Tag Archives: dian siswarini

XL Axiata to Shut Down XL Tunai E-Money Service

XL Axiata (XL) cellular operator is to shut down XL Tunai e-money service after eight years of operation. This decision was taken as the difficulty to grow amid intense competition with other digital wallet players.

Regarding the shutdown, XL has conducted socialization with its customers via SMS. The written statement: “Dear Customer, your XL Tunai service will be terminated on 28/02/2020 due to your balance at Rp 0”.

Furthermore, another SMS stated: “Dear Customer, we are to re-inform you that XL Tunai-in balance / cash-in has been closed as of 12/02/2020. Your balance can still be used for transactions through *808#”.

A familiar source told DailySocial, XL Axiata’s CEO Dian Siswarini said that the service termination referred to the termination for balance top-up or cash in.

“Termination balance top-up is to stop money circulation. We really plan to shut down XL Tunai, but it can’t just be, because we have to get approval from Bank Indonesia (BI) as the issuer,” Dian said.

There are no further details regarding this shutdown. Dian said that she was still discussing with BI regarding the mechanism of closing its services.

XL Tunai was launched in 2012 and currently has 2 million users. Just like other e-money services, XL Tunai can be used to send and receive funds, pay bills, and buy tickets.

Challenging not to be agnostic

One of the biggest challenges for operators in the e-money business today was to shift banking domination. It’s getting harder when GoPay, OVO, and solutions from digital services increasingly exist.

Operators are considered to have failed to boost the users’ growth and e-money transactions due to a lack of merchant inclusiveness and ecosystem. The market share is limited to only customers.

Of the total 56 million XL customers, only 2 million are using XL Tunai. Telkomsel, with the largest customer base of 167 million, only acquired 20 million users – only half of them are active in transactions.

It’s a strategic step when T-cash decided to become an agnostic e-money platform at the end of 2018. It’s intended to become a platform that is free to use by anyone, without having to be a Telkomsel customer. T-cash and server-based e-money services run by state-owned banks have now merged into LinkAja.

Based on the 2019 Fintech Report, GoPay is currently the most used digital wallet of 83.3 percent, followed by OVO (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The fall of cellular operator’s digital business

Since 2018, XL Tunai operations have been transferred to its parent company, Axiata Digital Services. According to the latest news, the transfer was made so that XL could focus on its main business as telecommunications provider.

This is actually a strategy to remain efficient as a group, especially after XL failed to build Elevenia as an e-commerce joint venture with SK Planet. In the end, all of the blue operators’ digital businesses were left entirely to Axiata Group.

“We do not plan to substitute XL Tunai with a similar new service. The new plan [digital business] is actually there, but now it is handled in groups by the holding company,” he explained.

XL is not the only one failed to build a digital business. Indosat Ooredoo experienced the same failure. The company launched Dompetku to be merged into PayPro in the midst of 2017, also closed the Cipika marketplace because it did not want to keep burning money.

Reflecting on the issue above, telecommunications operators actually have a great opportunity to create new revenue from digital business. Operators have a large customer base and extensive network infrastructure. Its position as a telecommunications operator is advantageous because it must stay ahead of technological developments.

On the other hand, operators should move quickly in the face of competition with Over-The-Top (OTT) players. The growth of the telecommunications industry continues to fall and the cellular business is no longer expected. In other words, they must maintain profitability while continuing to build networks.

Although starting to refocus on the cellular as its core business, telecommunications operators still need to prepare themselves for the next 5-10 years to face the digitalization era.

What should be sought together is how the telecommunications industry finds the right business models and strategies in running digital businesses in the future, including finding capable talents to develop digital businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan pengisian saldo XL Tunai sudah ditutup, pengguna juga sudah terima pemberitahuan. Saat ini menunggu izin penutupan dari Bank Indonesia.

XL Axiata Segera Tutup Layanan Uang Elektronik XL Tunai

Operator seluler XL Axiata (XL) segera menutup layanan e-money XL Tunai setelah delapan tahun beroperasi. Penutupan ini menyusul semakin sulitnya ruang untuk bertumbuh di tengah ketatnya persaingan dengan pemain dompet digital.

