Tag Archives: Dian Rachmawan

Trafik internet lokal mulai meningkat karena layanan OTT asing mulai menempatkan konten di jaringan lokal dengan konsep "direct peering"

Strategi ISP Mengatasi Layanan OTT “Rakus Bandwidth”

Kisah Telkom dan Netflix memasuki babak baru. Membuka blokir layanan setelah 4,5 tahun, kali ini akar permasalahannya adalah klaim biaya yang dikeluarkan ISP / operator untuk menyediakan pipa-pipa jaringan yang dianggap tidak sebanding dengan effort yang diberikan layanan OTT asing.

Telkom berharap ada kesepakatan bisnis lebih jauh dengan layanan OTT, agar mereka tidak hanya menjadi dump pipe layanan “rakus bandwidth“. Proposal dari Telkom untuk Netflix adalah terhubung dengan Content Delivery Service (CDN) milik Telkom yang dijalankan anak usahanya, Telin, yang bekerja sama dengan pemain CDN global Akamai.

Skema yang diharapkan muncul adalah kerja sama penawaran produk bersama, misalnya antara Telkomsel dan Disney Plus, atau pembayaran biaya akses premium agar konsumen OTT bisa menikmati bandwidth prioritas.

Netflix sendiri sudah membuat CDN sendiri yang dinamai Open Connect. Program ini memberikan peluang bagi mitra ISP meningkatkan pengalaman Netflix untuk pelanggan mereka dengan melokalkan trafik Netflix dan meminimalkan pengiriman trafik yang dilayani melalui penyedia transit.

Cara ini terbilang efisien karena biaya uplink WAN untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna sangat mahal. ISP akan melakukan peer dengan Netflix di lokasi IXP, tetapi untuk mempermudah proses, disediakan OCA (Open Connect Appliance) untuk hosting secara lokal.

Menurut laporan S&P Global, sesungguhnya Netflix termasuk di jajaran layanan OTT yang gencar melakukan kemitraan di berbagai negara Asia Pasifik. Di Singapura, Netflix memiliki paket bundling dengan StarHub dan Singtel. Di Sri Lanka, mereka bekerja sama dengan provider lokal Dialog. Sebelumnya India mereka menggaet kesepakatan dengan Atria Convergence Technologies dan ACT Fibernet.

Di Indonesia sendiri, meskipun menjadi salah satu layanan OTT terpopuler, gerak kemitraan Netflix tergolong lambat. Netflix hingga saat ini belum mengakomodir pembayaran selain kartu debit/kredit. Sementara dengan ISP, mereka pernah melakukan promo bersama XL dan XL Home.

Keluhan Telkom terhadap fenomena layanan rakus bandwidth atau bandwith hog sebenarnya tidak baru dan tidak unik. Menurut laporan “2019 Global Internet Phenomena Report” yang disusun perusahaan peralatan jaringan Sandvine, layanan streaming adalah penyumbang terbesar downstream traffic di seluruh dunia. Netflix dan YouTube dinobatkan sebagai kontributor terbesarnya.

Aplikasi streaming video memakan 60% dari total volume downstream traffic di internet. Netflix mengambil porsi 12,6% dari total volume downstream traffic di seluruh internet dan 11,44% dari semua traffic internet. Hal ini disusul Google sebesar 12% dari keseluruhan traffic internet, yang didorong YouTube, mesin pencari, dan ekosistem Android.

Di negara asalnya, Netflix termasuk salah satu penggagas netralitas jaringan (net-neutrality). Namun di perjalanannya, Netflix membayar biaya premium ke empat pemain ISP dan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat, yaitu Comcast, Time Warner Cable, Verizon, dan AT&T.

Pada Maret ini, Uni Eropa mendesak Netflix menurunkan kualitas video ke format standar untuk mengantisipasi potensi bandwidth overload. Sebagai gambaran, untuk streaming video selama satu jam dengan format standar di Netflix memakan kapasitas 1 GB, sementara format HD naik hingga 3 GB.

Seperti kebanyakan aplikasi streaming lainnya, Netflix menggunakan metode adaptive bit rate (ABR) sebagai standar pengaturannya. Setiap layanan streaming secara otomatis akan menyesuaikan berdasarkan koneksi internet pelanggan pada saat itu, demi memberikan pengalaman terbaik. Pelanggan juga dapat mengatur kualitas video secara manual ke level yang lebih rendah untuk menghemat bandwidth.

