Tag Archives: Dian Gemiano

Berbagi Sudut Pandang NFT dari Sisi Utilitas dan Komersial

Non-fungible Token (NFT) menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan di sepanjang tahun ini. Berkat foto selfie Ghozali Everyday atau koleksi NFT LeBron James, sebagian besar masyarakat internet mempersepsikan NFT sebagai produk digital art semata.

Dalam sesi bertajuk ‘NFT is not always about Arts’ di Nexticorn International Summit, Chief Marketing Officer Kompas Gramedia (KG Media) Dian Gemiano dan Program Director Katapel.id Robby Wahyudi berbagi pandangan tentang bagaimana memandang NFT dari sisi utilitas dan komersial.

Bekerja di perusahaan media, Gemiano melihat NFT sebagai cara baru dalam menawarkan konten berita agar tetap relevan dengan generasi masa kini. NFT juga membuka kesempatan untuk menciptakan model bisnis baru dan melestarikan collective memory.

Sebagai informasi, KG Media merilis NFT yang berisikan 57 peristiwa terkurasi pada Juni 2022. Ke-57 NFT ini menampilkan foto halaman depan koran Harian Kompas yang terbit antara tahun 1965-2022.

“Dari NFT, kami belajar bahwa yang terjadi saat ini sebetulnya lebih ke platform-problem, bukan kontennya. Kami pikir konten [berita] masih relevan bagi generasi sekarang. Orang membeli NFT ini karena ada emotional bonding, karena mereka bagian dari kejadian tersebut,” tuturnya.

Alih-alih memonetisasi NFT secara komersial, pria yang karib disapa Gemmy ini lebih mengedepankan utilitas. Menurutnya, produk NFT yang menawarkan utilitas lebih sustainable secara bisnis serta dapat membangun nilai sebuah brand dibandingkan untuk tujuan trading.

It is important for us to have meaningful asset that can be distributed and owned by people legally. Ini lebih ke masalah filosofis untuk shifting ke utilitas dan sekaligus membangun relationship antara media dan pembacanya,” ungkapnya.

Sementara itu, Robby Wahyudi menilai NFT memberikan manfaat bagi industri kreatif. Selain dapat mendistribusikan karya digital dalam bentuk apapun, NFT dapat mengurangi gap antara kreator dan konsumen. Di era Web3 ini, kreator bahkan dapat memonetisasi karyanya tanpa pihak ketiga.

Ketimbang melihatnya dari sudut pandang seni belaka, Robby berujar bahwa NFT dapat mendorong perlindungan intellectual property (IP) ke arah yang lebih baik, mulai dari hak cipta, paten desain, hingga hak merek dagang.

Art hanya menjadi topeng, justru yang perlu dilihat adalah beyond art itself. Ketika membeli sebuah karya, apakah karyanya bagus sehingga harganya mahal atau sebaliknya? Kita sudah bicara tentang smart contract, trading, atau ownership. Di era Web2, itu hanya one way saja, tetapi di Web3 bisa lebih interaktif. Lalu dibungkus dengan branding menarik,” ucap Robby.

Web3 bagi VC

Saat berbincang dengan Chairman Nexticorn Rudiantara beberapa waktu lalu, ia mengungkap banyak venture capitalist yang menaruh minat investasi pada Web3 di Indonesia.

Pada kesempatan sama, venture capitalist Eddi Danusaputro menilai investor belum punya pemahaman mendalam terhadap Web3. Lagipula, belum banyak use case Web3 yang dapat dieksplorasi. Sejauh ini, use case yang sudah proven diterima masyarakat masih seputar game, NFT, dan kripto.

Padahal, teknologi internet generasi ketiga ini punya potensi untuk dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, misalnya smart contract atau invoice financing dengan Blockchain.