Mengenai penutupan layanan ini, XL sudah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya melalui SMS. Isinya tertulis: “Pelanggan Yth, layanan XL Tunai Anda akan dihentikan pada 28/02/2020 karena saldo Anda Rp0”.

Kemudian, SMS lainnya berisi: “Pelanggan Yth, kami infokan kembali bahwa pengisian saldo/cashin-in XL Tunai telah ditutup per 12/02/2020. Saldo Anda masih bisa dipakai untuk transaksi di *808#”.

Dari informasi yang diterima DailySocial, CEO XL Axiata Dian Siswarini menyebutkan penghentian layanan dimaksud saat ini adalah penghentian untuk pengisian saldo atau cash in.

“Penghentian isi saldo ini supaya tidak ada uang beredar lagi. Kita memang berencana menutup XL Tunai, tapi tidak bisa begitu saja karena harus dapat approval dari Bank Indonesia (BI) selaku pemberi lisensi,” ujar Dian.

Belum ada rincian lebih lanjut mengenai rencana penutupan ini. Dian menambahkan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan BI terkait mekanisme penutupan layanannya.

XL Tunai diluncurkan pada 2012 dan saat ini memiliki 2 juta pengguna. Sama seperti layanan e-money lainnya, XL Tunai dapat digunakan untuk mengirim dan menerima dana, membayar tagihan, hingga membeli tiket.

Sulit jika tidak agnostik

Salah satu tantangan terbesar operator di bisnis e-money saat itu adalah menggeser dominasi perbankan. Semakin berat kala GoPay, OVO, dan solusi dari layanan digital makin exist.

Operator dianggap gagal mendongkrak pertumbuhan pengguna dan transaksi e-money miliknya karena kurangnya inklusivitas dan ekosistem merchant. Pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang yang menjadi pelanggannya saja.

XL punya 56 juta pelanggan, tapi cuma 2 juta yang memakai XL Tunai. Telkomsel sendiri, dengan basis pelanggan terbesar sebanyak 167 juta, cuma mengantongi 20 juta pengguna–itupun hanya setengahnya yang aktif bertransaksi.

Sebuah langkah yang tepat ketika T-cash memutuskan untuk menjadi platform e-money yang agnostik di akhir 2018. Agnostik yang dimaksud adalah menjadi platform yang bebas dipakai oleh siapapun, tanpa perlu jadi pelanggan Telkomsel. T-cash dan layanan e-money berbasis server milik bank-bank pelat merah kini melebur menjadi LinkAja.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

Keruntuhan bisnis digital operator seluler

Sejak tahun 2018, operasional XL Tunai telah dialihkan ke induk usahanya, yaitu Axiata Digital Services. Menurut pemberitaan terakhir, pengalihan ini dilakukan agar XL bisa fokus di bisnis utamanya sebagai penyelenggara telekomunikasi.

Pengalihan ini sebetulnya adalah strategi untuk tetap efisien secara grup, terutama pasca kegagalan XL membangun bisnis patungan e-commerce Elevenia bersama SK Planet. Pada akhirnya, seluruh bisnis digital operator biru ini diserahkan sepenuhnya kepada Axiata Group.

“Kami belum berencana untuk menyubstitusi XL Tunai dengan layanan baru yang serupa. Plan baru [bisnis digital] sebetulnya masih ada, tapi sekarang ditangani secara grup oleh induk usaha,” paparnya.

Tak cuma XL yang gagal membangun bisnis digital. Indosat Ooredoo juga punya pengalaman yang sama. Perusahaan melepas bisnis Dompetku untuk dilebur menjadi PayPro di paruh 2017, lalu menutup marketplace Cipika karena tak ingin terus-terusan “bakar uang”.

Berkaca dari hal di atas, operator telekomunikasi sebetulnya punya peluang besar untuk menciptakan pendapatan baru dari bisnis digital. Operator punya basis pelanggan yang besar dan infrastruktur jaringan yang luas. Posisinya sebagai operator telekomunikasi menguntungkan karena mereka harus tetap terdepan terhadap perkembangan teknologi.

Di sisi lain, operator harus bergerak cepat dalam menghadapi persaingan dengan pemain Over-The-Top (OTT). Pertumbuhan industri telekomunikasi terus tergerus dan bisnis seluler tidak lagi selamanya diharapkan. Dengan kata lain, mereka harus menjaga profitabilitas sambil terus membangun jaringan.

