  • CEO LinkAja, Haryati Lawidjaja
  • CEO Logisly, Roolin Njotosetiadi
  • CEO Tanihub, Pamitra Wineka
  • CEO Mekari, Suwandi Soh
  • CEO Member.id, Marianne Rumantir
  • COO Populix, Eileen Kamtawijoyo

Dalam sesi demo day juga akan dihadirkan investor dan media. Di seri sebelumnya, pemodal ventura ternama seperti East Ventures, BRI Ventures, Northstar, GDP Venture, Intudo Ventures, AC Ventures, dll berpartisipasi dalam acara, menyaksikan founder mempresentasikan inovasinya.

Program inkubator terbesar di Indonesia

Ini adalah program DSLaunchpad ketiga, dua seri sebelumnya berhasil dihelat tahun lalu merangkul 1351 founder dan 213 startup. Peserta hadir dari 12 provinsi, dengan 73%-nya berasal dari luar Jakarta. Statistik tersebut memantapkan DSLaunchpad sebagai program inkubator terbesar di Indonesia saat ini.

Beberapa alumni juga telah menunjukkan prestasi signifikan. Misalnya Sertiva, startup asal Yogyakarta yang mengembangkan platform untuk penerbitan sertifikat digital. Startup yang digawangi Saga Iqranegera dan dua co-founder lainnya ini selain sudah mendapati traksi yang cukup mantap, juga sudah mendapatkan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor.

Selain itu ada juga Tebengan, mereka menghadirkan alternatif layanan transportasi dengan mekanisme ride-sharing. Saat ini mereka sudah memiliki puluhan ribu pengguna dengan wilayah operasional di Jabodetabek. Dalam testimoninya Co-Founder & CEO Tebengan Will Widjaja bercerita, salah satu hal penting yang didapat di sesi DSLaunchpad adalah strategi peningkatan value proposition. Ini penting, karena akan menjadi pembeda sekaligus menghadirkan nilai lebih bagi bisnis yang dijalankan dibanding dengan kompetitornya (baik langsung maupun tidak langsung).

Saat ini pendaftaran DSLaunchpad ULTRA 2021 masih dibuka sampai tanggal 20 Juni 2021. Segera daftarkan dirimu sekarang juga. Untuk informasi lengkap dan pendaftaran, kunjungi: https://launchpad.dailysocial.id.

Monetisasi Konten Digital

“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

Pendanaan awal kini adalah Seri A di masa lalu, dan Pra Seed adalah pendanaan awal yang lama

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

CEO DailySocial, Rama Mamuaya di ajang idEA Works 2019 / DailySocial

Lima Hal Penting Membangun Budaya Kerja dan Mendidik Talenta di Startup

Menyongsong kemajuan era digital, Indonesia dihadapkan pada minimnya talenta-talenta berkualitas. Padahal talenta merupakan aset terpenting dalam membangun ekosistem digital di Tanah Air. Persaingan pun terjadi antar startup dalam memperebutkan talenta berbakat.

Di sisi lain, startup juga dituntut tetap eksploratif dalam mengadapi perkembangan teknologi dan pasar yang terus berubah. Diperlukan budaya kerja yang tepat agar startup dapat menjadi tempat berkarya yang nyaman bagi setiap karyawannya.

Di ajang idEA Works, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya berbagi pengalaman dan pandangan menarik tentang bagaimana membangun budaya kerja di startup dan mendidik orang untuk menjadi talenta yang potensial dan berkualitas di bidangnya.

Mari simak pengalaman inspiratifnya di sesi bertajuk “Gen of Good Talent” berikut ini:

Menjaga integritas perusahaan

Sebagai perusahaan media di bidang teknologi, Rama menegaskan pentingnya integritas kepada para pembacanya. Integritas menjadi penting untuk dapat menyajikan berita berkualitas dan terpercaya.

Perusahaan harus selalu berhati-hati dalam mempekerjakan talenta baru, tidak semata-mata hanya mengisi kekosongan sebuah posisi.

“As a media, integrity itu sangat penting. Apalagi [menyambut] industri 4.0, talenta menjadi aset penting. Makanya, kami tidak mau terburu-buru hire orang untuk menjaga integritas para pembaca kami,” tuturnya.

