Ajang SEA Games Awards 2021 telah usai digelar pekan lalu, dan Indonesia boleh berbangga melihat sekumpulan developer-nya mendominasi perhelatan tersebut. Dari 10 kategori penghargaan yang diperebutkan, 5 di antaranya berhasil dimenangkan oleh developer game asal tanah air.
Di kategori Best Game Design misalnya, ada rogue-lite platformerRising Hell yang keluar sebagai pemenang, mengalahkan judul-judul lain seperti Tank Brawl 2: Armor Fury, The Signal State, Malice, dan Eldritch. Rising Hell dikembangkan oleh Tahoe Games, studio game indie yang bermarkas di kota Kediri.
Rising Hell tak hanya menerima pujian dari sisi gameplay. Musik heavy metal dalam game ini rupanya juga cukup memukau sampai-sampai ia berhasil memenangkan kategori lain, yakni Best Audio. Padahal, saingannya di kategori ini bisa dibilang berat-berat, termasuk Coffee Talk yang soundtrack resminya kini dikemas sebagai vinyl.
Selanjutnya, ada kategori Best Technology yang dimenangkan oleh Biwar Legend of Dragon Slayer karya Devata Game Production asal Bali. Biwar merupakan sebuah action adventure dengan banyak elemen puzzle. Grafiknya tampak memukau berkat penggunaan Unreal Engine 4, akan tetapi bagian yang lebih istimewa adalah, keseluruhan game-nya menggunakan dialek tradisional Bali.
Beralih ke kategori Best Visual Art, giliran When the Past Was Around yang terpilih sebagai pemenang. Game petualangan ini digarap oleh Mojiken Studio, developer asal Surabaya yang portofolionya memang dipenuhi oleh game-game yang masing-masing memiliki art style uniknya sendiri-sendiri.
Kategori kelima sekaligus yang paling prestisius adalah Grand Jury Award yang berhasil dimenangkan oleh Coffee Talk. Mahakarya Toge Productions ini sejatinya sudah tidak perlu perkenalan lagi, dan game-nyapun juga telah beberapa kali mendapat sorotan internasional sejak diluncurkan pertama kali di awal 2020. Sekuelnya sudah dijadwalkan meluncur tahun depan.
Lanjut ke kategori Best Innovation, ada Airship Academy karya Revolution Industry. Dengan lebih dari 150 komponen yang bisa dipasangkan ke lebih dari 30 jenis rangka pesawat yang berbeda, kompleksitas yang ditawarkan game ini betul-betul tidak perlu diragukan. Di saat yang sama, pengembangnya masih bisa menyajikan narasi yang tidak kalah mendalam.
Bicara soal narasi, kategori Best Storytelling dimenangkan oleh DeLight: The Journey Home karya developer Malaysia, DreamTree Studio. Game ini menceritakan kisah seorang perempuan tuna netra dalam perjalanannya bertemu kembali dengan orang tuanya. Selama bermain, pemain bakal dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit, dan semua ini akan berdampak langsung pada alur cerita game.
Untuk kategori Audience Choice Award, pemenangnya adalah Fallen Tear: The Ascencion, sebuah metroidvania dengan bumbu open-world dan grafik 2D yang memukau. Dibuat oleh studio asal Filipina, CMD Studios, Fallen Tree terlihat menjanjikan meski sejauh ini masih dalam tahap pengembangan.
Kategori berikutnya, yakni Best Student Game, berhasil direbut oleh Water Child. Game dengan atmosfer yang kuat dan musik yang emotif ini digarap oleh sekelompok mahasiswa UOW Malaysia KDU University College yang menamai dirinya SkyJus Works.
Terakhir, ada kategori Rising Star Award yang dimenangkan oleh Exist.EXE karya Skyfeather Games Studio. Game ini banyak terinspirasi oleh JRPG klasik, dengan sistem combat turn-based yang unik dan agak berbeda dari biasanya.
Dalam 10 tahun terakhir, industri game terus berevolusi. Bukan hanya genre game baru yang bermunculan, tapi juga model monetisasi baru. Saat ini, ada 4 model monetisasi yang lazim digunakan oleh developer game. Pertama adalah model sekali bayar. Biasanya, model monetisasi ini digunakan untuk game PC atau konsol premium, sebut saja franchise Assassin’s Creeds, Dark Souls, The Witcher, dan lain sebagainya.
Kedua, model monetisasi subscription atau berlangganan. Model monetisasi ini menjadikan game sebagai sebuah layanan (game-as-a-service alias GAAS). Biasanya, developer yang membuat game dengan model monetisasi berlangganan akan terus meluncurkan konten baru. Tujuannya, agar pemain betah memainkan game buatannya dan rela untuk mengeluarkan uang saat bermain game itu. World of Warcraft adalah salah satu contoh dari game yang menggunakan sistem biaya berlangganan.