Meski mulai kembali fokus ke bisnis seluler sebagai bisnis utamanya, tetap saja operator telekomunikasi perlu mempersiapkan diri 5-10 tahun mendatang dalam menghadapi era digitalisasi.

Yang perlu dicari bersama adalah bagaimana industri telekomunikasi menemukan model bisnis dan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis digital di masa depan, termasuk menemukan talenta yang mampu mengembangkan bisnis digital.

Princeton Digital Group Acquired XL Axiata “Data Center” Business

Princeton Digital Group (PDG),  a Singapore-based internet infrastructure developer and operator, has acquired 70% of XL Axiata data center business shares and to develop a joint venture named Princeton Digital Group Data Center

PDG also has an investment commitment of $100 million (more than Rp1.4 trillion) for capital growth.

The joint venture intends to be a data center operator to handle hyperscalers companies, domestic unicorns, corporates, and telco. However, XL Axiata has five data center located in all over Indonesia.

PDG’s Chairman & CEO, Rangu Salgame explained the acquisition is supposed to extend the current data center capacity. There will be one more hyperscale data center by the end of the year, For the company, all series are to tighten the high-quality competition in the global internet infrastructure.

“With the follow-on investment, the joint venture should lead the market in Indonesia and one of the biggest data center operator in Southeast Asia,” Salgame stated in the release.

XL Axiata’s President Director & CEO, Dian Siswarini added, the extensive skills and experiences of PDG will make this new entity the main option for the multinational and big scale digital service providers aiming for operational expansion in Indonesia and Asia.

Data center is the main support behind Indonesia’s digital economy growth, which is predicted to dominate Southeast Asia’s region by 2025. Public cloud service provider such as Alibaba Cloud, Amazone Web Services, and Google Cloud has built some strategic hub in the Indonesian market.

Alibaba already has two data center here. While Google already has cloud region acted similar to the data center. Previously, the government requires the cloud service provider and server to have its own data center, particularly to keep storage with high risks – in case it contains Indonesian user’s identity.

In Southeast Asia, the data center market is predicted to have significant growth, increased by two times in the next four years. In Technavio, this area will grow stable at 14% Compound Annual Growth Rate (CAGR) between 2017 to 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Princeton Digital Group Data Centers

Bisnis “Data Center” XL Axiata Diakuisisi Princeton Digital Group

Princeton Digital Group (PDG), pengembang dan operator infrastruktur internet dari Singapura, mengakuisisi 70% saham kepemilikan bisnis data center milik XL Axiata dan mendirikan perusahaan patungan dinamai Princeton Digital Group Data Centers.

PDG juga memberikan komitmen investasi sebesar $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) untuk pertumbuhan modalnya.

Perusahaan patungan ini, berambisi menjadi operator data center yang melayani perusahaan hyperscalers, unicorn domestik, korporasi, dan perusahaan telekomunikasi. Adapun, XL Axiata memiliki lima data center tersebar di seluruh Indonesia.

Chairman & CEO PDG Rangu Salgame menerangkan, akuisisi ini dimaksudkan untuk memperbesar kapasitas data center yang sudah ada. Bakal ada tambahan satu data center hyperscale baru di akhir tahun ini. Bagi perusahaan, seluruh rangkaian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetisi yang mumpuni dalam infrastruktur internet global.

“Dengan investasi lanjutan, perusahaan patungan ini akan menjadi pemimpin pasar di Indonesia dan salah satu operator data center terbesar di Asia Tenggara,” terang Salgame dalam keterangan resmi.

Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini menambahkan, keahlian dan pengalaman yang luas dari PDG menjadikan entitas baru ini sebagai pilihan untuk para penyedia layanan digital berskala besar dan multinasional yang ingin memperluas operasi mereka di Indonesia dan kawasan Asia.

Data center adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, yang diprediksi akan mendominasi Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Penyedia layanan public cloud global seperti Alibaba Cloud, Amazon Web Services, dan Google Cloud telah membangun beberapa hub strategis di pasar Indonesia.

Alibaba sendiri sudah memiliki dua data center di sini. Sementara Google miliki cloud region yang akan bertindak mirip dengan data center. Sebelumnya kebijakan pemerintah mewajibkan perusahaan penyedia layanan cloud dan server untuk miliki data center di sini, khususnya untuk menyimpan data-data dengan risiko tinggi — misalnya yang mengandung identitas pengguna di Indonesia.