Media sosial sebagai personal branding

Diakuinya, dunia digital telah berkembang menjadi suaka baru bagi sejumlah orang. Setidaknya, sebagian dari kita memiliki lebih dari dua akun media sosial untuk bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Yang mungkin kita tidak tahu, sejumlah perusahaan kini telah memberlakukan rekam jejak digital sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini untuk melihat bagaimana attitude seseorang. Namun, Rama punya pandangan berbeda.

Ia menekankan bahwa media sosial sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai personal branding seseorang sebagai ruang kebebasan dan wadah untuk mengekspresikan diri.

“Saya percaya dengan rekam jejak digital, tapi kita tidak seperti itu. Masalah negatif dan positif itu subjektif. Jika menurut saya negatif, belum tentu buat orang lain. Soal [attitude] sebetulnya mau tak mau dilihat saat probation. Kalau tidak perform, kita cut,” paparnya.

Inisiatif dan transparan

Rama juga menyinggung tentang bagaimana kultur kerja dapat membangun kualitas talenta lebih baik. Diungkapkannya, ada sejumlah hal yang perlu ditanamkan kepada para karyawannya, seperti nilai  inisiatif dan transparansi.

“Inisiatif yang dimaksud, kalau yakin ada pekerjaan bisa dilakukan, ambil andil di dalamnya. Terlebih kamu yakin dengan metodemu dalam menyelesaikan pekerjaan,” ujar Rama.

Demikian juga transparansi dan kejujuran yang dijunjung tinggi perusahaan. Artinya, apabila merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karyawan tidak dipaksa untuk melakukannya.”Kalau bisa katakan iya. Kalau tidak, ini akan memakan waktu dan tenaga. Lebih baik dilakukan orang yang tepat,” katanya.

Memiliki risk tolerance

Nilai lain yang dibangun dalam kultur kerjanya, lanjut Rama, adalah memberikan kesempatan kepadan siapapun di perusahaan untuk mencoba sesuatu dan bereksperimen. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perusahaan.

“Ini salah satunya yang membedakan startup dengan perusahaan korporat. Kalau punya ide, silakan dieksekusi. Tapi kami kasih deadline untuk merealisasikannya. Engineer kami pernah coba buat aplikasi, kami biarkan. Memang hasilnya tidak sesuai, tetapi dia belajar dari situ,” jelasnya.

Tetap dinamis, tapi tidak terlalu cepat

Startup disebut harus dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tak heran jika startup terbiasa bereksperimen untuk mendapat sebuah solusi yang disruptif. Kultur ini yang sangat berbeda dengan perusahaan konvensional.

Rama menekankan pentingnya untuk bekerja lebih cepat dibanding perusahaan konvensional untuk menghemat waktu dan biaya. “Tetapi juga jangan terlalu cepat, itu tidak baik. Bagaimanapun butuh uji coba [solusi] sebelum launch ke pasar.”

Melihat pandangan praktisi media dari Kumparan, DailySocial.id, Kaskus, dan Bareksa tentang bermedia di era digital

Tantangan Bermedia di Era Digital

Media menjadi industri yang ikut berdampak karena perkembangan teknologi digital. Konsumsi orang dalam membaca berita pun bergeser, mulai dari durasi membaca makin pendek, lebih tingginya ketertarikan pada visual daripada tulisan, dan faktor lainnya. Lantas bagaimana solusinya?

Hal ini dijawab dalam salah satu diskusi panel yang diselenggarakan Qlue bertajuk Smart Citizen Day beberapa hari lalu, menghadirkan praktisi dari berbagai media seperti Hugo Diba (Kumparan), Rama Mamuaya (DailySocial.id), Edi Taslim (Kaskus), dan Karaniya Dharmasaputra (Bareksa).

Hugo Diba menjelaskan kehadiran Kumparan sejak 2017 ini adalah jawaban dari pergeseran konsumsi media. Pergeseran ini adalah suatu keniscayaan yang membuatnya percaya bahwa mau tak mau harus meredifinisikan kembali jurnalisme. Caranya harus dengan membangun tim terbaik dan teknologi terbaik.

