Tag Archives: Difabel

Aplikasi Bahasa Isyarat Hear Me

Catatkan Pertumbuhan Positif, Aplikasi Bahasa Isyarat “Hear Me” Mulai Rambah Segmen B2B

Hear Me meluncur awal tahun 2021 ini, sebagai platform social technology yang menyediakan layanan penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Aplikasi ini juga jadi yang pertama yang menyuguhkan tampilan animasi 3D untuk menjembatani komunikasi antara teman tuli dan teman dengar. Disampaikan saat ini mereka telah memiliki sekitar 2 ribu pengguna aktif.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Hear Me Athalia Mutiara Laksmi mengungkapkan, untuk memberikan layanan lebih dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan fitur baru yaitu pemesanan untuk Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan layanan video call.

“Tidak hanya itu, fitur tersebut rencananya juga akan dilengkapi dengan praktik bahasa isyarat kategori alfabet dan angka yang dapat mendeteksi gerakan tangan. Selain belajar melalui visual, diharapkan orang-orang dapat mempraktikkan gerakan isyarat mereka melalui fitur pendeteksi tersebut,” kata Athalia.

Hear Me juga ingin memberikan fleksibilitas kepada para juru bahasa isyarat untuk mendapatkan akses langsung ke pengguna dan penghasilan tambahan dengan bergabung menjadi mitra. Dalam hal ini Hear Me memberikan pembagian komisi dan bonus bagi mereka juru bahasa isyarat yang bergabung.

Melihat besarnya peluang untuk menghadirkan juru bicara bahasa isyarat yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh rumah sakit, bank, hingga organisasi lainnya yang banyak bersinggungan dengan pemerintah, fitur terbaru tersebut diklaim oleh Hear Me bisa membantu mereka menyebarkan informasi kepada teman tuli.

“Saat ini meskipun masih tahap awal kita mulai menjangkau segmen B2B dan ke depannya B2G,” kata Athalia.

Hear Me juga memiliki rencana untuk menghadirkan fitur penerjemah bahasa isyarat secara freemium. Rencana lainnya yang akan dikembangkan oleh Hear Me di antaranya adalah membuka slot iklan di aplikasi dan menyediakan lisensi teknologi dengan menampilkan layar atau monitor di tempat umum seperti bandara hingga pusat perbelanjaan. Tujuannya membantu teman tuli memperoleh informasi dengan mudah dalam memanfaatkan monitor yang memberikan akses bahasa isyarat.

Manfaatkan dana hibah

Selain Athalia, layanan ini turut didirikan beberapa co-founder lain meliputi Nadya Sahara Putri, Octiafani Isna Ariani, Safirah Nur Shabrina, dan Ivan Octa Putra.

Saat pandemi, Hear Me mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti. Namun demikian terkait dengan kegiatan pemasaran menjadi terhambat karena idealnya dilakukan secara offline. Misi perusahaan yang ingin mempertemukan teman tuli dengan teman dengar secara langsung juga menjadi terhambat akibat pembatasan fisik yang diberlakukan.

Tantangan lain yang juga masih dihadapi adalah masih rendahnya aweresness dan sedikitnya jumlah komunitas di beberapa daerah. Tercatat hanya Jakarta dan Bandung saja yang cukup aktif dengan kegiatan komunitas teman tuli dan teman dengar. Namun di kota lain seperti Surabaya dan Makassar, jumlah komunitas tersebut masih sedikit dan tidak terlalu aktif.

“Melalui Hear Me kami ingin mengaktifkan kembali komunitas dan awareness kepada masyarakat luas terhadap keberadaan teman tuli dan teman dengar saat ini,” kata Athalia.

Masih belum memiliki investor, selama ini Hear Me menjalankan bisnisnya memanfaatkan dana hibah yang telah diterima oleh perusahaan. Tercatat hingga kini Hear Me telah mendapatkan sekitar 7 hibah dari berbagai organisasi dan lembaga. Perusahaan juga terus menjalin kolaborasi dengan pihak terkait seperti Gerkatin Jawa Barat, Dinas Sosial dan Dinas Budaya & Pariwisata.

“Tahun ini kita masih ingin fokus ke product dan business validation hingga bulan Oktober mendatang. Sementara tahun depan kita juga memiliki rencana untuk penggalangan dana,” kata Athalia.

Application Information Will Show Up Here

Freedom Wing Adapter Mampu Menyulap Kursi Roda Jadi Controller Xbox

Sebelum resmi diumumkan di bulan Mei 2018, pengerjaan Xbox Adaptive Controller dimulai di tahun 2015 oleh tim internal Xbox sebagai upaya mengeksplorasi aksesibilitas, khususnya aspek kompatibilitas ke aksesori pihak ketiga yang digunakan oleh gamer difabel. Pada akhirnya, Microsoft memutuskan buat mengangkatnya jadi produk konsumen, dibantu dukungan sejumlah organisasi non-profit.