Dua model monetisasi lainnya adalah iklan dan in-app purchase. Biasanya, 2 model monetisasi ini digunakan untuk game-game yang bisa dimainkan gratis. Terkadang, Anda akan menemukan 2 model monetisasi ini digunakan dalam satu game, walau tidak selalu. Dalam model monetisasi in-app purchase, developer biasanya menawarkan item yang bisa pemain beli. Item tersebut beragam, bisa berupa item kosmetik ataupun item power-up, yang memunculkan game-game pay-to-win.
Saya mewawancarai 4 orang dari 4 developer yang berbeda-beda untuk mengetahui tentang sistem monetisasi yang digunakan oleh developer lokal.
Developer Game5Mobile
Steve Lie, CEO Game5Mobile mengatakan, dari 4 model monetisasi mereka pernah menggunakan model subscription, in-app purchase, dan iklan. Alasan mengapa mereka tak pernah membuat game dengan model sekali bayar adalah karena target pasar mereka yang tidak cocok dengan model monetisasi tersebut. Dari 3 model monetisasi yang Game5Mobile pernah pakai, iklan memberikan kontribusi terbesar pada sumber pendapatan developer tersebut.
“Saya tidak bisa ngomong secara pasti porsinya berapa karena kita harus benar-benar hitung dari data satu-satu, tapi, bisa dibilang, sekitar 98% porsi pemasukan kita datang dari iklan,” kata Steve saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat.
Steve lalu menjelaskan tentang mekanisme model monetisasi iklan dalam game. “Kalau kita mau menampilkan iklan di game, kita harus pasang SDK (Software Development Kit) dari vendor tertentu. Nah, nanti di vendor, kita bisa set rules untuk iklan yang bakal tampil di game kita,” ujarnya. “Di kasus kami, karena kita bekerja sama dengan publisher, maka publisher yang menentukan iklan apa saya yang bakal dipakai di game kita.”
Steve menjelaskan, dalam menentukan model monetisasi yang akan digunakan, target market menjadi salah satu pertimbangan utama. “Dalam 2 tahun terakhir, Game5Mobile fokus ke pengembangan game hiperkasual untuk iOS dan Android. Untuk pasar game hiperkasual, nggak cocok pakai sistem sekali bayar dimuka,” ujarnya. Bisnis menjadi alasan mengapa Game5Mobile fokus untuk membuat game hiperkasual.
“Pilihan bisnis yang paling masuk akal untuk kita, berdasarkan resource yang kita punya saat ini, ya terjun ke pasar game hiperkasual,” ujar Steve. “Jadi, jika membandingkan resource, work dan time investment dengan return yang didapat, buat kita, mengerjakan game hiperkasual menawarkan value paling masuk akal. Setidaknya saat ini.”
Gambir Studio
Sementara itu, CEO Gambir Studio, Shafiq Husein mengungkap, mereka pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Alasannya karena model monetisasi itu masih belum lazim digunakan di Indonesia. Tak hanya itu, seorang gamer juga harus memiliki komitmen bermain yang kuat sebelum dia mau berlangganan.
“Kalau model iklan dan in-app purchase, kita biasanya gunakan untuk game kasual atau hiperkasual,” kata Shafiq ketika ditanya tentang pertimbangan Gambir Studio sebelum mereka memutuskan model monetisasi yang akan digunakan. “Karena metode itu yang paling common dipakai untuk game free-to-play sih.” Lanjutnya. Gambir Studio juga pernah menggunakan model sekali bayar untuk salah satu game horror besutan mereka.
“Waktu kita mencoba yang model premium di game kita yang berjudul Jurit Malam,” ujar Shafiq. Sayangnya, game itu sudah tidak bisa diunduh karena Gambir Studio tak lagi bekerja sama dengan talent yang terlibat dalam game tersebut. “Karena waktu itu, kita buat game horror. Dan kalau game horror kan kita harus bangun ambience, biar pemainnya merasa tegang saat main. Jadi, kalau tiba-tiba di tengah main ada iklan atau harus beli barang, kita khawatir game-nya jadi kurang dapat feel-nya.”
Di Gambir Studio, model monetisasi yang paling sering dipakai adalah iklan dan in-app purchase. Menurut Shafiq, kedua model tersebut sudah “sepaket”, meski tidak melulu harus digunakan bersamaan. Dari segi pemasukan, Shafiq memperkirakan, sekitar 70% pemasukan berasal dari iklan, dan 30% sisanya berasal dari in-app purchase. Dia menjelaskan, bentuk item yang dijual oleh Gambir beragam, mulai dari kosmetik sampai power-up, tergantung pada game itu sendiri. Namun, item yang paling laku terjual biasanya adalah item power-up.
Toge Productions
Sama seperti Gambir Studio, Toge Productions juga pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Namun, lain halnya dengan Game5Mobile dan Gambir Studio yang lebih fokus pada game dengan model bisnis iklan dan in-app purchase, fokus Toge adalah pada game premium atau sekali bayar. Dan memang, bagi Toge, game model premium memberikan kontribusi pemasukan paling besar.
