Startup pengembang platform omnichannel customer engagement Qiscus mengumumkan perolehan pendanaan $2 juta atau sekitar 32 miliar Rupiah dari Init-6. Disampaikan bahwa dana segar ini akan dimanfaatkan untuk menggencarkan ekspansi ke Asia Tenggara pada 2024 mendatang.
Sejak berdiri tahun 2013, Qiscus juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan eksternal dari Telkom (melalui Indigo), Rekanext, dan Qverse. Pendanaan baru ini dibukukan setelah Qiscus mengumumkan keberhasilannya dalam mencapai profit pada tahun 2019 silam, diklaim terus bertumbuh sampai sekarang.
“Kami dengan bangga mengumumkan perolehan pendanaan baru yang akan dialokasikan secara strategis untuk mengakselerasi ekspansi pasar kami di Asia Tenggara, memanfaatkan kehadiran kami yang telah eksis di lebih dari 10 negara. Dengan fokus pada pertumbuhan yang sustainable, kami berkomitmen untuk melipatgandakan pendapatan kami pada 2024 sebagai langkah awal dari ekspansi ini,” ujar Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga.
Saat ini layanan Qiscus telah digunakan lebih dari 2 ribu perusahaan, mengakomodasi percakapan ke lebih dari 100 juta pengguna akhir untuk kebutuhan customer engagement.
“Kami memilih untuk berinvestasi di Qiscus karena keyakinan kami pada potensinya yang luar biasa di Asia Tenggara. Mereka telah menunjukkan performa yang sangat baik, terutama pada saat pandemi Covid-19, mereka mampu mencatat kenaikan revenue hingga 3x lipat,” sambut Founding Partner Init-6 Achmad Zaky.
Zaky menambahkan, “Kami menilai bahwa Qiscus mampu memperkuat ekosistem startup dan industri teknologi dengan strategi dan inovasi yang mereka miliki. Meninjau performanya selama beberapa tahun terakhir, kami optimis Qiscus mampu mencapai target ekspansinya ke pasar Asia pada tahun mendatang dan terus akan tumbuh secara profitabel dan sustainable dalam jangka panjang.”
Sebagai B2B SaaS, Qiscus berkomitmen menjalankan bisnisnya dengan fokus pada keberlanjutan jangka panjang, inovasi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Di tengah tren digitalisasi yang pesat di Indonesia, kami optimis dapat terus berinovasi dan menyediakan solusi relevan untuk jangka panjang.
Delta menambahkan, “Supaya terus relevan dengan pelanggan dalam waktu yang lama, kami terus berinovasi dan merilis berbagai solusi baru di setiap tahunnya. Pada Agustus kemarin, kami juga baru saja merilis berbagai solusi baru, beberapa di antaranya yakni Qiscus AI Assistant, Qiscus Customer Satisfaction Survey, Qiscus Shop, dan Qiscus Customer Data Platform. Dengan ini, bisnis dapat mengandalkan solusi Qiscus sebagai the only toolbox untuk kebutuhan customer engagement.”
Di Indonesia, ada sejumlah startup yang juga mengembangkan platform omnichannel untuk memudahkan bisnis terhubung dengan pelanggan. Di antaranya Lenna.ai, Kata.ai, Chatbiz dan beberapa lainnya.
Besarnya pemilik usaha yang mulai mengalihkan bisnis mereka secara online saat pandemi memberikan keuntungan tersendiri bagi Qiscus, selaku platform SaaS yang berfokus di Multichannel Chat Customer Support.
Disampaikan oleh perusahaan, mereka mengalami peningkatan hingga 3x lipat di tahun 2020 dibandingkan 2019. Trennya terus berkembang di tahun 2021 ini, dengan cakupan bisnis lebih dari 20 industri. Kebanyakan di antara usaha tersebut membuka kanal penjualan mereka di platform online dan berinteraksi dengan konsumen melalui aplikasi chat sebagai alternatif untuk mendongkrak penjualan.
Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga mengungkapkan, hingga saat ini Qiscus telah membantu berbagai bisnis dengan 1000+ klien di lebih dari 10 negara dan seluruh Indonesia. Qiscus juga telah menghadirkan timely conversations at scale dengan lebih dari 50 juta pengguna dan 1 miliar pesan di berbagai fungsi bisnis di lebih dari 20 industri berbeda.
“Kami beruntung bahwa Qiscus terus tumbuh dengan baik di tengah pandemi. Strategi utama kami adalah membantu klien di industri yang terdampak pandemi. Kami juga memfokuskan pertumbuhan kami untuk membantu klien yang industrinya terus berkembang seperti industri kesehatan, asuransi, pendidikan, dan lainnya.”
Tahun ini beberapa rencana yang masih ingin diimplementasikan oleh Qiscus, di antaranya adalah menyediakan Multichannel Chat khususnya WhatsApp Business API dan Instagram DM. Menciptakan ekosistem terbaik di Indonesia dengan menggandeng berbagai macam mitra dan menyediakan fitur-fitur penunjang layanan Customer Experience.
Selain itu perusahaan juga memiliki target untuk mengadakan Conversa secara rutin. Conversa adalah acara tahunan Qiscus untuk berbagi best practices bagi bisnis dan penggiat teknologi. Melalui acara ini Qiscus ingin lebih mengenalkan layanan Qiscus dan meluncurkan produk dan fitur terbaru Qiscus. Acara ini telah berhasil dilaksanakan oleh Qiscus pada 28 September 2021 hingga 30 September 2021.
“Qiscus saat ini profitable dan belum ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat. Akan tetapi kami juga tidak menutup kemungkinan untuk penggalangan dana apabila dirasa semuanya tepat,” kata Delta.
