Tag Archives: dendi

Apa Itu Momen Clutch di Esports dan Bagaimana Bisa Terjadi

Anda yang hobi mengkonsumsi konten gaming mungkin sudah sering mendengar atau melihat istilah “Clutch Moment“. Kalau diartikan secara kasar, momen clutch adalah kejadian luar biasa yang tidak disangka bisa terjadi di dalam permainan. Dalam game FPS misalnya, momen 1vs5 yang malah dimenangkan oleh dia yang seorang diri. Atau kalau dalam game MOBA, mencuri monster objektif besar seperti Lord, Roshan/Aegis, atau Baron seorang diri, bisa disebut sebagai momen clutch.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ada yang bilang, momen clutch hanya “hoki” atau beruntung belaka. Pendapat itu mungkin tidak salah, tapi juga tidak berarti sepenuhnya benar. Walau istilah momen clutch sering beredar dalam komunitas gaming, namun fenomena dan istilah ini sebenarnya dimulai dari kompetisi olahraga. Karena konsep clutch sudah beredar cukup lama, jadi banyak peneliti yang berusaha menjelaskan, mengapa seorang atlet kadang bisa melakukan gerakan atau reaksi melebihi manusia normal, dalam keadaan terjepit.

Jadi mari kita bahas lebih dalam soal momen clutch, mulai dari arti kata, bagaimana fenomena ini terjadi di olahraga dan esports, sampai perdebatan dalam menentukan momen clutch.

 

Apa Itu Momen Clutch

Dari segi bahasa, kamus Merriam-Webster mengartikan kata “clutch” dalam beberapa makna. Arti paling utama adalah memegang sesuatu dengan tangan, atau dengan menjepit secara kuat, rapat, atau tiba-tiba. Tapi tentu bukan itu yang kita cari. Kamus Merriam-Webster juga mendefinisikan clutch sebagai berhasil melakukan sesuatu dalam situasi krusial.

Dalam olahraga, istilah ini kadang disebut sebagai clutch play. Dalam esports istilah ini kadang disebut Shoutcaster lewat ungkapan “what a clutch!” Dalam esports, satu momen paling familiar bagi penonton esports Indonesia mungkin adalah momen-momen gemilang di Dota 2. Apa Anda ingat asal muasal ucapan patience from Zhou”? Momen ini memang cukup lawas karena terjadi pada Dota 2 The International 2012, dalam pertandingan Navi melawan IG.

Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai Clutch? Sumber: Twitter NBA
Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai clutch? Sumber: Twitter @NBAcom

Pada menit 17, IG mencoba melakukan smoke gank ke arah Dendi dan kawan-kawan yang sedang beramai-ramai di Lane Bawah. Zhou, pemain IG, berhasil menangkap lima pemain Navi. Mereka dibuat tidak berkutik, semua Hero tim Navi tidak bisa gerak, tertidur karena terkena Song of the Siren. Normalnya, pertarungan ini harusnya dimenangkan oleh IG bukan? Mereka tinggal mempersiapkan posisi dan menggunakan semua Skill untuk menumpas Hero dari tim Navi.

Sayangnya tidak. Dalam keadaan penuh kemelut, Faith terlalu terburu-buru melepas Ravage. Dendi dan LightofHeaven tanggap situasi. Dendi dengan Rubick kabur menggunakan Force Staff, LightofHeaven dengan Enigma menggunakan BKB dan mengeluarkan Black Hole untuk menangkap 3 orang pemain IG. Dendi yang lepas dari kemelut mencuri Ravage dan menggunakannya untuk menumpas hero tim IG. Alhasil, kawan-kawan Navi selamat, sementara IG rata dengan tanah.

Apakah fenomena tadi adalah momen clutch? Atau keberuntungan belaka? Satu yang pasti, jangan samakan panggung The International dengan pengalaman Anda main MMR. Dalam situasi tersebut tekanan datang dari berbagai sisi, entah itu rasa takut akan kekalahan, rasa gugup bertanding di panggung megah, suara riuh penonton, dan berbagai faktor lainnya terjadi, mempengaruhi pikiran sang pemain.

Walaupun, kalau dipikir dengan logika, apa yang dilakukan Dendi dan LightofHeaven sebenarnya mudah saja. Cukup tekan BKB cepat-cepat, lalu tekan Dark Hole. Dendi juga sudah menghadap ke luar saat kemelut terjadi. Jadi dia cukup buru-buru tekan Force Staff, gunakan Spell Steal ke arah Tidehunter, lalu Ravage.

https://www.youtube.com/watch?v=Yot0UNsQh3I

Tapi dalam keadaan penuh tekanan seperti itu, logika seakan jadi tidak berlaku, membuat tugas mudah seperti apa yang saya jelaskan jadi tidak terpikirkan. Tidak percaya? Lihat saja tim IG. Sebagai pemain profesional, seharusnya mereka tanggap akan informasi sekecil apapun itu. Tapi nyatanya IG bisa-bisanya lupa bahwa ada BKB, Force Staff, serta posisi mereka terlalu rapat yang membuatnya jadi sasaran empuk Dark Hole.

Beralih ke skena fighting games, satu momen clutch paling ikonik sepanjang masa adalah Evo Moment #37, yang juga disebut momen Daigo parry. Momen itu terjadi pada babak Semi-Final turnamen Street Fighter III: 3rd Strike di EVO 2004. Pertandingan mempertemukan Daigo Umehara dengan Justin Wong, dua pemain yang kerap dianggap rival oleh komunitas, karena punya sudut pandang berbeda dalam memahami Street Fighter.

Di saat momen penentu kemenangan, Daigo sedang sangat terdesak. Jumlah HP karakter Ken yang ia mainkan hanya sebesar pixel saja. Sementara di lain sisi Justin Wong masih punya banyak HP, dan Gauge Meter yang penuh. Kehabisan akal, Chun Li dari Justin lalu mengeluarkan “Super Art” untuk menghabisi Ken dari Daigo. Seharusnya, Ken dari Daigo kalah dong? HP Daigo sisa satu pixel, kalaupun menangkis, damage serangan Chun-Li tetap tembus, dan Daigo jadi kalah.

Tetapi tidak, Daigo yang masih berusia 23 tahun melakukan tindakan melebihi manusia normal. Daigo menahan serangan dengan Parry, yang yang membuat damage serangan musuh jadi tidak masuk.