“Perusahaan media itu harus jadi tech juga, makanya kita challenge tim IT kita bagaimana teknologi bisa bantu teman-teman jurnalis bisa dapat info lebih cepat dan akurat. Ada algoritma, trending topic, supply side kami perbesar. Alhasil jurnalis kami bisa kerja 4x lebih cepat. Visi misi kami adalah bagaimana menyampaikan berita dengan baik dan tepat,” terangnya.

Di sisi lain, Rama Mamuaya menambahkan perusahaan media memang harus beradaptasi dengan perubahan teknologi. Informasi yang disampaikan dalam konten harus sempurna tersampaikan dengan baik, apapun medium yang dipakai entah itu visual, teks, ataupun video.

“Perusahaan media harus tetap bertanggung jawab dengan kualitas konten yang disampaikan, apapun format yang mereka pakai,” katanya.

Kembali ke khittah awal

Sementara itu, perkembangan teknologi internet yang pesat membuat Kaskus berbenah diri agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Edi Taslim mengatakan ekosistem internet 20 tahun lalu berbeda jauh, belum ada platform media sosial, sehingga Kaskus harus mencari cara agar tetap relevan dan menjadi destinasi untuk kultur pop.

Kaskus banyak meluncurkan inisiasi yang pada ujungnya mengembalikan Kaskus ke khittahnya sebagai platform diskusi yang berlandaskan pada kesamaan minat dan hobi.

“Jadi esensinya adalah tetap menjadikan Kaskus sebagai tempat orang membicarakan hobi. Itu yang kami pertajam sehingga membuat Kaskus tetap unik,” terang Edi.

Bagi Bareksa, penetrasi keuangan yang masih rendah saat ini adalah bukti ketidakmampuan jurnalisme elitis. Ini adalah jurnalisme yang memberitakan hanya untuk segelintir kalangan saja. Oleh karenanya, Bareksa ingin mendemokratisasikan kekuatan teknologi dengan industri keuangan terutama reksa dana agar bisa dijangkau oleh siapapun dari berbagai kalangan kelas ekonomi.

“Pengalaman di Bareksa, kami jadi fintech pertama yang mendapat lisensi APERD dari OJK. Investor ritel kami ada 450 ribu orang, itu mencerminkan 40% dari total investor reksa dana di Indonesia.”

Kolaborasi dengan berbagai pihak

Kolaborasi itu tidak berlaku untuk satu industri saja. Perusahaan media pun juga harus berkolaborasi. Rama menjelaskan untuk mengembangkan teknologi, agar bisa dikenal oleh siapapun, perlu harus gandeng berbagai pihak. Mulai dari pembuat kebijakan, pengambil keputusan, dan lainnya.

Hal ini juga diamini Karaniya. Dalam bisnisnya, Bareksa kini bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Ovo untuk memasarkan produk reksa dana online secara masif dan ritel. Agar semakin banyak orang yang terkonversi menjadi investor pasar modal.

“Kami ingin mereplika kisah sukses di Tiongkok. Dunia fintech tumbuh dengan pesat karena e-commerce dan e-money,” pungkasnya.

Tim dailysocial.id

Memperkenalkan Dua Inovasi Terbaru Kami Tahun ini: Hybrid dan Orchestra

Di Dailysocial, kami percaya bahwa produk teknologi yang sesungguhnya tidak akan pernah habis, bahwa inovasi berkelanjutan adalah sebuah pencapaian. Kami merayakan hari jadi ke-10 tahun kemarin, hal itu membuat kami menilik lagi perjalanan selama satu dekade ini dan akan diarahkan kemana selanjutnya.

Telah menjadi sebuah kepercayaan bagaimana perusahaan teknologi membangun produk dan inisiatif adalah dengan pendekatan dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. Ide-ide produk sudah sewajarnya lahir dari tim dengan cara berpikir alami berbasis solusi, di mana kita mempertanyakan: “Apa jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah pasar?”.

Kami telah bertumbuh dalam jumlah, pendapatan, dan jangkauan produk, menggunakan pendekatan ini. Hal ini akan terus berlanjut, sampai masanya kami menemukan cara lain untuk membangun solusi yang lebih baik dalam pasar.

Dengan bangga, kami mengenalkan dua produk inovasi terbaru, berawal dari “small hack” kemudian menghasilkan: Hybrid.co.id and Orchestra.