Di Asia Tenggara, pasar data center diprediksi akan mengalami kemajuan pesat, lebih dari dua kali lipat nilainya dalam empat tahun ke depan. Menurut Technavio, di kawasan ini akan tumbuh stabil pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sekitar 14% selama 2017 sampai 2021.

Lab IoT X-Camp XL Axiata

Gandeng 36 Mitra, XL Axiata Bangun Lab IoT X-Camp

Kini para pengembang Internet of Things (IoT) lokal boleh bergembira. Fasilitas laboratorium yang telah menjadi mimpi bagi setiap pelaku di ekosistem ini resmi hadir di Indonesia. Dengan laboratorium ini, Indonesia diharapkan dapat lebih gesit memaksimalkan potensi IoT dalam negeri.

Lab IoT bernama X-Camp merupakan hasil kolaborasi ‘keroyokan’ yang diinisiasi oleh operator seluler XL Axiata dengan 36 pihak lainnya. Setiap pihak punya peran masing-masing, mulai dari penyediaan mesin, properti, hingga pengembangan kurikulum untuk menciptakan sumber daya.

Peluncuran X-Camp turut diresmikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartanto di Kantor XL Axiata di Jakarta. X-Camp akan beroperasi secara efektif pada pertengahan November.

“X-Camp dibangun untuk memperluas implementasinya. Lab ini juga menjadi wadah untuk mempertemukan para stakeholder di ekosistem IoT. Ini bisnis masa depan, kalau tidak disiapkan dari sekarang, kita tidak akan siap,” ungkap Presiden Direktur sekaligus CEO XL Axiata, Dian Siswarini pada peluncuran Lab IoT X-Camp di Jakarta kemarin.

Ia berharap X-Camp dapat menjadi wadah dalam menghadirkan solusi digital sesuai kebutuhan industri. Ia bahkan menyebut bahwa X-Camp menjadi lab IoT terlengkap yang pernah dihadirkam oleh operator seluler, dan satu-satunya lab IoT yang tergabung di GSMA Lab Alliance di Asia Tenggara.

Sementara itu, Menperin Airlangga mengungkap pihaknya tengah menyiapkan kebijakan dalam mempercepat adopsi IoT. Pasalnya IoT merupakan bagian dari revolusi Industri 4.0.

“Dari sepuluh policy, salah satunya infrastruktur. Tentu peran (operator seluler) XL sangat penting. Perlu diketahui bahwa globalisasi adalah part of trade war. Dengan revolusi Industri 4.0, kita berupaya agar tidak ketinggalan,” jelasnya.

Di kesempatan sama, Menkominfo Rudiantara juga sempat menyentil tentang minimnya sumber daya manusia (SDM) dalam negeri yang punya kemampuan di bidang ini. Hal itu menjadi salah satu tantangan besar dalam menggerakkan adopsi IoT di tanah air.

Maka itu, XL turut menggandeng sejumlah universitas terkemuka untuk membangun sumber daya lokal dari perguruan tinggi. Mereka di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Politeknik Negeri Semarang, dan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Sisanya menyusul untuk bergabung dalam program X-Camp Lab Alliance.

Pengembangan NB-IoT hingga kolaborasi inovatif

X-Camp menyediakan ragam fasilitas bagi para pengembang atau maker IoT. Perlu diketahui, X-Camp merupakan lab untuk pengembangan teknologi Narrowband (NB-IoT). Adapun, NB-IoT tengah digadang-gadang menjadi teknologi IoT penerus karena dapat berjalan di jaringan seluler 2G, 3G, dan 4G.

Tentu pengembangan NB-IoT sejalan dengan keinginan operator seluler seperti XL, mengingat operator saat ini tengah mengembangkan jaringan seluler generasi kelima (5G) untuk memaksimalkan adopsi NB-IoT lebih tinggi.

Hal ini juga diamini oleh Founder dan CEO DycodeX, Andri Yadi yang ditemui DailySocial di acara peluncuran ini. DycodeX termasuk salah satu mitra kolaborasi XL dalam membangun X-Camp, dan startup yang pertama kali memperkenalkan teknologi IoT lainnya, yakni LoRa.