Melakukan satu kali Parry di dalam Street Fighter itu susah, karena Parry bukan sekadar menahan arah belakang seperti menangkis. Tapi, dalam keadaan yang sangat terdesak, Daigo melakukan LIMA BELAS KALI Parry terhadap gerakan Justin Wong dengan sempurna, membuat seluruh damage kombinasi serangan Super Art milik Justin Wong jadi tidak masuk.

Tak hanya itu, setelah Parry, Daigo membalas serangan dengan kombinasi gerakan yang juga sempurna. Chun-Li dari Justin Wong pun akhirnya berhasil dibuat K.O. Berkat momen tersebut, Daigo Umehara lolos ke babak Final EVO 2004 cabang Street Fighter III: 3rd Strike.

Kalau dari sisi olahraga, berhubung saya tidak terlalu mengikuti sepak bola, jadi satu-satunya clutch play yang paling saya ingat datang dari olahraga American Football. Momen ini terjadi pada musim pertandingan tahun 2014. Seorang pemain rookie bernama Odell Beckham Jr. (OBJ) dari tim New York Giants, berhasil mengejutkan penonton berkat tangkapan dengan satu tangan yang ia lakukan. Padahal keadaannya ia sedang dijaga ketat, bahkan bajunya ditarik, yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran bagi pemain bertahan di dalam olahraga American Football.

Sumber: Al Bello - Getty Images
Sumber: Al Bello – Getty Images

Jadi apakah itu sebuah momen clutch? Agak keterlaluan jika Anda masih meragukan momen tangkapan satu tangan tersebut. Kenapa? Pertama, menangkap bola Football sambil berdiri diam itu sudah cukup sulit, terutama jika lemparannya keras.

Kedua, menangkap bola sambil berlari tanpa dijaga juga susah. Nah, Anda tinggal membayangkan, bagaimana sulitnya menangkap menangkap bola dengan dua tangan, dalam penjagaan yang sangat ketat seperti momen itu. Tapi menariknya, dalam keadaan tertekan, OBJ melakukan tindakan di luar nalar manusia biasa, menjangkau bola dengan satu tangan, berhasil menangkapnya, dan menghasilkan skor Touchdown. Tapi cukup disayangkan, dalam pertandingan tersebut tim New York Giants malah kalah di akhir pertandingan.

Bagaimana Momen Clutch di Esports Bisa Terjadi

Sebelum kita perdebatkan dari faktor eksternal (entah itu lawan lengah karena kena santet, atau lengah gara-gara bad mood karena putus cinta), kita harus melihat bagaimana sebuah momen clutch bisa terjadi berdasarkan dari faktor internal sang atlet.

Membahas ini saya juga berdiskusi dengan Yohannes Paraloan Siagian, sosok yang dulu sempat mengisi posisi Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, dan juga sempat mengisi posisi sebagai Vice President EVOS Esports.

Sebelum artikel ini, saya juga sudah pernah berbincang dengan “Mas Joey” saat membahas perjuangan atlet dari sudut pandang psikologi esports. Ketika membahas soal clutch play, Joey mengatakan bahwa memang ada banyak faktor untuk menentukan sebuah momen itu clutch atau bukan. Namun, kebanyakan faktor lain-lain tersebut datang dari eksternal, yang akan kita bahas pada sub-bagian terakhir.

Namun satu yang pasti, setidaknya ada tiga faktor internal dari seorang atlet/pemain yang memungkinkan hal ini terjadi. Tiga faktor tersebut adalah, kepercayaan diri dan ketangguhan mental, skill si pemain, dan pengalaman si pemain.

Pengalaman dan skill, bisa dibilang berasal dari kemampuan kognitif (membaca situasi, nalar, logika, dan memproses informasi) dan motorik (menggerakan otot tangan, kaki, jari, ataupun tubuh secara keseluruhan) seorang pemain. Sementara faktor ketangguhan mental datang dari kemampuan psikologis seorang pemain.

“Walaupun suatu momen clutch bisa diperdebatkan dari sisi eksternal, namun komponen utama dari Clutch menurut saya adalah confidence dan knowledge of self. Jadi yang pertama dia percaya diri bahwa dia bisa menang dalam situasi tertekan. Kedua, rasa percaya diri itu datang dari pengetahuan akan level kemampuan dia, dan kesadaran atas apa saja yang dapat ia lakukan dalam situasi tersebut. Jadi dalam konsep clutch, seringkali yang bisa menunjukan performance clutch adalah yang merasa bahwa dia sedang memegang kendali pada suatu keadaan di dalam pertandingan.” Joey menjelaskan soal konsep clutch.

Dari sisi skill, satu teori yang bisa menjelaskan fenomena clutch mungkin adalah konsep Muscle Memory. Konsep ini sempat saya jelaskan saat membahas tips aiming pada game FPS, yang intinya adalah semakin lama dan sering Anda melakukan repetisi atas suatu kegiatan, maka akan semakin luwes pula motorik atau gerak tubuh Anda terhadap kegiatan tersebut.

Ada satu fenomena menarik yang sempat dijelaskan oleh seorang neuroscientist dari Universitas Oxford bernama Ainslie Johnstone pada sebuah artikel yang dipublikasikan lewat Medium.

Ia menceritakan soal fenomena seorang pasien bernama H.M, yang menderita amnesia, dan kehilangan kemampuan untuk belajar, serta menciptakan memori baru. Menariknya, H.M ternyata masih memiliki kemampuan dan mahir menggambar, walaupun ia memiliki kondisi tersebut. Namun karena kondisinya, H.M tidak bisa ingat bahwa ia pernah berlatih menggambar, bahkan tidak bisa ingat perlengkapan apa saja yang diperlukan untuk menggambar. Tetapi ketika ia diminta untuk menggambar dengan alat gambar yang sudah dipegang di tangannya, ia dapat menggambar hampir secara tanpa sadar dan otomatis.

Dari penjelasan Joey dan fenomena Muscle Memory, jadi semakin jelas bagaimana momen Clutch bisa terjadi. Saat mengatakan soal skill serta pengalaman, Joey juga menegaskan bahwa dua hal itu tercipta berkat repetisi atau pengulangan terhadap satu kegiatan secara terus menerus.