“Bukan berarti model monetisasi yang lain pemasukannya tidak besar. Kami memilih untuk fokus ke game premium karena memang passion, skill, dan resources kita lebih cocok di game-game premium,” ujar Kris Antoni, Pemilik Toge Productions. “Game free-to-play membutuhkan modal yang besar dan risikonya tinggi karena persaingan yang sangat ketat. Tentunya, beda developer, bisa beda (strategi) juga. Mungkin ada developer yang memang lebih cocok membuat mobile game free-to-play.”
Kris menjelaskan, saat memutuskan model bisnis sebuah game, biasanya ada 5 hal yang menjadi pertimbangan:
Kemampuan developer (dalam bentuk modal dan kemampuan Sumber Daya Manusia)
Target market
Kesempatan vs kompetisi vs risiko
Gameplay/play experience yang ingin diberikan
Passion
“Bisa saja, business model yang mengarahkan game design, tapi juga bisa sebaliknya,” ujar Kris. Dia memberikan contoh bagaimana gameplay atau pengalaman bermain menentukan model bisnis yang digunakan. “Misal, game seperti The Last of Us, dengan experience yang mendekati kualitas film blokcbuster, tidak mungkin dijadikan game free-to-play. Selain gameplay-nya tidak cocok dengan monetisasi F2P, resiko bagi developer akan sangat tinggi bila game-nya dirilis di platform seperti mobile.”
Lalu, adakah karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah game agar pantas menyandang gelar game premium? Menurut Kris, selama sebuah game menggunakan model bisnis yang tepat dan memberikan value yang sesuai, maka game tersebut pantas menjadi game premium. “Target market juga bisa berbeda-beda, tergantung game-nya,” katanya.
“Sejauh ini, Toge membangun reputasi sebagai developer yang mengembangkan game dengan gaya pixelart dan mekanisme gameplay yang unik,” ungkap Kris. “Dengan Coffee Talk, kita juga melebarkan sayap ke game dengan elemen naratif yang relatable. Jadi, fanbase kita cukup variatif, tapi rata-rata, mereka suka pixelart dan gameplay yang unik.”
Kris mengaku, Toge memang lebih menyasar pasar global daripada pasar lokal. Salah satu alasannya karena dia merasa, game lebih dihargai di luar negeri. Memang, pembajakan game — atau karya kreatif lain, seperti film dan komik — masih menjadi masalah di Indonesia.
Namun, Kris merasa, ada beberapa alasan mengapa pembajakan masih merajalela di Indonesia. Salah satunya adalah karena pemahaman masyarakat akan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) masih sangat rendah. Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga cenderung memandang sebelah mata karya lokal. Alasan lainnya adalah karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan produk bajakan, sehingga tak lagi mengapresiasi karya digital. Terakhir, banyaknya produk game free-to-play dengan budget besar yang muncul di Indonesia.
“Visi kami di Toge adalah mengangkat karya-karya Indonesia di mata dunia dan mengubah Indonesia dari sekedar pasar menjadi dikenal sebagai negara produsen game terbaik,” aku Kris. Terkait tanggung jawab edukasi mengenai HAKI, Kris merasa, semua orang memiliki tanggung jawab atas itu. “Jangan terlalu bergantung pada pemerintah, mulai saja dari lingkaran masing-masing dan komunitas masing-masing.”
Agate Games
Agate Games merupakan salah satu developer game Indonesia yang pernah menggunakan semua model monetisasi untuk game, termasuk subscription. Walau memang, model subscription bukanlah model monetisasi yang paling sering Agate gunakan. Dave Fabrian, Vice President of Mobile Games, Agate Games, mengungkap, Agate paling sering menggunakan model monetisasi iklan dan in-app purchase.
Terkait model monetisasi subscription, Dave juga menyebutnya sebagai model game-as-a-service (GAAS). Salah satu keunikan game dengan model GAAS adalah biasanya, developer terus merilis update secara berkala. “Berbeda dengan game yang diluncurkan sebagai produk. Developer tidak update pun tidak apa-apa, karena konsumen mengeluarkan uang di awal membeli game,” ujar Dave.
“Sementara GAAS, karena gamer bisa bermain dengan gratis, kita harus membuat mereka mau bermain selama mungkin. Semakin lama gamer bermain, semakin besar kemungkinan mereka untuk spending,” kata Dave. Dia memperkirakan, game dengan model GAAS biasanya mendapatkan update sekitar seminggu atau dua minggu sekali. Ada berbagai macam update yang bisa developer berikan, mulai dari peningkatan keamanan, perbaikan bug, sampai munculnya konten baru, seperti karakter atau peta baru.