Andri mengungkap pengembangan NB-IoT kali ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan startup Kayuh, startup penyedia sepeda kayu asal Depok,, dalam merancang produk bike-sharing.

Lebih lanjut, X-Camp menghadirkan sejumlah fasilitas di mana para maker atau pengembang dapat melakukan berbagai kegiatan, mulai dari pengembangan ide, pembuatan prototype produk IoT hingga produksi skala kecil. Di sini, mereka juga dapat melakukan pengujian user experience.

“Ada banyak sekali tujuan dari pembangunan X-Camp, yaitu edukasi pasar, inkubasi bisnis, pengembangan bersama, dan pengembangan lab. Dari sini, kita pertemukan startup dengan industri, kita bisa eksplorasi ide IoT, hingga membuat kolaborasi.” demikian ungkap Direktur Teknologi XL Axiata, Yessie D Yosetya.

CEO XL Axiata Dian Siswarini / XL Axiata

XL Tunai Kini Dioperasikan Induk Perusahaan XL Axiata

XL Axiata mengungkapkan tengah memproses pengalihan operasional XL Tunai ke induk usahanya, Axiata Digital Services. Pengalihan ini dilakukan agar XL Axiata itu sendiri dapat tetap fokus ke bisnis utamanya sebagai operator telekomunikasi.

CEO XL Axiata Dian Siswarini menerangkan perseroan sempat mengkaji pencarian investor untuk XL Tunai sejak tahun lalu, namun akhirnya diurungkan lantaran lisensi e-money dari BI yang tidak bisa dialihkan ke pihak lain. Pengalihan ke induk usaha menurutnya menjadi alasan yang paling rasional karena dinilai lebih mudah.

“Jadi parent company kita yang menjalankan bisnis e-money, tapi lisensi masih XL Axiata yang pegang. Jadi seperti kita ‘kontrakkan’,” ujarnya, kemarin (4/6).

VP Corporate Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih menambahkan, mengingat saat ini proses pengalihan masih berlangsung, maka kontribusi bisnis yang diberikan XL Tunai masih masuk ke XL Axiata. Namun ketika pengalihan sudah kelar, maka nantinya kontribusi tersebut akan masuk secara penuh ke induk usaha.

Terkait regulasi di Bank Indonesia, menurut Ayu, pengalihan ini sesuai dengan aturan. Perseroan juga berkaca pada apa yang dilakukan Indosat Ooredoo terhadap lisensi e-money Dompetku untuk dioperasikan pihak lain sebagai PayPro.

“Setahu saya ini sama seperti apa yang dilakukan Indosat, semestinya enggak ada masalah,” kata Ayu.

Hingga kuartal I/2018, XL Tunai telah memiliki sekitar dua juta pengguna. XL Tunai telah menganut sistem interoperabilitas sejak 2015, yang artinya pengguna TCASH dan Dompetku (sekarang PayPro) bisa saling transfer dana satu sama lain.

XL Tunai diluncurkan XL sejak 2012. Saat ini layanan e-money tersebut dapat dimanfaatkan untuk membayar tagihan, membeli tiket, berbelanja di offline dan layanan online, pencairan, dan mengirim/menerima dana.

Sebelumnya, XL Axiata menjual bisnis e-commerce Elevenia kepada Salim Group, efektif sejak tahun lalu. Perseroan kini hanya bermain di bisnis data, SMS, dan voice saja. Bisnis baru perseroan yang sudah diluncurkan adalah home broadband XL Home Pow, layanan internet rumahan berbasis kabel serat optik dengan kecepatan hingga 300 Mbps.

Lampu merah bisnis digital

“Menyerahnya” diversifikasi bisnis ke arah digital, yang sebelumnya gencar ditekuni XL Axiata dan Indosat Ooredoo, memperlihatkan bahwa bisnis digital perlu dilakukan secara kontinu dan perlu komitmen jangka panjang untuk terus suntik modal. Pasalnya, bisnis digital bukan sesuatu yang bisa memberikan kontribusi bisnis (terutama soal laba) dalam kurun waktu yang cepat.

Baik XL Axiata dan Indosat Ooredoo sendiri adalah perusahaan terbuka yang memiliki tanggung jawab kepada pemegang sahamnya masing-masing.