“Sebetulnya, use case seperti smart contract ini sudah ada dikembangkan di Indonesia, tetapi traction-nya belum besar. No disrespect to NFT atau game, ini akan menjadi produk yang nice to have saja, belum untuk sehari-hari. Saya firm believer, saya sangat suka Blockchain, sayangnya use case belum banyak,” ungkapnya.

Di Indonesia, saat ini belum banyak VC yang menaruh fokus terhadap investasi Web3. Dalam catatan DailySocial.id, baru ada tiga inisiatif untuk mendirikan dana kelolaan khusus Web3, yakni Cydonia Fund, Luno Expeditions, dan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA).

RUU Perlindungan Data Pribadi

Mendiskusikan Dampak RUU PDP Terhadap Bisnis Periklanan Digital di Indonesia

Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) cepat atau lambat akan disahkan oleh parlemen menjadi produk hukum tetap. Keberadaan beleid itu kian penting karena masyarakat sudah makin terhubung dengan layanan digital.

Dengan kata lain, RUU PDP menjadi satu-satunya harapan bagi masyarakat agar data yang mereka serahkan ke sejumlah platform layanan digital dapat benar-benar dilindungi. Namun aturan perlindungan data pribadi yang lebih ketat punya dampak yang berbeda ke dunia periklanan digital.

Indonesia Digital Association menangkap potensi dampak tersebut. Ketua IDA Dian Gemiano mengakui dampak yang akan dibawa oleh RUU PDP akan besar terhadap periklanan digital. Namun ia meyakini industri periklanan digital tak perlu khawatir asal dapat beradaptasi dengan cepat.

“Aturan-aturan tersebut juga akan melindungi pemilik usaha dari gangguan para pelaku data fraud yang sering merugikan pelaku usaha yang legitimate,” ujar Gemi.

Chairman Asosiasi Big Data dan AI Indonesia Rudi Rusidah menjelaskan, tujuan utama RUU PDP adalah menjaga kedaulatan data masyarakat. Rudi, yang aktif terlibat dalam pembahasan RUU PDP, menilai regulasi itu cukup penting dalam kegiatan periklanan digital untuk meminimalisasi kebocoran data atau penyalahgunaan data. Salah satu caranya adalah dengan menukar data yang bisa diidentifikasi ke pemilik data dengan kode atau nomor-nomor tertentu. Cara tersebut dinamakan pseudonymization.

“Di dalam peraturan itu nanti kalau mau sharing data atau menjual data ke orang lain datanya harus dibikin anonim,” imbuh Rudi.

Industri periklanan digital, baik lokal maupun global, memang sedang menghadapi tantangan besar sepanjang tahun ini. Di Eropa, berlakunya GDPR mengubah banyak hal dalam khususnya cara kerja industri periklanan digital.

Tekanan untuk mengamankan data pribadi di berbagai platform digital pun terus menguat. Kabar terbesar paling anyar datang dari Google yang berencana mematikan secara bertahap third party cookies di peramban Chrome dalam dua tahun ke depan.

Dalam dunia periklanan digital, third party cookies adalah alat yang dapat membantu mereka dalam menelusuri data pengguna antarsitus web yang berbeda. Dengan alat itu pemilik situs dapat melakukan re-marketing atau re-targeting dalam sebuah kampanye.

Data dari StatCounter pada September 2020 menunjukkan pangsa pasar peramban Google Chrome di Indonesia mencapai 77,5%. Hilangnya third party cookies di peramban itu jelas akan memaksa banyak pihak di industri periklanan digital mencari cara baru dalam mengelola dan memonetisasi first party data.

“Penting bagi pelaku industri digital mengerti bagaimana praktik bisnis bisa mematuhi peraturan data pribadi yang ada di industri, meskipun saat ini masih berbentuk RUU,” pungkas Gemi.