Dua hal yang Agate Games pertimbangkan sebelum menentukan model monetisasi yang akan digunakan dalam sebuah game adalah segmen dari tujuan dari game itu sendiri, Dave menjelaskan. Selain itu, Agate juga mempertimbangkan apakah target konsumen dari game mereka merupakan tipe gamer yang terbiasa untuk mengeluarkan uang saat bermain game. “Misalnya, kita membuat game yang ditujukan untuk semua orang, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Game seperti ini, model iklan yang paling cocok. Karena target pemainnya bukan orang yang terbiasa spending di game,” ungkap Dave.
Dave memperkirakan, di kalangan gamer yang terbiasa melakukan in-app purchase, hanya sekitar 1-2% pemain yang pada akhirnya mengeluarkan uang. Sementara di kalangan pemain yang tidak terbiasa spending, persentase itu bahkan lebih rendah lagi. Karena itulah, game kasual yang menargetkan orang banyak biasanya menggunakan model monetisasi iklan. Dia menyebutkan, sekitar 70-90% game kasual menggunakan model monetisasi iklan.
Waktu Pengembangan Game vs Life Cycle
Waktu yang diperlukan untuk membuat game tergantung pada ukuran dari game itu sendiri. Semakin sederhana sebuah game, semakin cepat pula proses pengembangannya. Selain itu, jumlah kru yang mengerjakan sebuah game juga memengaruhi berapa lama waktu pengembangan sebuah game.
Kris memperkirakan, Infectonator 3: Apocalypse dan Coffee Talk dibuat dalam jangka waktu 2 tahun. Sementara Necronator: Dead Wrong hanya 1 tahun. “Game yang kita publish bersama Mojiken, A Space For the Unbound, sudah dikerjakan selama hampir 4 tahun dan belum kelar,” ujarnya. “Sementara When The Past Was Around kurang dari satu tahun.” Soal life cycle sebuah game, Kris mengatakan bahwa biasanya, sebuah game akan menghasilkan pendapatan terbesar tahun pertama game diluncurkan. Meskipun begitu, hinga 4-5 tahun setelah peluncuran pun, sebuah game bisa masih menghasilkan.
Sementara di Game5Mobile, sebuah game harus melewati beberapa fase sebelum ia dirilis di pasar. Fase tersebut antara lain fase prototipe, fase test market, dan fase global release. “Biasanya, kita sudah bisa melihat apakah suatu game layak dirilis atau tidak sejak fase test market,” ujar Steve. “Untuk waktu pengerjaan, dibutuhkan waktu sekitar 1 minggu hinga 1 bulan untuk membuat prototipe yang siap test market.”
“Untuk life cycle, tergantung pada konten dari game itu sendiri. Bisa saja, life cyclegame hiperkasual hanya mencapai beberapa bulan, atau bisa sampai beberapa tahun,” aku Steve. Dia memberikan contoh Happy Glass. Game5Mobile merilis game tersebut secara global pada 2018. Namun, sampai saat ini, game tersebut masih menyumbangkan pemasukan.
Kesimpulan
Ada 4 model monetisasi yang bisa digunakan oleh developer game, yaitu sekali bayar, iklan, in-app purchase, dan subscription. Kebanyakan developer Indonesia menggunakan model monetisasi iklan. Pasalnya, sebagian besar developer Indonesia memang berkecimpung dalam membuat game kasual, yang biasa menggunakan monetisasi iklan atau in-app purchase.
Legrand Legacy: Tale of the Fatebounds adalah salah satu game karya developer Indonesia dengan kisah pengembangan yang unik. Dimulai sebagai proyek kerja sama antara Semisoft dan Tinker Games, game ini mengusung visi ambisius para kreatornya untuk menciptakan produk AAA yang layak bersanding dengan judul-judul luar negeri. Selain skala kontennya yang besar karena memiliki genre RPG, Legrand Legacy juga menggunakan tampilan 3D dengan pre-rendered background serta full-motion video. Mirip dengan standar RPG populer di era PS1, seperti Final Fantasy IX atau The Legend of Dragoon.
Pada tanggal 31 Januari 2019 lalu, Hybrid mendapat kesempatan untuk mewawancarai salah satu kreator Legrand Legacy untuk mengungkap cerita-cerita di balik pengembangan game ini. Ia adalah Henry William Winata, atau akrab dipanggil Uwil, co-founder Semisoft yang sekaligus bertindak sebagai Lead Designer Legrand Legacy. Seperti apa usaha yang mereka lakukan, bagaimana feedback penggemar mempengaruhi pengembangan, dan apa saja yang mereka pelajari selama prosesnya? Simak bincang-bincang kami di bawah.
Bermula dari kecintaan terhadap storytelling
Terima kasih Pak Uwil sudah bersedia diwawancara oleh Hybrid. Pertama-tama, bisa ceritakan sekilas tentang proses pengembangan Legrand Legacy?