Hal ini jadi alasan kenapa latihan seorang atlet atau pemain esports berbentuk pengulangan. Seorang pemain esports bisa bermain selama 8 jam dalam sehari, hanya untuk mengulang-ulang hal yang sama. Pemain Dota 2 mungkin sudah menghabiskan ratusan, ribuan, mungkin ratusan ribu jam hanya untuk bermain pada map yang sama, dan menghadapi berbagai macam ragam kombinasi hero. Begitu juga dengan pemain CS:GO, yang mungkin sudah ratusan ribu kali menghadapi lorong panjang yang sama di De_Dust2. Begitu juga dengan pemain Street Fighter seperti Daigo Umehara, yang sudah ratusan ribu kali mengeluarkan command hadouken.

Repetisi ini membuat momen clutch kadang tidak terjelaskan oleh si pemain itu sendiri. Kolega saya sesama jurnalis esports mungkin yang paling paham dengan kondisi pemain esports seperti di atas. Biasanya ketika kami melontarkan pertanyaan soal apa yang ada di pikiran pemain saat momen clutch, para pemain esports kadang cuma bisa menjawab dengan satu kata… Reflek.

Jika kita mendasarkan pada konsep Muscle Memory, jawaban tersebut tidak kita bilang salah. Setelah ratusan, ribuan, bahkan jutaan repetisi, momen clutch yang kita kita anggap rumit, jadi dapat dilakukan hampir secara otomatis oleh sang pemain, bahkan terasa seperti reflek saja.

Kembali ke soal Olahraga, ini juga jadi menjelaskan kenapa OBJ si pemain rookie tim New York Giants, dapat menangkap dengan satu tangan dalam keadaan terdesak.

Ia sempat bercerita, bahwa dirinya ternyata memang dengan sengaja menyertakan tangkapan satu tangan ke dalam latihan, serta pemanasan yang ia lakukan. Padahal, tangkapan satu tangan diperdebatkan oleh para pelatih tim American Football, karena dianggap terlalu pamer dan tidak berguna. Jadi, OBJ bisa melakukan Clutch tangkapan satu tangan karena ia berlatih. Jika OBJ tidak pernah satu kali pun berlatih menangkap bola dengan satu tangan, niscaya momen Catch of the Year tersebut tidak akan pernah terjadi.

Oke, itu tadi soal Muscle Memory, skill, dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemain atau atlet. Faktor kedua datang dari faktor psikologis, yaitu ketangguhan mental sang pemain. Perkara mental memang dalam kompetisi memang penting, termasuk esports. Ellavie Ichlasa Amalia, Senior Writer Hybrid sempat membahas soal beban mental seorang atlet esports, dan berbagai cara untuk menanggulanginya. Dengan mengutip pernyataan dari Mia Stellberg, psikolog tim Australis dan OG, artikel tersebut menjelaskan bagaimana stres bisa berdampak negatif kepada performa pemain esports.

Menariknya, pada sisi lain stres ternyata bisa memberi dampak positif kepada performa pemain. Mengaitkan antara stres, ketahanan mental, serta fenomena Clutch, ada satu teori yang sudah cukup tua untuk menjelaskan hal tersebut. Teori tersebut bernama Yerkes-Dodson Law yang dicetuskan dua orang psikologis, Robert Yerkes dan John Dillingham Dodson, lewat sebuah penelitian yang ia lakukan pada tahun 1908.

Dalam teori tersebut ia menguji bagaimana dampak tekanan terhadap kemampuan tikus menciptakan sebuah habit atau kebiasaan. Mereka mengobservasi 40 tikus percobaan yang diperintahkan untuk memilih antara box hitam atau putih. Tikus yang memilih box hitam akan disetrum, sementara yang memilih box putih akan baik-baik saja. Tikus percobaan akan dianggap berhasil melalui tes apabila ia berhasil memilih box putih secara berturut-turut sebanyak 10 kali tes selama 3 hari.

Dari percobaan tersebut ditemukan, jika level setrum box hitam dinaikan sampai level tertentu, maka akan semakin banyak tikus yang jadi lebih mahir memilih box putih. Namun, jika level setrum terlalu tinggi atau terlalu rendah, jumlah tikus yang memilih box putih jadi semakin sedikit.

Penelitian tersebut kerap kali menjadi dasar penjelasan bahwa performa kerja seseorang bisa meningkat jika sedang mengalami tekanan mental pada tingkat tertentu. Maka, dengan menggunakan dasar teori tersebut, sedikit banyak terjelaskan kenapa dalam keadaan tertekan, seorang atlet atau pemain esports kadang tampil lebih cemerlang.

Pada skena esports, sosok terbaik untuk jadi contoh atas teori tersebut mungkin adalah Andreas Hojsleth, pemain tim CS:GO Astralis yang lebih dikenal dengan nickname Xyp9x. Pemain ini mungkin bukan tipe pemain bintang layaknya Coldzera, namun beberapa tahun ke belakangan ia jadi dijuluki sebagai Clutch Minister oleh komunitas. Julukan ini diberikan karena performa Xyp9x yang secara konsisten meningkat saat keadaannya sedang terdesak.

Andres Bulme salah satu Shoutcaster ternama di skena CS:GO sempat memberikan komentarnya terhadap Xyp9x. “Kami kadang memanggil dia dengan sebutan robot. Ini karena dia seperti selalu bisa memberikan solusi dalam keadaan penuh tekanan, ketika waktu tersisa sangat sedikit, namun banyak pilihan tersedia yang dapat dilakukan.” Ucap Andres.

Fenomena Xyp9x sedikit banyak menjelaskan bagaimana Yerkes-Dodson Law bekerja. Menjelaskan bahwa ternyata memang ada beberapa pemain esports yang justru jadi cemerlang, saat sedang berada dalam tekanan.

Saya juga berdiskusi dengan Joey terkait soal Yerkes-Dodson Law ini.

Joey lalu menjelaskan. “Benar adanya konsep YD (Yerkes-Dodson) menjelaskan semakin naik tekanan, semakin naik performa seseorang. Namun bisa dibilang itu adalah hal yang normal, karena hukum YD berlaku untuk semua orang. Jujur saja, mayoritas orang baru perform atau kerja, ketika ada pressure. Dikejar deadline misalnya, atau seperti kamu yang lagi ditagih artikel oleh Mas Yabes… Haha.” Ucapnya seraya berkelakar.

“Tapi kalau dalam melatih atlet, aku percaya bahwa YD ada benarnya, tetapi ada tambahan. Semakin kita kembangkan kemampuan atlet mengatasi mengatasi tekanan (mental), maka semakin besar tekanan eksternal yang bisa dia terima. Semakin tahan mental, semakin ia bisa perform di atas optimal saat tertekan, sehingga dia akan bisa lebih sering Clutch.” Perjelas Joey, yang punya pengalaman 20 tahun menjadi praktisi pelatihan olahraga dengan latar belakang psikologi, serta pengalaman dalam membina dan melatih atlet remaja sampai menjadi wakil Indonesia di tingkat tim nasional.