Gambar Header: Depositphotos.com

Dian Gemiano

Ketum IDA, Dian Gemiano Berbicara tentang Lanskap, Disrupsi, dan Masa Depan Industri Media Digital

Senin (07/9) lalu, Indonesia Digital Association (IDA) mengadakan proses pemilihan ketua umum baru untuk periode 2020-2023. CMO KG Media Dian Gemiano (Gemi) resmi terpilih, melalui proses voting yang diikuti perwakilan 22 perusahaan media digital di Indonesia secara online. IDA didirikan untuk menjadi salah satu payung industri digital, khususnya di bidang media, periklanan, dan pemasaran. Tugas besarnya, membantu perusahaan meningkatkan “kue iklan”.

DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Gemi, menggali perspektifnya tentang industri media saat ini, di tengah gempuran pandemi Covid-19; dan mendalami visi asosiasi yang kini di bawah kepemimpinannya.

“Industri media digital pada periode pandemi ini pada umumnya diuntungkan dari sisi volume traffic atau keterbacaan, namun sayangnya peningkatan volume tersebut tidak merefleksikan peningkatan revenue iklan yang biasanya kedua parameter tersebut bergerak beriringan,” ujar Gemi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pendapatan iklan yang cenderung stagnan (bahkan turun) disebabkan karena dua hal. Pertama, banyak pengiklan yang menahan belanja ikan dikarenakan situasi ekonomi yang tidak pasti (wait and see), terlebih sepanjang Q1 dan Q2. Kedua, naiknya volume keterbacaan menekan turun harga programmatic ads, dikarenakan over-supply inventory.

“Tekanan kedua cukup berat karena di beberapa media proporsi pendapatan dari programmatic ini cukup besar. Covid-19 ini harus menjadi wake up call untuk para pelaku bisnis media digital karena makin terasa bahwa kontrol kita terhadap pendapatan iklan semakin lama semakin mengecil. Perlu ada upaya-upaya strategis dari pengelola media untuk meng-assess praktik bisnis yang selama ini dijalankan dan mengambil kembali kontrol yang hilang tadi,” imbuh pria lulusan ITB tersebut.

Disrupsi dan tantangan industri media

Banyak survei menunjukkan tingginya penetrasi pengguna media sosial di Indonesia. Salah satunya dirangkum dalam laporan terbaru WeAreSocial, sekurangnya tahun ini ada 130 juta pengguna Facebook di Indonesia dan 63 juta pengguna Instagram. Twitter, YouTube, Tik Tok, dan platform lainnya juga makin digemari. Secara tidak langsung, layanan tersebut mengubah cara orang dalam mengonsumsi konten digital seperti berita, pun bagi bisnis untuk menempatkan iklannya.

Kondisi ini memaksa bisnis media untuk berbenah, menyusun ulang strategi mereka agar tetap relevan bagi pembacanya. Gemi pun setuju bahwa media sosial menjadi salah satu tantangan eksternal yang dihadapi industri media digital. Karena sudah menjadi sebuah keniscayaan, di setiap ekosistem bisnis akan ada kompetitor yang sifatnya disruptif. Namun ia menekankan, idealnya kompetitor bisa membuat iklan bisnis menjadi lebih sehat, karena mendorong inovasi agar industri tetap bertumbuh.

“Untuk mencapai kondisi (ideal) tersebut, seluruh pemain harus berada di playing field yang setara sehingga keuntungan mutualisme terjadi dengan netral. Jadi menurut saya bukan keberadaan media sosial atau platform lain yang menjadi isu, tetapi apakah hubungan antarpemain sehat dan setara?,” terang Gemi.

