Tag Archives: developer game

Developer Game Indonesia Dominasi SEA Games Awards 2021, Rebut 5 dari 10 Kategori Penghargaan

Ajang SEA Games Awards 2021 telah usai digelar pekan lalu, dan Indonesia boleh berbangga melihat sekumpulan developer-nya mendominasi perhelatan tersebut. Dari 10 kategori penghargaan yang diperebutkan, 5 di antaranya berhasil dimenangkan oleh developer game asal tanah air.

Di kategori Best Game Design misalnya, ada rogue-lite platformer Rising Hell yang keluar sebagai pemenang, mengalahkan judul-judul lain seperti Tank Brawl 2: Armor Fury, The Signal State, Malice, dan Eldritch. Rising Hell dikembangkan oleh Tahoe Games, studio game indie yang bermarkas di kota Kediri.

Rising Hell tak hanya menerima pujian dari sisi gameplay. Musik heavy metal dalam game ini rupanya juga cukup memukau sampai-sampai ia berhasil memenangkan kategori lain, yakni Best Audio. Padahal, saingannya di kategori ini bisa dibilang berat-berat, termasuk Coffee Talk yang soundtrack resminya kini dikemas sebagai vinyl.

Selanjutnya, ada kategori Best Technology yang dimenangkan oleh Biwar Legend of Dragon Slayer karya Devata Game Production asal Bali. Biwar merupakan sebuah action adventure dengan banyak elemen puzzle. Grafiknya tampak memukau berkat penggunaan Unreal Engine 4, akan tetapi bagian yang lebih istimewa adalah, keseluruhan game-nya menggunakan dialek tradisional Bali.

Beralih ke kategori Best Visual Art, giliran When the Past Was Around yang terpilih sebagai pemenang. Game petualangan ini digarap oleh Mojiken Studio, developer asal Surabaya yang portofolionya memang dipenuhi oleh game-game yang masing-masing memiliki art style uniknya sendiri-sendiri.

Kategori kelima sekaligus yang paling prestisius adalah Grand Jury Award yang berhasil dimenangkan oleh Coffee Talk. Mahakarya Toge Productions ini sejatinya sudah tidak perlu perkenalan lagi, dan game-nyapun juga telah beberapa kali mendapat sorotan internasional sejak diluncurkan pertama kali di awal 2020. Sekuelnya sudah dijadwalkan meluncur tahun depan.

Lanjut ke kategori Best Innovation, ada Airship Academy karya Revolution Industry. Dengan lebih dari 150 komponen yang bisa dipasangkan ke lebih dari 30 jenis rangka pesawat yang berbeda, kompleksitas yang ditawarkan game ini betul-betul tidak perlu diragukan. Di saat yang sama, pengembangnya masih bisa menyajikan narasi yang tidak kalah mendalam.

Bicara soal narasi, kategori Best Storytelling dimenangkan oleh DeLight: The Journey Home karya developer Malaysia, DreamTree Studio. Game ini menceritakan kisah seorang perempuan tuna netra dalam perjalanannya bertemu kembali dengan orang tuanya. Selama bermain, pemain bakal dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit, dan semua ini akan berdampak langsung pada alur cerita game.

Untuk kategori Audience Choice Award, pemenangnya adalah Fallen Tear: The Ascencion, sebuah metroidvania dengan bumbu open-world dan grafik 2D yang memukau. Dibuat oleh studio asal Filipina, CMD Studios, Fallen Tree terlihat menjanjikan meski sejauh ini masih dalam tahap pengembangan.

Kategori berikutnya, yakni Best Student Game, berhasil direbut oleh Water Child. Game dengan atmosfer yang kuat dan musik yang emotif ini digarap oleh sekelompok mahasiswa UOW Malaysia KDU University College yang menamai dirinya SkyJus Works.

Terakhir, ada kategori Rising Star Award yang dimenangkan oleh Exist.EXE karya Skyfeather Games Studio. Game ini banyak terinspirasi oleh JRPG klasik, dengan sistem combat turn-based yang unik dan agak berbeda dari biasanya.

Buat yang tertarik menyaksikan perhelatan SEA Games Awards 2021 secara lengkap, Anda bisa menonton siaran ulangnya di laman Facebook resmi eGG Network.