Kini tersisa Telkomsel dengan TCASH-nya yang masih terus melaju untuk bersaing dengan pemain e-money lainnya demi mendominasi pasar. Tak ketinggalan juga ada Tri yang diungkapkan tengah memproses izin e-money untuk dukung ekosistem dari e-commerce &Co (And Co).

XL Axiata to Invest US$500 Million on Joining Cable TV Business

XL Axiata (XL) has prepared a long-term investment of US$500 million (or around Rp6.7 trillion) to join the TV cable business in the second quarter of 2018. For XL, it’s interesting business given to its current penetration.

“Penetration is now 140%. Therefore, we reinvent a way to play. We went for cable TV and its content,” Dian Siswarini, XL’s President Director, quoted from Tempo.

In the process, XL will make an acquisition or merger with a cable TV company to go straight into the business. However, she is keeping the company’s name a secret.

In his opinion, cable TV’s development will be done gradually. The first step is to be launched in the second quarter of 2018. Budget is set around 10% of the total Rp7 trillion.

“We plan to launch on the second quarter, only partnering. We haven’t made any merger or acquisition (M&A), because it’ll take some time.”

Furthermore, she explained that the long-term investment of US$500 million is for merger and acquisition process and its five-year development.

“Peak funding can reach US$500 million in five years.”

Peak funding is total funding for M&A process, broadband networking, and all tools needed for content. The company will consider taking loan from overseas.

The team will create a new model in this business. It’s going to be different with company’s current partnership with MNC Vision. However, she did not shut down any opportunities for MNC support.

“The content can be from MNC and others. The difference is in its business model,” Siswarini said.

Previously, XL Axiata shut down some of its digital business. Its e-commerce subsidiary, Elevenia is ended up sold to Salim Group in August 2017. Now it has several new business segments in digital entertainment (Yonder and Tribe), business innovation, digital payment (XL Tunai), mobile advertising (m-Ads), cloud computing (XCloud), and Internet of Things (XL IoT).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XL Axiata Investasikan US$500 Juta untuk Masuk ke Bisnis TV Berbayar

XL Axiata persiapkan investasi jangka panjang sebesar US$500 juta (atau senilai 6,7 triliun rupiah) untuk masuk ke bisnis TV berbayar pada kuartal II/2018. Bisnis ini dinilai cukup menggiurkan karena penetrasinya sudah sekitar 140%.

“Penetrasi sekarang sudah 140%. Karena itu kami reinvent a way to play. Makanya kami masuk ke TV berbayar, masuk ke konten,” ucap Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini dikutip dari Tempo.

Untuk prosesnya, XL akan melakukan akuisisi atau merger dengan salah satu TV berbayar agar bisa langsung masuk ke bisnis tersebut. Hanya saja, Dian enggan membeberkan perusahaan yang akan diakuisisinya tersebut.

Menurutnya, pengembangan televisi berbayar ini akan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama akan diluncurkan pada kuartal II/2018. Anggaran yang disiapkan perseroan sekitar 10% dari total anggaran belanja pada tahun ini sebesar Rp7 triliun, atau sekitar Rp700 miliar.

“Rencananya kuartal II kami akan launching, tapi baru partnering. Belum merger and acquisition (M&A) karena itu akan makan waktu lumayan lama.”

Dian melanjutkan, komitmen investasi jangka panjang sebesar US$500 juta tersebut merupakan biaya penggabungan dan akuisisi perseroan dengan televisi berbayar tersebut. Biaya itu nantinya juga digunakan untuk pengembangan selama lima tahun.

“Kalau peak funding itu bisa US$500 juta dalam lima tahun itu.”

Peak funding tersebut merupakan dana total untuk proses M&A, bangun jaringan broadband, dan semua peralatan yang dibutuhkan untuk menyiapkan konten. Bahkan perseroan juga akan mempertimbangkan rencana mengambil pinjaman dari luar negeri.

Pihaknya juga akan membuat model baru dalam bisnis ini, sehingga akan cenderung berbeda dengan kerja sama yang sudah dijalani perseroan dengan MNC Vision. Kendati, Dian tidak menutup kemungkinan kontennya akan didukung MNC.