Ia melanjutkan, “Suka atau tidak keberadaan media sosial untuk para publisher digital pun memberikan keuntungan, setidaknya di area distribusi konten dan consumer engagement. Namun pengelola media juga harus mampu menganalisis dengan cermat apakah keuntungan tersebut sudah adil dan setara? Jika belum maka harus diperjuangkan, dan jika merasa kurang memiliki kekuatan untuk fight, berarti harus diperjuangkan bersama-sama. Banyak sekali parameter yang harus dilihat dalam hal ini, mulai dari kebijakan, praktik bisnis, pengelolaan konsumen hingga masalah etika,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti, selain di eksternal juga ada tantangan terbesar di sisi internal yang perlu diselesaikan bersama, yakni kompetensi. Misalnya terkait kompetensi pengelolaan data. Sejak lama banyak digembor-gemborkan tentang optimasi data dan peran data untuk peningkatan bisnis media, juga jargon-jargon seperti “data is the next oil”. Menurut pengamatannya, sampai saat ini belum terlihat pebisnis media di Indonesia yang berhasil mengelola data audiens dengan baik dan scaling up bisnis dari situ.

“Salah satu tantangan pengelolaan data ini adalah volume yang dimiliki masing-masing media. Jika dibandingkan dengan kompetitor global, maka volume individual tadi jadi tidak signifikan,” ujar Gemi.

Yang akan diupayakan IDA

Indonesia Digital Association

Visi terkait peningkatan kue iklan sudah sangat jelas dan dibutuhkan oleh seluruh pelaku di industri media. Namun tentunya visi tersebut harus mampu diperinci dengan langkah-langkah strategis yang dapat memberikan dampak nyata. Merurut Gemi, ada dua hal utama yang akan diperjuangkan: peningkatan kompetensi dan mendorong keberpihakan kebijakan pemerintah pada perusahaan lokal.

“Produk iklan harus atraktif. Dalam konteks iklan digital, attractiveness meningkat jika performa iklan juga baik. Agar performa iklan baik salah satu aspek utamanya adalah pemanfaatan data. IDA akan memfasilitasi dan mendorong pengelola media agar memiliki kompetensi yang baik di bidang data dengan pelatihan talenta atau menghubungkan dengan rekanan teknologi yang tepat. Ide lain yang perlu di eksplorasi adalah memfasilitasi data scale up antar media agar volume data yang dimiliki media lokal bisa bersaing dengan pemain global,” jelas Gemi.

Sementara itu, terkait kebijakan, IDA akan aktif memberikan edukasi kepada pembuat kebijakan terkait praktik bisnis periklanan digital — sejauh ini memang kompleks dan kadang tidak mudah dipahami orang di luar industri. IDA akan mengadakan diskusi reguler dengan pembuat kebijakan dalam lingkup kemitraan sehingga harapannya IDA dapat menjadi salah satu sumber referensi utama dalam penentuan kebijakan terkait industri digital.

Sebagai asosiasi yang menaungi banyak pemain industri, IDA juga mengharapkan adanya partisipasi dan kesepakatan untuk tumbuh bersama.

“Terdengar klise, tetapi untuk melakukan hal tersebut diperlukan investasi dan transparansi antar perusahaan media digital. Harapan ke depannya IDA dapat menjadi fasilitator yang efektif untuk inisiatif-inisiatif seperti itu. Komunitas ini juga harus bersepakat untuk mengedukasi pasar agar bergerak ke satu arah yang sama yaitu arah yang memberikan manfaat yang adil untuk semua stakeholder industri ini,” tuturnya.

Industri media digital masih terus bertumbuh

Perubahan industri sangat cepat, sehingga sulit untuk memprediksikan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Namun ia cukup yakin, bahwa industri media digital di Indonesia masih akan tumbuh karena ruang pertumbuhan pengguna internet pun masih sangat lebar.

“Pertumbuhan penetrasi internet Indonesia akan terakselerasi ke luar Jawa. Karena hal tersebut kapabilitas hyperlocal media jadi sangat penting untuk dimiliki. Dalam waktu dekat juga kita akan mengalami ‘cookie-less internet’ yang akan mengubah lanskap digital advertising kita dengan signifikan (KG Media memprediksikan penurunan revenue programatic sekitar 16% akibat kondisi ini). Pemilik media harus mampu memetakan lanskap baru ini dengan rinci agar bisa memosisikan dirinya dengan baik ketika hal itu terjadi,” tutup Gemi.