Hybrid.co.id

Ketika memulai DailySocial di 2008, ekonomi internet belum seperti saat ini. Hanya ada sekumpulan teknisi culun dengan proyeknya, bermimpi menjadi Google atau Apple berikutnya. Beranjak 10 tahun, proyek ini pun berkembang menjadi perusahaan, sebuah industri dan kini ekonomi mandiri. Kami melihat hal itu terjadi juga dalam esports. Tentunya, kamu bukan sekedar meluncurkan perusahaan media tentang game dan kompetisi. Di sini juga menampilkan esports sebagai sebuah ekosistem, dari perspektif industri dan organisme yang terus bertumbuh.

Patut diperhatikan bahwa Hybrid.co.id bukan hanya sekedar media. Kami adalah ekosistem hub. Bukan hanya meng-cover berita, namun menciptakannya. Bukan sekedar menulis di industri ini, melainkan menggerakkannya lebih maju.

Jika kamu berminat dalam ekosistem dan perspektif industri esports di Indonesia, kamu harus mengunjungi Hybrid.co.id. Tujuan kami adalah menghadirkan konten berkualitas tentang ekosistem esports Indonesia beserta entitas di dalamnya, pergerakannya, perkembangannya, serta menjadi penghubung semua entitas untuk mencipta dan berkolaborasi.

>> Visit Hybrid.co.id

Orchestra

Bagi kebanyakan rekan di industri teknologi, cara DailySocial mencari uang adalah sebuah misteri. Kami tidak menyertakan iklan di situs, tetapi berhasi membangun tim, pendapatan, dan tetap menghasilkan selama 4 tahun berturut-turut tanpa investasi yang gerilya. Dalam 3 tahun terakhir, kami sedang memfokuskan sumber daya untuk membantu klien korporat dengan transformasi digital mereka sebagai bagian dari upaya inovasi perusahaan. Bisnis berjalan lancar!

Kami telah melakukan ini berulang kali, untuk banyak klien di berbagai industri. Bagian yang luar biasa adalah, kami mendapat kesempatan untuk belajar mengenai masalah dalam proses inovasi korporat, kemudian melihat begitu banyak yang krusial, berulang, terhambat, bahkan tidak penting sama sekali. Semua ilmu, kami bangun menjadi platform teknologi untuk membantu mempercepat prosesnnya.

Setelah mengalami berbagai iterasi, membantu puluhan klien korporat dari sektor finansial, F&B dan FMCG tahun sebelumnya, kami merasa siap untuk memperkenalkan platform ini pada dunia dan membantu menyelesaikan lebih banyak masalah dalam transformasi digital dan ruang inovasi korporat.

Platform ini disebut Orchestra. Secara filosofis, layaknya orkestra, inovasi korporat mencakup beragam fungsi yang bekerja selaras gerakan maestro, walaupun memainkan nada yang berbeda tetap menghasilkan harmoni yang memanjakan telinga. Orchestra, adalah platform untuk membantu korporat dalam: inkubasi ide-ide inovasi (dalam dan luar) dan menghubungkan dengan ekosistem (startup, pendiri, teknisi, ilmuwan data).

Kami juga memiliki dasbor untuk eksekutif pengambil keputusan yang akan melihat proses keseluruhan secara real time, dasbor yang kami sebut Maestro.

Jika kamu ingin tau lebih lanjut tentang Orchestra, sampaikan saja ke email saya (rama at dailysocial dot id). Mari berbincang!


Kami sangat antusias dalam meluncurkan inovasi terbaru ini, dan menantikan kolaborasi selanjutnya dengan seluruh ekosistem dalam pergerakan industri teknologi yang dinamis.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian

DailySocial is proud to announce two new products. The first one is an esports ecosystem hub, the second is a platform for corporate innovation

Introducing Our Two New Endeavor This Year: Hybrid and Orchestra

Here at DailySocial, we believe that the true technology product is never finished, and that innovation iteration is a continuous pursuit. We celebrated our 10 years anniversary late last year, and it really got us thinking on our journey the last decade and where we are going for the next.

It has been our belief that the way tech companies build products and initiatives should rely on bottom-up approach, rather than top-down. Product ideas should come from our team in an organic way of solution-based thinking, where we ask the question: “What is the best way to help solve our market’s problem(s)?”.

We’ve multiple in size, revenue and product reach, based on that same approach. And we continue to do so, at least until we find a better way to build a better solution for our market.