Saat ini sudah banyak perusahaan di Indonesia yang telah mengadopsi teknologi Qiscus. Di antaranya adalah Telkom Indonesia (Telekomunikasi), Kino (FMCG), Sompo (Insurance), Dompet Dhuafa (NGO), dan Halodoc (Kesehatan). Telah berdiri sejak tahun 2013 dengan kantor pusat di Jakarta, Qiscus saat ini juga telah memiliki pusat pengembangan riset dan teknologi di Yogyakarta.
Di Indonesia sendiri ada beberapa startup yang turut menghadirkan layanan serupa, beberapa di antaranya Qontak, Chatbiz, hingga Vutur.
Luncurkan rangkaian fitur dan produk baru
Sesuai dengan komitmen perusahaan untuk terus meningkatkan produk dengan tujuan untuk dapat membantu klien, Qiscus berupaya menghadirkan customer experience terbaik bagi pelanggannya. Salah satunya adalah dengan meluncurkan beberapa fitur dan produk baru yang dirilis pada puncak Conversa 2021.
Dengan berbagai fitur baru pada Qiscus Multichannel Chat seperti integrasi dengan Instagram DM dan menghadirkan fitur Multichannel Contacts, maka bisnis dapat lebih meningkatkan customer experience mereka.
Melalui Robolabs, bisnis dapat mempermudah proses bisnis dalam membentuk chatbot-nya sendiri dengan sangat mudah tanpa coding (no code/low code) hanya dengan Excel. Sedangkan melalui Qiscus App Center, kini bisnis dapat dengan memudah mencari dan memantau aplikasi-aplikasi yang dapat diintegrasikan dengan Qiscus Multichannel Chat.
“Terdapat tiga hal utama yang kami highlight pada rilis produk kali ini, yaitu customer experience, automasi, dan kolaborasi. Ketiga hal ini menjadi poin penting dalam konteks menjadikan platform Qiscus Multichannel Chat sebagai digital ekosistem yang sesuai dengan kebutuhan bisnis dalam memenuhi ekspektasi konsumen,” ujar CTO Qiscus Evan Purnama.
Bertujuan untuk memberikan layanan yang bisa mendukung bisnis, penyedia platform multichannel chat Qiscus tahun ini berencana untuk menambah sejumlah kemitraan dengan berbagai platform teknologi.
Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga mengungkapkan, hingga saat ini pihaknya telah melayani sekitar 1000 klien termasuk BlueBird Group, Ruangguru, MayBank, Telkom Indonesia, Qlue, Halodoc, dan lain-lain. Sebelumnya tahun 2019 lalu, Qiscus juga telah menjalin kolaborasi dengan Bukalapak menghadirkan fitur chat ke jutaan penggunanya.
Pandemi yang banyak berdampak pada bisnis juga dimanfaatkan sebagai momentum yang tepat untuk meningkatkan penetrasi layanan. Terbukti, banyaknya transformasi digital yang dilakukan pemilik bisnis berhasil membawa teknologi Qiscus diadopsi di 18 negara dengan total pengguna lebih dari 25 juta orang.
“Qiscus juga memiliki kontribusi yang cukup nyata bagi bisnis yang mengalami pergeseran kegiatannya menjadi online. Salah satunya dengan mengoptimalkan layanan komunikasi berbagai bisnis dengan pelanggannya melalui solusi kami,” kata Delta.
Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai, di antaranya mengadakan launch event yang sekaligus menjadi kegiatan tahunan pertama “Qiscus: Conversa 1.0”. Melalui kegiatan ini diharapkan bisa lebih mengenalkan layanan Qiscus serta meluncurkan produk dan fitur terbaru.
Qiscus berdiri di Singapura sejak 2013 dengan kantor pusat di Jakarta, serta pusat pengembangan riset dan teknologi di Yogyakarta. Produk Qiscus memberikan solusi komprehensif untuk customer service chat dengan menggunakan multiple channels dan Chat SDK untuk membangun fitur chat yang scalable dan reliable.
Meluncurkan WhatsApp Business API
Teranyar, Qiscus meluncurkan layanan integrasi Instagram Messaging API lewat solusinya. Integrasi tersebut memungkinkan pengguna mengakses Direct Message (DM) Instagram dan berbagai platform messaging lainnya melalui satu dasbor saja. Peluncuran ini diumumkan Qiscus seiring telah dirilisnya fase satu Instagram Messaging API secara global oleh Facebook.
Peran signifikan Instagram dalam menghubungkan bisnis dengan konsumen terus mengatrol jumlah akun bisnis di platformnya dari tahun ke tahun. Per tahun ini, Instagram menyebutkan terdapat lebih dari 200 juta akun bisnis terdaftar di kanalnya. Dari sisi respons pengguna individu, anak perusahaan Facebook ini mengklaim 90% dari penggunanya setidaknya mengikuti satu akun bisnis lewat Instagram mereka.
“Kita ingin menyediakan ekosistem WhatsApp Business API terbaik di Indonesia dengan menggandeng bermacam partner dan juga menyediakan fitur-fitur penunjang layanan customer experience (CX) terbaik,” kata Delta.
Lebih lanjut Delta menuturkan, pengelolaan pesan konsumen lewat satu dasbor terintegrasi akan mengefisienkan pekerjaan serta mempersingkat waktu yang dibutuhkan oleh agen customer service (CS) untuk merespons pesan konsumen. Nantinya mereka tidak lagi perlu berpindah-pindah dari satu laman ke laman lainnya untuk mengakses beberapa aplikasi messaging. Dari sisi konsumen, pesan mereka yang direspons lebih cepat akan menciptakan CX yang menyenangkan.
Ke depannya Qicus juga berencana untuk meluncurkan Contact Page di multichannel chat yang terintegrasi dengan CRM. Cara tersebut akan memudahkan grouping pada pelanggan, sehingga bisnis bisa mengirimkan broadcast message yang berbeda di setiap grup.
“Dalam jangka yang lebih panjang, Qiscus juga berencana untuk meluncurkan Chatbot Dashboard yang dapat mengintegrasikan berbagai chatbot ke dalam Qiscus multichannel chat,” tutup Delta.