Perdebatan soal Momen Clutch

Seperti sempat saya senggol sebelumnya, bahwa momen clutch memang kerap kali diperdebatkan, terutama oleh para analis olahraga. Rob Goldberg, jurnalis olahraga BleacherReport, yang merupakan salah satu media olahraga ternama di Amerika Serikat, memberikan pernyataan berani bahwa clutch sebenarnya adalah produk memori jangka pendek otak manusia di antara para fans dan analis.

Kenapa demikian? Rob Goldberg memang mempertanyakan clutch dari sudut pandang analis olahraga, dan berusaha menggali lebih dalam bagaimana dampak dari satu momen, terhadap hasil yang diperoleh tim secara keseluruhan.

“Misalnya kita bicara momen 1vs5 di game VALORANT. Kalau terjadi di ronde 1 saat skor masih 0-0, apakah itu clutch? Kalau terjadi saat skor 12-12, apakah itu clutch? Kalau skor tim yang tinggal satu orang adalah 0, lalu tim musuh yang masih sisa 5 skornya 8, apakah itu sebuah clutch? Banyak situasi, kondisi, dan timing juga.” Joey menjelaskan dari sudut pandangnya soal melihat apa itu momen clutch dari sudut pandang yang lebih luas.

Sumber: Riot Games
Jika pemain ini bisa menghabisi dua lawannya, apakah itu Clutch, atau hanya beruntung belaka? Sumber: Riot Games

Mungkin ada benarnya juga. Kalau kita bicara game FPS, pemain yang tinggal sendiri akan sangat kesulitan jika menghadapi situasi 1vs5 dengan keadaan musuh datang dari sudut berlawanan secara berbarengan. Pemain yang tinggal sendiri dengan senjata AR juga bisa menang 1vs5 dengan mudah jika musuhnya sedang eco, dan hanya memiliki pistol saja. Pemain dengan Rank Global Elite, juga bisa menang situasi 1vs5 dengan mudah kalau lawannya hanya Rank Silver saja.

Tapi bukan berarti kita harus secara serta merta melupakan faktor internal si pemain itu sendiri. Penonton mungkin bisa merasa suatu momen clutch game FPS 1vs5 itu terjadi karena hoki, gara-gara pemain yang sendirian menghadapi musuhnya secara satu per satu dari sudut yang dapat ia menangkan.

Padahal, bisa jadi pemain yang sendirian itu, jadi menghadapi musuh secara satu per satu karena ia paham betul map yang dimainkan. Dengan pengalaman dan repetisi terhadap suatu map selama bertahun-tahun, ia jadi tahu, dalam suatu momen, sudut mana saja yang memungkinkan dirinya lebih unggul terhadap satu musuh.

Belum lagi soal ketahanan mental dan kemampuan membidik. Jika tidak kuat mental, tangan pemain mungkin sudah gemetar atau lemas, membuat bidikannya jadi tidak stabil. Belum lagi soal komitmen latihan membidik yang ia lakukan selama bertahun-tahun, sehingga membidik area kepala musuh jadi semudah seperti bersiul atau mengendarai sepeda.

Saya sendiri berpendapat bahwa memang kita bisa melihat momen clutch dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang mikro yang lebih sempit.

Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO
Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO

Dalam sudut pandang mikro, kita mengerucutkan momen clutch pada satu pertandingan saat itu saja, dan pada momen itu saja. Terlepas dari bagaimana dampak momen tersebut terhadap tim, dalam sudut pandang mikro, saya tetap merasa momen cemerlang seorang atlet esports tetap bisa disebut clutch. Mengapa? Karena momen tersebut menunjukkan kualitas faktor internal dari seorang atlet. Momen cemerlang tersebut jadi bukti latihan, repetisi, dan ketahanan mental sang atlet esports terhadap tekanan, sehingga ia bisa tampil luar biasa saat berada di bawah tekanan.

Sudut pandang kedua adalah dari sudut pandang makro. Dalam sudut pandang ini, baru kita mempertanyakan momen clutch dari aspek-aspek eksternal. Seperti yang dibahas oleh Joey, kalau ternyata Anda bisa menang 1vs5 tapi tim Anda kalah, momen itu mungkin belum bisa disebut clutch karena kurang memberi dampak terhadap tim secara keseluruhan

Pada akhirnya faktor keberuntungan sebenarnya juga punya peranaan di dalam sebuah pertandingan. Namun jika sudah beruntung, faktor internal si pemain esports tetap menjadi kunci untuk membuka gerbang momen clutch. Bagaimanapun momen clutch tidak akan terjadi, jika sang pemain tidak siap.

Pada saat berdiskusi, Joey menutup obrolan dengan satu kutipan dari aktor Samuel Goldywyn yang mengatakan “The harder i work, the luckier i get.”

[Rekap] Mantan Manajer Esports Moonton Ungkap Keberhasilan MLBB, Update Besar MLBB lewat Project NEXT, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap] rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi perdana kali ini ada beberapa info menarik di skena esports yang sayang untuk dilewatkan. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

Rahasia kesuksesan MLBB di Indonesia menurut mantan manajer esports dari Moonton.

Mobile Legends sukses merebut pasar gamers di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, untuk memenangi persaingan dengan game-game MOBA mobile lainnya. Tak ayal, Indonesia pun menjadi rumah bagi banyak pemain hingga sukses melahirkan para pro player terbaik untuk menguasai scene esportsnya.

Kepada kami mantan Manajer Esports Moonton Lius Andre, mengungkap kunci keberhasilan MLBB di Indonesia dan bagaimana cara menyikapi rivalitas sengit di masa depan seiring dengan hadirnya Lokapala dan masuknya Wild Rift yang tinggal menunggu waktu.

Lius Andre. Via: One Esports
Lius Andre. Via: One Esports

Mobile Legends akan membuat apdet besar yang memberikan perubahan signifikan dalam in-game melalui Project NEXT.