Via: IGN.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Publisher Game Indie Annapurna Interactive Umumkan Studio Internal Pertamanya

Dibandingkan dengan nama-nama seperti EA, Take-Two, atau Activision, nama Annapurna Interactive mungkin masih terdengar asing di industri video game. Tidak mengherankan mengingat Annapurna baru berkiprah sejak Desember 2016, namun dalam kurun waktu yang singkat itu, Annapurna sudah berhasil menempatkan dirinya di jajaran publisher game terbaik.

Judul-judul permainan seperti “What Remains of Edith Finch”, “Ashen”, “Outer Wilds”, “Sayonara Wild Hearts”, dan “Kentucky Route Zero” adalah beberapa dari koleksi game terbitan Annapurna yang berhasil mendulang sukses, dan sekarang mereka juga ingin terjun ke bidang game development secara langsung dengan mengumumkan studio internal pertamanya.

Studio baru yang belum diketahui namanya ini mengambil Los Angeles sebagai markasnya, dan sejauh ini masih dalam tahap rekrutmen. Di situsnya, tercatat bahwa Annapurna sedang mencari seorang game director dan senior producer untuk menakhodai proyek perdananya. Tidak dijelaskan seperti apa kira-kira game-nya, tapi yang pasti bakal digarap menggunakan Unreal Engine.

Melansir Games Industry, pimpinan Annapurna Interactive, Nathan Gary, mengaku bahwa sebagian besar personel timnya memiliki riwayat bekerja di bidang game development, dan tampaknya inilah yang mendasari keputusan Annapurna untuk mendirikan studio sendiri. Sebelum menekuni industri game, Annapurna sendiri lebih dulu dikenal di industri film di bawah label Annapurna Pictures.

Kabar ini terdengar menarik mengingat Annapurna Interactive sempat dirumorkan bakal bangkrut tahun lalu akibat terlilit utang, meski akhirnya mereka sudah lepas dari perkara tersebut. Mungkin juga Annapurna akhirnya menyadari bahwa terkadang kondisinya lebih memungkinkan bagi mereka untuk mendanai proyek bikinannya sendiri, ketimbang mendanai tim developer luar dan mengambil sebagian dari keuntungannya.

Satu hal yang pasti, di titik ini Annapurna sudah terbukti sangat cekatan dalam melihat potensi video game karya tim-tim kecil. Pendekatan yang mereka terapkan tergolong cukup selektif, terbukti dari sedikitnya judul-judul permainan yang mereka rilis setiap tahunnya. Untuk 2021, saya pribadi tidak sabar menanti game berjudul Stray yang akan Annapurna rilis di PS5 dan PC.

Sumber: Games Industry.

Tempuh Jalur Independen, Pendiri Blizzard Dirikan Perusahaan Game Baru, Dreamhaven

Setelah mundur dari jabatan CEO Blizzard di tahun 2018, Mike Morhaime akhirnya punya proyek baru yang bakal sangat menarik perhatian industri gaming. Pada tanggal 23 September 2020, pendiri Blizzard tersebut memperkenalkan Dreamhaven, sebuah perusahaan video game baru yang ia dirikan bersama istrinya, kali ini independen dan tanpa campur tangan pihak luar.

Poin tentang independen ini penting terutama kalau melihat sejarah Blizzard. Mungkin tidak banyak yang tahu, akan tetapi Mike Morhaime sebenarnya sudah menjual Blizzard sejak tahun 1994 dengan nilai $6,75 juta. Kala itu, perusahaannya bahkan belum memakai nama Blizzard, dan Warcraft pun masih belum eksis.

Alhasil bisa dikatakan Mike Morhaime dan timnya sama sekali tidak punya hak kepemilikan atas beragam franchise tersukses Blizzard macam Warcraft, Starcraft, Diablo, maupun Overwatch. Lewat Dreamhaven, Mike sepertinya tidak mau mengulangi kesalahannya dengan Blizzard, meski ke depannya ia tetap bakal mempertimbangkan peluang kerja sama dengan investor yang tertarik.

Yang cukup menarik, Dreamhaven diperkenalkan ke publik dengan dua studio terpisah sekaligus di bawah naungannya: Moonshot Games dan Secret Door. Keduanya sama-sama dimotori oleh para alumni Blizzard dengan pengalaman yang panjang di industri gaming. Sejauh ini, dari 27 total karyawan Dreamhaven, cuma satu yang sebelumnya tidak pernah merasakan bekerja di Blizzard.