Sikap operator

Dalam diskusi virtual yang digelar Sobat Cyber Indonesia Official pada Jumat, (25/9), Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menganggap layanan OTT asing tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.

Di sisi lain, Dian mengklaim regulasi saat ini asimetris. Operator jaringan diatur ketat, sementara pesaing digital tidak memiliki kewajiban regulasi apapun karena sifatnya yang sangat cair dan global.

“OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO). Saat ini, mereka hanya dikenakan kewajiban memungut pajak PPN yang sebenarnya dibayar oleh pelanggan. Pemerintah belum bisa mendapatkan pajak penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia,” paparnya.

Karena absennya regulasi layanan OTT, langkah percobaan yang dipilih Telkom untuk menerima keberadaan layanan OTT ada empat cara, yakni memblokir layanan OTT, bundling dengan layanan OTT (membuat paket data khusus), bermitra secara komersial dengan layanan OTT, dan mengembangkan layanan OTT sendiri.

Telkom memilih langkah blokir pada tahun 2016 terhadap Netlix dan mengombinasikan tiga cara lainnya terhadap layanan OTT asing.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Tiga operator lokal lain saat dihubungi DailySocial memiliki pandangan yang berbeda. Sinergi direct peering disebut menjadi kunci. Di dunia ISP, peering adalah proses dua jaringan internet yang terhubung dan bertukar trafik di IXP (International eXchange Point).

Ini memungkinkan mereka saling terhubung secara langsung untuk menyerahkan lalu lintas di antara pelanggan satu sama lain, tanpa harus membayar pihak ketiga untuk membawa lalu lintas tersebut ke jaringan internet mereka.

Tanpa IXP, menyeberang dari satu jaringan ke jaringan lain akan bergantung pada penyedia transit yang seringkali memiliki dampak kinerja negatif. Dengan IXP, suatu jaringan dapat melakukan peer dengan beberapa jaringan lain melalui satu koneksi dan dapat memberikan trafik tanpa masuknya penyedia transit.

ISP yang terhubung dengan IXP biasanya membuat perjanjian peering dan membayar sebagian dari pemeliharaan infrastruktur fisik di lokasi tersebut.

Indosat Ooredoo, misalnya, menyatakan layanan OTT merupakan salah satu layanan yang diakses pelanggan dengan menggunakan fasilitas internet. Oleh karena itu, perusahaan sudah memiliki kerja sama komersial dengan hampir semua layanan OTT besar yang beroperasi di Indonesia. Tujuannya untuk menjaga agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu dari sisi pelanggan, operator, maupun penyedia layanan OTT sendiri.

“Tentunya sudah menjadi kewajiban kami sebagai penyedia jasa telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan digital pelanggan dengan berbagai pilihan paket yang bisa dipilih sesuai kebutuhan masing-masing pelanggan,” terang SVP / Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk.

Direct peering dibutuhkan operator karena tujuannya memberikan layanan ke pelanggan yang lebih karena sifatnya yang langsung terhubung ke penyedia konten. Dengan demikian, latensi dan kendala ketidakpastian koneksi melalui “provider transit” dapat dihilangkan.

Dalam praktiknya, Indosat menerapkan direct peering dengan topologi di bawah ini.

Sumber: Indosat Ooredoo
Sumber: Indosat Ooredoo

Sementara itu, Terry Williams, VP Product & Marketing MyRepublic, menjelaskan, di satu sisi layanan OTT asing merupakan kontributor terbesar dari trafik internasional yang secara signifikan lebih mahal ongkosnya daripada trafik lokal.

Namun di sisi lain, OTT asing ini menjadi salah satu pendorong utama di balik akselerasi pertumbuhan bisnis ISP, terutama di masa-masa sulit ini. Solusi yang bisa dilakukan ISP adalah melakukan direct peering dengan pemain OTT dan menempatkan server-nya di seluruh Sumatera dan Jawa agar konsumen mendapat pengalaman streaming terbaik.

“Cara ini juga mampu menurunkan biaya bandwith internasional yang memungkinkan kami menawarkan internet berkecepatan tinggi yang benar-benar tidak terbatas [tanpa fair usage policy] di Indonesia,” kata Williams.

