Tag Archives: Digibank

DailySocial mewawancarai Managing Director, Head of Digital Banking, PT Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto tentang fitur baru Digibank

DBS Indonesia Siapkan Sejumlah Fitur Baru Digibank di Paruh Kedua 2021

Bicara bank digital tentu tak dapat dipisahkan oleh kemunculan digibank milik Bank DBS Indonesia. Sebagai salah satu pelopor bank digital, digibank hadir dengan model perbankan yang dilakukan secara paperless, branchless, dan signatureless.

Menurut Managing Director, Head of Digital Banking, PT Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto, perkembangan teknologi secara perlahan membuat layanan perbankan menjadi invisible. Belajar dari industri yang terdampak disrupsi, seperti musik dan video, pihaknya meyakini bahwa hal ini juga berlaku untuk perbankan.

Artinya, produk perbankan akan tetap sama meskipun delivery method-nya berbeda mengikuti perkembangan teknologi. Dengan situasi saat ini, DBS Indonesia mengaku optimistis melihat tantangan ke depan untuk mentransformasikan layanan perbankannya.

Sejak berdiri di 2017, perusahaan menyebut telah mengantongi pertumbuhan layanan secara signifikan, yang salah satunya disumbang oleh platform digital banking digibank. Kepada DailySocial, Leo berbicara lebih dalam mengenai dampak pandemi terhadap digitalisasi perbankan hingga kelanjutan pengembangan digibank di 2021.

Arti pandemi bagi digibank

Leo mengaku, pandemi Covid-19 memiliki andil besar dalam mengubah preferensi masyarakat dalam melakukan transaksi perbankan. Masyarakat yang tadinya belum terbiasa menggunakan platform digital mau tak mau harus beradaptasi dengan situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Berdasarkan data perusahaan, DBS Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi online selama masa PSBB sebesar 75% untuk layanan Bayar & Beli dan kartu debit. Kemudian, jumlah pengguna consumer DBS Indonesia tercatat naik lima kali lipat dalam 3,5 tahun terakhir.

Menariknya, perusahaan juga melihat adanya peningkatan pada layanan wealth management di platform digibank sebesar enam kali lipat di 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Secara volume, pertumbuhan transaksi naik lebih dari 500% dengan jumlah nasabah yang bertransaksi naik 580%.

Meski belum mau membeberkan data pencapaian lainnya, Leo menilai awareness nasabah terhadap pengelolaan keuangan terus meningkat. Inipun terlepas dari kondisi perlambatan ekonomi akibat Covid-19 di Indonesia.

“Kenaikan ini juga tak lepas dari rangkaian kampanye dan peluncuran produk untuk wealth management, yaitu Rekening Valas dan Obligasi Pasar Sekunder di aplikasi digibank pada 2020. Kami menerapkan transformasi digital secara menyeluruh dan memastikan seluruh produk kami dapat tersedia secara digital,” ungkapnya.

Fitur baru di 2021

Leo menilai pertumbuhan pasar perbankan retail di Indonesia termasuk yang paling agresif di Asia Tenggara. Pertumbuhan ini turut didukung dengan beragam inovasi dan produk yang dikembangkan industri demi menarik calon nasabah baru.

Pada tahun ini, DBS Indonesia menargetkan pertumbuhan dua digit yang akan berpusat pada pengembangan produk digital untuk nasabah di semua segmen bisnis. Misinya tetap sama, yakni mendemokratisasi keuangan sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati layanan perbankan yang terjangkau.

Untuk meningkatkan pengalaman nasabah, ada beberapa produk baru yang akan dihadirkan secara digital. Leo mengungkap, layanan reksa dana akan tersedia di platform digibank pada semester kedua 2021. Reksa dana ini akan melengkapi rangkaian produk investasi digibank.

Saat ini, pengguna digibank dapat memilih produk investasi dengan minimal penempatan sebesar Rp1 juta. Ke depan, pengguna dapat memilih produk reksa dana dengan minimal Rp100 ribu. Leo juga menyebut akan meluncurkan kartu kredit online di paruh kedua tahun ini.

“Tak hanya produk keuangan saja, digibank juga akan meningkatkan proses pembukaan rekening baru dengan Face Biometric. Teknologi ini akan mempercepat proses Electronic Know Your Customer (e-KYC) pada calon nasabah,” tutur Leo.

Digibank melayani segmen mass hingga affluent market (menengah ke atas). Untuk segmen korporasi, Bank DBS Indonesia masuk lewat Real Time Application Programming Interface (IDEAL RAPID) yang mengintegrasikan pemrosesan pembayaran, piutang, dan pencairan informasi tentang alur kerja bisnis nasabah secara real-time, dan memfasilitasi transaksi bisnis di jaringan ekosistem nasabah.

Menurut Leo, saat ini pihaknya masih fokus menggarap segmen banked di Indonesia. Namun, pihaknya mengklaim terus meningkatkan literasi keuangan kepada segmen DBS sembari merealisasikan komitmennya untuk menjadi full fledge digital banking.