Moonton kian serius mengembangkan Mobile Legends: Bang Bang. Seiring dengan banyaknya rival yang muncul pada genre MOBA mobile, MLBB diyakini tak mau terkejar. Seiring tekad enggan kehilangan pasar, Moonton kemudian mengusung Project: NEXT, sebuah udpate besar terhadap game yang diklaim Brand Director Aswin Atonie tidak akan berpengaruh terhadap spek minimum gawai para pemain.

https://www.youtube.com/watch?v=yQnaGQicKTA

Pernah tampil gemilang di scene MPL ternyata tidak cukup untuk membuat Susugajah bertahan di Aura. Sang bintang mengungkap alasannya.

Pernah tampil gemilang di scene MPL ternyata tidak cukup untuk membuat Susugajah bertahan di Aura. Pemilik nama Ilham Bahrul tersebut sebetulnya sempat mengagetkan scene kompetitif terbesar MLBB di Indonesia namun entah mengapa secara tiba-tiba posisinya digeser Vaanstrong sehingga harus berpuas diri berkiprah di MLD bersama Aura Fire. Ada apa sebenarnya? Sujah menyuguhkan jawabannya.

Tidak ada toleransi untuk rasisme dari EA SPORTS.

Banyaknya ujaran kebencian yang dikeluhkan oleh para pemain seperti yang terlihat di thread sub Reddit NHL 20 (game ice hockey), mendapat respon cepat dari EA Sports. Langkah-langkah pasti diambil oleh mereka termasuk menambahkan tools in-game yang berfungsi untuk melaporkan pemain dengan kebiasaan toxic.

Setelah 26 kekalahan beruntun, tim Dota 2 bentukan pemain legendaris Dendi B8, akhirnya mencicipi kemenangan perdana.

Via: One Esports
Via: One Esports

Setelah menelan 26 kekalahan beruntun, tim Dota 2 B8 bentukan pemain legendaris Dendi, akhirnya mencicipi kemenangan perdana di kualifikasi Beyond Epic region Eropa-CIS. Kemenangan ini dicapai setelah tim merombak susunan roster dengan mendatangkan empat pemain baru ke dalam tim.

Powered by ONE Esports 

esports-logo

tim baru dendi

Dendi Resmi Umumkan Tim Barunya

Dari keluar Natus Vincere, jadi pemain pinjaman di Tigers, masuk ke dalam roster Dota 2 The Pango, dan; kabar terakhir yang didengar pada bulan September kemarin, Danil “Dendi” Ishutin sempat mengumumkan rencananya untuk membuat organisasi esports sendiri saat sesi wawancara di channel Youtube Yana Khymchenko.

Akhirnya, setelah banyaknya penggemar yang menanyakan kabarnya, Danil “Dendi” Ishutin resmi mengumumkan tim Dota 2 baru di organisasi yang baru juga. Melalui channel Youtube pribadi nya, Dendi menjelaskan secara terbuka mengenai update terbaru mengenai tim yang sedang ia garap. Dendi menyebutkan roster Dota 2 nya sudah lengkap, tetapi ia belum bisa mengumumkan nama organisasi ataupun tim barunya.

Sumber: Youtube Channel Яна Химченко
Sumber: Youtube Channel Яна Химченко

“Saya bisa bilang semuanya sedang dalam proses, tim Dota 2 dan organisasinya. Banyak pihak yang membantu dan ikut andil. Tim Dota 2-nya sudah lengkap, tetapi nyatanya semua tidak semudah yang saya pikirkan. Proses ini memakan waktu yang lama, negosiasi yang berbeda, dan lain-lain. Walau prosesnya lama, kita menuju ke arah yang kita inginkan. Saya sangat kesulitan untuk membangun tim Dota 2 dan membuat organisasi esports secara bersamaan. Saya harus mengontrol dan mengawasi banyak hal. Hal ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya, meski sangat sulit. Terutama sebulan ke belakang yang sangat sulit, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan secara bersamaan. Dimulai dengan membangun tim Dota 2 dari nol, lalu saya harus menjadi seorang kapten di bootcamp, seorang manajer, secara tidak langsung juga menjadi coach, drafter, dan lain-lain.”

Dendi menjelaskan ia membutuhkan kerangka untuk mulai membangun timnya. Dendi dibantu oleh Nikola “LeBronDota” Popović dan Alik “V-Tune” Vorobey untuk mendirikan fondasi tersebut. “Saya tahu apa yang saya harapkan mengenai LeBronDota. Ia berkembang pesat setelah bermain di Na’Vi. Saat itu saya juga menyukai kepribadiannya dan sebagai pemain Dota 2. LeBronDota seorang pekerja keras.”

Hal yang sama juga ia ucapkan mengenai V-Tune, “Saya sangat menyukai caranya bermain dan bagaimana ia bertindak di game. Secara kemampuan, ia memang sangat memadai.” Awalnya, mereka berdua bertemu di Aachen City Esports.

Dimulai dari mereka bertiga, pencarian roster pun dimulai.  Mencari yang cocok untuk melengkapi kerangka yang sudah terbentuk ini. Pilihan mereka jatuh pada Rinat “KingR” Abdullin dan Alexey “nongrata” Vasilyev. Dendi menyebutkan bahwa ia belum pernah sekalipun bermain bersama KingR, tetapi banyak sekali review dan komentar positif mengenai KingR. Dan jodohnya, KingR juga ingin sekali bermain di posisi 4. Posisi yang memang sedang kosong dan sedang dicari. Dendi menekankan pentingnya mencari posisi 4 terlebih dahulu ketimbang posisi 3, karena kedua role ini akan sering berinteraksi satu sama lain di dalam game. Maka, sudah sewajarnya kedua role ini memiliki sebuah chemistry dari awal. Akhirnya KingR menyarankan nongrata sebagai posisi 3.

Sumber: Youtube Channel Dendiboss
Sumber: Youtube Channel Dendiboss

Bootcamp yang sedang mereka jalani ini terletak di lokasi milik Team Spirit. Di videonya, Dendi mengucapkan banyak terima kasih kepada Team Spirit yang sudah membantu menyediakan tempat untuknya. Dan ia juga mengucapkan selamat kepada Team Spirit yang berhasil melaju ke Minor.

Minimnya pengalaman bermain bersama masing-masing anggota timnya kini menjadi kesulitan tersendiri bagi Dendi untuk mencapai hasil yang produktif selama di bootcamp. “Saya siap untuk dipindah ke posisi lain di dalam tim. Saya sudah mempersiapkan diri. Hal ini guna memperbanyak opsi ke depannya apabila saya memang benar-benar harus untuk bermain di posisi lain.