Hanya XL Axiata yang setuju terhadap pernyataan Telkom. Group Head Corporate Communication Tri Wahyuningsih (Ayu) mengatakan, asumsi tersebut bisa dibenarkan karena memang kondisinya saat ini banyak OTT yang belum memiliki infrastruktur lokal di Indonesia.

Alhasil, trafik akan langsung menggunakan bandwith internasional yang cukup besar. Menurutnya, ada dua kondisi yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, jumlah pelanggan OTT tersebut belum besar sehingga mereka belum merasa perlu untuk membuat infrastruktur di Indonesia.

“Dalam hal ini tentu saja akan ber-impact pada customer experience, apabila ISP tidak memiliki cukup bandwith maka experience pasti terganggu,” kata Ayu.

Kedua, layanan OTT besar yang biasanya melihat experience sebagai value terpenting pasti akan memikirkan untuk mulai membangun infrastruktur lokal untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Sama seperti Indosat dan MyRepublic, XL Axiata melakukan kesepakatan direct peering untuk mengurangi latensi di jaringan dengan memiliki akses langsung ke OTT bersangkutan. Beberapa layanan yang sudah terhubung adalah yang memiliki trafik tinggi, seperti Netflix, YouTube, dan Facebook.

“Secara topologi mudahnya adalah semua pelanggan XL akan memiliki hop routing yang lebih kecil apabila dibandingkan menggunakan open network.”

Ia juga membenarkan bahwa OTT perlu memberikan kontribusi yang lebih banyak, tidak hanya sekadar promosi pemasaran. Pasalnya, investasi membangun infrastruktur jaringan adalah sesuatu yang mahal, terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan terdiri dari banyak kepulauan.

Perusahaan selalu melakukan analisis trafik penggunaan OTT vs jumlah pelanggan untuk mendorong OTT memiliki infrastruktur lokal.

“Hal ini akan cukup membantu bagi kita untuk meningkatkan value dan customer experience. Selain itu, kita selalu mengharapkan OTT juga bisa berkontribusi. Tidak hanya dalam hal promosi marketing, tetapi juga memberikan fair sharing contribution.”

Dia mencontohkan, kontribusi dari sisi infrastruktur pendukung sebagai salah satu cara untuk melakukan balancing terhadap cost infrastruktur dan mengakuisisi pelanggan.

Belanja bandwith internasional mulai turun

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan, saat ini pengakses internet melalui smartphone mencapai 171 juta orang, naik 317% dari 2015. Dari angka tersebut sebanyak 80% di antaranya adalah pengguna OTT. Di industri perangkat smartphone, banyak layanan OTT yang sudah tertanam sebagai pre-install dari pabrikan karena diyakini dapat memberikan daya saing di mata konsumen.

Layanan OTT mendorong pertumbuhan eksponensial untuk trafik jaringan. Sejak OTT mulai ramai lima tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah trafik IIX (Internet Indonesia Internet eXchange) dari 30 Gbps di 2015 menjadi lebih dari 800 Gbps di tahun ini.

“Sekarang trafik lokal sudah naik karena banyak OTT asing yang menaruh CDN ke dalam negeri dan beberapa sudah terkoneksi dengan IIX. Keuntungannya buat kita belanja dollar akhirnya turun dan otomatis trafik internasional semakin menurun,” kata Jamalul.

Beberapa layanan OTT asing telah masuk dalam jaringan IIX, seperti Facebook, Alibaba, dan Akamai. Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) karena kebutuhan akan mata uang dollar Amerika Serikat menurun untuk belanja bandwith internasional.

Rekomendasi APJII terhadap OTT asing
Rekomendasi APJII terhadap OTT asing

Masuknya Facebook ke dalam IIX sangat berdampak pada penurunan belanja bandwith internasional. Google dan Facebook adalah raksasa teknologi yang layanannya banyak digunakan di seluruh dunia.

IIX sendiri berfungsi untuk mempercepat akses internet lokal di daerah tersebut. Ia dilalui oleh lalu-lintas internet protocol, baik dari luar maupun domestik, untuk kemudian diarahkan ke pengguna internet, baik individu maupun organisasi.

Saat ini ada 14 IIX yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Balikpapan, Sulawesi, Manado, Banten, dan pusatnya ada di Jakarta.