Pengembangan ekosistem layanan

Sejak dua tahun terakhir, realisasi bank digital di Indonesia semakin banyak. Sejumlah bank mulai mentransformasikan infrastruktur dan layanannya untuk menjadi bank digital. Untuk mengakomodasi hal ini, pemerintah juga tengah bersiap menggodok aturan baru.

Beberapa di antaranya yang sudah berganti identitas menjadi bank digital, menggunakan model bisnis ekosistem terbuka, ketika bank berkolaborasi dengan platform digital.

Bagi Leo, dinamika tersebut menandakan bahwa semakin banyak sektor perbankan yang menyadari pentingnya digitalisasi. Ini juga berarti akan membuka peluang kolaborasi dan mempercepat cita-cita pemerintah mewujudkan transformasi digital di sektor perbankan.

Salah satu upaya DBS Indonesia untuk mendorong transformasi digital ini adalah melalui pengembangan open banking dengan Standar Open API, di mana bank dapat saling terhubung dengan pemain di ekosistem digital.

“Salah satu strategi yang kami lakukan dan kami nilai efektif adalah menggunakan model bisnis ekosistem untuk memudahkan nasabah bertransaksi digital. Kami senantiasa mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mewujudkan Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) di 2025,” paparnya.

Dalam realisasinya, ungkap Leo, DBS Indonesia telah berkolaborasi dengan sejumlah platform. Perusahaan bermitra dengan marketplace untuk menghadirkan pembukaan rekening pinjaman. Selain itu, DBS Indonesia juga telah tersedia sebagai pilihan pembayaran isi ulang e-money dan e-wallet.

Kemudian, perusahaan juga menggandeng Home Credit dan Kredivo untuk menyalurkan pembiayaan bersama kepada pengguna dengan skema joint financing.

“Kita tidak bisa melakukan segala sesuatu sendiri, jadi perlu menggandeng berbagai mitra untuk mengembangkan ekosistem. Sesuai dengan strategi kami, kolaborasi ini hadir untuk menyasar pangsa digibank, baik dari ekosistem fintech, transportasi, marketplace, atau travel,” katanya.

Indonesia to Realize Digital Bank Initiative in 2020

We have witnessed various digital banking innovations in the last decade. Mobile and internet banking can be examples of banking digitalization that is most related to daily life. Thanks to this innovation, it is easier for customers to perform financial transactions.

Indonesian banks have also begun to explore service connectivity through the Open API strategy. The digital business growth in this country driven by e-commerce and fintech platforms and to be said as a driven factor for banks to develop these innovations. Currently, cross-platform transactions are very possible.

In recent years, fintech has played a significant role in providing access to efficient and practical financial services. Fintech managed to disrupt the traditional banking business model with a fast onboarding process.

Based on the 2019 Fintech Report, 79.9% of 747 respondents in Indonesia used digital wallet services, followed by investment (31.5%), paylater (30.9%), online multifinance (12%), insurtech (11, 8%), crowdfunding (8.2%), P2P lending (6.2%), and remittance (2.4%).

The role of fintech in the financial ecosystem has become a momentum for banks to innovate. Beyond its mobile banking services, a number of banks in Indonesia are very eager in developing digital financial products, both independent and through collaboration. Also, customers can now open savings accounts through mobile banking applications and digital platforms.

In the context of digitalization, the above efforts are certainly relevant to the demand of today’s users. However, these are not enough in order to reach broader financial inclusion. The population of people who don’t have access to financial services (unbanked) is quite large. The limited number of ATMs and branch offices are an obstacle for banks.

Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019 noted that there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).

The Indonesian banking industry is aware of this phenomenon that today’s financial products are not only monopolized by banks. This situation also indicates that banks have not been able to close the gap between the ones with financial literacy and those who are yet to aware of this, with the traditional business model.

Digital bank in Indonesia

After banking digitization, digital bank concept is currently trending in Indonesia. The effort shows banking digital transformation is no longer depend on service digitization, but also to become a separate entity.

In definite, digital banks are different from banking digitalization. Borrowing the current popular term,  the concept of digital banks is generally referred to as neobank, which is popular since 2017. Also, quoting the words “Neo Bank and the Future of Retail Banking in Indonesia“, the term digital bank is often defined as a challenger bank.

Challenger banks in the world have even acquired millions of customers. Some of them are Nubank (Brazil), Monzo (United Kingdom), N26 (Germany), and Chime (United States).

Back to the origin, digital bank or neobank is defined as a bank that operates online-based services without a physical branch office. Digital Bank offers easy access with a user-friendly UI/UX. With an internet connection and smartphone, anyone can open an account and access other financial services.

Digital banks also have the opportunity to be able to leverage the customer’s journey through the development of financial support services and make their products a daily product for customers.

Of course the above concept is inversely proportional to traditional banks where financial services — even though there is already internet and mobile banking — still require face-to-face and physical branch offices. This is understandable considering that banks are a business of trust so physical contact is still needed.

In Indonesia, digital banks are mostly linked to Jenius services (2016) and Digibank (2017). Both are often referred to as the pioneers of the first digital bank. However, there are also those who call it a spin-off product since both are still operating under BTPN and DBS Bank as its main entity.