So, I’m proud to announce two of our latest endeavor technology products that started out as a small hack and yield great results: Hybrid.co.id and Orchestra.

Hybrid.co.id

When we started DailySocial in 2008, there were no internet economy. There were just a bunch of crazy tech nerds with their projects, dreaming of becoming the next Google or Apple. Fast forward 10 years later, those projects evolved into a company, an industry and now its own economy. We see the same thing happening for esports. And of course we weren’t just launching another media company talking about games and competitions. We cover the esports as an ecosystem, from industry perspective and an ever-growing organism of its own.

Please keep in mind that Hybrid.co.id is more than just a media. We’re an ecosystem hub. We don’t just cover the news, we make the news. We don’t just write about the industry, we move the industry forward.

If you’re interested in the ecosystem and industry perspective of esports in Indonesia, you want to check out Hybrid.co.id. Our goal is to deliver great quality content about Indonesia’s esports ecosystem and all its entities within, its movement, its progress and becoming a hub for all entities to create and collaborate.

>> Visit hybrid.co.id

Orchestra

For many of our friends in the tech industry, how DailySocial makes money has been a mystery. We have no ads on our website, but somehow we managed to grow our team, our revenue and stay profitable for 4 years straight without taking a lot of investment money. For the past 3 years or so, we’ve been focusing our resource on helping corporate clients with their digital transformation as a part of their corporate innovation effort. And business has been great!

We’ve been doing this a lot, for many different clients from different industries. But the awesome part is, we get to learn about the problems of corporate innovation process therefore see that there process that are crucial, repeatable, bloated and which process that aren’t necessary at all. All these learning from helping our clients, we started building a technology platform to help accelerate the process.

After numerous iterations, and helping more than 10+ corporate clients from financial sector, F&B and FMCG the past year, we feel that we’re ready to announce this platform to the world and help solve more problems in the digital transformation and corporate innovation space.

We call this platform, Orchestra. Philosophically, just like an orchestra, corporate innovation is a lot of different functions working in alignment with the maestro, although playing different tunes and notes produces an amazing harmony flattering to the senses. Orchestra, is essentially a platform to help corporate to: incubate innovation ideas (internally and externally) and to connect with innovation ecosystem (startups, founders, engineers, data scientists).

We also have a dashboard for executive decision maker that will oversee the whole process in real time, a dashboard we rightfully call Maestro.

If you want to know more about Orchestra, shoot me an email (rama at dailysocial dot id) and let’s talk!


We are super excited to have launch these new endeavors, and we look forward in working with the rest of the ecosystem in moving the technology industry forward and upward.

DailySocial.id dan MRA Group Umumkan Kemitraan Strategis

Hari ini DailySocial.id dan MRA (Mugi Rekso Abadi) Group secara resmi mengumumkan kemitraan strategis. Kemitraan ini akan fokus untuk mencapai dua hal: membawa DailySocial.id ke tahap yang lebih tinggi dan memperkuat portfolio MRA Group di industri digital dan gaya hidup. Kerja sama strategis ini secara konkret akan difokuskan ke teknologi media, komunitas, riset, dan inovasi.

DailySocial.id sendiri akan tetap fokus di edukasi dan informasi mengenai industri teknologi, inovasi, dan gaya hidup digital. Yang kami hasilkan adalah konten media (artikel, video, infografis) dan riset pasar seputar adopsi produk teknologi.

Sejak didirikan tahun 2008 silam, DailySocial.id tetap konsisten dalam perjalanan mencapai visi “menghubungkan masyarakat dengan teknologi“. Kami percaya bahwa teknologi bisa meningkatkan taraf hidup manusia, memajukan peradaban, dan solusi untuk banyak masalah di dunia ini. Dengan adanya kemitraan ini, DailySocial.id bisa memperluas jangkauan dalam melakukan edukasi dan penyebaran informasi mengenai teknologi dan inovasi ke lebih banyak masyarakat Indonesia.

“If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”

We want to go long and far. Sejak awal, DailySocial.id selalu fokus ke konten-konten berkualitas dan menjauh dari judul bombastis demi klik. Kenapa? Kami percaya informasi berkualitas dan edukasi bagi para pembaca jauh lebih penting ketimbang clicks dan share di jejaring sosial. Kemajuan industri teknologi di Indonesia merupakan prioritas tim, bukan soal traffic atau kuota artikel.