Jamalul melihat layanan OTT asing mulai menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yang bagus buat mereka. Menempatkan server ke dalam negeri akan membawa dampak yang bagus saat berinternet. “Sekarang mereka [layanan OTT asing] yang mulai mendekati karena kalau taruh di luar pengalamannya akan jauh berbeda.”

Kenaikan trafik lokal adalah sesungguhnya yang paling dibutuhkan buat industri karena tidak perlu dipungkiri lagi peran layanan OTT asing cukup krusial dan memiliki trafik yang tinggi.

“Ini bentuk kontribusi OTT yang bisa diberikan ke teman-teman APJII yang bangun infrastruktur. Maka dari itu kita perlu regulasi yang jelas terhadap OTT asing yang ada bisnis di Indonesia.”

Tidak hanya menaruh server di dalam negeri, APJII menilai kondisi layanan OTT yang ideal itu mengandung empat unsur, yakni fair revenue distribution, menguntungkan semua pihak, level playing field yang sama, dan kedaulatan data karena data ada di Indonesia dan wajib tersambung dengan IIX.

“Mimpi asosiasi adalah bagaimana Indonesia bisa jadi internet hub di dunia. Sekarang kan ada di Singapura atau enggak Hong Kong. Untuk itu, sekarang yang kita kerjakan bagaimana meningkatkan trafik lokal agar jangan semua trafik lari ke luar,” tutupnya.

Telkom Officially Commercialize WiFi Corner

Telkom authorized the commercialization of WiFi Corner by launching its two latest services, WiFi Corner (WiCo 2.0) and WiFi Station. The initiation is an attempt to increase internet broadband penetration throughout Indonesia.

Up to this point, WiFi Corner (WiCo) is known to be located in certain places for internet education and commonly in Telkom Plaza. WiCo is relatively affordable to access.

“WiCo 2.0 and WiFi Station is an attempt to develop Indonesia’s digital society, along with government vision to make Indonesia as the biggest digital economy power in Southeast Asia,” said Dian Rachmawan, Telkom’s Enterprise & Business Service Director on Thursday, (12/28).

He explained, WiCo 2.0 is inspired by internet cafe service (warnet) inviting third party as enterprise partner to help the internet penetration. WiCo 2.0 uses a 100% fiber optic backhaul with speed range starts from 100 mbps and signal range of 50 meters.

Partners only need to provide a location and download MyWiCo app to register as user and top up voucher balance. Furthermore, they can directly sell WiFi.id vouchers for internet user to use in particular places.

Through the voucher sale, Telkom implements a 50:50 profit sharing scheme with starting price of Rp3,500 per two hours. Partners can raise prices according to local conditions.

By these vouchers, partners can earn additional income, making it suitable for women to do a home-based business. For voucher payment, can be done using Finpay or scan QR Code.

For next year, Rachmawan targets WiCo 2.0 will be available in 50,000 new locations. So dar, the old version or WiCo 1.0 is available in around 15,000 points throughout Indonesia.

WiFi Station

Unlike WiCo 2.0, WiFi Station is dedicated service for corporate, providing free internet service for its employees or public customers. For instance, cafe, restaurant, school, campus or coworking space. WiFi Station is targeted to be available in 100,000 new locations by next year.

“The company will take care of the cost, so the end user will not be burdened.”

WiFi Station features are considered useful for business people. Login ID Customization allowing a secure internet connection, while Welcome Page Customization allowing business people to create a brand image of the business through internet WiFi features. In addition, Customer Profiling feature to improve customer engagement.

For Rachmawan, the presence of these two new products are not opposed to the segment of Indihome users which most likely stayed at home. All three are targeting different users.

Rachmawan’s opinion related to the competition with existing player is located in the after sales handling. Telkom has Telkom Akses specialized in providing construction services and network infrastructure management.

“We have subsidiary specialized in handling fiber optic. It is our extra value of other competitors,” Rachmawan concluded.

There are several other companies providing similar services to WiFi Station, such as Biznet Hotspot and Google Station. Google partners with CBN and FiberStar brings free internet access in public places. In Indonesia, Google Station is available in Jabodetabek and Bandung.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkom Resmi Komersialkan Layanan WiFi Corner

Telkom resmikan dimulainya komersialisasi layanan Wifi Corner dengan meluncurkan dua layanan terbaru WiFi Corner (WiCo 2.0) dan WiFi Station. Inisiasi ini menjadi upaya perusahaan untuk meningkatkan penetrasi internet broadband ke seluruh Indonesia.