Jenius and Digibank are examples of application-based services that offer basic banking products, namely savings, online account opening. Both also offer other supporting services, such as financial regulators.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Jenius and digibank table / DailySocial

If the root is on the expansion of financial inclusion, Jenius and his staff are considered not a digital bank. This is because both are targeting segments of society that already achieve digital literacy (digital savvy). Meanwhile, the unbanked segment tends not to understand financial literacy.

The next step for digital bank

As the ecosystem and technology is getting mature, 2020 would likely to be the year of the digital banks realization in Indonesia. Some of the plans we have summarized, including Bank Digital BCA, Bank Jago, and Bank Yudha Bakti (BYB). Efforts to become a digital bank as a new entity have all been passed through the acquisition process.

Quoting Kontan, BCA has acquired Bank Royal worth Rp988 billion in 2019. Bank Royal will change its name to Bank Digital BCA targeting some realizations in the second-semester, 2020. The target market is retail and SME segments, different from the main portfolio of its parent company which mostly engaged to corporate. Bank Digital BCA already has a permit from OJK and is ready in infrastructure.

It is known, the company is currently preparing the P2P lending initiative for BCA Digital Bank. However, BCA’s President Director, Jahja Setiaatmadja revealed that he is not to launch the service in the near future. “We wouldn’t dare to enter P2P for the risks are enormous, we are still preparing,” he said as quoted by Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Digital bank table / DailySocial

Furthermore, Bank Artos officially changed its name to Bank Jago after acquired by its seniors, Jerry Ng and Patrick Walujo. According to Bank Jago’s Managing Director, Kharim Siregar, his office is finalizing a business model and perfecting applications targeting to launch before the fourth quarter of 2020. Quoting Bisnis.com, Bank Jago will target the middle segment and mass-market. In addition, Bank Jago will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and P2P lending.

DailySocial has in touch with BCA and Bank Jago representations regarding the realization of this digital bank, but their team sre still reluctant to disclose any information. “Our directors are yet to confirm any information to the media because they are currently focusing on preparing applications and everything,” Bank Jago’s Senior Manager Nurul Kolbi said in a short message to DailySocial.

Unlike the two, Bank Yudha Bakti (BYB) started to be controlled by PT Akulaku Silvrr Indonesia which runs Akulaku’s fintech services in 2019. Akulaku’s entrance is expected to accelerate the digital transformation process of BYB, which is to become a digital bank without branch offices and develop mobile applications to increase market penetration.

DailySocial also reached BRI’s Indra Utoyo, Digital Director, Information Technology, and Operations regarding this matter. He commented, BRI did not perform a similar strategy with the above banks. However, BRI is considered to have made a major transformation to become a digital bank.

In order to become a digital bank, Indra ensured that BRI must maximize excellence in physical networks. “The winner is the one who can combine physical and digital excellence. Whatever the entity, both BRI, and its subsidiaries, must be a digital company. There is no need for a dichotomy between digital banks and non-digital banks,” he said.

Without this dichotomy, he said, BRI has provided value from the concept of digital banks with digital-based banking services. BRI became the first bank to launch PINANG and Ceria digital lending products. Then, the first bank to provide account opening services with the entirely digital-based KYC process.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
BRI’s digital product table / DailySocial

Indra emphasized that digital cannot replace trust, service, and brand. However, without digital, we cannot get all three. It means those with the ‘digital’ label do not necessarily translate into trusted banks than large banks that have transformed digitally.

“To date, I have not seen a successful digital bank or neobank in the world. For me, the winner is the one that combines physical superiority or human touch and digital. The term is phygital,” he said.

Separately contacted, BTPN’s Head of Digital Banking, Irwan Sutjipto Tisnabudi admitted that the emergence of a new digital bank would help create a digital financial ecosystem and encourage education for better financial literacy. In fact, this trend will bring many collaboration opportunities.

Regarding the possibility of Jenius becoming a separate entity, Irwan assured that Jenius currently still supports the BTPN business to expand the current market segments. He also emphasized the main strategy through co-creation and collaboration with like-minded partners to develop products that are relevant to customers.

“In carrying out digital transformation, BTPN believes that digital is the core of the business and value proposition, not an additional channel. Our priority is to build an ecosystem that supports life finance with a broader scope so that the benefits can reach the digital literacy people,” he explained.

Jenius became the result of BTPN transformation which was developed through the process of creation and collaboration with thousands of digital-savvy for 18 months. As of March 2020, Jenius has secured more than 2.5 million users. The company has also just introduced the Bisniskit feature for new business owners and Moneytory to help with financial management.

Regulation and challenges

To date, digital banks still operate under the law of conventional banks. This is regulated in OJK Regulation Number 12 concerning Digital Banking Services Provided by Commercial Banks. There is no separate law to regulate the virtual account opening.

The regulation clearly states that digital banks are different from digital banking services (m-banking, SMS banking, e-banking, etc.). The difference is clear that all digital banking services can be accessed via smartphones.

Beyond that, digital banks cover all banking services from account administration, transaction authorization, financial management, and / or account opening/closing, digital transactions, and other financial product services based on OJK approval.