Langkah Microsoft tersebut mendapat respons positif dari banyak kalangan, bahkan juga mendorong sejumlah perusahaan untuk menyediakan aksesori tambahan sebagai alternatif input. Salah satu contohnya adalah Adaptive Gaming Kit persembahan Logitech G. Kali ini organisasi amal AbleGamer dan sekelompok inventor serta pecinta teknologi yang tergabung dalam ATMakers memperkenalkan unit adaptor unik bernama Freedom Wing Adapter.

Freedom Wing Adaptor adalah aksesori berwujud kotak kecil yang bisa menyambungkan kursi roda listrik ke Xbox Adaptive Controller, secara efektif mengubah alat bantu tersebut menjadi unit kendali permainan video. Fungsi utama Freedom Wing Adapter ialah menerjemahkan tekanan pada tombol di kursi roda sehingga bisa dibaca oleh Xbox Adaptive Controller sebagai input, caranya cukup dengan mencolokkan connector ke port simbilan-pin di adaptor.

Di video, metode ini memberikan seorang penyandang disabilitas untuk menikmati Rocket League (dan kita lihat performanya di dalam permainan sama sekali tak buruk). Rocket League merupakan salah satu judul istimewa yang memperkenankan gamer di satu sistem bertanding dengan pemain di platform lain lewat fitur cross-platform play.

Lewat Twitter, COO AbleGamer Steve Spohn menjelaskan alasan di belakang perancangan Freedom Wing Adaptor. Ia ingin agar pengguna kursi roda – khususnya di tahun 2020 ini – bisa segera ‘tersambung’ ke Xbox. Kapabilitas ini sulit dibayangkan hingga sekarang. AbleGamer Foundation adalah organisasi yang terus mendorong dan mempromosikan kemudahan akses di ranah gaming. Bersama Microsoft, Special Effect, dan Warfighter Engaged, mereka punya andil dalam pengembangan purwarupa Xbox Adaptive Controller.

Freedom Wing Adapter 1

Saat ini, AbleGamers kabarnya telah mulai membagikan Freedom Wing Adapter – sebuah indikasi kuat bahwa organisasi tidak fokus pada profit. Namun untuk mempermudah pemakaian, mereka berencana buat menjual komponen printed circuit board Freedom Wing Adapter seharga US$ 7. Selanjutnya panduan perakitan akan segera dipublikasikan dan menghitung semua material yang dibutuhkan, unit adaptor ini bisa dibuat dengan modal kurang lebih US$ 35.

Anda mungkin sudah tahu, Xbox Adaptive Controller tak hanya didesain untuk dipasangkan ke console Xbox One. Periferal juga kompatibel dengan PC ber-sistem operasi Windows 10, sehingga membuka peluang bagi Freedom Wing Adapter buat menopang berbagai permainan. Xbox Adaptive Controller sendiri dibanderol seharga US$ 100.

Via The Verge & VentureBeat.

Live Transcribe dan Upaya Google Memberikan Kemudahan Akses Bagi Kaum Difabel

Tak perlu melihat terlalu jauh untuk mengetahui bagaimana hak penyandang disabilitas masih sering diabaikan. Meski banyak pihak – termasuk pemerintah – terus berupaya membangun beragam infrastruktur pendukung, harus diakui bahwa Indonesia saat ini belum menjadi tempat paling bersabahat bagi kaum difabel. Terlebih lagi, kita bahkan belum mempunyai sistem pendataan yang akurat.

Hal terpenting yang dibutuhkan orang-orang dengan keterbatasan fisik adalah kemudahan akses, dan kita tahu, tema ini sudah lama menjadi perhatian Google. Menyediakan aksesibilitas merupakan salah satu misi sang raksasa internet (satu lagi ialah mengorganisir seluruh informasi di Bumi), dan implementasinya dapat dilakukan oleh perangkat universal yang dimiliki hampir semua orang, yaitu smartphone ber-platform Android.

Dari perspektif Google, disabilitas bukan hanya memengaruhi hidup para penderita, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, dan pada akhirnya khalayak secara luas. Itu berarti, membuat hidup kaum difabel lebih mudah akan berdampak positif bagi masyarakat umum. Dalam presentasi teleconference hari Selasa kemarin, product manager Google AI Research Group Sagar Savla menggunakan analogi menarik:

Di beberapa negara, juga Indonesia, trotoar kini didesainn landai dan tidak lagi ‘patah’ seperti anak tangga. Awalnya, kondisi ini dibuat agar mereka yang berkursi roda bisa mudah melintas. Namun keadaan seperti ini ternyata memberikan efek positif bagi orang biasa, misalnya para ibu yang harus membawa bayi di stroller, lalu para turis jadi lebih nyaman saat membawa koper beroda mereka. Inilah namanya efek curb cut.