Selama ini WiFi Corner (WiCo) dikenal hanya berlokasi di tempat tertentu untuk sarana edukasi internet dan umumnya ada di Plasa Telkom. WiCo bisa diakses dengan harga relatif terjangkau.

“WiCo 2.0 dan WiFi Station merupakan upaya pengembangan masyarakat digital Indonesia, sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara,” ucap Direktur Enterprise & Business Service Telkom Dian Rachmawan, Kamis (28/12).

Dian menjelaskan, WiCo 2.0 terinspirasi oleh layanan warung internet (warnet) dengan mengajak pihak ketiga sebagai mitra yang berasal dari kalangan UKM untuk membantu penyebaran penetrasi internet. WiCo 2.0 menggunakan backhaul 100% fiber optik dengan kecepatan mulai dari 100 mbps dan jangkauan sinyal maksimal 50 meter.

Mitra hanya perlu menyediakan lokasi, dan mengunduh aplikasi MyWiCo untuk mendaftar sebagai pengguna dan top up saldo voucher. Setelah itu, mitra dapat langsung berjualan voucher WiFi.id kepada pengguna internet untuk digunakan di tempat yang sudah disediakan.

Lewat penjualan voucher ini, Telkom menerapkan skema bagi hasil 50:50 dengan harga voucher dimulai dari Rp3.500 per dua jam. Hanya saja mitra dapat menaikkan harga disesuaikan dengan kondisi setempat.

Dengan voucher tersebut, mitra dapat memperoleh penghasilan tambahan, sehingga cocok untuk dilakukan oleh para perempuan sebagai usaha rumahan. Untuk pembayaran voucher, bisa dilakukan dengan Finpay atau scan QR Code.

Dian menargetkan sampai tahun depan, WiCo 2.0 dapat tersedia di 50 ribu lokasi baru. Sementara ini, WiCo versi lama atau 1.0 sudah tersedia sekitar 15 ribu titik di seluruh Indonesia.

WiFi Station

Berbeda dengan WiCo 2.0, WiFi Station lebih diperuntukkan ke segmen korporat yang ingin memberikan layanan internet gratis untuk karyawannya atau pelanggan di tempat publik. Misalnya kafe, restoran, sekolah, kampus, atau coworking space. Untuk WiFi Station, ditargetkan sampai akhir tahun depan dapat tersedia di 100 ribu lokasi baru.

“Jadi end user tidak dibebankan biaya karena sudah ditanggung oleh perusahaan.”

WiFi Station punya fitur yang dinilai bermanfaat untuk pelaku bisnis, di antaranya Login ID Customization memungkinkan penyediaan koneksi internet yang aman, Welcome Page Customization memudahkan pelaku bisnis menciptakan brand image dari bisnisnya melalui fitur layanan WiFi internet. Serta, fitur Customer Profiling untuk meningkatkan customer engagement.

Menurut Dian, kehadiran dua produk terbaru ini tidak berseberangan dengan segmen pengguna Indihome yang lebih diperuntukkan untuk rumahan. Ketiganya menyasar pengguna yang berbeda.

Terkait persaingannya dengan pemain yang sudah ada sebelumnya, menurut Dian, terletak di penanganan setelah purna jualnya. Telkom punya anak usaha Telkom Akses yang khusus bergerak di bidang penyediaan layanan konstruksi dan pengelolaan infrastruktur jaringan.

“Kami ada anak usaha yang khusus menangani fiber optic, jadi ini nilai lebih kami dibandingkan kompetitor,” tutup Dian.

Layanan serupa seperti WiFi Station yang sudah lebih dahulu hadir, di antaranya Biznet Hotspot dan Google Station. Google menggandeng CBN dan FiberStar menghadirkan akses internet gratis di tempat publik. Di Indonesia, Google Station telah hadir di
Jadetabek, Bandung, dan Bogor.

Telkom Melepaskan Pemblokiran Terhadap Netflix

Setelah setahun lebih layanan video on demand Netflix diblokir dari jaringan Telkom, akhirnya kini pengguna IndiHome dan varian jaringan dari Telkom lainnya segera bisa menikmati salah satu layanan streaming terpopuler tersebut.