Aplikasi chat messaging lokal didera persaingan “berat sebelah” bila ingin menyaingi keperkasaan dari WhatsApp, Line, dan Telegram. Sudah banyak yang mencoba peruntungan di sektor ini. Nama-nama seperti Catfiz, LiteBIG, Pesan Kita, OTU Chat, Yogrt, BuzzBudies, Callind, SalaamAps, Me Chat, IMEStalk, dan masih banyak nama lainnya kini sudah tenggelam, meski sebagian aplikasinya masih bisa diakses.
Timbul pertanyaan yang sedikit mengusik, apakah peta persaingan di aplikasi chat messaging ini sudah tertutup rapat-rapat dikuasai oleh aplikasi global?
Co-Founder dan CEO ChatAja Reza Akhmad Gandara mengungkapkan, salah satu faktor yang membuat pemain chat messaging lokal kurang bersaing adalah terlalu fokus menciptakan layanan messaging yang sama seperti kompetitor. Padahal para kompetitor (global) tersebut sudah kuat dari sisi teknologi dan masyarakat sudah sangat nyaman menggunakannya.
Dia mengutip ucapan Jack Ma yang mengatakan:
“Anda sebaiknya belajar dari pesaing Anda, tapi jangan pernah meniru. Jika Anda meniru, Anda mati.”
Co-Founder dan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga berpendapat, aplikasi lokal kurang bersaing karena sektor ini terlanjur mendapat ekspektasi yang tinggi dari pasar. Kehadiran aplikasi chat messaging yang sudah mature akan membuat standar pasar yang sudah bagus menjadi sangat tinggi.
Ekspektasi ini mencakup fitur, performa, hingga hal-hal yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata yang berpengaruh di user experience. Pemenuhan ` ekspektasi ini membutuhkan tim produk dan teknologi dengan kapasitas yang mumpuni.
“Mulai dari membangun fundamental teknologi chat-nya itu sendiri yang sangat challenging, hingga membangun produk yang delightful untuk user. Ini butuh iterasi cepat dan terus menerus,” ujar Delta.
Karena fundamental aplikasi messaging adalah komunikasi, yang berikutnya adalah perlunya network effect. Sementara itu, membangun network effect harus didesain dan diakuisisi secara strategis dan agresif.
“Banyak sekali orang meninggalkan aplikasi messaging karena tidak menemukan network-nya menggunakan aplikasi yang sama.”
Untuk menciptakan network effect dibutuhkan tim growth yang kuat dengan menggunakan strategi top down, community acquisition, value based acquisition, atau apapun. “Proses ini juga sangat iteratif sifatnya dan harus terus menerus.”
Delta mengatakan, sebuah perusahaan yang ingin bergerak di bidang peer-to-peer messaging perlu bisa menyelesaikan dua masalah di atas. Harus mencapai titik teratas pengguna aktif harian dan terus berkembang dari sana sebelum kehabisan energi dan dana. “Dan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, paling tidak 3-5 tahun.”
“Meskipun tantangan ini berat, Qiscus melihat ini sebagai sebuah kebutuhan. Kami melihat Indonesia membutuhkan mainstream messaging apps yang menjadi alternatif dari WhatsApp maupun lainnya. Ini yang membuat Qiscus sangat terbuka untuk berkolaborasi dan mensupport inisiasi ke arah hadirnya aplikasi seperti ini.”
Meski Qiscus hanya fokus pada pasar B2B, tantangan yang dihadapi tetap relevan dengan sedikit perbedaan. Bagi Qiscus, untuk memenuhi ekspektasi pasar, perusahaan sangat mengedepankan chat platform yang kuat, scalable, dan kaya fitur.
“Sementara untuk memenuhi kebutuhan growth, Qiscus punya tim yang kuat, juga ber-partner dengan banyak partner strategis seperti WhatsApp, LINE, channel partners, ecosystem players (chatbot, CRM), dan banyak lainnya.”
Hi App
Salah satu aplikasi lokal yang bakal meluncur adalah Hi App. Ia memadukan fokusnya ke pasar B2B dan B2C. Hi App bisa diunduh pada 20 Oktober mendatang.
Kepada DailySocial, Managing Director Hi App Michelle Kusuma menjelaskan, untuk memberikan daya saing, sekaligus belajar dari pemain terdahulu, pihaknya melakukan berbagai survei dan wawancara ke semua kalangan dengan metode random sampling. Tujuannya mempelajari dan memahami lebih dalam selera, serta kebutuhan fitur yang ada di Indonesia.
“Produk Hi App juga terus dalam proses pengembangan dan kami akan mengeluarkan pembaruan secara berkala untuk aplikasi yang akan dirilis, sehingga kualitas dari fitur-fitur yang ditawarkan terus menjadi lebih baik,” ujarnya.
Optimisme ini didukung laporan Data Reportal per Januari 2020. Disebutkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta orang, naik 8,1% atau sekitar 12 juta orang sepanjang April 2019-Januari 2020. Mereka menghabiskan waktu sebanyak 3 jam 26 menit per harinya di media sosial. 96% pengguna menggunakan aplikasi messenger dan social networking.
Laporan tersebut juga mengungkapkan sebanyak 59% pengguna internet sangat memperhatikan bagaimana perusahaan memanfaatkan data mereka. Hal ini jadi salah satu alasan untuk merilis Hi App dan meminta tim pengembang memperkuat enkripsinya dibandingkan aplikasi lain yang sudah ada.
Secara fitur, Hi App dilengkapi dengan panggilan suara, video, penerjemah pesan, dan dapat memisahkan personal chat dan group chat di tab yang berbeda. Untuk kapasitas memorinya, aplikasi ini didesain ringan sehingga dapat dipakai untuk smartphone low-end.