Transcribe 3

 

Yang Google lakukan…

Ada begitu banyak tipe keterbatasan, dan Google sudah memberikan beragam solusi lewat fitur-fitur semisal Select to Speak, TalkBack dan BrailleBack bagi mereka yang kesulitan melihat; serta Switch Access, Voice Access dan menu Accessibility buat penderita cacat fisik. Kali ini, perusahaan bermaksud menawarkan jalan keluar untuk pengidap gangguan pendengaran dan orang-orang yang sulit berbicara normal.

Transcribe 2

Mengacu pada data WHO, Sagar Savla menyampaikan bahwa saat ini penderita tunarungu dan tunawicara mencapai 446 juta jiwa. Jika angka tersebut diibaratkan sebagai penduduk negara, maka populasinya berada di urutan ketiga setelah Tiongkok dan India. Totalnya kurang lebih 1,7 kali lebih besar dari penduduk di Indonesia. WHO turut memperkirakan, jumlah pengidap gangguan berbicara dan mendengar akan melonjak jadi 900 juta jiwa di tahun 2055.

Perlu Anda ketahui bahwa sebagian penderita jenis disabilitas ini bukan karena bawaan lahir, tetapi akibat menurunnya fungsi tubuh dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut menyerang sekitar sepertiga manusia berusia 65 sampai 74 tahun. Mereka ini biasanya lebih kesulitan beradaptasi dengan kondisinya dibanding penyandang cacat sejak lahir/kecil karena tidak mudah mempelajari bahasa isyarat secara tiba-tiba. Nenek dari Savla ialah salah satu individu yang menghadapi masalah ini.

Transcribe 1

 

Live Transcribe

Keadaan inilah yang memotivasi Google untuk mengembangkan Live Transcribe, yakni sebuah layanan aksesibilitas khusus para penderita gangguan pendengaran permanen. Disajikan berupa app, Live Transcribe mampu mendengar ucapan lalu menuliskan semuanya di layar smartphone secara real-time. Anda dapat berinteraksi dengan langsung menuliskan respons di sana. Namun di balik kesederhanaannya itu tersimpan teknologi speech recognition mutakhir.

Sagar Savla menjelaskan bagaimana sistem automatic speech recognition di Live Transcribe bersandar pada kecerdasan buatan dan kapabilitas machine learning dalam mendeteksi model akustik, cara pengucapan dan bahasa – termasuk suara, fonem dan huruf. Teknologi di sana memungkinkan Live Transcribe membedakan kata ‘your‘ dan ‘you’re‘ atau ‘too‘ dan ‘two‘ walaupun Anda terbiasa mengucapkannya secara serupa berdasarkan konteks kalimat.

Transcribe 5

Live Transcribe ditopang oleh sistem pengenal suara recurrent neural network berbasis cloud yang terus-menerus mempelajari ucapa orang serta menerapkan auto-correct langsung melintasi tujuh kata. Aplikasi juga sanggup mengklasifikasi 570 tipe bunyi-bunyian, misalnya suara gonggongan anjing atau tangisan bayi. Anda dipersilakan untuk memilih 70 bahasa dan dialek, termasuk bahasa Jawa dan Sunda, serta ada fitur dua bahasa – agar kita tak perlu repot mengubahnya secara manual.

Reproduksi suara dalam teks memang dipengaruhi oleh kualitas mic, dan Live Transcribe siap mendukung mic eksternal baik yang ada di headset kabel, Bluetooth maupun varian USB. Selain itu, pengguna dapat mengaktifkan sistem sinyal haptic feedback, buat memberikan notifikasi jika seseorang memulai atau melanjutkan pembicaraan.

Transcribe 7

App Live Transcribe bisa ditemukan langsung di Google Pixel 3, tetapi semua orang sudah dipersilakan untuk mengunduh versi beta-nya di Google Play. Setelah terinstal, yang perlu Anda lakukan hanyalah menentukan bahasa (serta bahasa sekunder) dan mulai menggunakannya. Di dalam app, Anda akan menemukan lingkaran kecil di pojok kanan atas. Itu adalah indikator input suara vokal versus bunyi-bunyian eksternal.