Pelepasan pemblokiran yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini ditengarai dari rencana kerja sama strategis yang akan dilancarkan oleh Telkom dan Netflix. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Consumer Service Telkom Dian Rachmawan, bahwa pihaknya menilai telah mencapai titik temu yang diharapkan untuk kerja sama yang saling menguntungkan.

“Kerja sama ini menjadi angin segar bagi seluruh pelanggan IndiHome yang bisa menikmati semakin banyak hiburan berkualitas dari berbagai penyedia layanan OTT Video Streaming. Setelah CATCHPLAY, iflix dan HOOQ, sekarang bertambah lagi dengan Netflix. Dalam tahap awal, Netflix bisa dinikmati melalui layanan IndiHome dengan penawaran menarik. Selanjutnya kerja sama kedua layanan tersebut bisa” ditingkatkan untuk memberikan movie-watching experience yang semakin lengkap dan berkualitas, ujar Dian seperti dikutip laman Indotelko.

Sebelumnya pemblokiran Netflix oleh Telkom dilakukan karena indikasi konten negatif dan pornografi yang ada di dalamnya. Tepatnya per tanggal 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Kendati demikian, dalam sebuah kesempatan CEO Netflix Reed Hastings tidak ambil pusing kala itu. Di sela-sela acara konferensi Asia Pacific Pay-TV Operators (APOS) 2016 di Bali, Hastings mengisyaratkan tidak peduli terhadap isu blokir ini dan menyebutkan Telkom Group adalah satu-satunya ISP yang memblok layanannya di Asia.

“Salah satu yang paling utama adalah bahwa Netflix akan memenuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk terkait sensor dan ketentuan lainnya guna menghadirkan layanan Netflix melalui network Telkom,” imbuh Dian.

IndiHome Gunakan Big Data untuk Rating Program Televisi yang “Lebih Baik”

Telkom mengabarkan bahwa pihaknya telah berhasil memanfaatkan teknologi big data untuk mengelola sistem rating acara televisi di saluran IndiHome. Layanan televisi kabel berbasis Fiber To The Home (FTTH) ini menggunakan teknologi big data untuk menghasilkan analisis yang lebih komprehensif, sehingga memungkinkan pengiklan menentukan slot yang tepat untuk brand yang ingin disajikan.

“Saat ini terdapat cara baru yang real-time bagaimana menentukan rating dari sebuah program tayangan televisi berdasarkan pilihan penonton. Ini hasil big data, otomatis menentukan rating dari database pelanggan menonton tayangan kesukaannya setipa hari. Ini data nyata, bukan hasil survei abal-abal,” ungkap Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan.

Rating adalah sebuah acuan untuk menilai, apakah sebuah acara menarik untuk ditonton banyak orang atau tidak. Biasanya rating tersebut juga yang dijadikan patokan perusahaan televisi untuk mengambil keputusan apakah suatu acara layak tayang atau dihentikan. Di Indonesia, proses penentuan rating program televisi dilakukan oleh Nielsen Audience Measurement Indonesia. Nielsen melakukan perhitungan rating dan share sebuah program televisi.

Selama ini Nielsen menyelenggarakan survei kepemirsaan televisi (TV Audience Measurement) di beberapa kota di Indonesia (2423 rumah tangga). Hasil tersebut yang digunakan untuk menyimpulkan rating suatu program. Big data diklaim mampu melakukan secara lebih detil karena dapat mencakup aktivitas penonton secara keseluruhan, tidak hanya diwakili sampel, namun menyimpulkan sebuah keadaan secara real-time.

Rating ini disusun berdasarkan data riil penggunaan UseeTV, bukan hanya dari hasil sampling beberapa responden seperti dalam rating lain yang dilakukan oleh lembaga survei. Konsep yang kami tawarkan ini akan bikin senang pengiklan, agensi, dan pemilik program. Mereka tak bisa lagi diakali oleh lembaga survei. Mereka bisa pasang iklan sesuai dengan target market,” pungkas Dian.

iflix Segera Melenggang ke Indonesia Melalui UseeTV

Di sela-sela permasalahan antara IndiHome (Telkom) dan MNC Group soal siaran beberapa stasiun televisi, Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan mengungkapkan bahwa sebagai ganti tidak ditayangkannya konten milik MNC Group, UseeTV akan menambah beberapa konten baru, salah satunya konten milik iflix.

iflix sendiri merupakan salah satu layanan video on demand yang akan masuk ke pasar Indonesia. Untuk mempertegaskan ekspansi ke pasar Indonesia, iflix sudah mengantongi pendanaan Seri B senilai hampir 600 miliar Rupiah, dengan konglomerat media EMTEK menjadi salah satu investornya.