“Jadi awalnya saya dan AJ (AJ Jonathan, co-founder Semisoft) memang sudah suka main game dari kecil. Lalu muncul pikiran untuk bikin game sendiri. Setelah itu kita ngobrol-ngobrol, daripada cuma hobi gimana kalau dibikin bisnis juga, hobi sekaligus bisnis gitu lah. Dari situ saya dikenal-kenalin, terus akhirnya kita mulai kerja sama tahun 2014. Tadinya memang saya pribadi dulu, terus akhirnya lama-kelamaan proyeknya malah jadi lumayan besar.”
Kerja samanya itu dengan Tinker Games ya, Pak?
“Awal-awalnya dengan Tinker Games dulu. Terus Tinker Games kan sekarang udah stop ya, bubar. Akhirnya sekarang kita mendirikan Semisoft ini. Terus ya udah, kita launch Januari 2018 di PC, lalu sekarang di Switch tahun 2019.”
Kenapa memilih menciptakan RPG dengan bujet besar? Legrand Legacy kan 3D, dan menggunakan full-motion video juga. Tidak seperti game indie lokal kebanyakan.
“Kita sih pengen achieve kualitas yang cukup mendunia, yang AAA gitu, karena selama ini di Indonesia kan belum pernah ada yang melakukan. Jadi kita mau achieve AAA dengan tim yang tidak terlalu besar. Tim kita aja sekarang sebenarnya cuma 14 – 15 orang. Dan memang RPG itu sebenarnya genre yang memang saya suka. Dulu saya pertama tertarik masuk ke game itu awal-awalnya memang dari RPG. I love a good story, and I love telling a story. Jadi saya yang konsepin story-nya, dari berbagai macam inspirasi lah. Sukanya di situ.”
Sedikit juga ya hanya 14 – 15 orang. Kalau kita bandingkan dengan game Indonesia lain, misalnya Valthirian Arc: Hero School Story, game itu kan diciptakan oleh kru yang lumayan banyak (puluhan orang). Bagaimana cara Semisoft menciptakan game dengan skala yang sama besar tapi dengan jumlah resource lebih sedikit?
“Sebenarnya waktu proses ngerjain Legrand, di masa mass production sempet naik tuh (jumlah) orang-orangnya. Jadi waktu itu kita sempat sampai 30an orang. Tapi setelah mass production lewat, ya udah. Udah pada keluar semua, dan sekarang tinggal segitu.”
Jadi waktu mass production itu hire dari luar untuk sementara?
“Sebenarnya sih di awal itu lama-kelamaan (krunya) nambah-nambah aja terus. Jadi kru dari Tinker yang lama, pas kita pindah (pengembangan ke Semisoft) itu orang-orangnya masih ada. Jadi kita memang hire hire hire, ketika kita perlu, kita hire. Akhirnya tiga keluar, terus pas proyeknya udah selesai ya selesai juga (kontraknya).”
Oh begitu. Agak beda ya dengan perusahaan lain di mana jumlah kru yang mengerjakan satu game itu tetap dari awal sampai akhir.
“Ya, benar.”
Pak Uwil kan penulis cerita Legrand Legacy juga. Dari mana idenya? Di Indonesia sendiri kan RPG bertema fantasi juga masih jarang.
“Kalau saya inspirasi sih sebenarnya macam-macam. Jadi source of inspiration itu bisa dari sehari-hari kita lagi jalanin hidup ya. Kadang-kadang memang disisipin ada cerita saya sedikit, ada sedikit Lord of the Rings juga, sedikit Game of Thrones juga ada. Bahkan saya kutip dari Alkitab juga ada. Jadi macam-macam, nggak single inspiration. Itu kayak puzzle pieces aja sih. Jadi ada banyak, terus saya yang menjahit jadi cerita.”
Pentingnya sisi bisnis pengembangan game
Selama pengembangan apakah ada kendala yang berarti? Legrand Legacy kan skalanya besar dan di Indonesia masih belum banyak yang bisa membuat game seperti itu. Apa yang bisa diajarkan ke developer lainnya?
“Sebenarnya banyak sih. Banyak masalah dari business-side yang kebanyakan orang mungkin terlalu idealis atau memang belum ada experience. Bisa aja sih karena beberapa faktor. Tapi memang penting banget mengurus masalah duit, masalah marketing, masalah kontrak, partnership, production planning.
Jadi (pengembangan) game itu sebenarnya banyak business-side dan technical-side juga. Nggak cuma kayak, ‘Ooh, let’s go ayo kita coding gini, kita gambar gini,’ tapi sebenarnya sebagian besar banyak business-side yang nggak kelihatan. Itu sangat-sangat penting, jadi di setiap tim harus ada satu orang yang ahli ngurusin bagian keuangan, bagian business, production, itu penting banget. Penting banget. Karena itu bener-bener hidup dan matinya perusahaan game.”
Itu seperti anekdot yang pernah saya dengar di kalangan developer game lokal, katanya membuat game dan membuat perusahaan game adalah dua hal yang jauh berbeda.