Tips Pemasaran Digital

4 Hal Penting untuk Menjadi “Customer-Centric” dalam Pemasaran

Kehadiran teknologi kini mengubah perspektif marketer dalam memasarkan produk. Tak hanya itu, peran marketing juga mulai berubah. Mereka tak hanya sekadar memikirkan brand awareness, tetapi juga menentukan strategi untuk mengkonversi awareness tersebut ke tahap lebih tinggi, misalnya meningkatkan penjualan.

Sementara kita tahu, setiap brand tidak hanya membutuhkan awareness dan engagement semata dari konsumennya. Setiap brand perlu meningkatkan penjualan agar bisa bertumbuh.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Chief Marketing Officer KG Media Dian Gemiano membahas seputar apa yang dibutuhkan oleh brand di masa sekarang ini.

Mengenal brand lebih dalam

Dalam sebuah proses pitching, tahap pengenalan brand perlu dilakukan untuk mengetahui kebutuhan klien. Hal ini diperlukan untuk menghindari kesalahan umum yang sering terjadi pada saat pitching.

Ia mencontohkan bagaimana marketer tidak berusaha untuk mengenal brand lebih dulu dengan melakukan riset. Mereka terlalu sibuk dengan idenya sampai lupa membuat strategi, seperti cara menghasilkan uang dari program yang digarap.

“Saat pitching, kita menjadi sok tahu, overthink, dan heboh dengan banyak ide. Padahal the simplest idea is the best idea,” tutur Gemi.

Identifikasi profil konsumen

Selain memperdalam pengetahuan terhadap brand, hal penting lain untuk mengetahui kebutuhannya adalah dengan mengidentifikasi profil setiap konsumen, seperti aktivitas dan reaksi mereka terhadap sebuah brand.

Menurut Gemi, identifikasi menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan karena kita menjadi tahu apa yang mereka lakukan sebelum membeli barang, emosi yang ditampilkan dalam setiap interaksi brand.

Dengan mengetahui profil konsumen, brand dapat merancang sebuah produk yang berarti untuk konsumennya.

Jangan ikuti tren, ikuti ke mana konsumen pergi

Teknologi memampukan kita untuk mengetahui tren yang sedang ramai di kalangan masyarakat. Berkat ini, marketer tahu apa saja yang dapat ditawarkan kepada klien.

Sayangnya, tren bak dua sisi mata uang. Tren cepat sekali berubah seiring perkembangan waktu. Maka itu, penting bagi marketer untuk mengidentifikasi perjalanan interaksi konsumen terhadap suatu brand.

“Identifikasi customer journey adalah aktivitas yang harus dijadikan kebiasaan. Semua harus terdeteksi karena selalu ada perubahan. Klien jadi tahu investasi marketing-nya, di mana audiens berada, bukan di tren sekarang, karena konsumen itu terdorong oleh kebutuhan,” ungkapnya.

Perlu dicatat, tidak semua produk bisa melayani semua orang. Menurutnya, jangan sampai marketer tergoda dengan tren, kecuali memang tren itu relevan dengan target audiens.

Teknologi mengubah kontrol produsen ke konsumen

Jika kita sadari, aktivitas marketing kini berubah dari product-centric menjadi customer-centric sejak adanya teknologi. Contoh paling lekat di era kini adalah bagaimana konsumen membeli produk berdasarkan ulasan dari konsumen lain.

Hal ini juga yang menandakan adanya perubahan kontrol dari produsen ke konsumen karena kehadiran teknologi. Jika produsen tak lagi punya kontrol, apa yang harus dilakukan selanjutnya?

“Maka itu, kita tidak bisa sekadar bikin produk, kita harus tahu apa yang dibutuhkan konsumen,” ujarnya.