KingR dan LeBronDota | Sumber Youtube Channel Dendiboss
KingR dan LeBronDota | Sumber Youtube Channel Dendiboss

Ketika open qualifier region CIS untuk DreamLeague Season 13, mereka berhasil mengalahkan tim FlyToMoon walau harus kalah atas Modus Unity di babak 16 besar. “Hasilnya memang buruk, tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Tetapi kami tidak akan menyerah, kami akan terus bekerja. Kami menyadari ini adalah awal dari perjalanan.”

Selayaknya seorang pemimpin, Dendi tidak menyalahkan anggota timnya ketika kalah melawan Modus Unity. “Saya memilih hero yang lebih buruk dibandingkan musuh. Ini adalah kesalahan saya dan saya bisa bilang kekalahan ini seutuhnya karena saya.”

Dendi berharap setelah bootcamp ini selesai, mereka berlima tetap bekerja keras dan menjadi yang lebih baik guna menghadapi open qualifier di bulan Februari 2020 mendatang.

Dendi

TI9 Dimulai, Dendi Kembali ke Kancah Dota 2 Bersama Tim The Pango

Babak penyisihan (Open Qualifier) untuk The International 2019 telah dimulai! Ratusan tim dari berbagai penjuru dunia saling beradu untuk merebut slot partisipasi di puncak kompetisi Dota 2 tersebut. Open Qualifier ini berlangsung pada tanggal 3 – 7 Juli 2019, kemudian dilanjutkan dengan Regional Qualifier di minggu berikutnya. Di Indonesia pun ada beberapa tim mencoba peruntungan, contohnya EVOS Esports yang sudah lolos ke babak Regional Qualifier.

Ada yang menarik dari wilayah Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS). Anda mungkin beberapa waktu lalu sudah mendengar tentang hengkangnya Dendi alias Danil Ishutin dari tim Tigers, tapi setelah itu nasib Dendi belum diketahui, terutama ke tim mana dia pindah. Kini akhirnya misteri itu terkuak. Dendi rupanya juga mendaftarkan diri ke The International 2019 bersama tim baru, The Pango.

Tigers - Dendi Join
Dendi ketika bergabung dengan Tigers | Sumber: Tigers

The Pango adalah tim yang usianya masih cukup baru, tapi tidak benar-benar baru. Mereka terbentuk di tahun 2018, berdekatan dengan dirilisnya hero Pangolier di Dota 2. Dulunya tim ini bernama NoPangolier, sebagai candaan karena Pangolier dinilai sebagai hero yang sangat imba. Kemudian di awal 2019 ini mereka mengubah nama menjadi The Pango ketika hendak mengikuti Chongqing Major.

Dendi sendiri, meskipun sudah tidak bermain dengan tim Dota 2 NaVi, sebetulnya masih merupakan bagian dari organisasi tersebut. Jadi statusnya di The Pango hanyalah pemain pinjaman (loan). Ketika bermain bersama Tigers pun Dendi sebenarnya juga berstatus loan.

Berikut ini daftar roster The Pango sekarang:

  • Posisi 1: Chappie (Vladimir Kuzmenko)
  • Posisi 2: Dendi (Danil Ishutin)
  • Posisi 3: Ghostik (Andrey Kadyk)
  • Posisi 4/5: yamich (Daniyal Lazebny)
  • Posisi 4/5 + Kapten: Misha (Mikhail Agatov)
  • Cadangan: Naive- (Aybek Tokaev)

Lalu bagaimana performa The Pango di The International 2019? Cukup disayangkan, mereka gagal di Open Qualifier pertama pada tanggal 4 Juli kemarin, kalah oleh tim FlyToMoon. Tapi masih ada kesempatan berikutnya di Open Qualifier kedua. Kebetulan kualifikasi kedua itu berjalan pada hari yang sama dengan hari ketika artikel ini ditulis.

Bila mereka berhasil lolos, apalagi sampai ke babak utama, ini akan menjadi pembuktian bagi Dendi bahwa dirinya masih layak dipandang sebagai pemain top tier. Dendi memang pernah meraih gelar juara dunia, tapi belakangan ini banyak pemain lain—terutama midlaner—yang bisa menunjukkan permainan lebih baik. Meski demikian saya tetap berharap The Pango bisa maju hingga ke babak utama, karena esports Dota 2 rasanya kurang lengkap bila tanpa Dendi.

Sumber: VPEsports, The Pango, Dota 2 Maincast

Kilas Balik 8 Tahun Sepak Terjang Dendi Bersama Na’Vi

Berbicara tentang esports, apalagi seputar Dota 2, kita pasti tak bisa lepas dari topik seputar Dendi. Pria bernama asli Danil Ishutin ini adalah salah satu pemain Dota 2 profesional paling terkenal, sekaligus juga merupakan ikon yang sangat melekat dengan game buatan Valve tersebut. Keahliannya sebagai pemain mid yang kreatif serta kepribadiannya yang ramah telah memenangkan hati jutaan penggemar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dendi juga terkenal karena kesetiaannya pada tim yang telah membesarkan namanya, Natus Vincere (Na’Vi). Atlet esports berpindah-pindah tim itu sudah biasa. Tapi Dendi tinggal di satu tim saja selama delapan tahun, dan itu luar biasa. Bahkan saat Na’Vi sedang kering prestasi, di tengah cemoohan dan skeptisisme penggemar Dendi tetap bermain dengan penuh semangat.

Sayangnya, pada tanggal 1 September 2018, Na’Vi resmi mengumumkan bahwa Dendi tak lagi bersama mereka. Keputusan ini diambil setelah tim Na’Vi menunjukkan performa yang buruk di turnamen The International 2018. Mereka yang dulu mantan juara dunia kini tersingkir, tereliminasi di babak kualifikasi setelah kalah melawan tim Espada dan imagine hehe.

Dendi Dota 2 Millionaire
Cuplikan artikel tentang Dendi setelah menjadi juara dunia | Sumber: Steelseries

CEO Na’Vi Yevhen Zolotarov mengakui bahwa keberadaan Dendi adalah era bersejarah untuk tim asal Ukraina tersebut. Era itu telah berakhir, menyisakan kesan mendalam bagi para penggemar. Seperti apa suka duka perjalanan Dendi bersama Na’Vi? Mari kita kenang kembali.