“Bener itu, kalau nggak salah yang ngomong Adam (Adam Ardisasmita, co-founder Arsanesia). Saya juga pernah lihat itu wawancaranya dan memang yang dia omongin waktu itu bagus banget.”
Bagaimana penerimaan Legrand Legacy waktu pertama kali dirilis? Apakah disukai orang, atau ternyata banyak yang nggak suka? Bagaimana penjualannya?
“Mostly sih lumayan positif ya. Pasti ada lah yang mencela, itu pasti ada. Ada yang nggak suka, ya mungkin (karena) berbagai macam faktor. Ada yang gara-gara bugs. Memang ini kan baru first game ya. Tim kita juga nggak besar, jadi masih banyak bugs yang kelewat. Jadi memang banyak juga yang nggak suka.
Waktu itu ceritanya juga masih belum perfect lah. Karena memang kita di Indonesia sangat terbatas masalah bahasa. Sekarang di studio kita aja, kenapa saya jadi penulis, padahal saya bukan penulis? Karena satu-satunya yang sekolah dalam bahasa Inggris ya saya doang, dan istri saya. Jadi kita memang sekolah di luar negeri dan sekarang bahasa Inggrisnya masih paling lumayan, kira-kira gitu lah. Makanya kita jadi penulis.”
“Memang kita di Indonesia sangat terbatas masalah bahasa.”
“Yes. Nah, sebenarnya penulis pertama itu hanya saya kasih gambaran besar ceritanya seperti apa. Setelahnya ada writer juga yang nulis, tapi saya merasa belum maksimal. Tapi memang waktu itu kita udah keburu rilis. Akhirnya saya rombak itu semua, 200.000an kata saya bacain satu-satu, saya sendiri yang edit lagi. Dan memang pas saya baca-baca sih (setelah rewrite) komen-komennya sangat amat positif.
Salah satu yang kita lakukan juga, yang saya bilang sukses tanpa sengaja—nggak kepikiran, tapi ternyata bagus juga kita melakukan hal ini—jadi itu kita kan ada Discord channel, juga ada Steam Discusssion, sosmed, gitu ya. Jadi banyak sekali komen yang masuk, dan kita lihat, kita filter, komennya itu lumayan banyak lah. Maksudnya, orang komen pasti banyak, cuman ada beberapa poin yang sering banget dikomenin. Nah itu yang saya ambil.
Kalau banyak sekali orang yang komen masalah writing, ya langsung aja mendingan saya edit ulang. Tanpa mengganti ceritanya. Game-nya udah jadi kan nggak mungkin ganti cerita. Tetapi banyak sekali yang harus kita pikirkan, gimana supaya ceritanya tidak berubah tapi banyak poin detail yang bisa kita ubah jadi lebih bagus.
Ini sebenarnya terkait dengan satu poin yang sering kali game developer kelupaan karena terlalu idealis dan perfeksionis, dan saya nggak bisa salahin. Karena saya ngerti. Saya dalam posisi itu juga. Karena (game) ini ‘bayi’ mereka, mereka bikin dari awal, dari nol. Setelah itu ada salah dikit diganti. Salah dikit, ganti. Salah dikit, ganti. Jadi nggak ada habisnya. Kalau misal mau di-improve terus, ya pasti ada aja. Game of the year, kayak God of War gitu, kalau ada yang mau di-improve, bisa aja di-improve. Tapi mau sampai kapan?
Nah di situlah pentingnya production planning yang jago. Di sisi desainer, seperti saya, yang namanya harus stop ya stop. That’s it. Kamu udah nggak bisa ubah apa-apa lagi untuk hal ini. Yang itu masih bisa berubah, yang ini nggak boleh. Karena kalau kita ubah-ubah terus, jadinya seperti yang kita sering dengar: delay lah, bujet membludak lah, akhirnya studionya bangkrut lah. Sering terjadi hal-hal seperti itu.”
Legrand Legacy sendiri kan development-nya sekitar 3,5 tahun. Breakdown produksinya bagaimana? Misalnya berapa lama buat mengerjakan apa.
“Kalau preproduction kita cukup lama. Preproduction itu kita dari Agustus 2014 sampai pertengahan 2015. Akhir 2015 itu overlap antara preproduction sama production. Production mulai full swing di 2016, sampai akhir 2017. Tapi ada QA juga, bugfixing, itu kira-kira 2 – 3 bulan lah dengan skala Legrand ini.”
Preproduction itu termasuk apa saja?
“Preproduction itu kebanyakan planning ya. Planning konsep, kita diskusi dulu, storyboarding. Jadi semuanya sudah ditata dengan rapi, didokumentasi, baru masuk ke production yang benar-benar bikin aset, coding, dan segala macamnya.”
Dulu saya lihat saat pengumuman proyek rewrite itu promosinya dilakukan oleh Another Indie. Hubungan antara Semisoft dengan Another Indie seperti apa?