Dari pengalaman saya menggunakannya, transkripsi yang dilakukan aplikasi ini memang belum akurat 100 persen, boleh jadi disebabkan oleh pengucapan yang kurang fasih atau rendahnya mutu microphone di smartphone entry-level milik saya. Target Google saat ini adalah terus mengulik kemampuan app untuk fokus ke satu pembicara – satu fenomena di kehidupan manusia yang dikenal dengan istilah efek cocktail party.

Transcribe 4

Ingat soal efek curb cut yang sempat saya bahas di awal artikel? Kapabilitas unik Live Transcribe sebetulnya membuka peluang pemakaian di ranah lain. Ambil contohnya saya sebagai jurnalis. Dengan app ini, saya dapat memperoleh kutipan langsung secara tertulis berbekal ucapan narasumber. Untuk sekarang, Live Transcribe memang belum mempunyai fungsi menyimpan teks (dan saya ragu Google akan membubuhkannya melihat dari tujuan awal dibuatnya aplikasi ini), tapi saya bisa saja mengakalinya dengan fitur screenshot.

Sagar Savla menceritakan sedikit kisah unik di belakang pengembangan aksesibilitas bagi penyandang cacat yang dilakukan Google. Jauh sebelum Live Transcribe digarap, pertama-tama mereka harus menentukan perangkat tempat dibangunnya sistem tersebut. Tim sempat mempertimbangkan komputer personal, tablet, hingga unit proyektor mini (dengan pengoperasian yang sangat canggung). Akhirnya, smartphone dipilih karena menurut Google, device ini paling praktis, ringkas dan adopsinya paling merata.

Transcribe 6

Dan buat melengkapi Live Transcribe, Google juga telah meluncurkan Sound Amplifier yang berguna untuk mendongkrak output speaker. Fitur ini bertugas menyaring noise dan memperkuat suara, dengan maksud agar proses mendengar percakapan lebih jadi nyaman dan natural. Sedikit berbeda dari Live Transcribe yang dapat dibuka layaknya app, fungsi Sound Amplifier bersembunyi di menu Accessibility. Seperti TalkBack, Anda perlu mengaktifkannya secara manual.

Live Transcribe mendukung seluruh smartphone Android versi 5 (Lollipop) hingga versi terbaru. App memerlukan internet agar bisa bekerja.

Peduli Kaum Difabel, Twitter Hadirkan Fitur Deskripsi Teks pada Gambar

Untuk memberikan akses yang lebih mudah kepada kaum difabel, khususnya mereka yang memiliki gangguan penglihatan, Twitter belum lama ini memperkenalkan fitur baru yang memungkinkan para pengguna untuk menambahkan deskripsi teks pada gambar yang mereka unggah.

Fitur ini bisa diakses lewat aplikasi Twitter di iOS dan Android dengan mengaktifkan opsi “Compose image descriptions” di dalam menu pengaturan aksesibilitas. Sesudahnya, setiap kali Anda mengunggah gambar ke Twitter, akan muncul tombol “Add description” pada jendela compose.

Jadi selain menuliskan komentar seperti biasa, Anda dapat menambahkan deskripsi dari gambar yang diunggah (bisa mencapai 420 karakter). Pengguna Twitter yang memiliki gangguan penglihatan kemudian dapat mengakses deskripsi teks tersebut dengan bantuan teknologi assistive macam text-to-speech screen reader atau braille display.

Lebih lanjut, Twitter juga mengintegrasikan fitur ini ke dalam API-nya supaya dapat diakses lewat client khusus seperti EasyChirp, Chicken Nugget dan The Qube, yang memang secara spesifik dirancang untuk pengguna dengan gangguan penglihatan.

Pembaruan ini dimaksudkan supaya semua pengguna tidak ketinggalan update kabar terbaru yang menyebar lewat Twitter. Seperti yang kita ketahui, tidak jarang Twitter dimanfaatkan sebagai sumber informasi terkait momen-momen besar yang tengah terjadi, terlebih lewat foto atau gambar yang diunggah oleh komunitasnya.

Sumber: Twitter Blog.

Menanti Pengembangan Teknologi Untuk Kaum Difabel

Kaum difabel adalah istilah untuk para penyandang cacat, entah itu tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna wicara dan berbagai jenis istilah untuk penyandang cacat lainnya.

Berawal dari melihat daftar Calon Penerima Hibah diajang Cipta Media Bersama, saya melihat ada yang menarik diantara daftar tersebut. yaitu Kartunet.com. Kartunet adalah sebuah portal yang berhubungan dengan tuna netra dan didirikan beberapa tuna netra. Di situs ini kita akan menjumpai beberapa artikel yang mengangkat tentang gap berinteraksi antara masyarakat dan kaum difabel. Sungguh miris memang, ketika membaca artikel tersebut.

Continue reading Menanti Pengembangan Teknologi Untuk Kaum Difabel