According to Bhima Yudistira, Institute for Development of Economics (Indef) observer, there is no need yet to draft new regulations to accommodate the law of digital banks. Moreover, existing regulations were only issued in 2018. However, Bhima highlighted that the government needs to pay attention to the high-security aspects and data utilization for third parties.

On the other hand, he also sees that the trend of digital banks is driving a new landscape of banking in the banking sector. According to him, banks that invest in digitalization will obtain a greater market share than banks that continue to operate conventionally.

“The demand for digital banking is greater along with the growth in the number of active internet users in 2020 reaching 175.4 million people. This means that banks are expected to provide faster services at affordable costs, and access anywhere, anytime,” he said.

If a digital bank is realized, the impact will be very large, especially for millennials. However, it is not without obstacles that banks are also deemed necessary to conduct education for other market segments, such as SMEs and rural areas. “The important thing here is developing digital banks must run along with the penetration of internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Beberapa bank menyiapkan strategi dengan entitas terpisah dan branding baru demi mengembangkan konsep bank digital

2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.

Gadjian announces partnership with Digibank / Gadjian

Gadjian Announces Partnership with Digibank

Gadjian, a startup providing payroll and human resources management, announces a marketing partnership with Digibank, a digital banking service by DBS. It allows customers to experience easier and better services, if they download and activate Digibank in their smartphones.

The activity will not only benefit users but also applied for attendance record app, Hadirr. This partnership is in line with Digibank’s spirit to provide an easier and better banking experience with Gadjian ecosystem.

“This is expected to be an example of mutually beneficial partnership between digital startup industry players,” Afia R Fitriati, Gadjian and Hadirr’s CEO and Co-Founder, said in an official release to DailySocial.

On this partnership, she said, each company or potential users of Gadjian and Hadirr apps will get user discount for both apps when they downloaded Digibank app using special promo code.

The discount will be higher if more employees activate Digibank. Companies will also get a deposit for settling Gadjian bills and the employees will get the cashback.

Leonardo Koesmanto, DBS Indonesia’s Head of Digital Banking, added, “There will be more millennial aspects are happening on their smartphones, including payroll and attendance. We expect the users of Digibank and Gadjian apps can Live more, Bank less with more seamless input or output in financial.”

Both DBS and Gadjian are committed to bringing this partnership towards feature development or another form in the near future. Before partnering with Digibank, Gadjian has announced integration with Mandiri Cash Management for payroll.

To expand their market, both companies are in partnership with various aspects to acquire users. Recently, Digibank has announced partnerships with 21 coffee shops for account opening as an effort to accelerate 3,5 million user acquisition by 2022.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Perluas Pemasaran, Gadjian Umumkan Kolaborasi dengan Digibank / Gadjian

Perluas Pemasaran, Gadjian Umumkan Kolaborasi dengan Digibank

Startup penyedia aplikasi penggajian dan pengelolaan SDM Gadjian mengumumkan kolaborasi pemasaran dengan Digibank by DBS. Kerja sama ini memungkinkan para pengguna lebih mudah dan murah menggunakan layanan Gadjian jika mengunduh dan mengaktifkan Digibank di smartphone mereka.

Kegiatan ini diklaim tak hanya menguntungkan bagi pengguna Gadjian, namun juga berlaku untuk aplikasi pencatatan absensi Hadirr. Bagi Digibank, kolaborasi bisnis ini sejalan dengan semangat perusahaan yang ingin memberikan pengalaman beraktivitas perbankan yang lebih mudah dan menyenangkan bagi para nasabahnya dengan ekosistem Gadjian.

“Kolaborasi ini juga diharapkan dapat memberi contoh tentang kerja sama yang saling menguntungkan antara pemain industri perbankan dan pemain industri startup digital,” ujar CEO dan Co-Founder Gadjian dan Hadirr Afia R Fitriati dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Afia menerangkan, dalam kerja samanya tersebut setiap perusahaan pengguna ataupun calon pengguna aplikasi Gadjian dan Hadirr akan mendapatkan diskon penggunaan aplikasi dari kedua aplikasi tersebut apabila karyawan mereka mengunduh aplikasi Digibank dengan kode promo khusus.

Diskon akan semakin besar jika jumlah karyawan yang mengaktivasi Digibank semakin banyak. Perusahaan pun akan mendapatkan deposit untuk melunasi tagihan berlangganan Gadjian dan karyawan mendapatkan cashback.

Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto menambahkan, “Semakin banyak aspek kehidupan milenial yang terjadi dalam kemudahan genggaman smartphone mereka, termasuk aspek gajian maupun absensi. Kami harap pengguna aplikasi Digibank serta Gadjian bisa Live more, Bank less dengan semakin seamless-nya input maupun output keuangan mereka.”

Baik pihak DBS maupun Gadjian berkomitmen untuk membawa kolaborasi ini dapat berkembang ke pengembangan fitur maupun bentuk kolaborasi lainnya di masa yang akan datang. Sebelum menggaet Digibank, Gadjian pertama kali mengumumkan integrasi dengan Mandiri Cash Management untuk pembayaran gaji karyawan.