“Mereka publisher kita. Publisher worldwide untuk all platforms. Jadi kita kerja sama bareng mereka. Mereka yang ngurusin submissions, ratings, acara-acara kayak Taipei Game Show, Tokyo Game Show. Hal-hal kayak gitu mereka yang urus.”
Memang sudah kerja sama dari awal ya? Bukan masuk di tengah untuk bantu rewrite.
“Nggak sih, sebetulnya mereka masuk di tengah-tengah. Mereka masuk dua atau tiga bulan sebelum kita launch. Jadi akhir 2017, Oktober atau November saya lupa. Sebenarnya sudah lumayan telat sih. Kan ada publisher yang masuk dari awal banget, ada yang sampai naruh duit juga, jadi macam-macam.”
Mengapa memilih bekerja sama dengan Another Indie? Kalau memang sudah telat, kenapa tidak self-publish saja?
“Banyak hal yang kita sebenarnya masih nggak ngerti. Misalnya masalah koneksi ke media kan kita masih kurang. Submission ke Nintendo, Microsoft, PlayStation, itu juga kita masih ‘buta’. Itu mereka yang ngurusin, makanya kita memang belajar banyak dari mereka. Kalau kita mengambil risiko, jangan mengambil langsung kayak tsunami, nanti kita pasti kelelep. Kita harus pelan-pelan, nanti begitu perahu kita sudah lebih kuat lagi baru kita ambil gelombang yang lebih besar.”
Apa saja yang dibutuhkan developer lokal untuk bisa publish game secara global dan di console seperti Legrand Legacy?
“Pertama-tama pasti kita harus dapetin devkit dulu ya. Itu harus ada contact person yang tepat di Sony, Microsoft, dan Nintendo. Kalau misalnya nggak dapat kontaknya, nggak ngerti gimana, kita bisa gandeng publisher yang sudah ada devkit. Another Indie itu juga punya devkit, tapi waktu mereka masuk kita sudah punya semuanya, jadi ya udah. Tapi sebenarnya mereka bisa (menyediakan). Banyak publisher yang memang menawarkan seperti itu kok, porting.
Itu satu. Lalu translation. Translation itu mereka biasanya juga ikut bantuin, kayak ke bahasa Chinese. Mereka juga ngerti lah soal submission. Kita sebenernya mau coba juga masuk ke WeGame sama Epic. Platform-platform itu kan cukup besar. Another Indie ini memang bisnisnya di China sama di Taiwan, jadi mereka sudah dikenal lah, tinggal ngesot gitu. Kalau kita agak susah.
Jadi self-publishing itu, kalau misalnya kita sudah tahu semuanya, seluk-beluknya, gimana caranya, ya kalau mau self-publish sok (silahkan). Cuman inget aja, marketing budget tolong disiapkan. Kalau (Legrand Legacy) ini kan publisher Another Indie yang siapkan marketing budget. Jadi kita nggak terlalu pusing.”
“Kalau kita mengambil risiko, jangan mengambil langsung kayak tsunami, nanti kita pasti kelelep.”
Kemarin saya sempat mengobrol dengan Syahroni (Syahroni Mustofa, salah satu kru Semisoft), dan dia cerita. Salah satu kesulitan membuat game sebesar Legrand Legacy adalah karena di Indonesia masih jarang penulis yang paham atau bisa ilmu narrative design. Menulis cerita untuk game yang interaktif itu pasti berbeda dengan menulis untuk novel. Sebenarnya perbedaannya bagaimana sih? Seperti apa cara menulis yang diperlukan untuk sebuah game sebesar Legrand Legacy?
“Justru sekarang saya juga masih belajar. Yah, detailnya saya masih ngerti-ngerti dikit lah. Kalau perbedaan sih sebenarnya kan game itu suatu media yang sangat unik. Sangat amat rumit kalau saya bilang. Paling rumit. Kalau nonton, you’re just playing with apa yang kau lihat, apa yang kau dengar, that’s it. Kalau lagu, apa yang kau dengar. Tapi kalau game, itu apa yang kau lihat, apa yang kau dengar, apa yang kau mainkan, apa yang kau pencet, itu semuanya juga suatu desain. Jadi memang sangat rumit sih. Saya juga lagi belajar-belajar, makanya saya main banyak game. Saya pengen tahu, apa sih yang bikin bagus (di game-game itu).”
Pertanyaan berikutnya ini boleh tidak dijawab, hehehe. Untuk membuat game seperti Legrand Legacy butuh bujet berapa, dan apakah dengan penjualan sejauh ini sudah break even point?
“Kalau break even dari awal sih belum. Bujetnya sendiri, siapkan di atas Rp10 miliar lah.”
Jangan takut bikin game AAA!
Selain hal-hal tadi apakah ada pelajaran lain yang ingin disampaikan dari Legrand Legacy? Apa hal lain yang sering dilakukan developer Indonesia lain yang seharusnya tidak dilakukan?