Mike Morhaime
Mike Morhaime / Sumber gambar: Games Industry

Berdasarkan laporan Washington Post yang sempat mewawancarai Mike Morhaime secara langsung, Moonshot Games bakal berfokus pada proyek yang berskala lebih besar, sedangkan Secret Door akan mengeksplorasi “konsep yang lebih intim” – apakah game mobile? Meski sejauh ini belum ada judul game spesifik yang sedang dikerjakan oleh kedua studio tersebut, kemungkinan besar game pertama yang bakal dipublikasikan oleh Dreamhaven adalah game multiplayer.

Kalau melihat riwayat sukses Blizzard dengan kategori game multiplayer, semestinya prediksi ini tidak akan terdengar terlalu mengejutkan. Lebih lanjut, game multiplayer tentu juga berpotensi mempunyai ekosistem esports sendiri, dan saya tidak heran apabila esports bakal menjadi salah satu area yang diincar oleh Dreamhaven, terutama kalau mempertimbangkan jabatan lama istri Mike, Amy Morhaime, selaku pimpinan divisi esports Blizzard.

Seperti yang kita tahu, esports merupakan lahan uang, dan menciptakan setidaknya satu game dengan ekosistem esports yang sukses bakal berdampak positif terhadap kondisi finansial jangka panjang Dreamhaven. Harapannya tentu saja adalah supaya mereka tetap bisa berkarya sesuai dengan idealisme mereka, dan kali ini tanpa terhambat perkara uang seperti yang terjadi pada Blizzard lebih dari dua dekade silam.

Moonshot Games

Kontrol, itulah kata kunci yang ingin saya asosiasikan dengan Dreamhaven. Kalau Blizzard dulu sudah bisa menciptakan deretan game yang berkualitas di bawah kendali korporasi – yang tentu saja lebih terpaku pada aspek bisnis ketimbang idealisme – sekarang bayangkan bagaimana jadinya kalau orang-orang yang sama di balik gamegame luar biasa tersebut bisa bekerja tanpa ada pihak yang terlalu membatasi gerak-gerik mereka.

Kapan Dreamhaven bakal merilis game pertamanya memang masih tanda tanya besar. Kedua studio di bawahnya masih aktif merekrut staf tambahan, dan Mike Morhaime sendiri memang dikenal selalu mengarahkan timnya agar tidak terburu-buru dalam mengerjakan suatu game.

Tidak semua orang bisa mendirikan suatu perusahaan baru yang bergerak di bidang publikasi video game dan punya dua studio internal sekaligus. Fakta bahwa para veteran Blizzard kini berkumpul menjadi satu untuk menggarap game dengan modal mereka sendiri menurut saya sudah cukup dijadikan alasan untuk menanti karya besutan Dreamhaven.

Secret Door

Sentimen negatif terhadap developer game yang berada di bawah kendali perusahaan raksasa belakangan memang kembali mencuat setelah Microsoft mengakuisisi ZeniMax Media beserta seluruh anak perusahaannya. Dreamhaven yang menempuh jalur independen mungkin bakal semakin memperkuat sentimen tersebut, meski saya yakin Mike Morhaime dkk tidak punya maksud sama sekali soal itu.

Lucunya, berdasarkan pengakuan Mike Morhaime sendiri, Blizzard dulu sempat hampir diakuisisi oleh Microsoft di antara tahun 2003 – 2004, persisnya ketika Blizzard masih mengerjakan World of Warcraft. Ketika itu, status Blizzard masih merupakan anak perusahaan Vivendi Games, dan Vivendi bermaksud untuk menjual Blizzard senilai $700 juta. Microsoft mengurungkan niatnya karena angka tersebut dinilai terlalu mahal, dan saya yakin Microsoft sekarang pasti sangat menyesal.

Sumber: Washington Post dan Dreamhaven.

royalti unreal

Epic Games Ubah Sistem Royalti Unreal Engine

Epic Games baru saja memamerkan Unreal Engine 5. Selain itu, mereka juga membuat peraturan baru terkait penggunaan Unreal Engine. Mereka menyebutkan, developer yang membuat game menggunakan Unreal Engine tidak perlu membayar royalti sampai game tersebut menghasilkan pemasukan sebesar US$1 juta (sekitar Rp14,9 miliar), menurut laporan PC Gamer.