“Bisa jadi. Kontennya bisa jadi dari MNC, juga bisa dari yang lain. Pokoknya bisnis modelnya berbeda dari yang sekarang,” tutup Dian.

Sebelumnya, XL Axiata menunjukkan lampu kuning untuk terjun ke bisnis digital. Anak usaha yang bergerak di e-commerce, Elevenia, akhirnya dijual ke Salim Group pada Agustus 2017. Menyisakan tujuh segmen, yaitu digital entertainment (Yonder dan Tribe), business innovation, digital payment (XL Tunai), mobile advertising (m-Ads), komputasi awan (XCloud), dan Internet of Things (XL IoT).

XL Axiata Pasang “Rambu Kuning” untuk Bisnis Digital

Bisnis digital yang kini sudah dijalani selama beberapa tahun oleh tiga perusahaan operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, kini mulai menunjukkan pertanda nafas yang mulai terengah-engah.

Bila Indosat Ooredoo sudah terang-terangan berhenti di lampu merah, Telkomsel justru tunjukkan posisi ada di lampu hijau. Misalnya, berencana ingin menyuntikkan tambahan modal untuk Blanja sebesar Rp500 miliar. XL Axiata, di sisi lain, menunjukkan posisi di lampu kuning.

Saat ini, XL Axiata (XL) tengah melakukan peninjauan ulang untuk seluruh bisnis digital yang sudah digeluti perseroan sejak pertama kali terjun pada 2013 silam. Nantinya akan ada beberapa produk yang dipertahankan atau dihentikan.

Layanan digital XL mencakup tujuh segmen, yaitu digital entertainment (Yonder dan Tribe), business innovation, digital payment (XL Tunai), mobile advertising (m-Ads), komputasi awan (XCloud), internet of things (XL IoT), dan bisnis e-commerce (Elevenia).

“Waktu awal kami masuk [bisnis digital] di 2013, kami placing bets dengan banyak bermain di semua segmen digital. Sekarang kami lagi scanning mana yang mau ditransfer, mana yang matikan,” ujar Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini, Jumat pekan lalu.

Sejauh ini, Dian enggan membeberkan lebih detil sampai kapan perseroan menuntaskan proses peninjauan dilakukan dan segmen produk mana saja yang berpotensi akan dihentikan atau dilanjutkan.

Hanya saja ada kemungkinan XL akan mempertahankan Elevenia. Pasalnya, Dian mengklaim pertumbuhan bisnis Elevenia tiap tahunnya tercatat lebih dari 50%. Saat ini kondisi Elevenia masih merugi dan belum memberikan dampak yang signifikan bagi perseroan.

Untuk mendukung bisnis Elevenia agar lebih pesat, pihaknya sedang mencari investor baru untuk menyuntikkan dana segar. Ditargetkan pada Agustus 2017 mendatang proses tersebut selesai dilakukan. Informasi detil mengenai aksi korporasi tersebut masih belum dibeberkan Dian.

“Elevenia sekarang lagi proses fundraising, sudah berjalan sekitar tiga bulan lalu. Animonya [calon investor] bagus-bagus, sekarang lagi pilih-pilih. Apakah kami akan lepas? Jawabannya belum ditentukan, masih dalam analisa. Sebab Elevenia itu bagus dari sisi transaksi dan unique visitor-nya.”

Selain Elevenia, Dian bilang kemungkinan besar bisnis digital XL yang akan dipertahankan adalah internet of things (IoT).

Sementara untuk layanan uang elektronik XL Tunai, pihaknya masih menimbang-nimbang apakah bakal mengikuti jejak Dompetku atau tidak. Menurut Dian, penggunaan XL Tunai berdampak pada peningkatan loyalitas pengguna XL karena nomor ponselnya yang dapat dipakai untuk transaksi online.

“Sementara kalau spin off, lisensi e-money itu kan tidak bisa dipindahtangankan. Untuk pengembangan payment ke depannya, kami yakin payment di masa depan ada di smartphone. Tapi masalahnya, e-money itu adalah salah satu sumber dana uang, sedangkan payment sumber dananya bisa dari mana saja. Kami sedang pertimbangkan hal itu.”