“Mungkin membuka wawasan kita ya. Kita harus lebih open. Dunia ini sangat luas, dan banyak orang yang jauh lebih jago dari kita, jadi kita memang harus banyak belajar. Dan jangan takut untuk membikin suatu game yang skalanya itu lumayan besar. Karena suatu saat pasti dibutuhkan. Suatu saat pasti harus ada yang berani membikin satu dobrakan yang sangat besar. Karena kalau kita selalu takut, ya selamanya industri kita gitu-gitu aja. Nggak mungkin bisa maju.
Kalau kalian tahu sendiri, kalian kan sebetulnya banyak yang jago-jago. Bahkan (perusahaan) dari luar pun banyak yang pakai orang Indonesia. Kenapa kita bisa? Karena talent ada, duit juga sebenarnya di sini ongkosnya jauh lebih murah daripada di Jepang atau di Amrik. Saya pernah dikomentari director Final Fantasy XIII, orang Jepang saya lupa namanya. Dia bilang, ‘Kamu bikin ini berapa duit?’ Saya sebutkan angkanya. Dia bilang, ‘Hah?! Kamu bisa bikin dengan angka segitu? Wah kalau kamu di Tokyo mah udah 30 kali lipat!’
Makanya, kita sebenarnya ada satu advantage yang lumayan besar. Cuma sekarang pertanyaanya, why? Why, kenapa orang-orang Amrik, orang Jepang, orang Eropa, itu semuanya bisa mengeluarkan yang jauh lebih bagus? Jadi memang butuh satu orang yang berani dan benar-benar mau meningkatkan kualitasnya terus-menerus sampai akhirnya, ‘Oh ya, mereka ini bisa. Indonesia ternyata bisa mengeluarkan sesuatu yang AAA.’”
Memang kalau dibandingkan Tokyo kita masih jauh lebih murah ya. Tapi sebetulnya di Indonesia sendiri untuk dapat dana sebesar itu, katakanlah Rp10 miliar, kan tidak mudah. Apalagi untuk indie. Kira-kira bagaimana cara mendapatkan dana itu?
“Sebenarnya sih saya juga mau bicarakan, kita jangan terlalu takut dulu dengan angka ya. Karena banyak sekali hal yang kalau baru mulai kita kerjakan itu pasti shoestring budget. Di mana semuanya harus save cost banget. Itu kesatu, menekan cost.
Kedua, jangan takut untuk harus raising fund. Ke VC (venture capital), atau ke investor luar, jangan cuma di Indonesia tapi ke luar juga jangan takut. Berani kalau memang visi kita itu (bagus). Karena itu suatu validasi juga. Kalau ternyata kita bisa raise fund, berarti ada orang lain yang bisa melihat visi kita juga, bisa mengerti. Berarti kita bukan orang gila. Kita mau bikin sesuatu, ‘Ah pasti nggak bakal ada orang yang suka,’ tapi ternyata ada orang lain yang percaya ini game-nya bisa sukses.
Dan juga sebenarnya nggak semuanya harus mahal kok. Sebenarnya bikin sesuatu yang bagus itu bisa murah. Lihat contohnya kayak Undertale. Satu orang! Banyak kok developer game satu orang doang. Ya oke lah, let’s say mereka itu bisa dibilang satu dalam sejuta yang terjadi. Memang kita nggak selalu mengharapkan itu. Tapi bisa nggak? Ya bisa aja sih.”
“Kalau ternyata kita bisa raise fund, berarti ada orang lain yang bisa melihat visi kita juga, bisa mengerti. Berarti kita bukan orang gila.”
Jadi yang penting bikin saja sesuatu yang bagus. Misalkan pun bujetnya tidak sampai sebesar itu, yang penting hasilnya harus bagus.
“Iya. Mahal belum tentu bagus kok. Iya kan? Lihat aja game-game sekarang banyak yang gila sampai 50 juta dolar segala macam, tapi… ‘toweng’, ampun…”
Ke depannya kira-kira rencana Semisoft apa, Pak? Yang sudah diumumkan adalah porting Legrand Legacy ke PS4. Selain itu apakah ada rencana membuat game baru?
“Kita sekarang lagi bikin action-RPG. Saya belum bisa sebut secara detail apa aja, tapi yang jelas bukan sekuelnya Legrand. Semua cerita baru, dunia baru. Dan kita memang lebih fokus ke console, dan kemungkinan saya mau melihat mobile juga, bagaimana caranya ke sana. Tidak menutup kemungkinan.”
Legrand Legacy sendiri sejauh ini antara console dan PC lebih bagus mana penjualannya?
“Console. Jauh lebih bagus console. Kalau PC itu market-nya udah terbentuk. Market-nya kebanyakan MOBA, kebanyakan FPS, sama RTS. Tapi kalau RPG kebanyakan itu console player.”
Oke Pak, saya rasa demikian cukup. Terima kasih banyak Pak Uwil atas waktunya.