Merintis karier sejak remaja

Dendi adalah pemain berbakat yang sudah memulai kariernya sebagai gamer profesional sejak remaja. Di kampung halamannya di Ukraina, Dendi terkenal sebagai jagoan Warcraft III yang langganan juara. Namun setelah menemukan DotA, Dendi lebih fokus memainkan custom map tersebut. Uniknya, kiprah Dendi di dunia DotA awalnya bukanlah sebagai pemain mid, namun support.

Tim profesional pertama Dendi adalah Wolker Gaming, tim lokal yang cukup sukses pada masa itu. Ketika debut di tahun 2006, Dendi masih berusia 17 tahun. Di tim ini pula ia bertemu dengan Goblak (Artur Kostenko) yang nantinya juga akan menjadi partnernya di Natus Vincere. Bersama Wolker Gaming, Dendi berhasil tampil gemilang dan meraih posisi runner-up di kompetisi bergengsi MYM Prime Defending.

Dendi - Young
Dendi (tengah) mengikuti kompetisi di masa muda | Sumber: Prodota.ru

Selain Wolker Gaming, Dendi juga sempat bergabung dengan beberapa tim lain seperti Kingsurf International (Ks.Int) dan DTS Gaming. Di tim terakhir ini Dendi meraih tiga besar di berbagai kejuaraan, seperti ESWC 2010 dan WDC 2010. Kemudian, di akhir 2010, Dendi akhirnya hijrah ke Natus Vincere.

Juara dunia pertama

Dendi memulai debutnya di bidang Dota 2 bersama Natus Vincere. Saat itu Dota 2 bahkan belum dirilis secara resmi, masih dalam fase closed beta, namun peminatnya sudah sangat banyak. Tahun 2011 adalah tahun bersejarah. Untuk pertama kalinya, ada turnamen Dota tingkat dunia dengan hadiah jutaan dolar, dengan nama The International (TI).

Sebelum The International, hadiah turnamen turnamen Dota 2 biasanya berkisar antara US$1.000 atau US$15.000 saja. Ketika Valve belum merilis pengumuman resmi, rumor menyebar bahwa The International akan menawarkan hadiah kurang lebih US$50.000. Karena itulah ketika akhirnya diungkap total hadiah senilai US$1,6 juta, kancah esports gempar.

https://www.youtube.com/watch?v=1VkZm0cQ0LM

The International pertama diadakan di kota Cologne, Jerman. Na’Vi yang berhasil tembus hingga ke babak Grand Final harus berhadapan dengan EHOME, salah satu tim favorit juara asal Cina. Pertarungan antara kedua tim berjalan ketat, namun Na’Vi berhasil menunjukkan kerja sama yang sangat baik

Kombinasi permainan Dendi dan XBOCT (Alexander Dashkevich) yang agresif membuat EHOME kelabakan. Dendi gemar memilih hero dengan mobilitas tinggi, seperti Puck dan Queen of Pain. Gerakan serta positioning Dendi yang mengejutkan berulang kali merusak strategi EHOME. Na’Vi berhasil juara dunia Dota 2 pertama, dan pulang membawa uang hadiah 1 juta dolar.

“Fountain Hook” yang melegenda

Kemenangan di The International membuat popularitas Na’Vi melejit. Begitu pula Dendi yang saat itu disebut-sebut sebagai “The Dota 2 Millionaire” (jutawan Dota 2). Pada periode 2011 – 2013 nama Na’Vi disegani dan dianggap salah satu tim terkuat dunia, sementara Dendi dianggap sebagai salah satu pemain mid terbaik.

NaVi 2013
XBOCT, Funn1k, KuroKy, Dendi, dan Puppey. Tim Na’Vi tahun 2013 ini sangat ditakuti. | Sumber: Valve

Lusinan gelar juara disabet Na’Vi di masa gemilang ini. Mulai dari ajang ESWC (Electronic Sports World Cup), StarLadder Series, DreamLeague, The Defense, semua tak luput dari dominasi mereka. Performa Na’Vi di The International berikutnya pun sangat meyakinkan. Mereka berhasil meraih juara dua selama dua tahun berturut-turut.

Momen paling mengesankan diciptakan oleh Dendi dan Puppey (Clement Ivanov) pada The International 2013, ketika Na’Vi berhadapan dengan tim TongFu di semifinal (Winners’ Finals). TongFu pada awalnya mendominasi permainan. Tapi kemudian terjadi hal tak terduga.

Hero Dendi saat itu, Pudge, memiliki kemampuan untuk menarik lawan dengan rantai (hook). Sementara hero Puppey, Chen, dapat mengembalikan hero teman ke markas (fountain) dengan teleportasi. Karena suatu bug, bila Chen mengirim Pudge ke markas tepat saat Pudge menarik musuh, maka musuh juga akan ikut terseret sampai ke markas.

Interaksi ini dikenal dengan istilah “Fountain Hook”, dan sebenarnya sudah ada dalam Dota 2 sejak lama. Namun Na’Vi adalah tim pertama yang menggunakannya di turnamen internasional. Meski sempat terjadi kontroversi, Valve sendiri menyatakan, “Jika hal itu ada di dalam game, kamu boleh menggunakannya.” Na’Vi mengeliminasi TongFu sebelum akhirnya kalah oleh tim Alliance di babak final.

Fountain Hook menjadi momen paling berkesan dari The International 2013. Sayangnya banyak pernyataan protes dari penggemar akan kejadian tersebut, hingga akhirnya Valve merilis patch untuk menghilangkan “fitur” itu dari Dota 2.

Perpisahan dengan sahabat

Hidup itu bagaikan roda. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Bagi Na’Vi, tahun 2014 adalah awal dari masa kelam. Mereka sempat memenangkan beberapa kompetisi di awal tahun, tapi semakin lama performa mereka semakin menurun. Di The International 2014, Na’Vi harus puas menempati posisi tujuh.

Setelahnya, Na’Vi pun pecah. Puppey dan KuroKy (Kuro Salehi Takhasomi) keluar, membentuk tim baru bernama Team Secret. Na’Vi sempat berganti-ganti anggota beberapa kali selama setahun. Salah satu anggota barunya adalah SoNNeikO (Akbar Butaev) yang nantinya berperan besar dalam perjalanan Na’Vi, namun selain itu susunan pemain Na’Vi tidak begitu stabil.

Puppey vs Dendi
Puppey dan Dendi, dari partner menjadi rival

The International 2015 menempatkan Na’Vi pada posisi yang aneh. Dulunya mantan juara, mereka kini bahkan tak masuk dalam daftar tim undangan. Na’Vi harus berjuang melalui tahap kualifikasi sebelum masuk ke turnamen utama. Itu pun hasilnya jeblok. Na’Vi finis di peringkat terakhir.