Dalam perluasan channel pemasaran, kedua perusahaan terus kolaborasi bisnis dengan berbagai aspek demi meningkatkan jumlah pengguna. Digibank terakhir mengumumkan kemitraan dengan 21 kedai kopi untuk pembukaan akun rekening sebagai salah satu langkah mempercepat realisasi target 3,5 juta nasabah baru di 2022 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Bank DBS Bermitra dengan Kedai Kopi untuk Pembukaan Rekening Digibank

Bank DBS umumkan kemitraan dengan 21 kedai kopi untuk pembukaan akun rekening Digibank. Langkah ini menjadi ekspansi perusahaan untuk mempercepat realisasi penarikan 3,5 juta nasabah baru pada tahun 2022 mendatang.

Dalam kedai kopi tersebut, Bank DBS menyiapkan biometric station yang diisi dengan agen untuk melayani calon nasabah dilengkapi dengan alat verifikasi biometrik. Alat tersebut akan membantu proses verifikasi identitas calon nasabah. Perusahaan juga menyiapkan sejumlah gimmick berupa kopi gratis dan promo diskon untuk setiap nasabah yang berhasil melakukan verifikasi.

Proses verifikasi biometrik ini adalah prosedur yang dipilih Bank DBS untuk memenuhi tahapan Know Your Customer (KYC). Sekaligus mematuhi aturan Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). Sebelum inisiasi ini diumumkan, calon nasabah Digibank harus berjanji temu terlebih dahulu dengan para agen Digibank untuk menyelesaikan proses verifikasi.

Beberapa kedai kopi di Jakarta yang sudah bermitra di antaranya St.Ali, Trafique Coffee, Kanawa Coffee, Common Grounds, Sensory Lab. Di Bandung, terdapat di The Parlor, Kozi 3.2 Malaka Hotel, Blue Doors. Sementara di Surabaya, terdapat di Hostorica, Catura, dan Volks Coffee.

“Kami memilih kedai kopi karena ini sudah jadi bagian gaya hidup kalangan masyarakat digital savvy yang sedang berkembang. Kedai kopi sekarang tidak hanya jadi tempat ngopi saja tapi sebagai tempat hangout dan bekerja. Tentunya ini sesuai dengan semangat Digibank. Transaksi perbankan bisa di mana saja tanpa harus ke bank,” terang Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto, Rabu (24/1).

Tidak hanya menyasar kedai kopi, lanjut Leonardo, ke depannya Bank DBS akan menyasar lokasi lainnya seperti komunitas agar lebih mudah menjangkau calon nasabah. Di samping itu, saat ini perusahaan sudah membuka booth di kawasan mal.

Rencana Digibank berikutnya

Menurut Leonardo, ke depannya Digibank akan bermitra dengan perusahaan fintech untuk menambah fitur perbankan dalam aplikasinya. Beberapa fitur yang sedang digarap, di antaranya pinjaman online, investasi, dan asuransi.

Untuk sementara ini, di dalam Digibank baru menyediakan layanan pembukaan rekening, simpan dan transfer dana, pembayaran tagihan, isi ulang e-money, serta pembukaan deposito.

Kemitraan ini, menurutnya menjadi suatu hal yang wajib dilakukan Bank DBS dalam melayani seluruh nasabahnya. Contohnya adalah pemanfaatan fitur chat berbasis AI buatan Kasisto yang dihadirkan di dalam Digibank.

“Untuk pengiriman kartu debit-nya pun, kami bermitra dengan perusahaan startup. Kami sadar, kami tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Perlu bermitra dengan perusahaan startup.”

Terkait investasi untuk pengembangan Digibank di Indonesia, Leonardo mengaku secara grup DBS telah menyiapkan investasi sebesar SG$200 juta. Dana tersebut menurutnya cukup untuk mengembangkan Digibank selama 3-5 tahun ke depan.

Diklaim saat ini, Digibank per harinya dapat menjaring sekitar 1.000 nasabah baru sejak 4,5 bulan dari peluncuran resmi. Bila dihitung kasar, nasabah baru Digibank diperkirakan mencapai 135 ribu orang.

Application Information Will Show Up Here

Bank DBS Resmikan Aplikasi Perbankan Online digibank, Bidik 3,5 Juta Nasabah Hingga Tahun 2022

Bank DBS resmikan kehadiran aplikasi perbankan online digibank sebagai bentuk strategi menjaring nasabah baru. Ditargetkan digibank dapat menjaring 3,5 juta nasabah baru hingga 2022 atau lima tahun dari sekarang.

Terhitung, jumlah nasabah baru yang dijaring digibank sejak soft launch di Mei 2017, diklaim telah menjaring 13 ribu nasabah.

Bank DBS berharap kehadiran inovasi ini dapat menyusul keberhasilan digibank di India pada tahun lalu. Diklaim, DBS India mampu mengakuisisi 1,5 juta nasabah baru hingga saat ini.

“Kami percaya bahwa persembahan berbasis mobile ini mewakili masa depan perbankan dan kami senang memperkenalkammya ke Indonesia, [yang merupakan] pasar utama kami di Asia,” CEO Grup DBS Piyush Gupta, Selasa (29/8).

Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna menambahkan, “Kami telah mengamati perubahan perilaku nasabah dan orang-orang semakin menginginkan cara yang sederhana, cepat, serta praktis dalam melakukan transaksi perbankan. [..] kami berbahagia memperkenalkan digibank ke Indonesia agar nasabah dapat melakikan kegiatan perbankan kapan saja dan dari mana saja.”

Sementara ini, digibank baru menyediakan layanan perbankan standar untuk kebutuhan pembukaan rekening, deposito, dan transfer dana. Ke depannya, Bank DBS akan terus menambah fitur perbankan lainnya guna menjaring lebih banyak nasabah, sekaligus membuat layanan bank jadi semakin mudah diakses. Salah satu tambahan layanan yang akan tersedia adalah pengajuan kredit.

Fitur digibank

Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto menambahkan, digibank memiliki beberapa fitur yang cukup berbeda. Diantaranya, teknologi biometrik sebagai metode KYC yang harus dilakukan nasabah sebelum membuat rekening. Alat biometrik dibawa oleh agen DBS yang bertugas membantu calon nasabah untuk pembukaan rekening. Nasabah hanya perlu mengatur jadwal untuk bertemu agen dan menyiapkan KTP.

Kemudian, fitur Virtual Assistant berteknologi Artificial Intelligence. Untuk memanfaatkan teknologi ini, nasabah hanya cukup mengetik pertanyaan. Misalnya, “Berapakah jumlah saldo rekening saya,” atau “Tunjukkan lima transaksi terakhir saya.” Nanti mesin secara otomatis akan membantu menjawab pertanyaan.

Berikutnya, fitur Spending Tracker untuk membantu nasabah dalam perencanaan dan pengawasan finansial. Nasabah juga dapat memantau transaksi, membuat anggaran, dan menganalisa tren pengeluaran.

Terakhir, fitur Soft Token untuk pengamanan in-built. Soft Token adalah pengamanan dinamis yang ditanam di dalam aplikasi yang lebih aman dari OTP, tidak seperti perbankan lainnya yang menggunakan One-Time Passwords (OTP). Cara ini diklaim memberikan tingkat keamanan lebih tinggi untuk otorisasi transaksi.

“Ke depannya kami akan berkomitmen untuk terus mengembangkan fitur lainnya, intinya kami ingin buat fitur yang bisa mempermudah transaksi perbankan. Mungkin nanti ada layanan cicilan kredit, payment, atau lainnya. Prioritas nasabah jadi fokus utama kami,” pungkas Leonardo.

Selain Bank DBS, perbankan lainnya yang turut mengeluarkan layanan sejenis adalah Bank BTPN lewat produk Jenius. Bank lainnya menggunakan metode yang sedikit berbeda, misalnya Bank Commonwealth dengan pendekatan mesin on-boarding bernama Tyme Digital untuk pembukaan rekening baru.

Application Information Will Show Up Here

Salim Group Siap Rambah Perbankan Digital di Indonesia

Besarnya peluang sektor perbankan digital saat ini menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya Salim Group mengakuisisi 51 persen saham Bank Ina Perdana dengan nilai yang diperkirakan mencapai 42 juta dolar AS atau setara Rp570 miliar. Akuisisi ini dilakukan sebagai upaya Salim Group memperkuat layanan e-payment untuk bisnis online.

“Menjadi masuk akal bagi kami untuk kembali fokus ke perbankan karena transaksi yang dilakukan bank saat ini cukup besar,” kata salah seorang eksekutif Salim Group kepada Nikkei.

Makin meningkatnya penetrasi smartphone membuktikan layanan e-payment semakin dibutuhkan, dalam hal ini sektor perbankan di Indonesia masih memiliki posisi krusial untuk pengembangan layanan e-payment. Keputusan Salim Group untuk mengoperasikan bank milik sendiri karena sangat penting untuk menjalankan bisnis digital end-to-end.

Mengembangkan layanan bank digital di Indonesia

Setelah mengakuisisi Bank Ina Perdana, Salim Group memiliki kesempatan untuk mengembangkan layanan e-payment menargetkan pemain skala kecil dengan menghadirkan layanan keuangan seperti pembayaran elektronik dan pinjaman peer-to-peer, yang saat ini makin marak bermunculan di tanah air. Untuk melancarkan rencana tersebut, melalui Indomaret, yang saat ini telah memiliki jaringan di seluruh Indonesia berjumlah 14 ribu gerai, bakal diterapkan teknologi pengenalan sidik jari yang dikembangkan oleh perusahaan patungan antara Salim Group dengan Liquid yang berbasis di Tokyo.

Untuk uji coba, Salim Group akan mulai menguji layanan baru secara internal untuk 500 ribu karyawannya pada paruh kedua tahun 2017. Nantinya karyawan Salim akan membuka rekening bank di Bank Ina dan membayar barang di Indomaret menggunakan pembaca sidik jari yang terhubung dengan rekening mereka.

Salim Group juga berencana untuk mengembangkan layanan peer-to-peer transfer uang dan pinjaman melalui gerai indomaret yang berfungsi sebagai cabang dari bank. Hal tersebut diungkapkan oleh  Presiden bank Ina Edy Kuntardjo. Kegiatan tersebut akan mulai diimplementasikan pada tahun 2018 mendatang. Saat ini Bank Ina masih terus berbenah terkait sistem utama dari perbankan, untuk meningkatkan proses transaksi yang nantinya akan dilakukan melalui Indomaret.