Konfirmasi bahwa iflix akan masuk ke Indonesia bekerja sama dengan pihak UseeTV menarik untuk disimak karena sebelumnya Telkom telah memblok akses Netflix yang dianggap “tidak mau” bekerja sama dengan Telkom. Belum ada konfirmasi apakah UseeTV adalah satu-satunya partner lokal yang digandeng iflix saat memasuki Indonesia.

Telkom mengisyaratkan akan membuka memblokir layanan Netflix lagi jika  bersedia bekerja sama dengan Telkom, contoh usaha “menekan” pihak asing yang ingin memasuki pasar Indonesia. Kini, dengan pemerintah segera mewajibkan pembentukan Bentuk Usaha Tetap (BUT) untuk setiap layanan OTT asing yang ingin beroperasi di Indonesia, menjalin kemitraan lokal, seperti yang dilakukan iflix, menjadi hal yang logis.

Langkah menggandeng partner lokal tampaknya juga akan diambil layanan video on demand lain, HOOQ. Layanan yang digagas Grup SingTel ini juga bakal meluncurkan layanan di Indonesia dalam waktu dekat. Kabarnya HOOQ bakal menggandeng Telkomsel sebagai partner lokal untuk memuluskan kehadirannya di Indonesia.

Mengenai strategi partner lokal ini, yang paling dikhawatirkan adalah adanya pembatasan akses. Misalnya suatu layanan bekerja sama dengan Grup Telkom, bisa saja nanti akses layanan tersebut hanya bisa dilakukan secara eksklusif melalui jaringan seluler grup tersebut. Ruang untuk memilih layanan terbaik dipersempit, belum lagi isu mengenai netralitas internet.

Dengan potensi pengguna internet yang besar dan infrastruktur yang semakin bagus, berbagai layanan video on demand memasuki Indonesia tahun ini. Kita lihat mana yang menawarkan konten yang paling menarik, skema berlangganan paling kompetitif dan, tentu saja, paling mengerti selera lokal.

Mencoba Memahami Langkah Telkom Memblokir Netflix

Grup Telkom hari ini menggegerkan industri digital dengan memutuskan memblok akses ke Netflix. Konsumen tidak bisa lagi menggunakan layanan IndiHome, WiFi.id, dan Telkomsel untuk mengakses layanan streaming video paling populer yang baru saja melebarkan usahanya di Indonesia ini. Mengingat pemerintah sendiri tidak menjatuhkan keputusan Netflix, disinyalir hal ini adalah antisipasi persaingan bisnis yang kurang elegan.

Sebelumnya Menkominfo Rudiantara sudah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memblok Netflix dan memberikan tenggat waktu satu bulan bagi Netflix untuk mengurus perizinan badan usaha (atau bersinergi dengan layanan lokal) dan memastikan kontennya lulus sensor. Hal ini berbeda dengan sikap pemerintah yang memblok Vimeo karena disinyalir memiliki konten dianggap “tidak sesuai”.

Ternyata Grup Telkom, yang notabene adalah perpanjangan tangan pemerintah, mendahului pemerintah dalam hal “memutuskan hubungan” dengan Netflix.

Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan:

“Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai aturan di Indonesia, dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini. Kami ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harus menjadi contoh dan menegakkan kedaulatan Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) dalam berbisnis.

Kita maunya kalau berbisnis itu harus mematuhi aturan Indonesia. Di luar negeri mereka (Netflix) lakukan kerja sama dengan beberapa operator, masa di sini tidak? Padahal, jika kerja sama dengan operator lokal banyak manfaat didapatkan kedua belah pihak.”

Kalau kerja sama langsung, kita bisa kelola Netflix melalui platform Over The Top (OTT) yang dimiliki Telkom.”

Ada beberapa hal tersirat dari pernyataan Dian tersebut. Kami melihat masalah utama Telkom terhadap Netflix adalah keengganannya untuk bekerja sama dengan pihak lokal, sebagaimana yang dilakukan dengan beberapa operator di negara lain. Telkom mengisyaratkan sebaiknya Netflix jika ingin berbisnis di Indonesia harus bermitra dengan pihak lokal.