Butuh sokongan dana besar

Senada dengan pernyataan CEO Indosat Alexander Rusli sebelumnya, Dian mengungkapkan, bisnis digital memiliki metrik yang berbeda dengan bisnis operator telekomunikasi. Pada tahun pertama beroperasi, bisa dipastikan belum menciptakan pendapatan. Penilaian ukuran kinerjanya pun berbeda, biasanya dilihat dari transaksi, jumlah visitor, pengguna aktif, dan lainnya.

“Sehingga untuk bisnis digital bila ingin menumbuhkan transaksi yang besar maka dibutuhkan suntikan modal yang makin besar pula.”

Sebagai gambaran dalam rangka mendukung bisnis Elevenia, XL sudah dua kali menyuntikkan modal ke Elevenia sejak pertama kali berdiri di 2013. Secara total, kucuran dana yang diberikan XL Axiata ke anak perusahaan e-commerce-nya ini mencapai $68,3 juta (lebih dari 900 miliar Rupiah).

Kemitraan Axiata dan Thaicom Perluas Jangkauan Sinyal XL Axiata

Axiata Group Berhad (Axiata) hari ini menandatangani kerja sama multi-transponder dengan IPSTAR Internasional Pte Limited (IPSTAR), anak perusahaan Thaicom Public Company Limited (Thaicom) untuk layanan sewa guna usaha dan teleport berdurasi empat tahun. Perjanjian tersebut meliputi pembelian sisa kapasitas milik IPSTAR yang berada di seluruh Indonesia, yang kemudian akan diberikan kepada PT XL Axiata Tbk (XL Axiata), dengan kapasitas 1Mbps High Throughput Satellite (HTS) untuk penyediaan layanan broadband di Indonesia.

Axiata Business Services akan menggunakan kapasitas hingga tujuh blok KU-band dan spot pada satelit broadband IPSTAR-1 yang terletak di 119,5 ° BT untuk penyediaan layanan broadband di Indonesia, termasuk akses broadband langsung ke kawasan pemukiman dan industri, dan backhaul jaringan seluler.

Chief Operating Officer Axiata Group Asri Hassan Sabri mengungkapkan bahwa pihaknya akan memenfaatkan kemampuan Thaicom di Asia untuk mengembangkan bisnis perusahaan secara fleksibel dan cepat sembari memberikan layanan broadband berkualitas ke semua calon pelanggan terlepas dari faktor lokasi tempat mereka berada.

“Di mana konektivitas berbasis terestrial sangat terbatas atau bahkan tidak tersedia, konektivitas HTS berfungsi sebagai enabler untuk membuka ekosistem digital dan meraih peluang pasar baru. Sebagai satelit Throughput High Throughput pertama di dunia yang diluncurkan pada tahun 2005, IPSTAR Thaicom akan membantu kami menjangkau pengguna di berbagai daerah terpencil di Indonesia dengan biaya terjangkau. Kami yakin bahwa kemitraan ini akan memungkinkan kami untuk terus mengembangkan bisnis secara lebih cepat tanpa keterbatasan infrastruktur,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan CEO XL Axiata Dian Siswarini. Ia menjelaskan bahwa sebagai kepulauan terbesar di dunia ada banyak sekali wilayah dan kepulauan di Indonesia yang belum terlayani oleh layanan internet. Ia pun yakin dengan tersedianya HTS ini akan membantu pihaknya menutupi area-area yang Belu terjangkau layanan internet sekaligus mengangkat potensi ekonomi yang cukup besar di sana.

“Selain itu, penyediaan koneksi ini akan memungkinkan kami untuk mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal sesuai dengan visi pemerintah untuk mempercepat perkembangan ekonomi digital di seluruh Indonesia,” terangnya.

Sementara itu pihak Thaicom Public Company Limited, yang diwakili Chief Commercial Officer Patompob Suwansiri mengutarakan komitmennya untuk memfasilitasi pertumbuhan broadband nirkabel dan layanan digital lainnya di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.

Satelit IPSTAR-1 telah diluncurkan pada tahun 2005 dan merupakan HTS pertama yang diluncurkan ke orbit. IPSTAR cellular backhaul and direct ditujukan untuk menyediakan konektivitas broadband bagi operator telekomunikasi dengan kemampuan dapat memperluas jaringan mereka, meluncurkan layanan broadband baru dan secara cepat menjangkau area yang kurang terlayani dengan biaya yang efektif.