Langkah Salim Group ini menambah daftar panjang usahanya memasuki bisnis berbasis teknologi di Indonesia. Salim dan Lotte saat ini sedang membangun layanan e-commerce Indo Lotte. Mereka juga membawa co-working space Block 71 ke Indonesia.

Maraknya layanan perbankan digital lokal hingga asing di Indonesia

Bukan hanya Salim Group dengan Bank Ina Perdana yang membidik layanan perbankan digital di Indonesia, bank lokal dan bank asing lainnya juga sudah mempersiapkan perbankan digital.

Salah satu bank asing yang mulai serius merambah layanan pembayaran digital, adalah Digibank milik bank DBS (Singapura) diperkenalkan ke publik India April 2016 silam. Digibank disebut-sebut menjadi satu-satunya layanan mobile-only bank yang ada saat ini. Dengan dilengkapi teknologi AI (Artificial Intelligence) untuk membantu para penggunanya, Digibank mencoba menghadirkan pengalaman baru dalam dunia perbankan.

Bank lokal lainnya yang saat ini sudah menunjukkan niatnya untuk menjadi bukan sekedar bank biasa adalah bank BTPN, yang menawarkan terobosan baru dalam dunia perbankan berbentuk aplikasi yang dirancang dapat membantu masyarakat dalam mengatur finansial pribadi lebih mudah lewat perangkat smartphone, dinamai Jenius.

Produk terkini yang sempat dipuji oleh Menkominfo Rudiantara, dibuat untuk menyasar segmen orang dengan mobilitas tinggi dan akses ke konektivitas internet.

Meskipun masih dalam pengembangan, besarnya peluang dan faktor pendukung yang ada bisa menjadi kunci utama Salim Group memasuki perbankan digital di Indonesia.

Rambah Nasabah Baru, DBS Indonesia Siap Luncurkan Aplikasi Digibank

Bank DBS Indonesia, bagian dari kelompok usaha DBS Grup di Singapura, berencana untuk meluncurkan aplikasi perbankan digital Digibank pada pertengahan tahun ini. Langkah ini menjadi upaya perusahaan untuk menjangkau nasabah baru di luar nasabah prioritas yang selama ini menjadi konsumen utama Bank DBS Indonesia.

Digibank adalah mobile-only bank, sebuah aplikasi yang memungkinkan nasabah untuk pembukaan rekening secara online tanpa harus mendatangi kantor cabang, tidak membutuhkan dokumen fisik. Nasabah hanya memerlukan KTP elektronik untuk persyaratan membuka akun rekening.

Nilai investasi yang dikucurkan DBS Grup untuk pengembangan Digibank mencapai 200 juta dolar Singapura. Indonesia menjadi negara kedua yang menjajal layanan terbaru dari DBS setelah India pada awal tahun lalu. Negara berikutnya adalah Tiongkok, Taiwan, dan Hong Kong.

Untuk pengembangan teknologi Digibank, DBS telah merangkul mitra fintech dari Singapura dan Amerika Serikat menghadirkan kecerdasan buatan (AI) untuk layanan virtual assistant. Di India, Digibank diklaim telah terbukti dapat menjawab sekitar 80%-90% pertanyaan nasabah.

Tak menutup kemungkinan, DBS Indonesia memberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan startup fintech dari lokal untuk pengembangan fitur berikutnya.

Pihak DBS Indonesia mengungkapkan Digibank bakal diluncurkan pada pertengahan tahun ini. Perusahaan sudah menyatakan memegang izin kerja sama dengan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk pemanfaatan teknologi KTP elektronik

“Sekarang ini momennya sudah pas karena masyarakat Indonesia sangat adaptif dengan teknologi, makanya kami rasa sudah bisa dimulai. Tengah tahun ini bakal diluncurkan,” ucap Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto, Senin (13/3).

Peluncuran Digibank di Indonesia menjadi jurus DBS Indonesia untuk memperbanyak cakupan nasabah baru ke segmen usia produktif yang kini jarang mendatangi kantor cabang. Selama ini nasabah Bank DBS Indonesia berasal dari kalangan prioritas, porsinya hampir 100% dari total nasabah perusahaan yang jumlahnya kini lebih dari 30 ribu orang.

Nasabah prioritas, menurut Leonardo, memiliki pelayanan yang berbeda. Misalnya, mereka didatangi langsung oleh relationship manager dari perusahaan atau mendatangi kantor cabang. Terhitung kini Bank DBS Indonesia telah memiliki 44 kantor cabang yang tersebar di 11 kota besar di Indonesia.

“Digibank dikhususkan untuk segmen yang tidak pernah datang ke kantor cabang. Mereka akan dilayani lewat fasilitas chat. Kami akan mengedepankan sisi experience yang membedakan kami dengan bank lainnya.”

Sebelumnya, dengan inisiatif yang sama, Bank BTPN menghadirkan produk terbarunya Jenius pada tahun lalu. Model bisnisnya tidak jauh berbeda dengan Digibank. Jenius berbentuk aplikasi perbankan yang memiliki fitur tabungan, transfer, transaksi, dan kartu debit. Jenius menyasar berbagai kalangan usia dengan mobilitas tinggi dan pengguna smartphone.