Michelle melanjutkan, pada peresmian nanti aplikasi akan difokuskan ke pasar konsumen ritel terlebih dahulu. Menurut dia, masing-masing pasar ini memiliki fungsi fitur yang berbeda sehingga tim akan merancang fitur yang bisa memenuhi kebutuhan semua pihak.
“Fitur baru yang akan kami tonjolkan saat peluncuran nanti adalah translation dan chat organizer. Selain fitur chat yang ringan, aman, dan praktis, kami juga menawarkan fitur lain yang bisa dibilang sangat inovatif dan ditujukan untuk memudahkan komunikasi sehari-hari penggunanya nanti.”
Karena menjadi anak baru, akan menarik melihat strategi mereka dalam mengakuisisi pengguna. Michelle menerangkan pihak prerusahaan akan memperkenalkan fitur-fitur yang ditawarkan di media sosial dan berbagai komunitas. “Dari sana, pengguna dapat mencoba dan merekomendasikan Hi App kepada teman-teman dan keluarga.”
ChatAja
Awalnya ChatAja menyasar pasar B2B, tapi sejak Februari kemarin pasarnya diperluas ke pasar konsumen ritel. Sejak berdiri pada September tahun lalu, ChatAja digunakan oleh pegawai BUMN dan ASN. Perusahaan didukung Telkom sebagai inovasi internal untuk membangun infrastruktur komunikasi digital. Tak heran bila konsep logonya mengingatkan pada LinkAja.
Sebagaimana tercantum di laman blog resminya, perusahaan tidak sungkan menyebut dirinya sebagai aplikasi alternatif WhatsApp. Mereka mengklaim mengklaim apliaksi didesain untuk masyarakat Indonesia dengan menawarkan beberapa kelebihan dibanding pemain utama yang sudah ada.
ChatAja mencoba mengingatkan kembali tentang kedaulatan data dan informasi, mengingat mayoritas pengguna internet di Indonesia masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah tentang sensitivitas data. Perusahaan memakai server lokal.
Filosofi ChatAja banyak berkaca pada Telegram. Aplikasi dilengkapi dengan konsep cloud native untuk mengurangi beban penyimpanan di ponsel dan mengurangi kebutuhan untuk backup data. Terdapat juga fitur Berkas Rahasia, sebuah layanan pesan terenkripsi untuk mengamankan pesan penting.
ChatAja disebut bisa berfungsi secara multifplatfor tanpa harus terkoneksi dari aplikasi utama yang ada di smartphone. Sinkronisasinya cukup dengan memasukkan nomor ponsel yang terdaftar di aplikasi. Pengguna dapat menggunakan layanan melalui web, meski smartphone tidak terkoneksi internet. Aplikasi juga tidak memberikan batasan jumlah anggota dalam satu grup.
Reza menerangkan, pihaknya tidak hanya memperkuat dari sisi messaging tapi juga membuka platform-nya kepada pihak ketiga untuk membangun beragam konten di dalamnya. “Layanan yang dapat dinikmati oleh third party antara lain omnichannel, bot builder dan bot API, dan in-app chat. Hingga saat ini, sudah banyak partner yang bekerja sama dengan kita,” ujarnya.
Untuk omnichannel, ChatAja dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan pesan apliksi seperti notifikasi dan OTP. Sementara bot builder dan bot API dapat digunakan untuk memanjakan pengguna tingkat lanjut yang ingin menciptakan chatbot versi mereka sendiri. Terakhir fitur text messaging ChatAja dapat dimanfaatkan untuk membangun fungsi in-app chat.
Dalam menjaring pengguna, awalnya ChatAja menyasar klien B2B. Pada Februari 2020, setahun setelah beroperasi, ChatAja dibuka untuk masyarakat umum karena diklaim mendapat antusiasme dari publik.
Bila digabung antara pengguna B2B dan individu, diklaim angkanya sudah mencapai lebih dari 500 ribu orang. Profil penggunanya adalah centennial (generasi Z) dan late milennial, didominasi kalangan laki-laki. Selain di Jakarta, pengguna datang dari kota Surabaya, Depok, Bandung, Makassar, Medan, dan Batam.
Reza menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan lintas industri, mulai dari kesehatan (dokter & psikolog), hiburan, marketplace, portal lowongan pekerjaan, media online, crowdfunding, hingga perusahaan legal dalam mengembangkan beragam fitur di platform-nya.
Tersedia beberapa fitur lain, seperti Jelajah (sajian berita dari Kompas, Opini.id, Hipwee, dan Uzone) dan layanan konseling gratis Simply. Ada juga Tab Figur Publik yang memungkinkan pengguna berbicara dengan figur publik yang ditenagai chatbot AI.
Ada pula fitur ChatAja Jobs (menggaet Heikaku, Kalibrr, dan Urbanhire) dan fitur Sticker yang bekerja sama dengan Mojitok (Korea Selatan) dan Zookiz (Vietnam) untuk memperkaya koleksi stiker statis dan dinamis.
Pertanyaan DailySocial mengenai cara perusahaan memonetisasi tidak dijawab Reza. Fokus perusahaan saat ini adalah peningkatan jumlah pengguna. Dia optimis pada akhir tahun ini platform bisa melipatempatkan jumlah penggunanya menjadi 2 juta orang.
“Soon to be announce fitur [untuk mendukung usaha ini] apa. Kemudian dalam waktu dekat akan ada versi terbaru untuk Android, iOS, dan web. Tapi paling dekat ini Android, kemungkinan akhir bulan ini [September],” ungkapnya.
Qiscus tetap fokus di pasar B2B
Dibanding Hi App dan ChatAja, Qiscus dari awal fokus bermain di pasar B2B, meski sempat melakukan pivot. Kini perusahaan melabeli dirinya sebagai chat platform untuk bisnis, baik itu integrasi semua aplikasi messaging ke dalam satu dasbor dan in-app chat SDK.