Epic memang tak lagi memungut bayaran untuk Unreal sejak beberapa waktu lalu. Sebagai gantinya, developer atau pembuat software yang menggunakan engine tersebut harus membayar royalti sebesar 5 persen setelah pemasukan mereka mencapai US$50 ribu (sekitar Rp745,7 juta). Sekarang, developer yang menggunakan Unreal masih harus membayar royalti 5 persen pada Epic, hanya saja, Epic menaikkan batas pendapatan minimal menjadi US$1 juta.

royalti unreal
Epic menggunakan Unreal Engine untuk membuat Fortnite.

Misalnya, sebuah developer membuat game menggunakan Unreal. Dari game tersebut, sang developer mendapatkan US$2 juta (sekitar Rp29,8 miliar). Itu artinya, developer harus membayar royalti sebesar 5 persen dari US$1 juta, yaitu US$50 ribu (sekitar Rp745,7 juta) pada Epic. Sementara US$1 juta pertama yang developer dapatkan tidak dimasukkan dalam perhitungan royalti.

Sebagai perbandingan, Unity tidak menggunakan sistem royalti. Sebagai gantinya, semua pihak yang ingin menggunakan versi Pro dari Unity harus membayar US$1.800 (sekitar Rp27 juta) per tahun. Pihak yang diwajibkan untuk membeli lisensi Pro dari Unity adalah perusahaan yang telah mendapatkan US$200 ribu (sekitar Rp3 miliar) dalam waktu 12 bulan, baik dalam bentuk penjualan game/software ataupun investasi modal. Versi Pro dari Unity juga memilki fitur dan akses ke source code eksklusif yang tidak bisa diakses oleh pengguna gratis.

Keputusan baru Epic ini berlaku terlepas dari dimana developer akan meluncurkan game buatannya, baik di Epic Games Store, Steam, Humble, toko fisik, atau tempat lainnya, lapor Ars Technica. Menariknya, peraturan baru dari Epic ini juga berlaku untuk game-game yang diluncurkan sejak 1 Januari 2020. Promosi royalti kali ini tampaknya bukan ditujukan untuk developer game Windows dan Mac, tapi untuk developer indie game yang ingin meluncurkan game-nya untuk konsol next-gen. Selain sebagai developer Fortnite, Epic juga dikenal dengan Epic Games Stores mereka, yang sering menawarkan game-game eksklusif atau game gratis.

Discord Luncurkan Segmen Khusus Early Access pada Toko Game-nya

Awalnya terkesan tabu, Early Access kini sudah berevolusi menjadi kategori game tersendiri di Steam. Kategori ini cukup unik mengingat semua game yang dijual di sana adalah game yang belum sepenuhnya selesai dikerjakan, dimaksudkan agar gamer antusias bisa membantu pengembangannya melalui input-input yang mereka berikan.

Beberapa judul populer yang terlahir dari kategori ini di antaranya adalah Minecraft, Ark: Survival Evolved, Conan Exiles, dan bahkan Fortnite. Singkat cerita, Early Access tak boleh lagi dipandang sebelah mata, dan Discord yang mulai berjualan game sejak Agustus lalu pun menyadari akan hal tersebut.

Mereka baru saja meluncurkan Discord Early Access, kategori khusus untuk game yang masih dalam tahap pengembangan. Dibandingkan Steam, Discord sebenarnya bisa menjadi ‘rumah’ yang lebih ideal untuk Early Access, sebab Discord sendiri memang sudah cukup sering digunakan sebagai medium komunikasi antara pemain dan kalangan developer.

Discord Early Access

Di samping itu, Discord juga sudah punya rencana untuk menjadi jembatan komunikasi antar sesama developer game di Early Access. Sesama kreator semestinya bisa saling membantu dan berbagi pengalaman, bukannya saling menjatuhkan, dan itu yang menjadi tujuan Discord.

Discord tidak lupa menyoroti sejumlah game Early Access yang mereka unggulkan pada awal peluncurannya ini. Beberapa di antaranya adalah Descenders, Parkasaurus, Kynseed, Visage, dan Mad Machines. Tentu saja sudah ada server terverifikasi sehingga pemain bisa langsung berkomunikasi dengan developer masing-masing beserta komunitas.

Sumber: VentureBeat dan Discord.

Google Umumkan Tiga Game Lokal Pemenang Indonesia Games Contest

Tanggal 26 April kemarin, Google menghelat acara final Indonesia Games Contest yang pertama kali. Dalam acara tersebut, Google mengumumkan tiga game yang berhasil merebut kursi juara dari total hampir dua ratus karya yang dikirimkan oleh developerdeveloper lokal.