Selain itu, Telkom sesungguhnya memiliki beberapa layanan video on-demand yang secara langsung bersaing dengan Netflix. Mereka adalah Moovigo (yang dimiliki Telkomsel), UseeTV, dan yang akan datang HOOQ (yang dibawa SingTel Group melalui Telkomsel).

Sulit untuk memahami langkah Telkom ini di luar unsur persaingan bisnis, mengingat pemerintah sebagai pemilik Telkom belum memutuskan blokir terhadap Netflix.

Telkom menganggap Netflix masih kecil dan tidak masalah untuk diblokir, tapi data menunjukkan pertumbuhan konsumsi video online (atau on-demand) di Indonesia bertumbuh sangat pesat dan suatu saat bakal mengguncang hegemoni televisi. Bagi Netflix, meskipun merugikan, langkah Grup Telkom ini adalah publikasi gratis yang justru mendorong masyarakat ingin tahu lebih banyak mengapa sampai Telkom melakukan hal ini.

Dalam sebuah kolom di The Motley Fool, penulis Anders Bylund empat hari lalu menuliskan ia memahami Indonesia sebagai pasar sulit tetapi harus menjadi prioritas Netflix mengingat potensi 250 juta penduduknya tidak bisa dianggap remeh. Ia menyarankan CEO Reed Hastings untuk segera datang ke Jakarta dan menyelesaikan masalah ini dengan pihak terkait untuk memastikan Netflix memiliki posisi yang kuat ketika layanan video on-demand sudah booming di sini.

Buat kami, langkah Telkom ini semata-mata adalah keputusan strategis bisnis dan cukup disayangkan jika langkah yang diambil kurang elegan. Memblokir layanan legal dan tetap membolehkan akses terhadap layanan ilegal, seperti torrent, berarti tidak memperbesar pasar industri konten yang selama ini dimakan oleh pembajakan.

Kehadiran Netflix bersifat disruptive, seperti halnya Uber terhadap layanan transportasi. Meskipun pelaku bisnis yang sudah ada tidak menyukai mereka, demand (dan perlawanan) pasti akan ada jika konsumen menyukai layanan yang ditawarkan. Kita tunggu bagaimana reaksi Netflix dan pemerintah, dan kompromi seperti apa yang akan dilakukan.

Telkom Memblokir Netflix Mulai Hari Ini

Disampaikan langsung oleh Direktur Consumer PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Dian Rachmawan, perusahaan telah memblokir akses ke layanan video streaming Netflix dengan alasan tidak memenuhi regulasi di Indonesia. Per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tak tanggung-tanggung, Telkom memblokir Netflix untuk semua saluran pelanggannya, termasuk pengguna IndiHome, WiFi.id dan Telkomsel. Adanya konten berbau pornografi di Netflix juga menjadi dalih alasan pemblokiran tersebut.

“Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai aturan di Indonesia, dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini. Kami ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harus menjadi contoh dan menegakkan kedaulatan Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) dalam berbisnis,” tegas Dian.

Dian melanjutkan, “Kita maunya kalau berbisnis itu harus mematuhi aturan Indonesia. Di luar negeri mereka (Netflix) lakukan kerja sama dengan beberapa operator, masa di sini tidak? Padahal, jika kerja sama dengan operator lokal banyak manfaat didapatkan kedua belah pihak.”

Terkait dengan muatan konten, Telkom bersedia bekerja sama dengan Netflix asalkan konten yang mengandung pornografi dan kekerasan dihilangkan.

“Kalau kerja sama langsung, kita bisa kelola Netflix melalui platform Over The Top (OTT) yang dimiliki Telkom. Aksi blokir ini tak akan berdampak ke pelanggan kami, mereka (Netflix) masih kecil di sini. Mumpung masih kecil, kita ajarin ikut aturan di sini,” pungkas Dian.

Sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah memberikan batas waktu satu bulan bagi Netflix untuk merampungkan berbagai hal terkait dengan perizinan dan legalitas. Sesuai isyarat Menkominfo Rudiantara, untuk dapat memberikan konten ke masyarakat Indonesia, Netflix harus berbadan hukum tetap atau bekerja sama dengan operator telekomunikasi lokal.