Sebelum sampai ke model bisnisnya sekarang, Delta bercerita bahwa Qiscus sempat pivot dari awalnya penyedia layanan messaging untuk karyawan. Semangat perusahaan pada saat itu adalah selalu ingin memfasilitasi semua percakapan agar manusia dapat berkomunikasi, berkolaborasi, terlibat, bertukar ide, dan sebagainya dengan lebih mudah dan lebih baik.
“Kami berpikir bahwa memaksa pasar untuk menggunakan pasar adalah cara yang baik untuk mencapai impian ini, membuat messenger yang lebih fleksibel dan dapat diandalkan daripada WhatsApp saat ini. Seperti Slack versi Indonesia.”
Pandangannya berubah total ketika melihat implementasi in-app chat di dalam aplikasi healthtech. Pada dasarnya percakapan itu dapat berperan penting dalam aspek hidup manusia. Di situlah mereka sadar bahwa untuk memberikan dampak yang lebih besar, [..] [mereka harus] mengaktifkan percakapan di dalam aplikasi apapun.
“Percakapan yang akan mengubah cara bisnis menyediakan layanan atau menjual produk mereka dan cara konsumen mengonsumsi atau mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Di sinilah kami beralih dari enterprise messenger ke platform percakapan yang memperkuat percakapan dalam aplikasi apa pun.”
Keputusan pivot ini terbilang tepat karena Delta mengaku dengan model bisnis sekarang, perusahaan telah memperkuat percakapan untuk lebih dari 30 juta pengguna dengan hampir 1.000 perusahaan klien. Qiscus sudah digunakan untuk 15 use cases di 18 negara. Perusahaan mengklaim sudah mencetak laba sejak tahun lalu dan masih terus tumbuh cepat, meskipun dalam kondisi pandemi.
Salah satu platform yang mencuat penggunaannya selama masa work from home diberlakukan adalah video conference. Tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan bersosialisasi, video conference digunakan berbagai kalangan untuk belajar, bekerja, hingga membuka jaringan selama pandemi berlangsung. Meskipun didominasi platform global, sesungguhnya ada beberapa platform lokal yang menawarkan layanan serupa.
“Selama aturan bekerja di rumah berlangsung, kami mencatat berdasarkan data dari beberapa provider peningkatan bandiwth penggunaan Video conference melonjak sekitar 9 kali lipat. Jumlah tersebut bahkan terus bertambah dari sebelum pandemi. Hal ini tentunya menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan,” kata CEO & Founder liteBIG M. Tesar Sandikapura.
Hal senada diungkapkan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga. Sepanjang aturan bekerja di rumah berlangsung, Qiscus mencatat terjadi peningkatan penggunaan hingga lebih dari 10 kali lipat. Kenaikan dimulai di pertengahan bulan Maret 2020 dan terus meningkat hingga kini.
“Ini termasuk dari sisi jumlah conference maupun total durasi. Peningkatan ini cukup konsisten baik dari pelanggan personal maupun pelanggan enterprise kami,” kata Delta.
Butuh investasi besar, pasar korporasi jadi pilihan
Tesar melihat besarnya potensi platform video conference seperti liteMeet. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri platform asing, seperti Zoom dan Google Meet, masih menjadi platform unggulan.
Ia merasa produk lokal masih sulit bersaing karena besarnya kebutuhan investasi yang perlu digelontorkan. Hal ini menjadi kunci ketidakmampuan pemain lokal bersaing dengan pemain raksasa asing.
“Karena investasi di infrastruktur yang cukup mahal, dan secara business model, sudah banyak pemain asing yang melakukan kegiatan ‘bakar uang’ di awal, yaitu memberikan paket gratis,” kata Tesar.
Meskipun demikian, menjadi platform lokal bukan berarti tidak ada keunggulan. Salah satunya adalah penggunaan bandwidth lokal dan ketersediaan server secara fisik di dalam negeri.
“Untuk penggunaan [platform] video conference lokal, sebenarnya negara banyak diuntungkan, mulai dari pemakaian bandwith lokal menjadi optimal dan jauh lebih murah. Efeknya tentu pengurangan biaya pembelian bandwidth internasional oleh para operator dan Internet Service Provider (ISP). Kemudian efek kedaulatan bangsa yang jauh lebih terjaga, karena secara fisik server ini ada di Indonesia. Dan tentu pemasukan negara dari pajak bisa dapat lebih optimal,” kata Tesar.
Platform seperti liteMeet selama ini lebih fokus menyasar dunia pendidikan, instansi pemerintah, dan pelanggan korporat. Hal tersebut mereka terapkan karena kebutuhan platform video conference yang lebih privat demi menjaga privasi, aman, dan stabilitas yang tinggi.
“Kita berikan juga paket white label, artinya secara brand bisa diganti menggunakan identitas instansi tersebut. Tersedia juga paket on premise, di mana server-nya ada di dalam data center mereka sendiri,” kata Tesar.
Selain biaya yang besar, pengembangan platform video conference membutuhkan komitmen, kapasitas knowledge dan model bisnis yang sustainable. Hal tersebut menjadi tantangan terbesar untuk pemain lokal.
Platform seperti Qiscus mencoba menerapkan strategi yang relevan menggunakan teknologi yang sudah tersedia.
“Secara teknologi, pengembangan teknologi komunikasi real-time seperti chat dan video call memang challenging. Sementara, di sisi lain, ekspektasi pelanggan baik dari sisi fitur dan khususnya dari sisi skalabilitas dan reliabilitas sudah sangat tinggi dengan banyaknya alternatif dari pemain asing,” kata Delta.
Tak bisa dipungkiri jika pasar enterprise menjadi ceruk yang diharapkan oleh pemain lokal. Ada sejumlah kebutuhan enterprise lokal yang tidak bisa dipenuhi pemain asing.