Kolaborasi dengan Founder Institute Jakarta

Dalam kesempatan yang sama, Bank DBS Indonesia berkolaborasi dengan Founder Institute Jakarta untuk memberangkatkan sembilan lulusan Founder Institute Jakarta Summer 2016 ke Silicon Valley yang telah berlangsung pada 19-25 Februarti 2017.

Di sana, para lulusan bertemu dengan beberapa startup yang kini telah menjadi bagian dari perusahaan terpenting di dunia, misalnya, Facebook, Google, dan Airbnb. Mereka berdiskusi langsung dengan beberapa individu terkemuka d ibalik beragam institusi, perusahaan riset teknologi, perusahaan modal ventura, hingga angel investor yang menghubungkan Amerika Serikat dengan Asia Tenggara.

Hasil semua pertemuan di Silicon Valley memberi bekal wawasan esensial bagi seluruh lulusan maupun tim DBS yang sedang berinovasi.

“Kami senang melihat adanya sinergi antara startup dengan perusahaan besar seperti DBS Indonesia. Pencetusan inovasi itu dibutuhkan saat menyatukan ketangguhan dan pemikiran baru para pengusaha muda dengan keahlian para eksekutif industri yang kaya dengan pengalaman,” terang Direktur Founder Institute Jakarta Andy Zain, yang juga merupakan Managing Director di Kejora Ventures.

Bagi DBS Indonesia, langkah awal ini jadi salah satu bentuk upaya mendukung ekosistem tech startup di Indonesia. Berikutnya, DBS Indonesia berencana untuk membuka program akselerator tersendiri untuk menyasar startup fintech guna mendukung bisnis perusahaan.

“Kami berencana ingin membuat program akselerator guna mencari solusi yang bisa memberi impact ke bisnis DBS. Belum ada rencana detilnya, tapi sudah ada arahnya ingin ke sana yang diawali lewat kerja sama dengan Founder Institute Jakarta,” pungkas Leo.

DBS Rencanakan Bawa Digibank ke Indonesia

Digibank, sebuah layanan pembayaran digital milik bank DBS (Singapura) diperkenalkan ke publik India April silam. India dinilai sebagai pasar yang tepat untuk menumbuhkan layanan mobile-only perbankan tersebut. Satu bulan setelah peluncuran, pihak Digibank tampak ingin kembali berekspansi, kali ini yang menjadi tujuan adalah Indonesia dan Tiongkok. Dikabarkan tak kurang dari 1 atau 1,5 tahun lagi ekspansi tersebut akan dilakukan.

Digibank disebut-sebut menjadi satu-satunya layanan mobile-only bank yang ada saat ini. Dengan dilengkapi teknologi AI (Artificial Intelligence) untuk membantu para penggunanya, Digibank mencoba menghadirkan pengalaman baru dalam dunia perbankan.

“Masa depan perbankan dan menjadi sangat berbeda dari apa yang telah kita lihat. Saat ini berada di titik puncak dari sebuah revolusi besar. Jika Anda berpikir lima tahun terakhir, dan melihat perubahan di industri ritel, taksi, perjalanan dan musik, perubahan ini terjadi dari industri ke industri. Karena itu regulasi dan psikologi seputar keuangan menjadi berbeda […] Tapi, dalam lima tahun ke depan kita akan melihat transformasi yang luar biasa dalam cara perbankan,” ujar Chief Executive Officer Singapore-headquartered Financial Services Major DBS Group and Director Piyush Gupta.

Untuk Indonesia, DBS sendiri sudah mulai memasuki sektor digitalisasi pada periode 2012-2013 dengan berinvestasi pada teknologi infrastruktur. Setelah itu selepas gagal mengakuisisi Bank Danamon pada pertengahan 2013 DBS Group mengubah strateginya yang semula akuisisi menjadi digitalisasi.

“Ekspansi harus melalui digitalisasi. Kami telah menghabiskan banyak waktu untuk mengatur ulang arsitektur teknologi backend kami. Pada pertemuan (yang membahas) strategi kami di Seoul pada 2013, dewan menyimpulkan bahwa waktu yang tepat untuk benar-benar memikirkan kembali, meningkatkan dan merevolusi cara kita menyimpan uang,” ujar Gupta.

Melihat kecanggihan teknologi yang diterapkan Digibank layanan ini akan menarik melihat respon masyarakat Indonesia jika akhirnya berlabuh di Indonesia. Pasalnya sejauh ini banyak penyedia layanan mencoba menghadirkan beragam metode pembayaran untuk menjaga pengalaman pengguna agar tetap pada titik kenyamanan.

Namun dari pemberitaan Forbes India Digibank adalah jalan pertama untuk DBS menjadi salah satu penyedia layanan perbankan era digital. DBS disebutkan tidak ingin membatasi diri hanya untuk menjadi solusi pembayaran. DBS berambisi untuk menghadirkan solusi perbankan digital yang lengkap untuk terus menjadi loyalitas penggunanya.