Ketiganya, urut dari posisi yang pertama adalah Warung Chain: Go Food Express dari Touchten, Tahu Bulat dari Own Games dan Vimala: Defense Warlords dari MassHive Media. Tak hanya memenangkan hati para juri lewat presentasinya masing-masing, ketiganya juga dipilih berdasarkan polling interaktif yang diikuti oleh audiens secara langsung.

Indonesia Games Contest ini merupakan inisiatif Google guna memupuk ekosistem pengembangan game lokal Indonesia. Mereka percaya bahwa para developer tanah air punya potensi untuk masuk dalam jajaran developer top kelas dunia asalkan mendapat dukungan yang tepat.

Indonesia sendiri memang merupakan pasar yang sangat menggiurkan untuk developer aplikasi mobile, dimana sekitar 71% pengguna internet mengakses lewat smartphone, berdasarkan data yang dikumpulkan Google tahun lalu. Dan dari sekian banyak kategori aplikasi, game adalah yang paling populer dan paling sering di-install setiap bulannya.

Selain penilaian juri, pemenang juga dipilih berdasarkan polling interaktif audiens / Google
Selain penilaian juri, pemenang juga dipilih berdasarkan polling interaktif audiens / Google

15 finalis yang hadir dalam acara kemarin ini dipilih tidak hanya berdasarkan inovasi, desain dan aspek-aspek teknis saja, tapi juga dilihat kaitannya dengan budaya maupun tren lokal (lokalisasi). Sang juara, Warung Chain: Go Food Express, memang menampilkan deretan menu makanan yang sudah sangat kita kenal sehari-harinya, sedangkan salah satu finalis lainnya rupanya juga ada yang mengangkat tema “Om Telolet Om”.

Khusus untuk Warung Chain: Go Food Express yang menjadi juara pertama, Touchten patut berbangga karena Google berencana untuk menampilkannya dalam serial video Android Developer Story yang diproduseri oleh Google sendiri.

Daftar lengkap 15 finalis Google Indonesia Games Contest bisa dilihat di tautan berikut.

Fig, Situs Crowdfunding Khusus Game dengan Sistem Bagi Hasil

Belakangan ini, tren pengembangan game dengan metode crowdfunding mencuat cukup drastis. Jika Anda mengunjungi situs crowdfunding populer seperti Kickstarter atau Indiegogo, Anda bisa melihat bahwa proyek yang masuk dalam kategori game jumlahnya cukup banyak. Bahkan franchise setenar Shenmue tidak segan mengumpulkan dana di Kickstarter demi menggarap sekuel keduanya. Continue reading Fig, Situs Crowdfunding Khusus Game dengan Sistem Bagi Hasil

INAICTA, Kawah Kreativitas Developer Muda Indonesia

Banyak cara bisa ditempuh untuk memajukan industri digital di Indonesia. Salah satunya bisa melalui ajang kompetisi. Kompetisi selain dapat merangsang kreativitas anak muda Indonesia, juga dapat menjadi wadah entrepeneur pemula untuk menghadirkan karyanya agar lebih terekspos dan dikenal. Lomba karya cipta terbesar ICT yang saat ini ada di Indonesia adalah INAICTA atau Indonesia ICT Award, yang pada tahun ini merupakan tahun ke tujuhnya. Tahun ini INAICTA 2013 mengusung tema “Teknokreasi: A Nation of Possibilities” yang pendaftarannya sudah dibuka sejak Februari 2013 dan ditutup 31 Juli 2013 lalu.

(null)

[Event] Gedebuk Kembali Adakan Acara, Kali Ini Bernama Gedebuk Coy!

Komunitas Gedebuk (Game Developer Buka-bukaan) yang beberapa waktu lalu mengadakan acara Gedebuk di mall kali ini akan kembali menyelenggarakan acara bagi komunitas game developer lokal. Acara bernama Gedebuk Coy! ini akan diselenggarakan hari Jumat, 30 Maret 2012 di Bandung.

Gedebuk sendiri merupakan komunitas yang diperuntukkan bagi mereka yang tertarik dengan pengembangan game sebagai tempat berkumpul dan berkomunitas, berdiskusi dan saling belajar dalam mengembangkan game. Acara Gedebuk Coy! sendiri diselenggarakan dengan harapan para game developer lokal dapat berbagi dan berdiskusi demi kemajuan industri game di Indonesia.

Continue reading [Event] Gedebuk Kembali Adakan Acara, Kali Ini Bernama Gedebuk Coy!