Korporasi besar makin mawas diri dengan keberadaan startup. Mereka sadar daripada berlomba-lomba untuk mengejar startup, tapi di saat yang bersamaan tidak ingin terlena dengan terjangan inovasi yang dihadirkan pemain startup. Akhirnya memaksa mereka untuk berinovasi yang dimulai dari internal. Namun bagaimana caranya?
Dalam salah satu diskusi panel yang digelar Echelon Asia Summit 2019 sebulan lalu di Singapura, menghadirkan empat pembicara. Mereka adalah Winston Damarillo (Amihan), Audrey Kuah (Dentsu Aegis Network), Terrence Ng (Lenovo), dan Quentin Vaquette (ENGIE).
Keempat pembicara ini memberikan tips bagaimana mengukur kesuksesan korporasi untuk berinovasi seperti startup, apa saja yang harus dihindari agar tidak mengulang dari pengalaman yang sudah mereka alami sendiri.
Bangun budaya intrapreneurship
Intrapreneurship adalah budaya yang dianut penuh oleh startup. Membebaskan tim untuk bereksperimen dan berani menerima kegagalan. Dua hal ini yang paling ditakuti oleh suatu korporasi di manapun. Akhirnya mengakar dalam budaya kerja yang diterapkan.
Padahal, intrapreneurship itu bahan penting yang perlu selalu ada tidak hanya di startup tapi juga di perusahaan pada umumnya. Sebab menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan inovasi korporasi dapat sukses.
Inovasi adalah proses dinamis yang membutuhkan banyak ide untuk dieksekusi. Lalu disaring satu per satu, disempurnakan, sampai akhirnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu biarkan karyawan Anda mencoba cara mereka untuk mewujudkan ide tersebut dan Anda akan mendapat proses inovasi.
“Tantangan skalabilitas di perusahaan saat berinovasi selalu mengenai mindset dan budaya perusahaan,” terang Audrey.
Kegagalan akan terus menghantui dan itu sudah menjadi bagian dari proses inovasi. Anda harus siap dengan hal itu. Yang terpenting setelah gagal adalah berani untuk move on dan memperbaiki kesalahan tersebut. Semakin sering gagal, harus dijadikan peluang untuk lebih baik lagi dalam berinovasi.
Komitmen penuh dari C Level
Mindset tidak akan berpengaruh sama sekali apabila tidak ada dukungan penuh dari C level. Korporasi yang berkomitmen ingin berinovasi, setidaknya memiliki satu direksi yang paham betul semua seluk beluk mengenai dunia inovasi, entrepreneurship, dan startup. Pasalnya, ke depannya semua keputusan yang dia ambil secara tidak langsung berkaitan dengan perspektif inovasi.
Damarillo menyebutkan, kebanyakan C level dilatih untuk berpikir secara jangka pendek, per kuartal, atau tahunan saja. Padahal inovasi itu adalah bentuk investasi jangka panjang yang harus dilakukan secara terus menerus.
Pivot yang menjadi hal lumrah bagi startup, menjadi hal yang begitu menakutkan buat mereka. Dia pun memprediksi setidaknya butuh waktu selama tiga bulan sampai setahun untuk benar-benar mencerna seluruh hal baru tersebut sampai akhirnya siap menjadikannya sebagai prioritas.
“Setiap bisnis yang beroperasi saat ini punya risiko di-disrupt oleh startup. C level harus sadar dengan fakta tersebut,” katanya.
Buat kolaborasi dengan startup
Startup dan korporasi itu saling melengkapi satu sama lain. Ada kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki. Hal inilah yang ditekankan oleh Vaquette. Korporasi besar menurutnya ahli dalam mengoptimalkan bisnis, sementara startup itu lebih ke arah kecepatan atau agile.
Bisa kita sendiri lewat kolaborasi yang kini kian kencang antara startup fintech dengan perbankan. Keduanya saling melengkapi. Bank kini tidak perlu buka cabang untuk mendapatkan nasabah baru, cukup memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh startup.
Solusi lainnya adalah membentuk tim kecil dan menunjuk orang yang bertanggung jawab atas tim tersebut untuk berinovasi. Kepala tim inilah yang akan berhubungan langsung dengan C level untuk koordinasinya. Biarkan tim tersebut bekerja seperti startup, tanpa harus terbentur dengan birokrasi.