“Kebutuhan ini antara lain fleksibilitas deployment (server lokal maupun on-premise untuk memenuhi ekspektasi compliance enterprise) ataupun fleksibilitas integrasi (dengan legacy system yang dimiliki enterprise),” kata Delta.
Qiscus Meet dilengkapi dengan SDK (Software Development Kit) yang sudah dipakai di beberapa perusahaan di Indonesia untuk berbagai macam use cases.
“Kami yakin dengan platform yang kami miliki dan dengan expertise kami di teknologi komunikasi real time kami memiliki peluang besar untuk menguasai pasar enterprise di Indonesia,” kata Delta.
Masa depan platform video conference
Penyebaran virus Covid-19 secara global telah menjadi pembuka jalan platform video conference memperluas layanan dan teknologi mereka untuk digunakan secara rutin. Harapannya ketika kondisi kembali normal, video conference masih menjadi metode populer untuk berproduktivitas.
“Dengan adanya Covid-19, saya melihat video conference platform akan menjadi the new normal dan menjadi semakin ubiquitous [bisa ditemukan di mana-mana]. Dan saya yakin ini akan bertahan paska pandemi, karena orang sudah melihat benefit dari penggunaan video conference ini,” kata Delta.
Nantinya diprediksi solusi video conference tidak hanya akan mencakup ranah pekerjaan, tapi juga ranah lain yang lebih spesifik, misalnya video conference sambil bermain game, nonton film bareng dengan video conference, dan pesta ulang tahun atau pernikahan menggunakan video conference.
“Ke depannya diprediksi platfrom video conference akan menjadi tools wajib bagi pelaku usaha, karena dalam waktu dua tahun ke depan, kegiatan fisik akan mulai jauh berkurang. Masa depan platform video conference mungkin akan jauh lebih advanced, seperti pemanfaatan teknologi AI dan Virtual Reality,” kata Tesar.
Startup pengembang teknologi real-time communication (RTC) untuk membantu perusahaan mengembangkan dan mengelola chatbot Qiscus mengumumkan kerja sama dengan Bukalapak menghadirkan fitur chat ke jutaan pengguna Bukalapak.
Adanya kesamaan visi antara Qiscus dan Bukalapak menjadi salah satu alasan mengapa kolaborasi ini terjalin.
“Kerja sama ini merupakan hal yang cukup menantang bagi Qiscus. Meskipun mendaulatkan diri sebagai pionir pengembang teknologi chat di Indonesia, menangani klien sebesar Bukalapak tetap memiliki tantangannya tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana kita dapat mengaplikasikan best practice teknologi untuk dapat mengoptimalkan in-house system chat Bukalapak agar tetap beroperasi sebagaimana mestinya walaupun sedang dilakukan pembaruan sistem. Hal ini penting mengingat saat ini Bukalapak telah digunakan oleh puluhan juta pengguna di Indonesia yang membutuhkan layanan yg selalu optimal,” kata CEO Qiscus Delta Purna Widyangga.
Dengan perubahan yang mendasar dari segi arsitektur, diharapkan performa chat di aplikasi Bukalapak dapat terus mampu menangani traffic dari pelanggan yang terus membesar di dalam bisnis Bukalapak.
Bukalapak menargetkan melalui kerja sama ini bisa memaksimalkan penggunaan server 4 kali lipat, penggunaan bandwidth sebesar 20 kali lipat, dan menekan biaya pengeluaran.
“Chat digunakan sebagai medium komunikasi yang efektif bagi rekanan dan pelanggan untuk saling memahami kebutuhan masing-masing. Adanya komunikasi yang efektif akan menghadirkan solusi dan program yang inovatif. Kendati demikian, dengan tingginya pertumbuhan bisnis di Bukalapak, adanya fitur chat di dalam aplikasi ini memerlukan usaha yang tidak sedikit, khususnya dalam hal teknis seperti pengembangan fitur lanjutan ataupun optimasi penggunaan server yang berpengaruh pada biaya operasional,” kata VP Engineering Bukalapak Ibrahim Arief.
Meski sudah banyak aplikasi chat yang populer di IndonesiaKiwari tetap optimis menghadirkan Kiwari Chat. Sebuah aplikasi pesan instan atau chat yang menyasar masyarakat Indonesia dengan mengedepankan faktor keamanan.
Kiwari Chat beroperasi mulai Maret 2018 dengan dukungan Telkom Indonesia. CEO Kiwari Reza Akhmad Gandara kepada DailySocial menjelaskan bahwa mereka mendesain Kiwari Chat berdasarkan kebutuhan masyarakat, lengkap dengan konten-konten yang dapat diterima.
“Salah satu strategi kami membuat Official Account resmi Kiwari agar dapat lebih dekat dengan masyarakat Indonesia. Pastinya fungsi dan fitur dari Kiwari Chat harus tidak kalah dengan apa yang sudah ada di WhatsApp, Line, Telegram, dan Aplikasi chat lainnya yang biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia,” terang Reza.
Beberapa faktor yang coba diunggulkan Kiwari adalah kemampuan diakses dari banyak platform dan faktor keamanan yang terjamin karena seluruh percakapan yang disimpan di server Indonesia. Mereka berharap agar para pengguna bisa lebih merasa aman dan nyaman ketika melakukan komunikasi. Kiwari juga menjanjikan akan menghadirkan fitur end-to-end enkripsi untuk membuat pengguna lebih yakin dengan keamanan mereka.
“Karena server kita disimpan di Indonesia, otomatis untuk masalah kecepatan kita akan lebih cepat dibanding aplikasi yang tersimpan di server luar Indonesia. Simple, Secure, and Fast merupakan salah satu misi kami dalam membangun Kiwari Chat,” imbuh Reza.
Memanfaatkan SDK Qiscus
Sejauh ini sebagai sebuah aplikasi chat Kiwari didukung oleh teknologi Qiscus, sebuah perusahaan teknologi yang selama ini terkenal sebagai penyedia Real-Time Communication (RTC). Untuk mempercepat pengembangan produknya Kiwari memanfaatkan Chat Software Development Kit milik Qiscus.