Bisa ditebak betapa deras hujatan datang dari para penggemar akibatnya. Dendi, sebagai pemain Natus Vincere paling populer, turut menerima imbasnya. Banyak tawaran datang agar Dendi pindah ke tim Cina, atau setidaknya mencoba posisi lain. Banyak juga yang menyuruhnya pensiun. Tapi Dendi tetap bergeming.

Tahun 2016 kondisi Na’Vi sedikit membaik. Mereka sempat memenangkan beberapa kejuaraan seperti StarLadder i-League dan Dota Pit League. Para penggemar berharap Na’Vi dapat melakukan comeback, tapi ternyata di The International 2016, lagi-lagi mereka menduduki peringkat bontot.

Zero to hero, hero to zero

Di tengah kondisi Na’Vi yang minim prestasi, senyum dan semangat Dendi terus menjadi daya tarik bagi para penggemar setia. Ia bisa saja mengambil jalan pintas dengan pergi ke tim lain, tapi menurutnya sebuah masalah harus diselesaikan, bukan dihindari. Bagaimana Dendi menghadapi kesulitan ini terangkum dalam film dokumenter singkat berjudul Dendi: The Story of Dedication.

Dendi juga terkenal tidak sungkan bertingkah lucu di depan publik. Saat The International 2015 misalnya, ia menjadi salah satu pemain yang ikut dalam pertandingan all-star 10 lawan 10. Tapi ia menyamar menjadi pemain misterius dengan mengenakan kostum hero Pudge. Di pertandingan itu, Dendi dan Puppey akhirnya bermain bersama lagi setelah sekian lama.

Meski anggota tim Na’Vi masih terus berubah, ada dua orang yang mulai menonjol di sini, yaitu SoNNeikO dan GeneRaL (Victor Nigrini). Merekalah yang berperan besar mengantarkan Na’Vi kembali menjadi juara Starladder i-League, gelar juara pertama Na’Vi setelah dua tahun, SoNNeikO didapuk menjadi kapten baru Na’Vi. Sementara itu, XBOCT yang sudah bersama Na’Vi cukup lama, kini berganti peran menjadi coach.

The International 2017 menjadi titik nadir dalam sejarah Natus Vincere. Untuk pertama kalinya, tim berlogo warna kuning dan hitam ini bahkan tidak tampil di turnamen utama karena gagal lolos kualifikasi. Di era ini Valve juga menciptakan kompetisi global berskala lebih kecil yang disebut turnamen Major dan Minor. Tak satu pun di antaranya dimenangkan Na’Vi.

Kegagalan yang sama kembali terulang di The International 2018. Mungkin memang sudah waktunya Na’Vi berbenah. Bila tidak beradaptasi, ada kemungkinan tim Dota 2 Natus Vincere harus bubar. Dendi adalah sosok tak tergantikan di Na’Vi, tapi Na’Vi butuh orang yang bisa memberi hasil nyata. Karena itulah, dengan berat hati. Na’Vi akhirnya melepas Dendi dari tim. Pengumuman lengkapnya dapat Anda lihat pada video di atas (nyalakan subtitle untuk bahasa Inggris).

Apa langkah Dendi selanjutnya setelah tak lagi berada di bawah bendera Na’Vi? Banyak orang mengira ia akan pensiun, tapi pria yang kini berusia 29 tahun itu sudah mengkonfirmasi bahwa ia akan terus bermain dan saat ini tengah mencari tim baru.

Satu hal yang pasti, naik turun kehidupan tidak akan mengubah sifat Dendi yang selalu ceria. Tidak ada yang tahu seperti apa masa depan Dendi, dan kita hanya bisa berharap masa depan itu akan cerah.

Gambar header: Navi Dota 2.

The International 2018 Bakal Dimeriahkan Pertandingan Tim AI Melawan Tim Profesional

Mengembangkan AI (artificial intelligence) yang dapat bermain catur mungkin sudah terdengar begitu kompleks, tapi itu terkesan tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan salah satu proyek yang dikerjakan OpenAI, organisasi nirlaba yang salah satu pendirinya adalah bos Tesla, Elon Musk.

Setahun lalu mereka menciptakan AI atau bot yang mampu mengalahkan sejumlah pemain Dota 2 profesional dalam pertandingan satu lawan satu, termasuk Dendi dan SumaiL. Menjelang perhelatan turnamen akbar The International tahun ini, OpenAI menyiapkan bot-nya untuk kembali menantang para pemain pro, kali ini dalam pertandingan tim.

Dota 2 adalah game yang sangat rumit, saya kira semuanya setuju soal itu. Tingkat kesulitan bermainnya bahkan semakin meningkat ketika kita harus berkoordinasi dengan empat pemain lain. Singkat cerita, mengajari AI untuk bermain Dota 2 sudah sulit, apalagi ditambah mengajari mereka untuk berkoordinasi satu sama lain.

OpenAI menerapkan metode trial-and-error untuk mengajari AI-nya, sehingga seiring berjalannya waktu sang AI bisa menyempurnakan sendiri gaya bermainnya. Tidak tanggung-tanggung, tim OpenAI menjalankan Dota 2 di lebih dari 100.000 CPU, dan setiap harinya sang AI dapat memainkan Dota 2 dengan durasi setara 180 tahun.

Jadi dalam kurun waktu beberapa jam saja, AI pada dasarnya bisa bermain jauh lebih sering ketimbang manusia di sepanjang hidupnya. Namun perlu diingat, cara belajar AI dan manusia sangatlah berbeda, jadi ini bukan berarti AI bisa langsung jadi lebih jago karena punya jam terbang yang jauh lebih lama.

Juga perlu diperhatikan adalah sejumlah batasan yang diterapkan OpenAI selama melatih AI-nya. Yang paling utama adalah penggunaan konfigurasi hero yang sama persis pada kedua tim. Selain itu, beberapa elemen penting seperti warding juga dihilangkan, dan beberapa keputusan, seperti misalnya memilih skill yang hendak dinaikkan levelnya, masih mengandalkan bantuan manusia.

Rencananya pertandingan antara OpenAI melawan tim profesional bakal dilangsungkan pada tanggal 28 Juli mendatang, dan akan disiarkan secara langsung melalui channel Twitch OpenAI.

Sumber: Engadget.