Konsistensi visi dan misi ini juga sejalan dengan prinsip bisnis DailySocial.id. Dalam beberapa tahun terakhir, tim DailySocial.id sudah membangun perusahaan yang sustainable dan juga profitable dari sisi bisnis. Hal ini krusial untuk memberikan kami kekuatan finansial untuk menjaga kualitas dan integritas sebagai media digital. Sebuah keuntungan yang tidak banyak dimiliki pemain lain di Indonesia.

Ini merupakan bab baru bagi DailySocial.id. Adalah sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan mitra strategis baru sekelas MRA Group yang bisa membantu DailySocial.id mencapai visi dan menjalankan misi sebagai startup media digital. Tentunya hal ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan tim, para pembaca, shareholders, dan para rekanan industri.

Semuanya demi kemajuan industri teknologi di Indonesia. #StartupIsLife

Menerka Potensi Perkembangan Startup di Bidang Kesehatan

Tahun 2017 digadang-gadang menjadi awal bagi healthtech atau layanan kesehatan berbasis teknologi di Indonesia. Secara kasat mata pun, mudah ditemui beberapa celah yang dapat dioptimalkan menggunakan teknologi, misalnya sistem antrean, layanan konsultasi dan sebagainya. Dan sedikit demi sedikit, inovasi tersebut kini tampak di tengah-tengah riuhnya perkembangan startup nasional.

Melihat tren tersebut, dalam sesi diskusi mingguan DailySocial #SelasaStartup diundang Co-Founder & CIO Halodoc Doddy Lukito. Dalam pemaparannya ia menceritakan beberapa hal terkait inovasi teknologi yang dapat membantu masyarakat Indonesia untuk mudah mengakses layanan kesehatan.

Dari survei internal yang dilakukan Halodoc, saat ini persebaran dokter yang aktif bertugas masih kurang berimbang dengan kebutuhan masyarakat –terlebih di daerah dengan lingkungan geografis yang sulit diakses. Contohnya, di Indonesia hanya ada sekitar 600 dokter spesialis jantung, untuk menangani seluruh pasien di Indonesia. Melihat fakta tersebut, sangat sulit mendambakan pelayanan kesehatan yang berjalan baik.

Saat mencetak dokter sebanyak-banyaknya dalam waktu dekat bukan menjadi solusi efektif, maka pendekatan digital bisa didesain untuk membantu. Contohnya seperti apa yang dilakukan oleh Halodoc. Dengan inovasi aplikasi smartphone, layanan tersebut mencoba menghubungkan masyarakat dengan dokter. Proses bisnis di dalamnya memungkinkan dokter bekerja seperti saat ia praktik, hanya saja tidak langsung bertemu dengan pasiennya.

Cara seperti ini yang dinilai akan terus menyajikan terobosan di lanskap kesehatan, dengan berbagai macam keterbatasan yang ada. Selain dapat komunikasi langsung dengan dokter yang menangani keluhan masyarakat, Halodoc pun mengintegrasikan layanan konsultasi dengan sistem pemesanan obat yang dapat dilakukan juga secara virtual. Sederhananya, proses bisnis yang biasanya ada di klinik dan apotek disederhanakan dalam sebuah layanan tunggal di aplikasi.

Resep pun disajikan oleh perusahaan farmasi yang menjadi mitra. Di sini sudah mulai terlihat, tentang perlunya sinergi yang harus dijalin oleh inovator di bidang healtech dengan berbagai pihak yang berkepentingan –tidak hanya dokter, melainkan apoteker hingga perusahaan obat.

“Oleh karena itu, sebagai pengembang layanan kesehatan berbasis teknologi harus bisa mencapai keselarasan dengan pihak-pihak yang terkait dengan ekosistem kesehatan, guna mencapai hasil yang maksimal,” ungkap Doddy.

Doddy juga menegaskan, bahwa layanan kesehatan yang dipadukan dengan teknologi dalam berkembang lebih cepat, dalam kaitannya dengan inovasi layanan. Misalnya untuk pengantaran obat, sekarang Halodoc mulai bekerja sama dengan layanan on-demand di seluruh basis wilayahnya.

Application Information Will Show Up Here