CEO Qiscus Delta Purna Widyangga menyebutkan, dukungannya dilatarbelakangi ketertarikan terhadap visi dan misi yang dimiliki tim Kiwari. Ia berharap ke depannya Kiwari dan juga perusahaan lokal penyedia aplikasi chat di Indonesia bisa terus berkembang dan memenuhi pasar di Indonesia dengan dukungan dari semua pihak, salah satunya dengan aktif menjadi pengguna aplikasi lokal.
“Tentunya masih menjadi tugas bagi setiap bisnis untuk melakukan improvisasi, khususnya pada aspek keamanan, skalabilitas, maupun reliabilitas dari aplikasi chat itu sendiri,” imbuh Delta.
Bertahan dulu, bersaing kemudian
Sebagai aplikasi baru diluncurkan, fokus Kiwari Chat tak hanya soal bersaing dengan WhatsApp, Line, Telegram. Mereka harus mampu membuktikan diri bisa bertahan dengan segala dinamika yang ada di pasar Indonesia. Pasalnya meski mulai banyak bermunculan aplikasi chat lokal Indonesia juga baru saja ditinggal aplikasi BBM, pemain lama yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi kiprahnya di Indonesia.
Reza menceritakan, tahun ini Kiwari akan fokus pada pengembangan aplikasi sambil mengenalkan layanan-layanan apa saja yang terdapat pada ekosistem Kiwari Chat. Karena selain percakapan pribadi dan group mereka juga memiliki official account yang menawarkan sejumlah keuntungan.
“Sebagai contoh bagi yang mau curhat atau bercerita tentang asmara, persahabatan, akademik dan lainnya bisa menghubungi Official Account Mba Kiki. Contoh lainnya dalam mendukung aktivitas traveling kami bekerja sama dengan startup Koperansel untuk masyarakat Indonesia yang ingin mendapatkan potongan harga secara personal dari setiap situs perjalanan,” tutup Reza.
Qiscus adalah startup pengembang teknologi real-time communication (RTC) untuk membantu perusahaan mengembangkan dan mengelola chatbot. Mereka baru saja merilis sebuah laporan riset menyoroti tren penggunaan chat di pangsa pasar Asia Tenggara. Menurut Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga, laporan ini dilakukan untuk menyoroti pasar yang semakin mobile-sentris. Konsumen menghabiskan banyak waktunya untuk chatting ataupun bermedia sosial.
Dalam laporan yang bertajuk “Meeting Southeast Asian Consumers’ Expectations with Chats and Calls” disebutkan beberapa tren. Pertama soal penggunaan internet konsumen di Asia Tenggara, masih didominasi media sosial dan aplikasi chatting. Pengguna internet di Indonesia menginstal sampai 4 aplikasi chatting di ponselnya. Tren penggunaan aplikasi messaging di kawasan ini pun terus meningkat dari waktu ke waktu.
Dalam tren global, aplikasi messaging seperti Whatsapp menempati urutan tiga teratas dengan pengguna terbanyak setelah aplikasi media sosial seperti Facebook dan YouTube. Dari yang semula mengandalkan telepon, pesan singkat, dan email, kini preferensi pengguna internet pun beralih ke media chatting untuk berkomunikasi, bahkan bertransaksi dengan sesama pengguna internet lainnya.
“Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah gaya hidup baru, yakni digital dan on-the-go,” ungkap Delta. Ia menjelaskan gaya hidup tersebut mendorong keinginan untuk serba cepat dengan akses yang mudah terhadap berbagai kebutuhan mereka.
Perubahan gaya hidup baru yang sebagian besar diadopsi oleh milenial sebagai pengguna internet paling dominan melahirkan sebuah ekspektasi baru. Hal tersebut mau tidak mau harus dipenuhi oleh bisnis agar tetap dapat meraih ceruk pasarnya. Konsumen menginginkan layanan dapat diperoleh secara digital secara instan. Sehingga implementasi fitur yang memudahkan akses konsumen terhadap produk menjadi suatu hal yang mutlak harus dilakukan.
Dari tren yang ada, ke depannya Qiscus memprediksi adopsi teknologi komunikasireal-time berupa chat akan semakin luas dan tidak terbatas pada layanan yang sudah ada seperti e-commerce ataupun bisnis on-demand, namun juga pada produk-produk baru yang kini terus dikembangkan oleh bisnis di Asia Tenggara.
“Disrupsi digital ini bahkan membuat perusahaan yang sangat konvensional sekalipun mulai mengadopsi tren terbaru agar tidak kehilangan pasar,” ungkap Delta.
Perubahan interaksi di kalangan pengguna internet di Asia Tenggara mampu merevolusi berbagai bisnis yang selama ini dianggap telah mapan. Di laporan dicontohkan studi kasus startup healthtechHalodoc. Mereka menemukan tantangan bahwa layanan akses kesehatan yang tidak merata menjadi salah satu masalah di Indonesia. Dengan menggunakan teknologi chat, kini masyarakat dapat mengakses dokter yang berkualitas cukup melalui ponselnya tanpa harus datang ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
“Sebagai bentuk komunikasi yang paling diminati oleh konsumen di Asia Tenggara pada saat ini, chat menjadi salah satu fitur yang harus dipertimbangkan oleh bisnis untuk melakukan pembaruan dalam produk ataupun layanan mereka,” tutup Delta.
Chatbot adalah program komputer untuk mensimulasi percakapan dan didukung algoritma dan kecerdasan buatan (AI). Kehadiran chatbot di Indonesia kini makin ramai seiring implementasi perusahaan dari berbagai sektor industri.
Kehadiran chatbot dirasa tepat sebagai strategi bisnis melihat kondisi sekarang ini. Popularitas aplikasi messaging menduduki posisi sebagai aplikasi dengan pengguna terbanyak dibandingkan jenis lainnya.
Sebenarnya apa saja kelebihan implementasi chatbot dan chat untuk bisnis? Lalu bagaimana hasil yang didapat perusahaan-perusahaan yang sudah memanfaatkannya? #SelasaStartup edisi pekan kedua April 2018, menghadirkan CEO & Co-Founder Qiscus Delta Purwa sebagai pembicara.
Qiscus adalah startup yang bergerak sebagai penyedia “in-app chat” dengan menghadirkan platform yang mendukung SDK artificial intelligence, teknologi suara, dan video. Startup ini sudah berdiri sejak 2013. Qiscus memosisikan diri bukan sebagai kompetitor layanan yang bergerak di bidang AI (Kata.ai, BJtech, IBM Watson, EVA, Bahasa, dan lainnya), melainkan mitra kerja.
Pergeseran kebiasaan konsumen
Delta menerangkan, perusahaan perlu melirik chatbot lantaran penetrasi internet yang meningkat turut mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan kaum millennial untuk selalu update. Kalangan early adopter mendorong mereka untuk selalu online dan terhubung dengan internet.
“Di Indonesia penetrasi internetnya mulai merata, apalagi untuk kalangan usia 16-35 tahun mungkin hampir 100%. Untuk itu, ketika melirik chatbot, selalu berangkat dari konsumennya.”
Dari hasil riset yang dirangkum Qiscus, secara rerata terdapat 3,6 aplikasi messaging yang diunduh dan tersimpan dalam tiap perangkat. Sebanyak 97% pengguna smartphone mengakses aplikasi messaging secara berkali-kali setiap hari. Bagi perusahaan, menyediakan aplikasi messaging dalam layanannya diprediksi memiliki RoI hingga 305%.
“Orang Indonesia itu sudah sangat keranjingan dengan aplikasi messaging.”
Chat sebagai cara meningkatkan interaksi
Karena aplikasi messaging sudah sangat digandrungi orang Indonesia, akan sangat penting untuk melihat chatbot sebagai alat untuk meningkatkan interaksi dengan para konsumen. Ada banyak aplikasi messaging yang membuka API-nya sehingga bisa ditanamkan chatbot di dalamnya. Sebut saja Messenger, LINE, dan Telegram. WhatsApp sendiri tinggal tunggu waktu untuk API-nya bisa dibuka.
Menurut Delta, ketika perusahaan ingin menyasar kalangan millennial sebagai pengguna, dia menyarankan agar memanfaatkan LINE. Dia melihat LINE memiliki basis kalangan millennial yang cukup besar, sehingga strategi perusahaan untuk meningkatkan engagement akan tepat.
Di chatbot pun, teks harus diperkaya dengan berbagai fitur, tak hanya sekadar berkirim pesan. Beberapa fitur yang bisa dikembangkan misalnya dukungan terhadap gambar, video, dokumen, tombol, akun, dan linking card.
Contoh kasus sukses
Perusahaan e-commerce yang sudah menerapkan chatbot adalah Sale Stock. Perusahaan tersebut sejak awal sudah berinvestasi cukup besar untuk pengembangan chatbot-nya yang dinamai Soraya.
Pada 2014, Sale Stock menghadirkan fitur chat di layanan pelanggannya kemudian ditingkatkan lagi fungsinya dengan menghadirkan Soraya pada akhir 2016 untuk menangani pemesanan secara end-to-end. Disebut-sebut Soraya mampu menangani 30% pertanyaan yang umumnya ditanyakan konsumen.
“Untuk kasus Sale Stock, fungsi chat-nya sangat spesifik yakni ingin otomasi karena mereka menjadikan CS sebagai layer pertama untuk peningkatan pelayanan sealami mungkin. Berbicara dengan Soraya seperti selayaknya berbicara dengan manusia, sebab pemilihan bahasanya yang natural.”
Perusahaan lainnya, HaloDoc tidak menggunakan chatbot, tetapi chat, sebab fokus utama yang disasar adalah berbicara langsung dengan dokter. Untuk itu secara alamiah, proses chatting harus dibuat sepersonal dan serahasia mungkin.
Telkomsel, lewat chatbot-nya bernama Veronika, mengarahkan chatbot-nya untuk fungsionalitas. Banyak tombol-tombol yang tersedia setiap kali pengguna mengakses Veronika. Kesannya pun jadi kurang personal karena penuh unsur rich messages.
“Karena tujuan membuat chatbot-nya beda, Veronika jadi kurang personal karena banyak unsur rich messages. Hanya saja memang itu tujuannya, ingin mempercepat dan mendekatkan diri dengan konsumen.”
Belajar dari kasus sukses di atas, timbul pertanyaan kapan perusahaan butuh layanan chat. Menjawab pertanyaan tersebut, Delta menuturkan bahwa keputusan tersebut akan sangat bergantung pada obyektif bisnis masing-masing perusahaan.
Jika fokus chatbot soal fungsionalitas, implementasinya lebih mudah karena bersifat otomasi untuk mengurangi SDM dan mengalihkannya ke pekerjaan yang lebih bersifat teknis.
Sementara jika tujuannya ingin meningkatkan interaksi dengan konsumen dan menangkap data untuk kebutuhan pemasaran, chatbot dapat menjadi alat untuk membaca profil pengguna dan menerjemahkan conversion ke dalam bahasa pemasaran.
Tepat di Hari Kartini 2015, Qiscus sebagai sebuah layanan enterprise messaging diluncurkan. Dikembangkan oleh sebuah startup yang didirikan pengembang asal Indonesia dan Singapura, Qiscus hadir untuk memungkinkan sebuah perusahaan menciptakan ruang virtual guna melakukan kolaborasi tim yang lebih komprehensif. Selain dapat diakses melalui PC, saat ini aplikasi Qiscus sudah tersedia di Android dan iOS.